Sunday, July 18, 2021

Pada Suatu Malam Yang Lengang


--Rin Surtantini

 


In memoriam: Mas Daryanto

Sudah hampir tiga minggu saya terkunci di sebuah kota untuk sebuah kepentingan personal yang sangat berarti bagi saya, selain secara kebetulan pula, terjadi pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh pemerintah di seluruh wilayah pulau Jawa dan Bali. Karena dekat dengan Jakarta dan merupakan kota besar yang menjadi pintu gerbang ke wilayah lain, kota tempat saya terkunci ini pun tak luput dari kebijakan PPKM. New normal yang setahun lalu masih menjadi bayangan, kini dengan segera telah menjadi sebuah pilihan yang harus kita terima dan alami dengan melakukan berbagai adaptasi untuk tetap survive.

 Seorang teman tetangga saya di Yogya mengirim pesan singkat kepada saya, apakah kota tempat saya sekarang terkunci itu aman? Saya tertawa, dan menjawab, tidak ada tempat di manapun saat ini yang aman. Virus yang ganas itu ada di mana-mana, tidak peduli siapa saja, karena siapa pun memiliki potensi untuk dihampirinya. Yang harus kita jaga sekarang adalah ‘mobilitas’ dan ‘imunitas’. Teman tetangga ini adalah salah satu dari 37 orang yang sampai hari ini terpapar covid di kompleks rumah saya, satu di antaranya berpulang ke hadirat-Nya. Saya sampaikan rasa prihatin dan simpati saya, mengingat semakin ke sini, virus itu terasa semakin dekat dengan kita… Dalam pikiran saya, hampir setiap hari, di grup-grup Whatsapp yang saya ikuti, ada berita mengenai kepergian orang-orang yang dekat dengan kita, yang kita kenal, yang kita tahu, yang kita kasihi, dan sebagian besar kepergian mereka adalah karena virus yang mematikan ini. Sungguh mengiris hati!

Apa yang melintas dalam pikiran saya ini tiba-tiba muncul di grup Whatsapp widyaiswara pada hari Kamis dinihari, 8 Juli 2021 yang lalu. Jantung saya berdesir, dan doa saya panjatkan dalam kesunyian pagi itu, bagi kesembuhan mas Daryanto, yang sempat mengirimkan pesan singkat dan sebuah gambar yang kabur, yang menandai bahwa ia dan istrinya saat itu terpapar virus yang saya takuti itu. Empat hari kemudian, Senin selepas magrib, 12 Juli 2021, kembali berita mengenai mas Daryanto dikirimkan di grup Whatsapp widyaiswara. Kondisi mas Daryanto yang tidak lebih baik, muncul dari berita itu, diiringi doa teman-teman yang mengalir … dan mendapat respon dari akun mas Daryanto, “Trimakasih doanya.” Ada teman yang mengomentari dengan senang, “Syukur mbah Argo isa WA-nan…”  Seandainya memang itu respon dari mas Daryanto, saya pun ikut bersukahati, berharap mas Daryanto dapat segera pulih dan keluar dari rumah sakit.

Malam itu selepas membaca berita terakhir mengenai kondisi mas Daryanto, saya pun mengenangnya. Ia saya kenal ketika pertama kali saya masuk di kantor yang sama, tahun 1992. Mas Daryanto sudah lebih dulu masuk, mungkin satu atau dua tahun sebelum saya. Hampir tiga puluh tahun bersama di kantor ini, jatuh bangun, in our good and bad times, up and down, semua tentu terekam dalam catatan milik Tuhan yang tak terbatas. Tetapi malam itu, yang saya ingat, yang selalu ada dan terekam dalam keterbatasan pikiran saya adalah mas Daryanto pada tahun-tahun 1990an, ketika ia sering menjadi pembaca Pembukaan UUD 1945 pada kesempatan upacara bendera setiap tanggal 17 pada setiap bulan. Pada masa-masa itu, saya sangat suka jika pembacanya adalah mas Daryanto. Saya suka dengan caranya membaca, dengan kualitas suaranya yang menggelegar, menghayati, jelas, dengan artikulasi dan intonasi yang menggugah, dan dengan penuh gelora semangat dalam melantunkan setiap kata dan kalimat pada teks Pembukaan UUD 1945. Menurut saya, ia membacanya dengan hati! Ia mampu mengalirkan semangat dari makna dan isi teks itu kepada yang hadir pada upacara bendera tersebut.

Saya pun terlelap dalam ingatan terbayang itu. Dan seketika, denting Whatsapp yang muncul dari grup widyaiswara kurang lebih lima jam kemudian, pukul 23.26 WIB, membangunkan saya, dan menggedor-gedor hati saya. Seorang teman dari Studio Tari mengabarkan sebuah kepastian ini: mas Daryanto telah pergi meninggalkan kita semua sebagai teman-temannya di korps widyaiswara….. Ia pergi pada pukul 20.42 WIB, dua jam setelah ada respon dari akunnya di grup terhadap aliran doa dari teman-teman. Pada malam kepergian almarhum itu, kembali saya mengingatkan diri saya sendiri, bahwa betapa virus itu semakin dekat dengan kita, karena ia sekarang menghampiri orang-orang yang kita kenal, kita tahu, dan kita kasihi….

Satu lagi malam yang lengang terlewati dengan kedukaan: Senin malam, 12 Juli 2021.

Mas Daryanto telah menyelesaikan perjalananannya dengan segala irama dan gelombang kehidupan dunia yang tiada kekal. Untuk itu, saya bisikkan pada sukmanya, beristirahatlah dalam tenang dan keabadian yang membahagiakan, mas Daryanto!

 

Bandar Lampung, 18 Juli 2021.

 

 

Thursday, July 15, 2021

Refleksi Diri: My Last Sharing-Experience

 ---Irene Nusanti


Hadiah ulang tahun dari saya utk teman2 semua...

Sesaat sebelum lepas landas dari landasan pacu seni dan budaya, ijinkan saya untuk membagi pengalaman up and  down selama bekerja, dikemas dalam sajian berikut.

Refleksi 1:

Angkringan 'Blind Spot"

Refleksi 2:

A Blind Spot