Monday, April 4, 2022

Berbasis Data: Antara Fakta dan Data?

--Rin Surtantini

 


Sebuah kesadaran

Mengikuti sebuah ToT mengenai isu profil pendidikan selama tiga hari baru-baru ini, membuat saya sedikit terpancing untuk “berpikir”. Sudah sering saya dengan kesadaran penuh tidak tertarik atau meminta ijin mundur dari kegiatan-kegiatan yang secara keyakinan atau prinsip bagi saya adalah kegiatan yang akan membuat saya tertekan, gelisah, merasa menjadi sangat bodoh, menjadi tidak logis, tidak punya dasar atau pegangan, bingung, kuatir, tidak mampu, malu, dan jenis-jenis perasaan negatif lain yang tidak produktif semacam ini. Dengan memutuskan tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan semacam itu, saya justru sering merasakan bahwa perasaan negatif tidak menyerang hati kecil saya, dan saya jadi bisa fokus kepada hal-hal yang menggembirakan diri karena itu berdampak baik bagi mereka yang membutuhkan.

 Kali ini atas dasar surat tugas, dan atas rasa ingin tahu yang muncul karena tidak paham, saya dengan senang hati mengikuti ToT tentang profil pendidikan tersebut. Saya sadar bahwa saya tidak bisa fokus ketika mengikutinya, karena pada saat yang sama saya juga sedang bekerja tentang hal lain secara online, independen, harus fokus, dan mendekati deadline. Saya sadar ini tidak baik: melakukan kegiatan online yang berkaitan dengan nasib orang lain seraya “menyambi” dengan kegiatan yang menyangkut kualitas diri saya sendiri. Tapi hal tidak baik ini tetap saya lakukan juga, dan akibatnya, saya tidak paham sepenuhnya dengan materi ToT yang saya terima….

***

Memahami apa itu data vs. fakta

Rasa ketidakpahaman saya itu memicu saya untuk “berpikir”. Mungkin ini baik bagi saya untuk memahamkan diri sendiri mengenai apapun hal yang dikatakan berbasis data. Kata berbasis “data” itu sendiri justru mengingatkan saya mengenai pemahaman saya tentang apa itu “data” ketika saya sekolah dulu. Data ada yang berjenis kualitatif, ada yang berjenis kuantitatif. Itulah sebabnya ada penelitian kualitatif, dan ada penelitian kuantitatif, sehingga metode atau cara pengumpulan datanya akan berbeda. Demikian pula analisis data dari kedua jenis data ini juga berbeda, sebelum akhirnya dimunculkan kesimpulan dari kedua penelitian tersebut.

Kita sering sulit untuk dapat membedakan antara apa itu “data” dengan apa itu fakta”. Fakta adalah pernyataan tentang sebuah realita, atau tentang sebuah kenyataan. Orang yang menceriterakan suatu kejadian adalah orang yang sedang mengemukakan fakta-fakta, yaitu pernyataan-pernyataan dari dirinya tentang suatu kenyataan atau realita. Misalkan, ada sebuah institusi meraih sertifikat wilayah bebas korupsi, itu adalah sebuah kenyataan. Prestasi ini kemudian dibicarakan oleh banyak orang. Coba perhatikan: pernyataan tentang kenyataan yang sama ini, yaitu peraihan sertifikat wilayah bebas korupsi, dikemukakan atau dihasilkan oleh setiap orang lewat sudut pandangnya masing-masing. Kenyataannya sama, tetapi komentar, pernyataan, ulasan, atau berita yang dihasilkan mengenai fakta yang sama ini sifatnya subyektif“, karena sebuah kenyataan atau realita yang sama dapat saja dikemukakan dengan cara-cara yang berbeda. Dalam konteks ini, wacana yang dihasilkan oleh setiap orang yang memberitakan peraihan sertifikat wilayah bebas korupsi ini tidak akan pernah bisa persis sama. A mengemukakan begitu, B menyatakan begini, dan C mengemukakan begitu dan begini.

Di sisi lain, benarkah “fakta” itu hanya bersifat subyektif? Tentu tidak. Fakta juga dapat disebut “obyektif” ketika pernyataan tentang fakta ini didasarkan pada kenyataan atau realita tertentu. Jika ada pernyataan yang tidak didasarkan pada suatu realita atau kenyataan, maka pernyataan tersebut lemah dan tidak dapat dikatakan sebagai fakta. Pernyataan lemah dan bukan fakta semacam inilah yang kita sebut sebagai sebuah kebohongan, karangan, isapan jempol, hasil imajinasi, khayalan, atau dapat juga sebuah fitnah. Semua pernyataan manusia, baik itu verbal yang bersifat lisan maupun tulis, merupakan tindak tutur. Tindak tutur adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam berkomunikasi menggunakan bahasa verbal. Tindak tutur ini terdiri dari tiga aspek, yaitu perangkat kebahasaan yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, tindakan atau makna yang terdapat di balik perangkat kebahasaan tersebut, dan hasil atau efek dari pernyataan tersebut. Menarik untuk diselidiki ketika seseorang bertindak tutur. Akan diketahui bagaimana ia menyatakan suatu isu secara verbal, apa makna di balik pernyataan tersebut, dan apa efek, hasil, atau pengaruh dari pernyataannya tersebut. Namun, tulisan saya ini tidak akan membahas hal ini.

Kembali ke “data” dan “fakta”. “Fakta” dari uraian di atas dapat dikatakan bersifat subyektif dan sekaligus juga obyektif. Sehubungan dengan ini, pertanyaannya adalah, apakah “fakta” itu adalah “data”? Fakta dapat menjadi data, akan tetapi ingat bahwa “tidak semua fakta dapat menjadi data”. Mengapa? Karena data adalah fakta-fakta yang relevan, yang secara logis berkaitan dengan masalah yang dipersoalkan untuk dijawab. Jadi data harus merupakan fakta-fakta yang telah dipilih atau diseleksi berdasarkan azas relevansi terhadap persoalan atau masalah yang ingin dijawab atau ditemukan solusinya.

 #Tribute saya untuk Prof. Heddy Shri-Ahimsa Putra, guru saya di Fakultas Ilmu Budaya UGM untuk pemberian pemahaman yang kuat mengenai isu “fakta” dan “data” dalam melakukan penelitian.

 

***

 Isu mengenai kegiatan berbasis data

Maka, ketika minggu lalu saya mengikuti ToT penjaminan mutu melalui perencanaan berbasis data, yang berkaitan dengan rapor sekolah dan profil pendidikan, saya merasa bahwa sebagai peserta ToT, saya tidak dapat menjelaskan esensi dari apa yang dimaksud dengan “berbasis data”. Apa yang dimaksud dengan “data” dalam hal ini? Data yang bagaimanakah yang diperoleh dari instrumen pengumpulan data (yang tentunya ada)? Bagaimanakah bentuk instrumennya sehingga kita tahu komponen atau aspek-aspek apa sajakah yang dipakai sebagai alat ukur dalam pemetaan mutu sekolah? Jika dikatakan bahwa data diperoleh dari sekian sumber data yang sangat luas, bagaimanakah pengelolaan data ini pada saat analisisnya, sehingga satuan pendidikan harus menerima saja hasilnya berupa rapor satuan pendidikan?

Dikatakan, bahwa rapor sekolah dan profil pendidikan tersebut valid digunakan sebagai bahan untuk perencanaan karena telah melalui proses simulasi, uji coba, disusun oleh berbagai pakar pendidikan, dan dihasilkan dari pelaksanaan Asesmen Nasional yang sangat masif dan melibatkan seluruh elemen pendidikan yang ada, seperti sekian ratus ribu sekolah, sekian juta guru, dan sekian juta siswa. Asesmen Nasional adalah evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk pemetaan mutu sistem pendidikan pada satuan tingkatan pendidikan dasar dan menengah. Evaluasi tersebut menggunakan instrumen AKM (asesmen kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar).

Sekolah, dalam hal ini, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima “data-data” pada rapor sekolahnya, dan tak punya ruang untuk menyanggah, apapun itu, meskipun ingin sekali menyanggah. Di sini saya berpikir, jangan-jangan ketika sekolah sebetulnya menolak “data-data” yang ditampilkan pada rapor sekolahnya, inilah makna dari bedanya “data” dengan “fakta” yang saya tulis di atas. Misalkan, faktanya benar, bahwa guru menjawab “tidak terlibat” ketika ada indikator pada instrumen yang menanyakan apakah ia terlibat dalam kegiatan tertentu, maka itu akan berpengaruh terhadap nilai pada item tersebut. Sementara, fakta lain yang terjadi di sekolah tersebut adalah bahwa sesungguhnya banyak guru yang terlibat pada kegiatan yang ditanyakan di instrumen, tetapi guru-guru tersebut kebetulan tidak mengisi instrumen. Dan sekian contoh lain mengenai makna “data” dan “fakta” ini, yang secara tidak langsung diungkapkan oleh penerima rapor sekolah tersebut.

Dari sisi peserta ToT seperti saya, yah… kita sebagai peserta ToT pun hanya menelaah rapor sekolah yang “given” tersebut. Peserta ToT ini (katanya) nanti diproyeksikan akan membantu dan mendampingi sekolah dalam merencanakan perbaikan mutu sekolah berdasarkan data rapor sekolah tersebut. Selanjutnya, pendamping membantu sekolah mengidentifikasi akar masalah, memberikan alternatif solusi, memilih alternatif solusi, dan menyusun perencanaan kegiatan peningkatan mutu sekolah. Sementara berdasarkan simulasi yang dilakukan pada ToT untuk kegiatan pendampingan ini, saya (pribadi) merasa sangat sulit dalam membaca “data-data” pada rapor sekolah… dan saya juga menemukan bahwa data tertentu pada rapor tersebut tidak sinkron dengan data lainnya yang berkaitan.

Oh, my God. Apa yang terjadi sesungguhnya pada perencanaan berbasis data ini? Saya berusaha memahamkan diri, bersama beberapa teman sesama peserta. Untuk tidak menyalahkan siapa-siapa, saya hanya dapat mengatakan pada diri saya sendiri, bahwa saya sadar saya telah melakukan kesalahan, yaitu tidak fokus mengikuti ToT karena saya “menyambi” dengan pekerjaan online, yaitu menilai essay yang menuntut saya untuk berkonsentrasi penuh. Akibatnya, saya menjadi tidak paham sama sekali esensi dari ToT ini, karena saya telah mendua dan bercabang!

 

Yogyakarta, 3 April 2022.

(Renungan personal pada awal Ramadhan)

Sunday, January 30, 2022

ENTERTAINER SEJATI ITU TELAH PERGI


 ---F. Dhanang Guritno

 

Mengenang 40 hari  Mas Kari Hartaya dipanggil Tuhan

  

Bertahun-tahun bergulat dengan penyakit diabetes, dua tahun yang lalu terkena serangan stroke, dan akhirnya perjalanan hidup di dunia ini harus berakhir di ujung tahun 2021.

 24 Desember 2021 pagi saat aku bangun tidur kubuka ponsel, betapa terkejutnya aku ketika berbagai grup WhatsApp mengabarkan berita duka meninggalnya saudara, teman, dan sahabat tercinta Mas Kari Hartaya. Sekitar pukul 2.30an dini hari ternyata sebenarnya HPku beberapa kali berdering saat kerabat berusaha menghubungiku untuk mengabarkan berita itu. Namun karena tertidur lelap sedari sekitar pukul 24.00 aku tidak mendengarnya. Setelah bangun barulah aku tersadar bahwa Mas Kari telah dipanggil Tuhan.  Antara percaya dan tidak, hari kemarin masih beraktifitas seperti biasa masuk kantor dan sore hingga malam latihan mempersiapkan misa Natal. Memang penyakit diabetes itu sudah disandangnya bertahun-tahun, dan dua tahun yang lalu terserang stroke. Tapi kondisi terakhir itu sepertinya tidak sedang drop.

Saat itu pikiranku langsung mengingat-ingat hari-hari akhir bersamanya. Sepertinya waktu itu tidak ada hal yang aneh pada dirinya. Kuingat betul sehari sebelumnya kami masih makan siang bersama di sebuah warung daerah Gentan Jalan Kaliurang beliau nampak biasa-biasa saja, hanya saat itu sebenarnya aku agak sedikit heran dengan tingkahnya. Ketika aku belum selesai minum dia sudah mengajak cepat-cepat pergi dari situ seperti orang terburu-buru sambil berbicara dalam bahasa jawa “aku saiki ngapa-ngapa ora jenak (Aku sekarang apa-apa selalu tidak betah).  

Saya ingat juga ketika awal Desember ikut kegiatan pemberdayaan SDM BBPPMPV Senbud ke Bandung, ternyata ada sedikit hal yang aneh darinya. Dengan semangat dia tampak antusias mengikuti kegiatan itu. Ketika perjalanan pulang rombongan berhenti di toko oleh-oleh, dengan semangat pula dia memborong oleh-oleh. Aneka makanan banyak dibelinya. Antri berjubel membeli peuyem dilakukannya. Padahal setahuku hal-hal sepeti itu dulu tidak begitu suka melakukan. Namun apakah itu suatu firasat atau bukan hingga saat ini akupun tidak pernah tahu.

 Mas Kari dari sudut pandangku…

Terlahir 56 tahun yang lalu, kami mempunyai banyak kesamaan. Kami sama-sama lahir pada tahun 1965, hanya berbeda bulan.  Tinggal di kota yang sama Bantul. Masih ada hubungan keluarga (ayah beliau adalah kakak dari ibuku), dalam bahasa Jawa sering disebut nak-sanak, tunggal simbah, atau sepupu. Menurut cerita orang tuaku dulu, ayahnya memberi nama Kari karena saat itu Presiden Soekarno sedang giat mencanangkan gerakan hidup “Berdikari” singkatan dari “berdiri di atas kaki sendiri”.

Dengan beberapa kesamaan kami tumbuh dari kecil dengan melalui berbagai jalan hidup. Kami berminat pada hal yang sama, yakni bermain musik. Kebetulan keluarga besar kami mulai dari simbah, pakde-pakde, om-om sebagaian besar mempunyai  hoby bermain musik. Sampai pada akhirnya di tahun 1983/1984 kami menempuh kuliah pada jurusan yang sama yakni Pendidikan Seni  Musik IKIP Yogyakarta.

Liku-liku perjalanan menekuni dunia musik banyak kami lalui bersama. Mulai dari bermain band keluarga, band teman-teman sebaya, keroncong dan musik-musik gereja. Kami sering berdiskusi tentang berbagai hal yang berhubungan dengan musik dan kondisi kehidupan kami yang bukan berasal dari keluarga berada. Berdiskusi bagaimana kita bisa mencari penghasilan dari bermain musik. Masih kuingat betul kami selalu membicarakan bagaimana kita berupaya untuk dapat mencari uang dari bermain musik pada saat kita kuliah dulu.

Penjuangan mengabdikan diri pada dunia musik

Di tahun 1984 - 1990an, pada saat kuliah, kami mencari celah-celah pekerjaan free lance dengan menjadi pemain musik untuk rekaman. Diantaranya kami mencoba bekerja sama dengan TVRI lokal Jogja dan dengan Komisi Sosial Keuskupan Agung Semarang yang berada di Gereja Katolik Bintaran waktu itu yang memproduksi lagu-lagu rohani.

Di TVRI stasiun Yogyakarta kami berjuang merintis menjadi pengisi acara dan menjadi musisi pengiring penyanyi pada beberapa acara. Yang masih kuingat acara yang pernah kami iringi antara lain progam hiburan musik: Hiburan Senja, Visirama, Lagu Pop Daerah dan lain-lain. Sedangkan di KOMSOS kami mengerjakan iringan musik lagu-lagu rohani yang diproduksi secara komersial dalam bentuk pita kaset. Kerja keras yang kami lakukan bersama mas Kari pada waktu itu sedikit membawa hasil. Setidaknya kami tidak terlalu bergantung pada orang tua untuk sekedar uang jajan dan membeli BBM.

Seiiring berjalannya waktu sekitar tahun 1989 mas Kari mencoba terobosan baru yakni bermain live music di café/restaurant dan bar hotel. Suatu hal yang sebenarnya sangat asing bagi kami. Biasanya kami melakukan rekaman di studio, kali ini mencoba peruntungan untuk menjadi seorang Entertainer  untuk menghibur para pengunjung cafe. Pada saat itu di Jogja memang sedang marak berbagai café dan restauran serta bar di hotel yang dilengkapi dengan live music. Berbagai café, restaurant dan bar di hotel-hotel saat itu seperti wajib memiliki hiburan music secara live. Berbagai tempat itu menyajikan berbagai format musik yang berbeda-beda. Jika besar seperti hotel-hotel menampilkan band, namun jika kecil untuk menghemat berbagai hal maka ditampilkan elekton dengan singer, atau yang sekarang biasa disebut organ tunggal.

Berawal dari situlah dia sukses menjalani profesi barunya. Jadwal bermainnya sebagai pemain keyboard/solo piano maupun bermain dalam band setiap malam hampir seluruh café, hotel restaurant di Jogja ini, ada. Sebagai orang yang dekat dengan beliau akhirnya aku pun dengan segala kekuranganku belajar mengikuti jejaknya. Dan pada tahun-tahun 1990an aku melakoni hal yang sama. Tentu jika aku tidak dekat secara personal hal itu tidak akan terjadi. Berbagai motivasi dan dorongan dia lakukan dengan memberikan  materi-materi bermain musik, repertoar lagu yang belum kukenal, dia dengan sabar mengajariku. Berbagai hal dilakukan dengan tak jemu-jemunya membujukku terus untuk mau mengikuti jejaknya. Barangkali tanpa peran serta yang luar biasa darinya aku tak akan bisa melakukannya.

Mas Kari adalah seorang  Entertainer sejati. Dia telah sukses melakukan pekerjaannya menghibur orang melalui permainan musiknya. Dia begitu sukses mengiringi orang menyanyi dari berbagai macam kalangan. Mulai dari orang awam, penyanyi lokal hingga artis papan atas merasa nyaman ketika menyanyi diiringi permainan musiknya. Bahkan dia pun menjadi penghibur teman-teman dalam satu panggung ketika ada yang tidak siap mengiringi suatu lagu. Dengan segenap kemampuannya dia bisa menggerakkan timnya untuk sukses menjalani pekerjaannya bermain musik. Sungguh Leadership yang luar biasa.

 


Perjalanan kami sebagai pemain musik tidak hanya berhenti dari café ke café, bar ke bar, hotel ke hotel sebagai pemain musik reguler(terjadwal). Kami berjuang juga sebagai pemain musik by order pada berbagai event. Artinya kami menjadi pengisi acara pada event tertentu misalnya Wedding party, gathering perusahaan dan lain-lain.

Ketika berbagai event di Yogyakarta sekitar tahun 2000 banyak diisi pertunjukan keyboard tunggal atau band, saat itu mas Kari mempunyai ide yang cukup brilliant. Dia mengajak aku dan beberapa teman mencoba terobosan baru yang berbeda yakni format ansambel. Ansambel dan mini orchestra yang melibatkan juga musisi akademis (bukan otodidak). Mulailah kami membentuk “Java Ansambel” Format ini berbeda dengan grup lain, yakni memasukkan unsur orkestra. Ternyata format ini banyak diminati klien untuk pengisi acaranya seperti pesta pernikahan. Dan hingga saat ini masih eksis, dan pada hari-hari terkhirnyapun Mas Kari masih sibuk mempersiapkan job wedding yang sedianya dilakukan tanggal 1 Januari 2022. 

Di luar bermain musik saat mengajar berbagai macam diklat dan bergaul dengan orang, dia juga sukses menjadi entertainer/penghibur yang sejati. Hampir semua orang yang mengenal dia secara personal selalu mengatakan dia adalah orang yang supel, sumeh, dan menghargai orang lain dalam setiap pembicaraan. Pada berbagai kegiatan pembelajaran mas Kari selalu tampil mengajar dengan sabar, telaten bukan sekedar memberikan ilmu, namun juga selalu membuat kelas menjadi hidup dan setiap peserta merasa mendapatkan sesuatu yang baru dan menghibur. Itulah makanya dalam tulisan ini saya sebut dia adalah entertainer atau penghibur sejati.

 

Demikian sekilas perjalanan kebersamaan kami bermusik dengan almarhum Mas Kari. Apapun yang telah beliau lakukan adalah sesuatu yang terbaik bagi kehidupannya dan membawa berkah bagi orang lain. Hingga saat ini saya mempunyai kesimpulan dia adalah orang yang konsisten pada pengabdian hidup yang telah dipilihnya yakni musik. Tanpa peran serta beliau, mungkin saya tidak akan bergulat juga dalam bidang musik ini. Dialah saudara, teman, sahabat dan guru terbaikku. Dia sangat berjasa bagi perjalanan panjang hidup dan kehidupanku.

“Selamat jalan Mas Kari, berbahagaialah dan bermusiklah dengan para kudus di Surga…..Amin”.

 



Tuesday, January 4, 2022

Pada Jumat Siang yang Hangat: Tentang dan Bersama Seorang Rekan Sejawat

---Rin Surtantini



Siang itu, Jumat hari terakhir perjalanan panjang pada tahun 2021, diadakan a farewell party untuk dua rekan sejawat di lingkungan korps widyaiswara BBPPMPV Seni dan Budaya. Pertemuan serupa ini bukanlah yang pertama, karena ini merupakan sebuah acara kekeluargaan yang diwariskan dari masa ke masa pada ruang bersama para widyaiswara sejak angkatan pertama tahun 1992, dengan nuansa yang bervariasi, yang sampai saat ini dan hendaknya di masa depan akan selalu dipelihara sebagai bagian dari life lessons yang mengajak kita semua memiliki catatan terhadap nilai-nilai baik dari orang lain atau dari para pendahulu kita. Seiring menggelindingnya waktu, satu persatu para senior, pendahulu, memasuki akhir masa baktinya sebagai widyaiswara. Maka pada tanggal 31 Desember siang itupun, a farewell party bagi dua rekan sejawat, mbak Irene Nusanti dan mbak Wiwin Suhastari, diselenggarakan secara sederhana dan hangat di Warung Pak Lanjar di Bantaran Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman.

Seperti yang diungkapkan oleh Mas Aristono sebagai pembawa acara, di sela-sela waktu yang mengikat para widyaiswara ini dengan aktivitas yang luar biasa pada paruh akhir tahun 2021, the farewell party bagi kedua rekan sejawat ini dipersiapkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Artinya, jika terdapat hal-hal yang kurang pas di sana-sini, itu diharapkan menjadi sebuah “permakluman” dari semua yang hadir saat itu. Yang perlu dicatat adalah bahwa ini bukanlah acara kelembagaan yang dilakukan secara formal, melainkan sebuah acara kekeluargaan yang turun temurun di lingkungan widyaiswara, dalam suasana relaxed, hangat, akrab, cair, menyatu, tiada batas yang memagari setiap yang hadir secara hierarkis. Acara itu adalah dari kita, untuk kita, dan oleh kita.

Yang secara mendadak menjadi gagasan beberapa teman widyaiswara pada pagi itu adalah kita sebaiknya juga mengundang tiga senior widyaiswara yang tahun 2020 memasuki masa purna baktinya tetapi tidak dapat dilakukan farewell party bagi ketiganya seperti biasanya karena pandemi yang datang tak terduga, meskipun acara untuk itu telah dipersiapkan secara matang pada saat itu di Warung Pak Lanjar juga. Pandemi yang berkepanjangan menjadikan acara bagi ketiganya tertunda setahun kemudian, awal 2021, tetapi dilakukan di auditorium kantor secara terbatas, separuh luring dan separuh lainnya daring. Maka, ketiga senior ini, mas Bambang Setyacipta, mbak Tri Suerni, dan pak Sri Karyono pun diundang untuk datang, bergabung dengan farewell party bagi mbak Irene Nusanti dan mbak Wiwin Suhastari.

Secara intensional, pada acara itu, melalui pesan mbak Digna Sjamsiar sebelumnya, saya diminta untuk mewakili teman-teman widyaiswara menyampaikan impresi tentang mbak Irene, berbagi dengan mbak Sumiyarsih yang menyampaikan impresi tentang mbak Wiwin. Ini hanya salah satu acara dari sekian rangkaian acara yang diurai oleh mas Aristono siang itu. Saya tidak bisa dan tidak biasa untuk menyampaikan pesan tanpa harus saya tuliskan terlebih dahulu. Ya, saya harus menuliskan apa-apa yang ingin saya sampaikan, karena kelemahan saya adalah bahwa saya selalu dilanda kekuatiran jika penyampaian saya tidak tertata secara logis, terstruktur, dan memberikan makna. Menurut kekuatiran saya ini, kasihan nanti pendengarnya jika hal-hal yang tertata ini tidak saya lakukan ketika saya berbicara …….

Tulisan ini adalah impresi yang saya sampaikan pada saat itu, yang perlu saya bagikan.

***

Saya yakin, setiap teman widyaiswara yang mengenal dan pernah bersama-sama, bekerja bersama, bergaul, dan berkomunikasi dengan mbak Irene Nusanti tentu akan memiliki kenangan maupun impresinya masing-masing, baik yang bersifat personal maupun publik. Hal ini terjadi dalam diri saya sendiri, yang dipertemukan pertama kali dengannya pada bulan Agustus 1992, kira-kira 29 tahun silam, di ruang laboratorium bahasa, gedung multimedia di kampus kita. Bagi kami berdua, tentu itu bukanlah waktu yang singkat dalam nilai sebuah persahabatan maupun teman sejawat, karena sejak saat itu kami berdua menjalin persahabatan dan persaudaraan yang sungguh bermakna secara personal. Akan tetapi, karena kali ini saya dimintai untuk mewakili teman-teman widyaiswara dari berbagai expertise dalam memberikan kesan dan pesan, maka saya akan berupaya untuk mengungkapkan ini secara lebih general, dan semoga semua teman sepakat dengan apa yang akan saya sampaikan, meskipun ini tetap tak bisa lepas dari pengalaman pribadi dan persepsi saya. (Perlu saya sampaikan, bahwa bidang Pengajaran Umum sendiri sudah mengadakan a particular farewell party pada bulan Agustus 2021 lalu untuk kedua teman sejawat ini yang kebetulan tergabung dalam unit yang sama).


Mbak Irene Nusanti adalah widyaiswara angkatan pertama di tempat kita yang terakhir memasuki masa purna tugasnya. Mengapa? Itu karena mbak Irene adalah yang termuda di antara para widyaiswara angkatan pertama tahun 1992, yang merupakan senior-senior yang membangun lembaga kita ketika masih berlokasi di Alun-Alun Kidul, Yogyakarta. Diangkat pertama kali sebagai PNS dengan status guru di SMKI Yogyakarta, kalau tidak salah tahun 1986, tetapi ditempatkan di PPPG Kesenian, mbak Irene kemudian menempuh pendidikan S2 dalam bidang interdisciplinary studies di University of Idaho, USA pada tahun 1987 sampai dengan 1989. Mbak Irene adalah satu di antara sekian orang yang membabat alas lembaga kita ini, termasuk salah satunya adalah bersama pak Sardi, mantan kepala pusat kita yang purna tugas tahun 2014 lalu. Dengan masa kerja yang cukup lama, kurang lebih 35 tahun, tentu mbak Irene dapat menjadi narasumber bagi kita para junior-nya dalam menyaksikan dan mengalami ups and downs yang terjadi di lembaga kita, baik itu secara kelembagaan maupun secara human to human interaction, sejak lembaga ini masih sebagai projek sebelumnya, juga sejak diresmikan sebagai UPT pada tahun 1992 dengan kepala pusat yang pertama (almarhum bapak Harsono) dengan nama PPPG Kesenian, yang kemudian berganti menjadi PPPPTK Seni dan Budaya, BBPPMPV Seni dan Budaya, sampai dengan kepala balai yang menjabat saat ini (yang seluruhnya sudah delapan kepala).

Saya berharap kita semua yang mengenal mbak Irene setuju dengan saya bahwa mbak Irene adalah seorang teman sejawat sekaligus senior tempat kita bisa bertanya, belajar, berbagi, dan terutama memperoleh support atau motivasi, serta bekerja bersama dalam situasi “ups and downs” di kantor kita, dalam segala musim, jaman, dan situasi. Secara pribadi, saya yang kebetulan hampir selalu berada dan bersama dalam ruang lingkup bidang pekerjaan dan minat yang sama, merasa sangat bersyukur memperoleh ruang waktu yang diberikan oleh Tuhan kepada kami berdua. Sejak tahun itu, sampai dengan saat ini saya tetap merasakan hal yang sama dengan 29 tahun yang lalu. Semoga teman-teman sepakat juga dengan saya, bahwa mbak Irene tetaplah senior kita yang selalu menyediakan waktu dan “hati”nya ketika kita bertanya, ingin belajar, berbagi, dan bekerja bersama, serta ketika kita memerlukan dukungan dan motivasi atas hal-hal yang kita rasa ragu dan merasa tidak mampu.

Secara pribadi lagi, yang paling saya syukuri adalah saya “pro”, sejalan, dan sejiwa dalam banyak hal dengan mbak Irene dalam hal mempertahankan “values” atau nilai-nilai “konsistensi” dan “prinsip” dalam berpikir, berlaku, dan bersikap. Inilah yang menjadikan mbak Irene itu di mata saya dan saya yakin di mata kita semua, adalah seseorang yang memiliki kepribadian unik, teguh, konsisten, tegas, kuat, dapat dipercaya, disiplin, tidak plin-plan dan tidak mudah terpengaruh, yang semuanya itu dilandasi oleh prinsip-prinsip yang dipegang teguh. Apa yang dapat kita pelajari darinya adalah bahwa kita harus memiliki “jatidiri” yang berlandaskan prinsip-prinsip, values atau tata nilai yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak menjadi seorang copy cat hanya untuk kepentingan diri sendiri atau sebuah popularitas. Dalam konteks lembaga, siapapun kepala pusatnya, atau di manapun kita ditempatkan, kita harus tetap menjadi diri kita sendiri, berprinsip, teguh, tidak terpengaruh oleh hingar-bingar untuk menjadi pemenang lomba dalam percaturan pekerjaan, atau berkompetisi dengan teman sejawat karena ambisi menjadi pemenang dan paling hebat daripada yang lainnya. Kita tidak boleh mengubah kualitas personal yang kita miliki hanya karena kuatir tidak mengikuti hal-hal yang populer dan dilakukan oleh banyak orang di lingkungan kita, apalagi hanya karena kepentingan pribadi yang kadang atau sering tidak kita sadari! Hal-hal yang tidak populer tetapi bermakna, menjadi personal room yang membahagiakan bagi seorang Irene Nusanti.

Mengenal mbak Irene sejak dahulu, kita tentu masih ingat expertise yang dimilikinya, yang tentu menggoreskan jejak-jejak perjalanan lembaga kita, antara lain pembelajaran bahasa Inggris, baik bagi teman-teman sejawat, mahasiswa Politeknik Seni, maupun guru-guru bahasa Inggris SMK Seni Budaya melalui program diklat rutin setiap tahun sampai dengan tahun 2012, pembelajaran bahasa dan budaya Indonesia kepada murid-murid darmasiswa, kemudian desain instruksional dan pengembangan bahan ajar termasuk modul dengan segala dinamikanya, pengembangan kerjasama dan hubungan luar negeri, keterlibatan dalam rancangan acara pada FSI setiap dua tahun sekali sampai dengan tahun 2016, dan capacity building yang diwujudkan antara lain oleh tulisan-tulisannya tentang hal ini sampai dengan saat ini. Dan yang tak boleh dilewatkan adalah kegemaran dan minatnya dalam menyanyi dan bermain musik yang kini makin ditekuninya. Oleh karena itu, tentu kita tak ingin melewatkan kesempatan untuk mendengarkan mbak Irene menyanyikan sebuah lagu indah dan memainkan keyboard-nya pada acara siang ini.

Kita tak bisa melawan waktu yang merupakan milik Yang Maha Kuasa. Dalam konteks masa kerja, kita harus berpisah, tetapi harapan kita adalah kenangan bersama yang pernah kita rasa dan alami baik secara pribadi maupun secara kelembagaan, akan tetap menjadi bagian dari perjalanan hidup kita bersama, yang selamanya indah untuk dikenang. Secara pribadi, saya mungkin merasa sebagai orang yang paling kehilangan atas kebersamaan selama ini dengan mbak Irene, yang terutama lebih saya rasakan secara mental dan batin, karena banyaknya kesamaan yang kami miliki. Meskipun demikian, masing-masing dari kami tetaplah menjadi diri kami sendiri, yang dapat saling memahami dan menghargai satu sama lain. Dengan cara yang berbeda, teman-teman widyaiswara tentu juga merasakan kehilangan seorang sosok senior yang istimewa, yang sulit tergantikan.

Terima kasih tak terperi, mbak Irene, untuk semua hal yang tak mungkin dapat saya ungkapkan di sini.  Bersama mbak Wiwin, selamat memasuki masa purna tugas yang semoga selalu membahagiakan. Doa kami, tetaplah dalam rahmat Tuhan yang tak pernah putus. Aamiin.

Sebagai ungkapan terima kasih, saya mengakhiri impresi ini by singing a song prepared specially for you, accompanied by mas Dhanang. (Thank you so much, mas Dhanang, untuk musiknya, juga mas Heri yang awalnya menjadi teman berembug untuk ini). Untuk menemani saya menyanyikan lagu ini, saya minta mas Sito, yang dengan sukacita juga sudah menyiapkan untuk menyanyikan lagu ini. Meskipun expertise mas Sito adalah bahasa Jawa, kali ini saya memintanya untuk menyanyi bersama saya dalam bahasa Inggris, The Wedding….  Mas Aris, kami langsung menyambung, dan terima kasih telah memberikan kesempatan ini. Akhir kata, untuk semuanya yang hadir, wassalamu’allaikum wr.wb.

 

Yogyakarta, 31 Desember 2021.



Tuesday, November 23, 2021

Takut Akan Kekalahan

 --Nugroho Hari (Studio Teater)


Produksi pementasan seni teater dengan judul TAK, Studio Teater Yogyakarta, disiarkan secara streaming pada "Parade Teater Yogyakarta LINIMASA#4", tanggal 20 November 2021, diselenggarakan oleh UPTD Taman Budaya Yogyakarta. Pementasan yang masih dapat disaksikan melalui link
https://www.youtube.com/watch?v=RvdDq42xl_g ini layak untuk mendapatkan apresiasi, baik itu dari lembaga seni, pelaku seni, dan mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan seni dan budaya.

"Sebuah laku yang selalu dihantui kekalahan mengubah perilaku seseorang untuk memproduksi intrik-intrik negatif dalam mencapai kemenangan, ilmu pengetahuan, dan kemampuan yang dimiliki menjadi hilang, tidak berfungsi sebagaimana layaknya penopang dalam menjalani kehidupan. Dengan ke-akuan menjadi hilang akal, menciptakan boneka dan robot-robot untuk digerakkan demi tujuan".

Terlepas dari sisi mana pemirsa menangkap pesan yang divisualisasikan dalam pementasan TAK, ada beberapa catatan dalam pandangan subyektif saya sebagai pegawai pengembangan dan penjaminan mutu pendidikan seni;

Proses pementasan yang melibatkan banyak orang di masa pandemi merupakan tantangan tersendiri bagi kreator dan sutradara agar proses latihan hingga pementasan seluruh pemain dan tim yang terlibat terhindar dari pandemi.

Menyatukan visi dari bebagai individu untuk menjadi satu kemasan panggung merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Menyatukan perbedaan talenta, kesempatan/waktu, dan emosi atau keinginan tiap individu dalam mengekspresikan diri terhadap pemahaman naskah yang belum tentu setiap individu dapat melakukannya, membutuhkan keahlian dan pengalaman untuk mengelolanya.

Sebagai lembaga dan pribadi yang bergelut dalam bidang kesenian tentu kita wajib aware dengan kegiatan-kegiatan kesenian yang dilakukan di luar induk organisasi. Kita mesti selalu berupaya untuk bersinergi dan menjaga keseimbangan kinerja antarlembaga dalam mengembangkan pendidikan seni bagi masyarakat, sehingga apa yang selalu diwacanakan; sebuah kerjasama dari "person to person," "organisasi to organisasi," hingga goverment to government" dalam bidang seni budaya dapat tercapai.

Pada akhirnya berbuat untuk “Tidak Takut Akan Kalah”, adalah sebuah tawaran dari pementasan "TAK", pilihan untuk melakukan kebaikan kepada orang lain dalam wujud apapun, dalam seluruh aspek kehidupan, tidak hanya terbatas pada karya seni,  Wallahualambissawab,

 

Akhir kata, selamat untuk kreator "TAK", dan terimakasih Studio Teater telah dipercaya untuk seluruh prosesnya.

 

-Hari Nugraha-

Sunday, July 18, 2021

Pada Suatu Malam Yang Lengang


--Rin Surtantini

 


In memoriam: Mas Daryanto

Sudah hampir tiga minggu saya terkunci di sebuah kota untuk sebuah kepentingan personal yang sangat berarti bagi saya, selain secara kebetulan pula, terjadi pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh pemerintah di seluruh wilayah pulau Jawa dan Bali. Karena dekat dengan Jakarta dan merupakan kota besar yang menjadi pintu gerbang ke wilayah lain, kota tempat saya terkunci ini pun tak luput dari kebijakan PPKM. New normal yang setahun lalu masih menjadi bayangan, kini dengan segera telah menjadi sebuah pilihan yang harus kita terima dan alami dengan melakukan berbagai adaptasi untuk tetap survive.

 Seorang teman tetangga saya di Yogya mengirim pesan singkat kepada saya, apakah kota tempat saya sekarang terkunci itu aman? Saya tertawa, dan menjawab, tidak ada tempat di manapun saat ini yang aman. Virus yang ganas itu ada di mana-mana, tidak peduli siapa saja, karena siapa pun memiliki potensi untuk dihampirinya. Yang harus kita jaga sekarang adalah ‘mobilitas’ dan ‘imunitas’. Teman tetangga ini adalah salah satu dari 37 orang yang sampai hari ini terpapar covid di kompleks rumah saya, satu di antaranya berpulang ke hadirat-Nya. Saya sampaikan rasa prihatin dan simpati saya, mengingat semakin ke sini, virus itu terasa semakin dekat dengan kita… Dalam pikiran saya, hampir setiap hari, di grup-grup Whatsapp yang saya ikuti, ada berita mengenai kepergian orang-orang yang dekat dengan kita, yang kita kenal, yang kita tahu, yang kita kasihi, dan sebagian besar kepergian mereka adalah karena virus yang mematikan ini. Sungguh mengiris hati!

Apa yang melintas dalam pikiran saya ini tiba-tiba muncul di grup Whatsapp widyaiswara pada hari Kamis dinihari, 8 Juli 2021 yang lalu. Jantung saya berdesir, dan doa saya panjatkan dalam kesunyian pagi itu, bagi kesembuhan mas Daryanto, yang sempat mengirimkan pesan singkat dan sebuah gambar yang kabur, yang menandai bahwa ia dan istrinya saat itu terpapar virus yang saya takuti itu. Empat hari kemudian, Senin selepas magrib, 12 Juli 2021, kembali berita mengenai mas Daryanto dikirimkan di grup Whatsapp widyaiswara. Kondisi mas Daryanto yang tidak lebih baik, muncul dari berita itu, diiringi doa teman-teman yang mengalir … dan mendapat respon dari akun mas Daryanto, “Trimakasih doanya.” Ada teman yang mengomentari dengan senang, “Syukur mbah Argo isa WA-nan…”  Seandainya memang itu respon dari mas Daryanto, saya pun ikut bersukahati, berharap mas Daryanto dapat segera pulih dan keluar dari rumah sakit.

Malam itu selepas membaca berita terakhir mengenai kondisi mas Daryanto, saya pun mengenangnya. Ia saya kenal ketika pertama kali saya masuk di kantor yang sama, tahun 1992. Mas Daryanto sudah lebih dulu masuk, mungkin satu atau dua tahun sebelum saya. Hampir tiga puluh tahun bersama di kantor ini, jatuh bangun, in our good and bad times, up and down, semua tentu terekam dalam catatan milik Tuhan yang tak terbatas. Tetapi malam itu, yang saya ingat, yang selalu ada dan terekam dalam keterbatasan pikiran saya adalah mas Daryanto pada tahun-tahun 1990an, ketika ia sering menjadi pembaca Pembukaan UUD 1945 pada kesempatan upacara bendera setiap tanggal 17 pada setiap bulan. Pada masa-masa itu, saya sangat suka jika pembacanya adalah mas Daryanto. Saya suka dengan caranya membaca, dengan kualitas suaranya yang menggelegar, menghayati, jelas, dengan artikulasi dan intonasi yang menggugah, dan dengan penuh gelora semangat dalam melantunkan setiap kata dan kalimat pada teks Pembukaan UUD 1945. Menurut saya, ia membacanya dengan hati! Ia mampu mengalirkan semangat dari makna dan isi teks itu kepada yang hadir pada upacara bendera tersebut.

Saya pun terlelap dalam ingatan terbayang itu. Dan seketika, denting Whatsapp yang muncul dari grup widyaiswara kurang lebih lima jam kemudian, pukul 23.26 WIB, membangunkan saya, dan menggedor-gedor hati saya. Seorang teman dari Studio Tari mengabarkan sebuah kepastian ini: mas Daryanto telah pergi meninggalkan kita semua sebagai teman-temannya di korps widyaiswara….. Ia pergi pada pukul 20.42 WIB, dua jam setelah ada respon dari akunnya di grup terhadap aliran doa dari teman-teman. Pada malam kepergian almarhum itu, kembali saya mengingatkan diri saya sendiri, bahwa betapa virus itu semakin dekat dengan kita, karena ia sekarang menghampiri orang-orang yang kita kenal, kita tahu, dan kita kasihi….

Satu lagi malam yang lengang terlewati dengan kedukaan: Senin malam, 12 Juli 2021.

Mas Daryanto telah menyelesaikan perjalananannya dengan segala irama dan gelombang kehidupan dunia yang tiada kekal. Untuk itu, saya bisikkan pada sukmanya, beristirahatlah dalam tenang dan keabadian yang membahagiakan, mas Daryanto!

 

Bandar Lampung, 18 Juli 2021.

 

 

Thursday, July 15, 2021

Refleksi Diri: My Last Sharing-Experience

 ---Irene Nusanti


Hadiah ulang tahun dari saya utk teman2 semua...

Sesaat sebelum lepas landas dari landasan pacu seni dan budaya, ijinkan saya untuk membagi pengalaman up and  down selama bekerja, dikemas dalam sajian berikut.

Refleksi 1:

Angkringan 'Blind Spot"

Refleksi 2:

A Blind Spot


Friday, April 30, 2021

Metafora Kursi

 

--Rin Surtantini


Sudah setahun lebih ini ritme bekerja di kantor atau di rumah terbentuk secara alami atas kondisi yang muncul karena pandemi. Barangkali ini yang tahun lalu dikatakan sebagai terbentuknya kenormalan baru. Barangkali pola-pola kebiasaan baru yang muncul sebagai ritme dalam berpikir, berlaku, bersikap, atau berkata adalah bentuk-bentuk kenormalan baru. Ada ritme yang masih sama untuk dipertahankan dengan kondisi sebelum pandemi, ada juga yang ditinggalkan, ada yang disesuaikan. Entah juga. Jika hidup adalah sebuah pertunjukan, maka
the show must go on.


***

Webinar muncul sebagai contoh sebuah penyesuaian pada masa pandemi. Penyesuaian ini bahkan menunjukkan bahwa ia menjadi perhelatan yang dipilih banyak orang dari berbagai bidang, kalangan, maupun berbagai topik (Baca kembali tulisan tentang perhelatan webinar pada bulan Juni tahun lalu melalui link https://www.vidyasana.com/2020/06/perhelatan-webinar.html). Berjalannya waktu bahkan pernah membentuk gelombang euforia terhadap perhelatan webinar, baik bagi penyelenggara, penyaji, maupun pesertanya. Banyak topik menjadi hal baik untuk didiskusikan dan dibagi secara luas dan terbuka. Semakin ke sini, gelombang euforia ini mulai menunjukkan kenormalan baru. Ia tak lagi sesuatu yang sangat istimewa. Masyarakat pun mulai selektif terhadap konten yang disajikan dalam berbagai perhelatan webinar ini.

Kemarin jadwal saya WfH. Beberapa hari sebelumnya saya telah mendaftar sebuah kelas menulis berbayar secara online, tanpa sertifikat. Jadi karena kelas ini dimulai pukul 15 sampai pukul 17, maka itu tidak menjadi masalah bagi saya karena itu hari WfH saya. Lagipula, itu menjadi kegiatan yang menyenangkan, karena waktu untuk menunggu berbuka puasa menjadi pendek. Alasan lain mengapa saya mau ikut kelas itu adalah karena kontennya tentang menulis, dan yang berbagi ilmu adalah Joko Pinurbo, penulis yang puisi-puisinya memiliki gaya dan warna yang khas, bersifat naratif, ironis, tetapi juga humoris. Ia cakap dalam mengolah citraan dan menggunakan objek serta peristiwa sehari-hari dengan bahasa yang tajam tetapi juga cair. Melalui tulisan-tulisannya yang berbentuk puisi, ia melakukan refleksi, perenungan, yang dipicu oleh absurditas keseharian yang ada di sekitar kita. Ia mempermainkan dan mengolah kata-kata dalam bahasa Indonesia secara sederhana tetapi memiliki visi dan perspektif yang kuat terhadap tema atau pesan yang ingin disampaikannya.

Banyak yang dibagi olehnya melalui kelas menulis itu, dan salah satu dari sekian hal yang menarik, adalah ketika ia berbicara mengenai objek “kursi” sebagai citraan atau metafora. Semua yang ada di sekitar kita dapat bermetafora. Apa yang ada dalam benak kita terhadap kata “kursi”? Secara fisik, kursi adalah sebuah tempat untuk kita duduk. Duduk itu sendiri mengistirahatkan tubuh kita dari posisi berdiri, dari kegiatan berjalan, dari rasa lelah, dari rasa sakit, atau dari rasa bosan, dari keinginan untuk bersantai, dan berbagai kebutuhan tubuh lainnya. Maka desain kursi pun sangat beraneka ragam untuk memenuhi segala kebutuhan manusia, termasuk bahan dan teknologi dalam mengkreasi kursi itu sendiri.

Jika orang sudah lama duduk di kursi, dan kursi itu cocok baginya, sesuai dengan yang ia butuhkan atau inginkan, maka dirasakannya kursi itu menjadi enak dan nyaman. Sambil membaca, minum kopi, mendengarkan musik, menonton pertunjukan, ngobrol, memeramkan mata, berkhayal, bermimpi, ah nikmatnya……, dunia dan kehidupan adalah enak dan nyaman dirasa. Malas atau enggan rasanya untuk beranjak dan bangkit, atau berpindah, kecuali ada kursi yang jauh lebih nyaman untuk menikmati dunia dan kehidupan ini. Itulah kursi, objek fisik yang difungsikan oleh manusia untuk kebutuhannya.

Metafora apa yang dimunculkan sebagai citraan terhadap “kursi”? Ini menarik dan kita semua mengalami, merasakan, atau menyaksikan dalam keseharian kita. Jabatan, kedudukan, posisi, adalah citraan dari “kursi”. Perhatikan, adakah kenyamanan, kesenangan, kenikmatan, euforia, prestise, kehormatan tinggi, peningkatan derajad, gengsi, dan status sosial, kesejahteraan, privilege, kewenangan mutlak di sana, sehingga kursi adalah tempat yang melenakan? Segala citraan kursi, ternyata sulit untuk tidak dinikmati dalam lupa!

 Yogyakarta, 30 April 2021. 

Monday, April 19, 2021

Rasa dan Hati

 

---Kartiman


Seni dan berkesenian merupakan dua kata yang saling mendukung dan menguatkan. Seni merupakan media ekspresi jiwa manusia, dan berkesenian merupakan salah satu ekspresi proses kebudayaan manusia. Melalui ekspresi tubuh, manusia akan menampilkan kehendak hatinya. Pikiran, rasa, energi disatukan sebagai dasar untuk melakukan aktivitas sesuai hasrat berkeseniannya.

Berkesenian sama dengan berpakaian, artinya tidak hanya memikirkan fungsinya sebagai penutup badan saja, melainkan harus juga memikirkan mode yang sesuai dengan bentuk tubuh atau mode yang baru trend yang banyak bermunculan di masyarakat, sehingga bisa menyatu dan tidak ketinggalan. Bahkan tidak sedikit yang lebih mengedepankan trend daripada fungsinya. Begitu juga dalam seni “berkesenian” tidak hanya berbicara pada satu aspek saja, melainkan aspek lain sebagai penyedap rasa harus dipikirkan dan ditampilkan.

Perpaduan antara beberapa aspek dalam berkarya akan semakin mendekatkan hasil karya dengan masyarakat penikmatnya. Ekspresi seni sebagai perwujudan jiwa manusia dapat dijadikan salah satu ekspresi proses kebudayaan yang berkaitan erat dengan pandangan masyarakat dimana ia hidup dan berkehidupan. Keberagaman kehidupan masyarakat sebagai individu atau kelompok akan memunculkan rasa yang berbeda terhadap suatu karya seni.

Rasa adalah milik pribadi yang secara sadar atau tidak sadar sebagai bagian dari identitas atau kebutuhan yang tersembunyi. Kehadiran rasa akan mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Dalam kehidupan sangat mungkin terjadi kesatuan rasa, atau perbedaan rasa. Begitu juga dalam menghayati suatu karya seni. Penikmat satu dengan lainnya sangat mungkin terjadi perbedaan rasa terhadap satu obyek “karya seni”. Rasa dan hati merupakan saudara kembar yang saling membutuhkan. Masyarakat Jawa sering mengatakan bahwa “rasa gumantung ono sajroning ati”. Dari hati akan muncul banyak rasa, dari hati akan muncul rasa cinta, rasa sayang, rasa benci, rasa ingin memiliki dan sebagainya. Ibarat kembang gula, hatilah yang membuat rasa menjadi “nano-nano”.

 

Saturday, March 27, 2021

Money Talks: Sebuah Kejadian yang Diceritakan


--Rin Surtantini





Kemarin sore ketika menunggu maghrib tiba, denting di sebuah grup Whatsapp terdengar. Seorang teman mengirimkan kopi tulisan tentang sebuah kejadian kecil yang diceritakan oleh Winston Churchill, perdana Menteri Inggris jaman dulu. Entah dari mana asalnya teman ini mendapat kopian tulisan dalam bahasa Inggris itu, yang jika diterjemahkan kira-kira begini…

Perdana Menteri United Kingdom masa dulu, Winston Churchill, menceritakan sebuah kejadian menarik yang dialaminya sendiri. Ia naik taksi pada suatu hari ke kantor BBC untuk sebuah interview. Ketika sampai di tujuan, ia meminta kepada supir taksi untuk menunggunya sekitar 40 menit di sana, karena ia ingin pulang dengan menumpang taksi itu lagi. Tetapi supir taksi meminta maaf dan berkata, “Saya tidak bisa, pak, karena saya harus pulang ke rumah untuk mendengarkan pidato Winston Churchill di rumah.”

Pernyataan supir taksi itu sungguh mengagetkan Churcill. Ia sangat kagum dan sangat senang dengan niat supir taksi itu untuk mendengarkan pidatonya di radio! Bahkan supir taksi itu ingin segera pulang ke rumah demi keinginannya itu, dan tidak mau menunggu Churchill untuk menumpang taksinya lagi. Karena rasa bahagia dan kagumnya, Churchill pun mengeluarkan £20 dari dompetnya yang pada masa itu bernilai sangat besar. Diberikannya uang itu kepada supir taksi tanpa memberitahu siapa sebetulnya dirinya. Ketika supir taksi itu menerima uang sebanyak itu dari Churchill, ia mengatakan, “Pak, saya akan menunggumu sampai berapa lama pun bapak akan kembali! Dan membiarkan Churchill go to hell….”

Dari kejadian itu, Churchill mengatakan, bahwa kita dapat melihat bagaimana “prinsip-prinsip” sudah dimodifikasi demi uang; bangsa dijual untuk uang; kehormatan dijual karena uang; keluarga tercerai berai demi uang; teman-teman berpisah karena uang; orang-orang terbunuh untuk tujuan uang; dan orang-orang dibuat menjadi budak karena uang. Kejadian ini sungguh menarik baginya; maka ia pun memutuskan untuk membagi cerita ini, dan berharap kita dapat belajar sesuatu dari kejadian ini.

***

Sesungguhnya ini kejadian yang bukan luar biasa dan sangat banyak kita saksikan dalam lingkungan kita, di tempat kerja, di komunitas kecil sekali pun, di lingkungan sosial, di kompleks tempat tinggal, di mana pun, kapan pun di segala masa atau zaman, dan di dalam konteks apapun tetapi dengan pesan yang sama... Bukan hanya menyaksikan, tetapi mengalaminya. Dan yang justru membuat ngeri adalah… jangan-jangan, kita justru salah satu dari sekian juta manusia serupa supir taksi yang diceritakan oleh Churchill di atas, tetapi tidak menyadarinya, bahkan malah sibuk menuding bahwa sekitar kitalah yang melakukan itu!

Oh, my God. Suara adzan dari masjid pun sayup mengalun, menghentikan lamunan ini.

Money talks, money rules, money acts, money wins, money kills, money …

Silakan ditambahkan lagi sesuai dengan pengalaman masing-masing.


Yogyakarta, akhir pekan, 27 Maret 2021.

Friday, March 26, 2021

Tentang Paradigma: Teropong-Teropong dalam Berkegiatan Ilmiah

  

--Rin Surtantini

 



Beberapa hari lalu saya mengikuti sebuah diskusi ilmiah dengan komunitas ketika saya sekolah dulu. Topik yang didiskusikan adalah seputar paradigma atau model dalam teori ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir. Diskusi ini menarik karena bagi para peserta diskusi, topik yang didiskusikan ini menguatkan apa yang selama ini diamati, diketahui, dilakukan, atau bahkan tidak diketahui dan tidak dilakukan, oleh para peserta diskusi, kaitannya dengan kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh mereka seperti melakukan kajian, penelitian, atau penulisan di ranah akademik atau ilmiah.

Diskusi itu, dengan seorang narasumber yang memantik topik “paradigma” ini, menyoroti “teropong-teropong” yang digunakan oleh para peneliti atau pengkaji di ranah budaya ketika membedah sebuah masalah atau isu penelitian dan kajiannya. Yang menarik adalah narasumber ini dapat mengkategorikan dan menamakan apa saja teropong-teropong pembedah itu berdasarkan pengamatannya terhadap penelitian atau kajian yang dilakukan oleh para peneliti atau pengkaji yang tergabung dalam komunitas itu. Maka, para peserta diskusi pun kemudian disadarkan akan adanya teropong-teropong itu, tetapi tidak menyadari selama ini bahwa mereka telah menggunakan salah satu di antara teropong-teropong tersebut dalam meneliti, mengkaji, atau menuliskan hasil penelitian dan kajiannya. Begitu pentingnya peran teropong yang digunakan atau dipilih dalam menyoroti sebuah masalah, sehingga ketika paradigma atau kerangka berpikir tidak dipahami oleh peneliti, pengkaji atau penulis, maka arah penelitian, pengkajian atau pengungkapannya dalam tulisan akan menjadi tidak jelas dan kabur.

Kemarin saya dan beberapa rekan sejawat juga melakukan diskusi kecil terkait dengan kegiatan ilmiah ini. Berangkat dari latihan melakukan penilaian terhadap tulisan-tulisan hasil penelitian atau kajian, kegiatan ini dimaksudkan untuk mempelajari lebih dalam tentang komponen-komponen umum yang penting dalam menuliskan sebuah hasil penelitian atau kajian. Komponen-komponen yang disoroti adalah substansi tulisan, kebaruan yang ditawarkan, manfaat yang diberikan, gaya dan format penulisan, penggunaan bahasa, logika berpikir, metode kajian atau penelitian, cara mengkaji atau menganalisis, serta sumber bacaan atau referensi. Kami mencoba untuk memberikan penilaian terhadap tulisan-tulisan menggunakan komponen-komponen ini.

Hal menarik yang diperoleh dari kegiatan bersama rekan sejawat ini adalah adanya keragaman yang dimiliki oleh setiap orang. Keragaman terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan di antara kami, yaitu perbedaan dalam menyoroti sebuah masalah atau isu, karena teropong-teropong yang kami miliki juga berbeda-beda. Perbedaan itu menyangkut misalnya perbedaan latar belakang, minat, fokus, standar, sudut pandang, paradigma, yang dipegang dan dimiliki oleh masing-masing dari kami. Bagi saya, inilah sebuah forum yang membebaskan individu, yaitu ketika setiap peserta diskusi yang hadir memiliki ruang untuk mengemukakan teropong yang digunakannya, dan dapat memberikan alasan atau logika dari penggunaan teropong itu sebagai wujud kerangka berpikirnya. Ini juga sebuah forum yang melatih seseorang untuk belajar dari yang lain tentang hal-hal yang tidak diketahui atau dipahaminya, dan membelajarkan yang lain tentang hal-hal yang belum dimiliki atau dipahami oleh rekan lain. Ini juga sebuah forum untuk bersosialisasi melalui kegiatan yang menyehatkan akal budi, ketika setiap orang memiliki ruang untuk menyuarakan concern-nya dengan terbuka, dan bersedia untuk mendengarkan yang lain agar dapat menyerap maksud yang ada dalam concern dan alur pikir seseorang. Ini juga sebuah forum yang membuat seseorang harus bertanggung jawab terhadap pendapatnya dengan berlatih mengembangkan argumentasi yang kuat dan logis serta kredibel.

Akhirnya, yang lebih menarik lagi adalah setelah semua concern rekan sejawat ini diutarakan dalam bentuk-bentuk keragaman dan perbedaannya, diperoleh kesamaan cara pandang yang menyatukan. Sebuah proses sintesis terjadi, yang mengerucut menjadi sebuah kesimpulan dan keputusan bersama, yang mewadahi aneka teropong, sudut pandang, dan concern. Saya berpendapat, alangkah menyenangkan jika hal-hal kecil semacam ini menjadi spirit dari culture of knowledge sharing yang berkembang dan dipelihara di lingkungan tempat kita bekerja, bukan hanya sekedar atau selalu meneriakkan slogan-slogan tetapi kehilangan ruh dan maknanya.


Yogyakarta, 26 Maret 2021.


[Salam dan terima kasih saya untuk mbak Feti, mas Bagus, pak Gede, mas Haryadi, mas Fajar, mas Rohmat, mas Cahyo, mas Eko & mbak Diah, yang kemarin berdiskusi dan menginspirasi saya untuk menuliskan ini].

 

 

Tuesday, March 16, 2021

KONSEP ‘LAKU’ BAGI ORANG JAWA

 

-- Sito Mardowo (A’ak Sito dari Studio Karawitan)

 


Tulisan ini bukan hasil kajian atau penelitian yang melahirkan ‘pengertian yang mendalam’ apalagi membuahkan konklusi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai refeferensi bagi para peneliti-pengkaji lainnya, meskipun judulnya cetar membahana. Kan sudah ada kesepakatan bersama, Vidyasana merupakan wadah tulisan jenis apapun… (bahkan tidak hanya tulisan…. Gambar… puisi… atau apapun), cara menulis apapun, bahasa apapun, gaya bahasa apapun, dan tentunya gak usah mikir gaya selingkung juga…. He…he….pokoke nulis…. Itu semangatnya. Apik-elek nomor 207.

Kembali ke laptop. Teman-teman yang pernah belajar Bahasa Daerah Jawa di SD ataupun SMP biasanya pirsa atau tahu pupuh tembang Pocung karya Kanjeng Gusti Pangéran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunagara IV yang bunyinya seperti ini:

 

Ngelmu iku Kalakone kanthi laku,

Lekase lawan kas,

Tegese kas nyantosani,

Setya budya pangekese dur angkara. 

 

        Banyak filsuf, budayawan, sastrawan, peneliti dan pengkaji menginterpretasikan makna filosofi yang terkandung dalam pupuh tembang Pocung tersebut. Dari ilmu Hermeneutika sampai teori semiotika bahkan disiplin ilmu lainnya digunakan sebagai ‘pisau’ untuk membedah pupuh tembang Pocung tersebut. Lain halnya dengan saya. Saya akan mencoba menginterpretasikan salah satu kata dalam pupuh tembang tersebut dengan dengan menggunakan ‘ilmu krungu’. Hehehe….. mungkin teman-teman jadi tertawa dengan istilah ‘ilmu krungu’. Kayaknya nggak sebanding ya dengan ilmu-ilmu ‘joss’ para intelektual.

Saya menamakan ‘ilmu krungu’, karena memang saya dapat ketika saya ‘krungu’ atau mendengar para tokoh ‘kejawen’ yang ngobrol bersama dengan orang tua saya di masa beberapa tahun yang lalu. Lumayan lama sih!  Saya tidak melakukan klarifikasi, tidak melakukan wawancara, tidak mendebat, dan tidak aktif melakukan apapun. Saya hanya pasif mendengarkan mereka saja. Tentunya sambil ‘ngunjuk’ wedang kopi biar fresh.

Kembali ke laptop lagi. Sesuai dengan judul tulisan ini, saya hanya akan membahas kata ‘laku’ yang ada pada pupuh tembang Pocung tersebut. Menurut mereka, kata ‘laku’ sangat populer digunakan dalam perbincangan sehari-hari bagi masyarakat Jawa, sehingga bukan sesuatu yang luar biasa ketika kata tersebut digunakan dalam tembang. Kalimat tanya seperti ‘Laku-mu kok pincang, kenapa?’.  Kemudian ada ungkapan lain seperti, ‘Yen kowe pengin dadi wong, kudu sing gede laku-mu mas.’ Ternyata dua kata tersebut ‘bisa’ berbeda makna. Pada kalimat   Laku-mu kok pincang, kenapa?’, kata ‘laku’ berarti jalan. Kata jalan tersebut bermakna harafiah atau literal yang artinya bergerak maju atau mundur dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan kata laku pada kalimat  Yen kowe pengin dadi wong, kudu sing gede laku-mu mas’, memiliki makna yang tersirat. Menurut mereka (para kejawen Klaten), kata ‘laku’ pada kalimat tersebut sama dengan kata ‘laku’ yang terdapat dalam pupuh tembang Pocung di atas.

Para bapak-ibu kejawen Klaten (ada ibunya juga lhoh…)  merumuskan setidaknya ada 4 aspek yang terkandung dalam kata ‘laku’ pada pupuh tembang Pocung.

·         Pertama, ‘laku’ diartikan sebagai sebuah tindakan untuk mempelajari ‘guna kasantikan’ yang dapat diterjemahkan sebagai ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan. Ilmu tersebut tidak terbatas untuk meningkatan kompetensi di suatu bidang tertentu, tetapi juga ilmu sosial, ilmu spiritual agama-keyakinan, ilmu ‘rasa’, dan sebagainya. Ilmu yang dimaksud di sini cenderung olah pikir. Meskipun di situ terdapat ilmu spiritual dan ilmu rasa, tetapi yang dipelajari bertumpu dari sisi ‘wadag’ atau ilmunya. Bukan implementasinya.

·         Kedua, ‘laku’ diartikan sebagai ‘mati-raga’  dengan cara mengurangi segala jenis atau aktifitas nafsu duniawi. Jenis kegiatan tersebut misalnya                  (1) Menjalankan puasa makan dan atau puasa terhadap kegiatan yang mengundang nafsu. Puasa makan misalnya ngebleng, senin-kemis, weton, dan sebagainya.  Puasa kegiatan mengundang nafsu misalnya puasa tidak melakukan hubungan intim (agak saru dikit ya…) (2) Melakukan ‘sesirik’ atau menghindari makanan yang enak atau membikin enak. Misalnya pantang makan daging, pantang makan garam, pantang makan gula dan sebagainya. (3) Tirakat,  tidak tidur di sepanjang malam, ‘kumkum’ di sungai, napak tilas dan sebagainya.

·         Ketiga, ‘laku’ diartikan sebagai kegiatan mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang Jawa memiliki konsep Ke-Tuhanan yang kuat, sehingga diyakini bahwa semua ‘pambudidaya’ atau usaha seseorang dapat terkabul kalau mendapat ijin dari Tuhan. Ketika segala usaha fisik sudah dilakukan, sebagai penguat orang Jawa akan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Prinsip orang Jawa, kalau segenap usaha terkabul maka usaha tersebut sejalan dengan kehendak Tuhan, tetapi apabila tidak terlaksana seperti yang diharapkan manusia maka hal tersebut tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Orang Jawa tidak memiliki karakter menghakimi Tuhan apabila kehendaknya tidak dikabulkan. Upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara menyembah Tuhan dengan berbagai cara seturut dengan keyakinannya dan melakukan perbuatan baik pada diri sendiri dan kepada sesama.

·         Keempat, ‘laku’ diartikan sebagai suatu cara untuk mengelola emosi dengan melatih kesabaran, berpikir positif, berlaku bijak dalam berbagai masalah, tidak mengembangkan karakter ‘adigang-adigung-adiguna’, mengembangkan rasa tepa slira dan sebagainya. ‘Laku’ dalam konteks ini berkaitan erat dengan dengan ‘laku’ dalam artian guna kasantikan seperti yang disampaikan pada aspek pertama tadi. Aspek pertama menyampaikan secara’ wadag’ sedangkan aspek keempat merupakan implementasinya dalam berkehidupan.

Setidaknya ada 4 aspek itu yang saya tangkap tentang kata ‘laku’ dalam obrolan bapak-ibu kejawen di rumah orang tua saya tempo doeloe. Tapi jangan lupa… konteksnya pada pupuh tembang Pocung, karena ada kata ‘laku’ yang jauh berbeda makna yaitu pada konteks ‘laku’ pada saat seseorang akan meninggal dunia.

Saya yakin, bahwa kata laku yang dibahas dalam tulisan ini mungkin berbeda dengan opini bapak ibu WI. Mungkin juga…. ada aspek lain yang kurang. Mungkin juga…. Ada yang keliru. Mungkin juga…. teman-teman bisa melengkapi. Kalau mau sich……  

Mohon maaf teman-teman, ini asal nulis yang tiba-tiba hinggap di ingatanku… tentunya banyak kesalahan terkait penulisan. Tangkiyu evribadeh…

Salam.

 

Sunday, March 14, 2021

Di Balik Dinding Sekolah

  

--Rin Surtantini

 


 Pada suatu hari pada tahun 2014, seorang teman yang menjadi pengurus komite sekolah pada sebuah sekolah dasar tempat anaknya bersekolah, meminta kepada saya untuk membantunya menuliskan sebuah puisi. Dia ingin membacakannya pada acara perpisahan murid-murid kelas enam di sekolah itu, yang dihadiri tidak hanya oleh murid-murid, tetapi juga oleh para orangtua atau wali murid. Bagi saya ini sebuah permintaan khusus, karena saya tidak tahu mengapa hal ini menjadi penting baginya. Lagipula, saya tidak atau belum pernah menulis puisi karena permintaan orang lain yang ingin menyampaikan sebuah pesan atau sesuatu, sesuai dengan gagasan atau maksud darinya. Bukankah apa yang ada di benak setiap orang berbeda-beda dalam hal memberi dan mencipta makna? Maka, ini menjadi permintaan yang agak sulit bagi saya saat itu.

 Saya harus bertemu dengan teman ini. Percakapan melalui pertemuan singkat dengannya membantu saya untuk memahami mengapa ia ingin membacakan pesan melalui puisi itu pada acara perpisahan murid-murid di sekolah anaknya, dan apa pesan yang ingin dimunculkannya pada puisi itu. Menulis puisi tidaklah mudah bagi saya, meski saya sangat menyukai kegiatan ini sebagai dorongan hati. Akan tetapi, rasa ingin membantu teman ini pun tak bisa dipungkiri. Saya perlu sejenak berdiam untuk dapat menuliskannya.

 Alhasil, tulisan itu berwujud, entah itu puisi atau bukan, saya harus segera mengirimkannya kepada teman ini, dengan catatan saya tidak yakin apakah betul itu isi yang diinginkannya. Saya tak begitu peduli apakah puisi itu jadi dibacakan olehnya pada acara perpisahan itu atau tidak. Yang paling utama adalah akhirnya isi puisi itu malah mewakili pikiran saya dan beberapa fenomena yang saya rasa dan alami. Karena dituliskan pada tujuh tahun yang lalu, mungkin ada yang tidak relevan dengan konteks sekarang, misalnya pada istilah atau frasa “dinding sekolah” sehingga pada masa ini harus dimaknai sebagai makna metaforis.

 Setelah tahun 2014 itu, pada beberapa kesempatan semisal pelatihan kepala sekolah, pengawas, atau guru-guru, puisi itu menjadi bagian dari kegiatan refleksi yang saya lakukan pada akhir pelatihan. Saya membacakannya. Melalui puisi itu, saya bermaksud mengajak para pendidik yang sekaligus juga para orangtua, kita semua, untuk melakukan “redefinisi” terhadap makna dari pencapaian murid-murid yang sekaligus juga anak-anak kita melalui pendidikan. Baru-baru ini, puisi itu kembali saya bacakan sebagai closing statement pada acara Kolase Inovasi dengan topik "Pendekatan Pembelajaran Arts Integration", yang disiarkan secara live streaming melalui channel Youtube milik Radio Edukasi pada hari Kamis, 11 Maret 2021 lalu.

Atas ijin dari Radio Edukasi, bagian akhir dari video yang berisi pembacaan puisi ini diedit dan diunggah ulang oleh saya, sehingga dapat dilihat pada Youtube channel pada link https://youtu.be/JAJhx42vvg0.

Banyak terima kasih saya sampaikan kepada mas Dhanang, yang telah membuatkan backsound dalam bentuk piano cover lagu "The Way We were" atas permintaan khusus saya, sehingga menambah warna untuk pembacaan puisi ini pada video Youtube yang saya edit. Puisi ini ditulis dan dibacakan untuk kita semua, untuk pendidik, untuk para orangtua.

 

Di Balik Dinding Sekolah

(Juli 2014)

 

Ruang kelas adalah dunia yang diciptakan bersama

oleh guru dan murid-muridnya

melalui hari-hari yang terbentang panjang

dengan aneka goresan dan coretan yang penuh warna.

 

Di dalam dunia itu kepada guru

kita titipkan anak-anak kita

dengan sejuta pesan dan kata

yang mewakili gundukan keinginan dan tujuan kita.

 

Kepada guru kita mintakan anak-anak kita

menjadi pandai dengan angka yang cemerlang,

menjadi maju dengan langkah yang panjang,

menjadi hebat dengan prestasi yang gemilang,

menjadi cerdas dengan pengetahuan yang luas,

menjadi terampil dengan kemampuan yang tangkas,

menjadi juara dengan piala di almari kaca yang menghias,

menjadi terkenal karena aneka kesuksesannya.

 

Di dalam dunia yang bernama sekolah itu

kita tak segan meminta para guru

mendengarkan semua pesan dan permintaan kita

yang kita bukukan dan jilid dengan seksama

dengan judul “Cinta Kami kepada Anak-Anak Kami”.

 

Kita sangat mengingat judul buku itu,

karena kita tulis dengan semangat cinta kepada anak-anak kita,

tetapi kita lupa dan mungkin abaikan isinya:

 

Jika kita minta anak kita pandai dengan angka yang cemerlang,

mungkin ia tidak peduli bahwa setiap angka memiliki makna.

 

Jika kita minta anak kita maju dengan langkah yang panjang,

mungkin ia tak sadar telah menginjak kaki temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi hebat dengan prestasi yang gemilang,

mungkin ia akan lupa bagaimana memperolehnya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi cerdas dengan pengetahuan yang luas,

mungkin ia lupa untuk berbagi dengan temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi terampil dengan kemampuan yang tangkas,

mungkin ia abai untuk membantu temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi juara dengan berbagai piala di almari kaca,

mungkin ia tak peduli sekitar dan ingin untuk selalu berada di atas.

 

Jika kita minta anak kita menjadi terkenal karena kesuksesannya,

mungkin ia akan tumbuh dengan rasa bangga yang berlebih.

 

Banyak catatan yang kita titip dan mintakan

kepada guru bagi anak-anak kita

atas nama "cinta" kepada mereka.

Tetapi kita terkadang lupa

untuk menitipkan “nilai-nilai” dan bukan sekedar “angka”:

bahwa anak-anak kita harus tumbuh dan belajar

menjadi anak-anak yang berempati, menghargai,

menghormati, jujur, rendah hati, adil, dan toleran;

bahwa kita terkadang abai

jika anak-anak kita tumbuhkan hanya dengan angka-angka,

maka nilai-nilai menjadi tak lagi bermakna,

dan cinta tidaklah lagi dapat berbicara.

 

 

 


Terima kasih telah membaca catatan ini, atau telah melihat pembacaannya melalui Youtube channel.


Salam sukacita untuk semua!

 

Yogyakarta, 15 Maret 2021.