-- Sito Mardowo (A’ak Sito dari Studio Karawitan)
Tulisan
ini bukan hasil kajian atau penelitian yang melahirkan ‘pengertian yang
mendalam’ apalagi membuahkan konklusi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai
refeferensi bagi para peneliti-pengkaji lainnya, meskipun judulnya cetar
membahana. Kan sudah ada kesepakatan bersama, Vidyasana merupakan wadah tulisan
jenis apapun… (bahkan tidak hanya tulisan…. Gambar… puisi… atau apapun), cara
menulis apapun, bahasa apapun, gaya bahasa apapun, dan tentunya gak usah mikir
gaya selingkung juga…. He…he….pokoke nulis…. Itu semangatnya. Apik-elek nomor
207.
Kembali
ke laptop. Teman-teman yang pernah belajar Bahasa Daerah Jawa di SD ataupun SMP
biasanya pirsa atau tahu pupuh tembang Pocung karya Kanjeng Gusti
Pangéran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunagara IV yang bunyinya seperti ini:
Ngelmu
iku Kalakone kanthi laku,
Lekase
lawan kas,
Tegese
kas nyantosani,
Setya budya pangekese dur angkara.
Banyak filsuf, budayawan, sastrawan, peneliti dan pengkaji menginterpretasikan makna filosofi yang terkandung dalam pupuh tembang Pocung tersebut. Dari ilmu Hermeneutika sampai teori semiotika bahkan disiplin ilmu lainnya digunakan sebagai ‘pisau’ untuk membedah pupuh tembang Pocung tersebut. Lain halnya dengan saya. Saya akan mencoba menginterpretasikan salah satu kata dalam pupuh tembang tersebut dengan dengan menggunakan ‘ilmu krungu’. Hehehe….. mungkin teman-teman jadi tertawa dengan istilah ‘ilmu krungu’. Kayaknya nggak sebanding ya dengan ilmu-ilmu ‘joss’ para intelektual.
Saya
menamakan ‘ilmu krungu’, karena memang saya dapat ketika saya ‘krungu’
atau mendengar para tokoh ‘kejawen’ yang ngobrol bersama dengan orang
tua saya di masa beberapa tahun yang lalu. Lumayan lama sih! Saya tidak melakukan klarifikasi, tidak
melakukan wawancara, tidak mendebat, dan tidak aktif melakukan apapun. Saya
hanya pasif mendengarkan mereka saja. Tentunya sambil ‘ngunjuk’ wedang kopi
biar fresh.
Kembali
ke laptop lagi. Sesuai dengan judul tulisan ini, saya hanya akan membahas kata
‘laku’ yang ada pada pupuh tembang Pocung tersebut. Menurut mereka, kata ‘laku’
sangat populer digunakan dalam perbincangan sehari-hari bagi masyarakat Jawa,
sehingga bukan sesuatu yang luar biasa ketika kata tersebut digunakan dalam
tembang. Kalimat tanya seperti ‘Laku-mu kok pincang, kenapa?’. Kemudian ada ungkapan lain seperti, ‘Yen
kowe pengin dadi wong, kudu sing gede laku-mu mas.’ Ternyata dua kata
tersebut ‘bisa’ berbeda makna. Pada kalimat
‘Laku-mu kok pincang, kenapa?’, kata ‘laku’ berarti jalan. Kata
jalan tersebut bermakna harafiah atau literal yang artinya bergerak maju atau
mundur dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan kata laku pada kalimat ‘Yen kowe pengin dadi wong, kudu sing gede
laku-mu mas’, memiliki makna yang tersirat. Menurut mereka (para kejawen
Klaten), kata ‘laku’ pada kalimat tersebut sama dengan kata ‘laku’ yang
terdapat dalam pupuh tembang Pocung di atas.
Para
bapak-ibu kejawen Klaten (ada ibunya juga lhoh…) merumuskan setidaknya ada 4 aspek yang
terkandung dalam kata ‘laku’ pada pupuh tembang Pocung.
·
Pertama, ‘laku’ diartikan sebagai sebuah
tindakan untuk mempelajari ‘guna kasantikan’ yang dapat diterjemahkan
sebagai ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan. Ilmu tersebut tidak terbatas untuk
meningkatan kompetensi di suatu bidang tertentu, tetapi juga ilmu sosial, ilmu
spiritual agama-keyakinan, ilmu ‘rasa’, dan sebagainya. Ilmu yang dimaksud di
sini cenderung olah pikir. Meskipun di situ terdapat ilmu spiritual dan ilmu
rasa, tetapi yang dipelajari bertumpu dari sisi ‘wadag’ atau ilmunya.
Bukan implementasinya.
·
Kedua, ‘laku’ diartikan sebagai ‘mati-raga’
dengan cara mengurangi segala jenis
atau aktifitas nafsu duniawi. Jenis kegiatan tersebut misalnya (1) Menjalankan puasa makan
dan atau puasa terhadap kegiatan yang mengundang nafsu. Puasa makan misalnya
ngebleng, senin-kemis, weton, dan sebagainya.
Puasa kegiatan mengundang nafsu misalnya puasa tidak melakukan hubungan
intim (agak saru dikit ya…) (2) Melakukan ‘sesirik’ atau menghindari
makanan yang enak atau membikin enak. Misalnya pantang makan daging, pantang
makan garam, pantang makan gula dan sebagainya. (3) Tirakat, tidak tidur di sepanjang malam, ‘kumkum’ di
sungai, napak tilas dan sebagainya.
·
Ketiga, ‘laku’ diartikan sebagai kegiatan
mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang Jawa memiliki konsep Ke-Tuhanan yang kuat,
sehingga diyakini bahwa semua ‘pambudidaya’ atau usaha seseorang dapat terkabul
kalau mendapat ijin dari Tuhan. Ketika segala usaha fisik sudah dilakukan,
sebagai penguat orang Jawa akan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan.
Prinsip orang Jawa, kalau segenap usaha terkabul maka usaha tersebut sejalan
dengan kehendak Tuhan, tetapi apabila tidak terlaksana seperti yang diharapkan
manusia maka hal tersebut tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Orang Jawa tidak
memiliki karakter menghakimi Tuhan apabila kehendaknya tidak dikabulkan. Upaya
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara menyembah Tuhan dengan berbagai
cara seturut dengan keyakinannya dan melakukan perbuatan baik pada diri sendiri
dan kepada sesama.
·
Keempat, ‘laku’ diartikan sebagai suatu cara
untuk mengelola emosi dengan melatih kesabaran, berpikir positif, berlaku bijak
dalam berbagai masalah, tidak mengembangkan karakter ‘adigang-adigung-adiguna’,
mengembangkan rasa tepa slira dan sebagainya. ‘Laku’ dalam konteks ini
berkaitan erat dengan dengan ‘laku’ dalam artian guna kasantikan seperti
yang disampaikan pada aspek pertama tadi. Aspek pertama menyampaikan secara’ wadag’
sedangkan aspek keempat merupakan implementasinya dalam berkehidupan.
Setidaknya ada 4 aspek itu yang saya tangkap
tentang kata ‘laku’ dalam obrolan bapak-ibu kejawen di rumah orang tua saya
tempo doeloe. Tapi jangan lupa… konteksnya pada pupuh tembang Pocung, karena
ada kata ‘laku’ yang jauh berbeda makna yaitu pada konteks ‘laku’ pada saat
seseorang akan meninggal dunia.
Saya yakin, bahwa kata laku yang dibahas
dalam tulisan ini mungkin berbeda dengan opini bapak ibu WI. Mungkin juga…. ada
aspek lain yang kurang. Mungkin juga…. Ada yang keliru. Mungkin juga…. teman-teman
bisa melengkapi. Kalau mau sich……
Mohon maaf teman-teman, ini asal nulis yang
tiba-tiba hinggap di ingatanku… tentunya banyak kesalahan terkait penulisan.
Tangkiyu evribadeh…
Salam.
Nulis kui ya salah sawijining laku amerga pancen kudu dilakoni.
ReplyDeleteSiiiip. Membuka laku....
ReplyDeletehahaha
ReplyDeleteKata "laku" juga dapat dibahas dari ilmu linguistik, khususnya semantik dan sosiopragmatik yang secara langsung berkoneksi dengan ilmu budaya, yaitu membahas bagaimana kata "laku" ini digunakan oleh penutur bahasa Jawa dalam berbagai konteks situasi tutur utk kemudian dianalisis dan memunculkan prinsip-prinsip orang Jawa dlm hubungannya dg sesama, lingkungan, dan pencipta-Nya. Saya jadi ingat, salah satu hasil penelitian saya terkait dengan ini adalah bagaimana orang Indonesia dengan latar belakang budaya Jawa ini memaknai konsep hubungannya dengan Tuhan, seperti konsep2 bahwa semua yang terjadi pada dirinya adalah kehendak penciptanya, seperti yang dituliskan mas Sito itu. Sip, mas Sito.
ReplyDeleteNggih.... Sip m Rien
DeletePekarangane wis laku
ReplyDeleteini juga bagian dari laku. Saking pengin cepet laku, mas pur melakukan laku prihatin: puasa, dhuha, dan juga sambil mlaku2 nawakke.
DeleteLaku idep, laku reng, laku usuk
Delete