Friday, April 30, 2021

Metafora Kursi

 

--Rin Surtantini


Sudah setahun lebih ini ritme bekerja di kantor atau di rumah terbentuk secara alami atas kondisi yang muncul karena pandemi. Barangkali ini yang tahun lalu dikatakan sebagai terbentuknya kenormalan baru. Barangkali pola-pola kebiasaan baru yang muncul sebagai ritme dalam berpikir, berlaku, bersikap, atau berkata adalah bentuk-bentuk kenormalan baru. Ada ritme yang masih sama untuk dipertahankan dengan kondisi sebelum pandemi, ada juga yang ditinggalkan, ada yang disesuaikan. Entah juga. Jika hidup adalah sebuah pertunjukan, maka
the show must go on.


***

Webinar muncul sebagai contoh sebuah penyesuaian pada masa pandemi. Penyesuaian ini bahkan menunjukkan bahwa ia menjadi perhelatan yang dipilih banyak orang dari berbagai bidang, kalangan, maupun berbagai topik (Baca kembali tulisan tentang perhelatan webinar pada bulan Juni tahun lalu melalui link https://www.vidyasana.com/2020/06/perhelatan-webinar.html). Berjalannya waktu bahkan pernah membentuk gelombang euforia terhadap perhelatan webinar, baik bagi penyelenggara, penyaji, maupun pesertanya. Banyak topik menjadi hal baik untuk didiskusikan dan dibagi secara luas dan terbuka. Semakin ke sini, gelombang euforia ini mulai menunjukkan kenormalan baru. Ia tak lagi sesuatu yang sangat istimewa. Masyarakat pun mulai selektif terhadap konten yang disajikan dalam berbagai perhelatan webinar ini.

Kemarin jadwal saya WfH. Beberapa hari sebelumnya saya telah mendaftar sebuah kelas menulis berbayar secara online, tanpa sertifikat. Jadi karena kelas ini dimulai pukul 15 sampai pukul 17, maka itu tidak menjadi masalah bagi saya karena itu hari WfH saya. Lagipula, itu menjadi kegiatan yang menyenangkan, karena waktu untuk menunggu berbuka puasa menjadi pendek. Alasan lain mengapa saya mau ikut kelas itu adalah karena kontennya tentang menulis, dan yang berbagi ilmu adalah Joko Pinurbo, penulis yang puisi-puisinya memiliki gaya dan warna yang khas, bersifat naratif, ironis, tetapi juga humoris. Ia cakap dalam mengolah citraan dan menggunakan objek serta peristiwa sehari-hari dengan bahasa yang tajam tetapi juga cair. Melalui tulisan-tulisannya yang berbentuk puisi, ia melakukan refleksi, perenungan, yang dipicu oleh absurditas keseharian yang ada di sekitar kita. Ia mempermainkan dan mengolah kata-kata dalam bahasa Indonesia secara sederhana tetapi memiliki visi dan perspektif yang kuat terhadap tema atau pesan yang ingin disampaikannya.

Banyak yang dibagi olehnya melalui kelas menulis itu, dan salah satu dari sekian hal yang menarik, adalah ketika ia berbicara mengenai objek “kursi” sebagai citraan atau metafora. Semua yang ada di sekitar kita dapat bermetafora. Apa yang ada dalam benak kita terhadap kata “kursi”? Secara fisik, kursi adalah sebuah tempat untuk kita duduk. Duduk itu sendiri mengistirahatkan tubuh kita dari posisi berdiri, dari kegiatan berjalan, dari rasa lelah, dari rasa sakit, atau dari rasa bosan, dari keinginan untuk bersantai, dan berbagai kebutuhan tubuh lainnya. Maka desain kursi pun sangat beraneka ragam untuk memenuhi segala kebutuhan manusia, termasuk bahan dan teknologi dalam mengkreasi kursi itu sendiri.

Jika orang sudah lama duduk di kursi, dan kursi itu cocok baginya, sesuai dengan yang ia butuhkan atau inginkan, maka dirasakannya kursi itu menjadi enak dan nyaman. Sambil membaca, minum kopi, mendengarkan musik, menonton pertunjukan, ngobrol, memeramkan mata, berkhayal, bermimpi, ah nikmatnya……, dunia dan kehidupan adalah enak dan nyaman dirasa. Malas atau enggan rasanya untuk beranjak dan bangkit, atau berpindah, kecuali ada kursi yang jauh lebih nyaman untuk menikmati dunia dan kehidupan ini. Itulah kursi, objek fisik yang difungsikan oleh manusia untuk kebutuhannya.

Metafora apa yang dimunculkan sebagai citraan terhadap “kursi”? Ini menarik dan kita semua mengalami, merasakan, atau menyaksikan dalam keseharian kita. Jabatan, kedudukan, posisi, adalah citraan dari “kursi”. Perhatikan, adakah kenyamanan, kesenangan, kenikmatan, euforia, prestise, kehormatan tinggi, peningkatan derajad, gengsi, dan status sosial, kesejahteraan, privilege, kewenangan mutlak di sana, sehingga kursi adalah tempat yang melenakan? Segala citraan kursi, ternyata sulit untuk tidak dinikmati dalam lupa!

 Yogyakarta, 30 April 2021. 

Monday, April 19, 2021

Rasa dan Hati

 

---Kartiman


Seni dan berkesenian merupakan dua kata yang saling mendukung dan menguatkan. Seni merupakan media ekspresi jiwa manusia, dan berkesenian merupakan salah satu ekspresi proses kebudayaan manusia. Melalui ekspresi tubuh, manusia akan menampilkan kehendak hatinya. Pikiran, rasa, energi disatukan sebagai dasar untuk melakukan aktivitas sesuai hasrat berkeseniannya.

Berkesenian sama dengan berpakaian, artinya tidak hanya memikirkan fungsinya sebagai penutup badan saja, melainkan harus juga memikirkan mode yang sesuai dengan bentuk tubuh atau mode yang baru trend yang banyak bermunculan di masyarakat, sehingga bisa menyatu dan tidak ketinggalan. Bahkan tidak sedikit yang lebih mengedepankan trend daripada fungsinya. Begitu juga dalam seni “berkesenian” tidak hanya berbicara pada satu aspek saja, melainkan aspek lain sebagai penyedap rasa harus dipikirkan dan ditampilkan.

Perpaduan antara beberapa aspek dalam berkarya akan semakin mendekatkan hasil karya dengan masyarakat penikmatnya. Ekspresi seni sebagai perwujudan jiwa manusia dapat dijadikan salah satu ekspresi proses kebudayaan yang berkaitan erat dengan pandangan masyarakat dimana ia hidup dan berkehidupan. Keberagaman kehidupan masyarakat sebagai individu atau kelompok akan memunculkan rasa yang berbeda terhadap suatu karya seni.

Rasa adalah milik pribadi yang secara sadar atau tidak sadar sebagai bagian dari identitas atau kebutuhan yang tersembunyi. Kehadiran rasa akan mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Dalam kehidupan sangat mungkin terjadi kesatuan rasa, atau perbedaan rasa. Begitu juga dalam menghayati suatu karya seni. Penikmat satu dengan lainnya sangat mungkin terjadi perbedaan rasa terhadap satu obyek “karya seni”. Rasa dan hati merupakan saudara kembar yang saling membutuhkan. Masyarakat Jawa sering mengatakan bahwa “rasa gumantung ono sajroning ati”. Dari hati akan muncul banyak rasa, dari hati akan muncul rasa cinta, rasa sayang, rasa benci, rasa ingin memiliki dan sebagainya. Ibarat kembang gula, hatilah yang membuat rasa menjadi “nano-nano”.