---Rin Surtantini
Desember
datang. Seperti Desember-Desember lain sebelumnya, hujan mulai rajin menyirami
bumi, meski dengan frekuensi yang masih belum teratur. Masih seperti biasanya
pula, harapan-harapan manusia akan datangnya pergantian tahun yang lebih baik mulai
bermunculan di berbagai media sosial dalam berbagai ungkapannya. Sama seperti
yang selalu terjadi pada setiap Desember pula, retorika tentang pentingnya refleksi
diri mulai banyak ditampilkan para warganet.
Desember seperti sebuah pintu rumah yang segera ditutup setelah selalu terbuka sepanjang tahun. Desember serupa bab terakhir dari sebuah buku yang selesai dibaca. Desember seakan stasiun terakhir yang menunggu kereta api datang dan berhenti. Desember seolah ujian terbuka pada puncak studi seorang mahasiswa S3. Desember bagaikan ombak membuih yang bergerak melepas gelombang air laut di pantai yang menantinya.
Metafora Desember itu menarik untuk disimak. Jika ia pintu rumah, maka tutuplah karena malam telah tiba. Jika ia sebuah buku, maka berhentilah membaca karena semua bab sudah habis terbaca. Jika ia stasiun, maka turunlah karena kereta telah berhenti. Jika ia ujian terbuka, maka terimalah ijazah karena telah dinyatakan lulus. Jika ia ombak, maka rasakan pecahan deburnya di pantai.
Desember memang telah datang, sesuai pakem yang ada pada kalender yang digantung di dinding, atau yang diletakkan di atas meja kerja. Hujan memang telah turun pula pada bulan Desember, dan ada kalanya gugurannya begitu memutihkan bumi. Ia menyaput semua debu yang menempel di daun dan pohon, mengalirkan sampah-sampah di jalan, menjernihkan udara yang penuh asap dan polusi. Tetapi, benarkah sesungguhnya ungkapan yang manis ini, “Let the rain wash away all the pain of yesterday…” (Biarkan hujan menghapus semua kedukaan kemarin) dapat tercipta dengan mudah dalam mental dan hati atau perasaan seseorang? Mungkin jawabnya adalah, “Time will heal…” (Waktulah yang akan menyembuhkan).
Ya, kunci dari “the rain washes away all the pain of yesterday” adalah waktu. Seberapa lamakah, tergantung kepada bagaimana seorang individu mengelolanya. Dan bagaimanakah, tergantung kepada cara individu itu merespon “the pain of yesterday”. Belum lagi jika itu merupakan “the pain(s)” (kedukaan yang banyak), tentu pengelolaannya akan tergantung kepada mana yang paling membuncahkan pikiran seorang manusia yang mengalaminya.
Dan pada Desember tahun ini, seorang Tan mengalami “the pain(s) of yesterday”. Sesungguhnya kebuncahan pikirannya tentang ini sudah terjadi sejak Januari pada awal tahun ini, tetapi ia masih merawat harapannya, karena bukankah pintu tahun 2020 baru saja dibuka. Jadi pikirnya, biarkanlah pintu terus terbuka sepanjang tahun sebelum ia mungkin akhirnya memadamkan harapan-harapan itu. Tak dinyana, pandemi Covid-19 menghampiri bumi Indonesia pada bulan kedua-ketiga tahun ini. Tan tetap memelihara harapan-harapan yang dibangunnya sendiri dengan banyaknya tantangan baru yang harus dihadapi. Kegagapan teknologi yang harus diatasi, pemeliharaan semangat kerja dengan tetap produktif di rumah, pemaknaan ulang terhadap integritas sebagai seorang karyawan yang harus bekerja dari dan tinggal di rumah, penumbuhan akan rasa empati, atau “compassion” terhadap mereka yang kurang beruntung, kepatuhan terhadap prinsip keselamatan diri sendiri, lingkungan, sesama, melalui protokol kesehatan yang disarankan, dan masih banyak lagi.
Tan menjalani itu semua dengan caranya sendiri sampai tak terasa Desember pun akhirnya tiba, merangkak menuju hari terakhir. Akan tetapi, ia tak bisa menghindar dari kebuncahan ini: mengapa “the pains of yesterday” tidak sama dengan daun dan pohon yang bersih dari debu, sampah-sampah yang mengalir, udara yang segar dan jernih karena guyuran hujan yang deras? Mengapa justru setiap saat hujan turun dan bumi basah olehnya, hati Tan semakin dirundung kepedihan, kegelisahan, keprihatinan, dan kekuatiran?
Tan mengenang kembali, sebulan yang lalu jantungnya berdegup dan pedih ketika mendengar berita kepergian seorang rekan kerja seprofesinya yang jauh lebih muda darinya, terdeteksi terinfeksi virus yang bekerja dalam senyap itu. Tan mengingat kembali, dengan keyakinan bahwa Covid-19 ada di mana-mana, di kantor, di kendaraan umum, di hotel, di tempat wisata, di keramaian, bahkan di rumah sendiri, maka kesadaran untuk berhati-hati, menjaga diri sendiri , keluarga, dan orang lain, menjadi alangkah pentingnya untuk diterapkan! Tan memikirkan, bahwa keputusannya untuk tidak mengikuti sebuah kegiatan di lingkungan tempat kerjanya yang berpotensi menciptakan mata rantai-mata rantai yang bersambung, adalah sebuah keputusan personal yang selayaknya dihormati, bukan dipertentangkan atau dinilai sebagai wujud disintegritas seorang karyawan, atau dipertanggung jawabkan sebagai sikap atau perilaku yang melanggar komitmen sebagai seorang karyawan. Tan berkata pada diri sendiri, ia tak boleh terlalu percaya diri, apalagi jemawa, merasa pasti akan dapat terhindar dari sapaan virus ini terhadap dirinya, terhadap orang-orang yang dikenalnya.
Tan membaca situasi, Covid-19 semakin nyata ada di mana-mana, dan semakin dekat dengan dirinya, apalagi ketika rekan-rekan kerjanya mulai ada yang terinfeksi, sehingga tracing menjadi semakin meluas. Kenyataan ini sekaligus juga menimbulkan “paranoid” terhadap diri sendiri dan terhadap rekan-rekan kerja yang dianggap telah berkontak langsung dengan rekan kerja lain yang terpapar. Tan hanya bisa sedih memikirkan, bagaimana seorang rekan kerja yang selama ini memiliki integritas, juga terdampak dengan pembentukan mata rantai virus ini. Ia tak dapat berbuat atau membantu apa-apa, kecuali mengirimkan doa akan kesembuhannya, dan agar anggota keluarganya dapat terlindungi, yaitu ibu yang tinggal bersamanya yang tentu tidak lagi muda, anak yang masih belia, dan istri yang setiap hari bersama dalam masa isolasi mandirinya. Tan berharap, “compassion” terhadap dampak-dampak dari pembentukan mata rantai virus ini tumbuh sebagai social awareness di kalangan manusia.
Tan mengenang, bahwa angka-angka pencapaian yang diklaim sebagai keberhasilan yang bersifat administratif dan kuantitatif sering tidak seirama dengan kondisi-kondisi yang bersifat kualitatif. Tan menyaksikan, perayaan dan perhelatan terhadap perubahan yang bersifat kuantitatif sangat mewarnai kehidupan lingkungannya, dan bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia pun harus sependapat bahwa perayaan menjadi sebuah kewajiban dan satu-satunya bentuk integritas jika ia adalah seorang karyawan di sebuah institusi? Tan berdiskusi dengan hatinya sendiri mengenai berbagai kebuncahan yang menyergapnya (dalam kesendirian). Tan membuat catatan-catatan itu dalam folder pribadinya, menyimpannya sendiri, dan membacanya sendiri juga sambil mendengarkan guguran air hujan yang semakin deras pada suatu malam di akhir Desember ini.
Begitulah. Ia hanya seorang Tan. Ia hanya bisa menciptakan metafora tentang Desember dalam pikirannya sendiri. Jika pintu rumah memang harus ditutup karena malam telah tiba, bukankah esok pintu itu harus dibuka kembali dengan berharap ada perubahan dari gelap menjadi benderang? Jika sebuah buku selesai dibaca sampai bab terakhir, apa pelajaran yang diperoleh darinya? Jika kereta api telah berhenti pada stasiun terakhir, apa selanjutnya yang akan dilakukan penumpang begitu turun dari kereta? Jika ujian terbuka selesai dilalui, apakah ijazah dan gelar akademik hanya akan menjadi sebuah dokumen yang tersimpan rapi dalam map khusus? Jika ombak lepas di pantai, bukankah ia akan kembali lagi ke laut lepas untuk membentuk gelombang berikutnya?
Yogyakarta, 31 Desember 2020.