Sunday, March 14, 2021

Di Balik Dinding Sekolah

  

--Rin Surtantini

 


 Pada suatu hari pada tahun 2014, seorang teman yang menjadi pengurus komite sekolah pada sebuah sekolah dasar tempat anaknya bersekolah, meminta kepada saya untuk membantunya menuliskan sebuah puisi. Dia ingin membacakannya pada acara perpisahan murid-murid kelas enam di sekolah itu, yang dihadiri tidak hanya oleh murid-murid, tetapi juga oleh para orangtua atau wali murid. Bagi saya ini sebuah permintaan khusus, karena saya tidak tahu mengapa hal ini menjadi penting baginya. Lagipula, saya tidak atau belum pernah menulis puisi karena permintaan orang lain yang ingin menyampaikan sebuah pesan atau sesuatu, sesuai dengan gagasan atau maksud darinya. Bukankah apa yang ada di benak setiap orang berbeda-beda dalam hal memberi dan mencipta makna? Maka, ini menjadi permintaan yang agak sulit bagi saya saat itu.

 Saya harus bertemu dengan teman ini. Percakapan melalui pertemuan singkat dengannya membantu saya untuk memahami mengapa ia ingin membacakan pesan melalui puisi itu pada acara perpisahan murid-murid di sekolah anaknya, dan apa pesan yang ingin dimunculkannya pada puisi itu. Menulis puisi tidaklah mudah bagi saya, meski saya sangat menyukai kegiatan ini sebagai dorongan hati. Akan tetapi, rasa ingin membantu teman ini pun tak bisa dipungkiri. Saya perlu sejenak berdiam untuk dapat menuliskannya.

 Alhasil, tulisan itu berwujud, entah itu puisi atau bukan, saya harus segera mengirimkannya kepada teman ini, dengan catatan saya tidak yakin apakah betul itu isi yang diinginkannya. Saya tak begitu peduli apakah puisi itu jadi dibacakan olehnya pada acara perpisahan itu atau tidak. Yang paling utama adalah akhirnya isi puisi itu malah mewakili pikiran saya dan beberapa fenomena yang saya rasa dan alami. Karena dituliskan pada tujuh tahun yang lalu, mungkin ada yang tidak relevan dengan konteks sekarang, misalnya pada istilah atau frasa “dinding sekolah” sehingga pada masa ini harus dimaknai sebagai makna metaforis.

 Setelah tahun 2014 itu, pada beberapa kesempatan semisal pelatihan kepala sekolah, pengawas, atau guru-guru, puisi itu menjadi bagian dari kegiatan refleksi yang saya lakukan pada akhir pelatihan. Saya membacakannya. Melalui puisi itu, saya bermaksud mengajak para pendidik yang sekaligus juga para orangtua, kita semua, untuk melakukan “redefinisi” terhadap makna dari pencapaian murid-murid yang sekaligus juga anak-anak kita melalui pendidikan. Baru-baru ini, puisi itu kembali saya bacakan sebagai closing statement pada acara Kolase Inovasi dengan topik "Pendekatan Pembelajaran Arts Integration", yang disiarkan secara live streaming melalui channel Youtube milik Radio Edukasi pada hari Kamis, 11 Maret 2021 lalu.

Atas ijin dari Radio Edukasi, bagian akhir dari video yang berisi pembacaan puisi ini diedit dan diunggah ulang oleh saya, sehingga dapat dilihat pada Youtube channel pada link https://youtu.be/JAJhx42vvg0.

Banyak terima kasih saya sampaikan kepada mas Dhanang, yang telah membuatkan backsound dalam bentuk piano cover lagu "The Way We were" atas permintaan khusus saya, sehingga menambah warna untuk pembacaan puisi ini pada video Youtube yang saya edit. Puisi ini ditulis dan dibacakan untuk kita semua, untuk pendidik, untuk para orangtua.

 

Di Balik Dinding Sekolah

(Juli 2014)

 

Ruang kelas adalah dunia yang diciptakan bersama

oleh guru dan murid-muridnya

melalui hari-hari yang terbentang panjang

dengan aneka goresan dan coretan yang penuh warna.

 

Di dalam dunia itu kepada guru

kita titipkan anak-anak kita

dengan sejuta pesan dan kata

yang mewakili gundukan keinginan dan tujuan kita.

 

Kepada guru kita mintakan anak-anak kita

menjadi pandai dengan angka yang cemerlang,

menjadi maju dengan langkah yang panjang,

menjadi hebat dengan prestasi yang gemilang,

menjadi cerdas dengan pengetahuan yang luas,

menjadi terampil dengan kemampuan yang tangkas,

menjadi juara dengan piala di almari kaca yang menghias,

menjadi terkenal karena aneka kesuksesannya.

 

Di dalam dunia yang bernama sekolah itu

kita tak segan meminta para guru

mendengarkan semua pesan dan permintaan kita

yang kita bukukan dan jilid dengan seksama

dengan judul “Cinta Kami kepada Anak-Anak Kami”.

 

Kita sangat mengingat judul buku itu,

karena kita tulis dengan semangat cinta kepada anak-anak kita,

tetapi kita lupa dan mungkin abaikan isinya:

 

Jika kita minta anak kita pandai dengan angka yang cemerlang,

mungkin ia tidak peduli bahwa setiap angka memiliki makna.

 

Jika kita minta anak kita maju dengan langkah yang panjang,

mungkin ia tak sadar telah menginjak kaki temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi hebat dengan prestasi yang gemilang,

mungkin ia akan lupa bagaimana memperolehnya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi cerdas dengan pengetahuan yang luas,

mungkin ia lupa untuk berbagi dengan temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi terampil dengan kemampuan yang tangkas,

mungkin ia abai untuk membantu temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi juara dengan berbagai piala di almari kaca,

mungkin ia tak peduli sekitar dan ingin untuk selalu berada di atas.

 

Jika kita minta anak kita menjadi terkenal karena kesuksesannya,

mungkin ia akan tumbuh dengan rasa bangga yang berlebih.

 

Banyak catatan yang kita titip dan mintakan

kepada guru bagi anak-anak kita

atas nama "cinta" kepada mereka.

Tetapi kita terkadang lupa

untuk menitipkan “nilai-nilai” dan bukan sekedar “angka”:

bahwa anak-anak kita harus tumbuh dan belajar

menjadi anak-anak yang berempati, menghargai,

menghormati, jujur, rendah hati, adil, dan toleran;

bahwa kita terkadang abai

jika anak-anak kita tumbuhkan hanya dengan angka-angka,

maka nilai-nilai menjadi tak lagi bermakna,

dan cinta tidaklah lagi dapat berbicara.

 

 

 


Terima kasih telah membaca catatan ini, atau telah melihat pembacaannya melalui Youtube channel.


Salam sukacita untuk semua!

 

Yogyakarta, 15 Maret 2021.

5 comments:

  1. Puisi yang bagus mbak Rin... Sekedar sharng, kalau saya memakai puisi sebagai ekspresi dari refleksi pemikiran, renungan yang berkecamuk dalam diri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, mas Fajar. Sependapat. Fungsi puisi salah satunya adalah seperti yang dikatakan mas Fajar itu. Banyak media untuk mengungkapkan gagasan atau kerja kognitif kita, salah satunya puisi.

      Delete
    2. Munculnya kok "unknown" ya...salah pencet.
      Itu saya, mas Fajar, hehehe...

      Delete
  2. pesan moral yang baik untuk pendidikan, sip!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks, mas Eko.
      Upaya untuk lebih dishare ke publik...

      Delete