Rohmat Sulistya
Ini adalah bagian ke-0 dari embrio sebuah buku. Saya memberi judul buku ini dengan Earthenware. Mungkin banyak orang yang tidak memahami atau baru pertama kali mengenal istilah earthenware. Tapi bagi Sebagian orang yang lain, istilah ini cukup akrab.
Dua puluh tahun yang lalu, ketika saya masuk kerja untuk pertama kali, bisa dikatakan, saya memiliki modal pengetahuan di bidang keramik yang sangat minim. Seperti orang awam kebanyakan, keramik, dalam benak saya adalah alas rumah yang kita injak. "Tukang sedang memasang keramik untuk kamar tamu". Atau saya sering membaca iklan toko bangunan yang menawarkan beli 2 dus keramik gratis 1 dus untuk keramik yang diobral. Tetapi dengan berjalannya waktu, saya mulai membaca buku-buku yang ada di kantor baru saya, dan mulai terbuka wawasan saya tentang keramik.
Dan salah satu bagian dalam sebuah buku keramik yang saya baca, ada bagian yang menjelaskan tentang klasifikasi tanah liat atau badan tanah liat. Membaca istilah badan yang diterjemahkan dari kata 'body' dalam Bahasa Inggris, cukup membuat saya mengernyitkan dahi untuk tau makna dari badan itu sendiri. Walaupun saya tidak menemukan penjelasan secara eksplisit tentang 'badan' tetapi saya menjadi mengerti secara konteks; kalau badan adalah substansi baik bahan tunggal atapun campuran. Dalam konteks keramik, badan tanah liat (clay body) merujuk pada substansi tanah liat tunggal maupun campuran yang digunakan untuk membuat benda keramik. Walaupun tunggal, tapi sejatinya tidak ada tanah liat tunggal. Tanah liat murni dari Sukabumi atau Godean adalah campuran mineral tanah liat dan silika, kapur, sodium oksida, dan magnesium oksida, besi oksida dan banyak komponen yang lain. Campuran berbagai komponen tersebut menjadikan sebuah sistem yang ajaib sehingga substansi lembek, liat, dan plastis akan berubah menjadi substansi yang keras dan kuat. Saya jadi membayangkan betapa kompleksnya sebuah benda keramik terwujud. Tidak sesederhana yang mugkin kita bayangkan, seonggok tanah dibentuk, dibakar, dan jadilah ia keras.
Kembali kepada istilah earthenware. Dalam bagian buku yang saya baca tadi ada pengelompokkan badan tanah liat yang dikenal orang sekarang ini, yaitu earthenware, stoneware, dan porcelain. Secara hafiah bisa kita terjemahkan benda tanah, benda batu, dan porselen. Pasti kita akan senyum-senyum sendiri membaca terjemahan kasar ini. Sehingga tidak banyak yang menerjemahkan ke istilah Bahasa Indonesia secara leterlek. Bila Anda suatu saat berjalan-jalan ke Yogyakarta dan menyempatkan diri mengunjungi Kasongan maka Anda akan dimanjakan pemandangan berderet-deret toko atau galeri yang memajang produk-produk tembikar atau gerabah. Biasanya kita akan mendapati guci-guci, pot bunga, dan aneka perangkat makan minum yang berwarna abu kecoklatan. Itulah produk gerabah atau dalam istilah klasifikasi badan keramik masuk pada golongan earthenware. Produk gerabah seakan menjadi produk asli Indonesia. Meskipun kenyataannya tidak demikian, karena tembikar ditemukan dalam tahapan pekermbangan peradaban di beberapa negara.
Ketika saya kecil dan hidup di pedesaan, saya akrab dengan berbagai macam peralatan masak dari earthenware. Ibu mengulek bumbu dengan layah, memasak sayur nangka di kuali gerabah, di atas keren. Ketika ingin makan agak mewah, kami membeli sate atau bakmi jawa yang dimasak atas bara api dalam anglo. Layah, kuali, keren, anglo semuanya dibuat oleh pengrajin gerabah. Waktu kecil permainan-permainan yang saya mainkan bersama teman-teman sebaya juga banyak berbahan gerabah. Mulai dari peluit berbentuk burung, alat masak-masakan, sampai kendang. Dan waktu itu kami bermain dengan gembira bersama-sama. Bukan permainan individu tapi permainan yang mewujudkan kebersamaan. Di mana mereka membuat produk itu?. Saya yang berasal dari Yogyakarta sebenarnya belum lama mengetahui di mana benda-benda itu dibuat. Awalnya saya agak heran kenapa gerabah-gerabah yang dipajang di pinggir jalan lebih mengarah kepada benda seni untuk pajangan? Ternyata benda-benda gerabah yang lekat dengan kehidupan saya saat kecil dibuat di kampung bagian dalam, tidak dipinggir jalan. Simbah-simbah yang nampak sepuh -entah generasi pertama, kedua, atau ketiga- masih setia membuat aneka produk untuk keperluan memasak dengan model benda yang dapat dikatakan tidak berubah dari tahun ke tahun. Layah, kuali, keren, anglo ya seperti itu. Saya pribadi tidak menganggapnya sebagai sebuah stagnasi tapi justru sebaliknya. Ini adalah symbol keuletan, konsistensi, dan ketangguhan (resiliensi). Bisa jadi beberpa dari kita menganggapnya sebagai kegagalan berkreasi atau tidak mampu beradaptasi dengan perubahan. Itu sah-sah saja. (Bersambung)