Monday, March 8, 2021

Percakapan yang Membelajarkan

 

  --Rin Surtantini

 


Suatu hari menjelang akhir bulan Desember tahun lalu, saya melakukan percakapan di Whatsapp dengan seorang kolega sekaligus sahabat yang mengajar di sebuah perguruan tinggi negeri. Ia mengelola jurnal terakreditasi nasional berbahasa Inggris yang kebetulan saya menjadi salah satu reviewer (mitra bestari atau penelaah) di dalamnya. Percakapan kami berdua cukup panjang, mengenai tradisi ilmiah dalam menulis dan menelaah artikel yang dikirim ke jurnal yang dikelolanya. Biasanya kami tidak pernah melakukan percakapan untuk artikel-artikel yang kebetulan saya diminta untuk menelaah sesuai dengan bidang keilmuan saya, karena jurnal itu dikelola menggunakan Open Journal System (OJS)yaitu aplikasi perangkat lunak sumber terbuka untuk mengelola dan menerbitkan jurnal ilmiah secara daring dengan penelaahan sejawat. Dengan OJS, sirkulasi pengiriman artikel, penyuntingan, review, dan seterusnya dilakukan secara online. Selain itu, biasanya artikel yang ditelaah itu tidak memiliki identitas penulisnya, sehingga para penelaah merupakan blind reviewers.

 Mengapa kali ini kami melakukan percakapan tentang artikel yang selesai saya telaah itu, karena melalui OJS, saya menyatakan bahwa artikel tersebut harus mengalami major revision yang harus dilakukan oleh penulisnya. Berhari-hari saya menelaah artikel tersebut dan merasa agak bersalah jika harus merekomendasikan ke pengelola jurnal bahwa artikel tersebut “ditolak” (decline) atau dikirim saja oleh penulisnya ke jurnal yang lain (submit elsewhere). Tentu tidak dengan tanpa alasan saya harus merekomendasikan itu, karena mengacu kepada profesionalisme serta standar substansi, teori, metode dan analisis penelitian, serta kebahasaan, artikel tersebut banyak sekali memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mengapa saya kemudian merasa bersalah, adalah karena secara tidak sengaja saya mengetahui bahwa penulis artikel tersebut ternyata rekan sejawat kami berdua juga, teman sekolah pada saat kami sama-sama menempuh pendidikan tertinggi. Dalam artikelnya itu, ia menyematkan beberapa foto yang ada dirinya ketika melakukan penelitian yang ditulisnya!

 Saya tidak jadi menolak artikel tersebut, sehingga saya merekomendasikan revisi mayor alias perlu ditulis ulang dengan comments yang sangat banyak di bagian badan artikel. Ini akan sangat berat baginya. Rasa bersalah itu pun muncul di antara keinginan menegakkan standar serta kualitas dan membiarkan artikel itu lolos apa adanya….  Maka dari sinilah percakapan antara saya dengan kolega, sahabat saya sebagai pengelola jurnal itu terjadi.

 ***

 Oleh kolega saya ini, artikel hasil telaah saya tersebut dikembalikan ke penulisnya melalui OJS, dengan pilihan resubmit for review after revision as suggested within two weeks (silakan dikirim kembali agar bisa dilakukan telaah kembali oleh reviewer setelah penulis melakukan revisi sebagaimana disarankan dalam waktu dua minggu). Baiklah, ini merupakan sebuah tantangan yang berat bagi penulisnya, menurut saya, karena saya membayangkan kondisi artikel dengan revisi mayor tersebut akan sangat sulit untuk direvisi hanya dalam waktu dua minggu.

 Satu hal yang saya pelajari di sini: kolega saya sebagai pengelola jurnal mengatakan, “Dalam tradisi ilmiah, ditolak oleh jurnal itu adalah hal yang biasa, karena saya juga ngalami kok…hahaha…”

Saya menyetujui itu, karena tradisi ilmiah membuat kita banyak belajar untuk menerima fakta dan berbesar hati jika yang kita rasa sudah memenuhi kaidah ilmiah, ternyata belum bagi orang lain. Itulah manfaatnya penelaahan sejawat, yang membuka kesempatan bagi kita sebagai penulis artikel jurnal untuk memasuki dan belajar mengenai pandangan orang lain.

 Berikutnya kolega saya ini mengatakan, “Hal-hal inilah yang mengukuhkan agar pengelola jurnal harus selalu berusaha objektif. Jadi menolak naskah atau artikel itu sama sekali tidak apa-apa…”, demikian lanjutnya. “Apalagi kita sudah mendapat gelar akademik tertinggi. Ini menjadi tanggung jawab moral yang melekat pada hal-hal yang sifatnya objektif sebagai bagian dari membangun tradisi ilmiah. Itu yang harus selalu kita perjuangkan.”

 “Saya dan tim belajar step-by-step dalam perjalanan mengelola jurnal ini. Pada saat awal-awal mengajukan akreditasi dulu, editorial boards harus melakukan make up artikel yang gak nyambung biar jadi nyambung, yang morat-marit biar jadi tertata. Tetapi sekarang, kalau gak sesuai ya langsung kami decline (tolak)…,” lanjutnya.

 “Saya dulu menginisiasi jurnal ini untuk punya mimpi, yaitu punya tradisi ilmiah yang baik. Sudah sepuluh tahun masih merangkak. Semua melewati proses dengan terus memegang teguh tradisi ini. Kita harus menguatkan tradisi ilmiah yang jujur dan kredibel. Kita jauhkan diri dari kepentingan pribadi. Contoh konkritnya adalah sebagai editor in chief, adalah tidak etis jika mendominasi tulisannya sendiri di jurnal yang dikelolanya. Makanya saya sendiri jarang untuk melakukan ini, walaupun bisa dengan mudah saya lakukan itu… Saya harus berusaha menulis di tempat lain,” demikian lanjutnya.

 “Semoga kita dimudahkan oleh-Nya di jalan-Nya. Ini cara kita mengembangkan keilmuan di ranah yang kita kuasai sebagai hasil dari pendidikan yang kita peroleh.”

 Saya mengamini doanya. Terdiam. Yang tiba-tiba melintas dalam benak saya saat itu adalah membandingkan dengan yang saya alami dan yang terjadi di lingkungan saya. Saya tersentak ketika ia melanjutkan lagi…

 “Ini hari ibu. Sepertinya saat baik untuk merenungkan keberadaan kita di bidang akademik dan pendidikan”. Saya melihat kalender meja di dekat laptop. Ah iya, tanggal 22 Desember. Bagi saya ini sebuah kebetulan saja. Yang lebih penting bagi saya adalah pada hari ini terjadi sebuah momen percakapan yang fruitful, bermanfaat dan membelajarkan.

 “….Saya berjuang untuk semua yang saya katakan tadi, walaupun juga ada rongrongan-rongrongan pragmatis…. Tetapi kalau saya masih menjadi leader dalam tugas ini, saya percaya Tuhan tetap memberikan kekuatan bagi saya untuk istiqomah. Jadi akhirnya kita akan dibiarkan untuk memegang prinsip dan memertahankan idealisme yang kita miliki,” lanjutnya lagi.

 Maka saya pun memotong, “Saya sangat berterima kasih karena diberi kesempatan untuk belajar banyak dari proses dan tugas saya menjadi reviewer.”

 Belum sempat saya melanjutkan lagi, ia mengatakan, “Sama-sama, sahabatku. Saya mewakili tim kami, yang harus menyampaikan banyak terima kasih, dan permohonan maaf karena tidak bisa memberikan apresiasi yang layak. Di dalam sistem, kami telah mengikrarkan untuk free of charge, jadi tidak ada dana untuk pengelolaan jurnal ini. Hanya Allah yang membalas amal solehmu, sahabat. Berapa waktu dan pikiran yang dimanfaatkan untuk me-review itu tak ternilai harganya… Mohon maaf, yang kami bisa lakukan hanya menyampaikan SK Rektor dan sertifikat sebagai reviewer. Matur nuwun, sahabat, atas ketulusan dan komitmennya. Iringan doa kami kirimkan, agar engkau tetap sehat, bahagia, dan sukses dunia akherat. Aamiin.”

 Maka saya pun mengucapkan ini, “To me, this is something that makes me proud and feel contented. Sesuatu yang lebih tinggi nilainya secara intangible. Semua itu menjadi urusan Allah, karena saya yakin Tuhan tidak pernah lalai terhadap makhluk yang diciptakan-Nya. Doa yang sama saya kirimkan untukmu.”

 Matahari pun semakin tinggi hari itu. Saya seperti berada dalam dunia yang baru, meski dengan matahari yang tetap sama……. Bagi saya, apa yang saya lakukan selama beberapa tahun terakhir ini pada jurnal yang dikelola oleh kolega dan sahabat saya itu adalah sebuah pengalaman dan contoh nyata berada dalam lingkungan budaya ilmiah yang terpelihara. Tiba-tiba saya ragu, dapatkah ini saya ceritakan dan lakukan dalam sebuah lingkungan yang sarat dengan muatan pragmatis dan politis? Keraguan ini kembali menggedor-gedor pintu hati saya pada malam yang semakin tua, malam setelah saya menerima tugas yang sama dalam bentuk SK yang berbeda!

  

Yogyakarta, 8 Maret 2021.

4 comments:

  1. kalau kpk itu, "berani jujur hebat!", kalau ilmiah itu, "harus jujur!". sama-sama sulit di tengah budaya bedak dan gincu, tapi tetap harus dilakoni.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kuasa bedak dan gincu itulah yang amat sering mengiris-iris hati karena selalu ada di sekeliling kita...

      Delete
  2. Berjihad utk menerapkan hal yg sama di tempat kita😆

    ReplyDelete
    Replies
    1. Merasa ingin begitu mas, di tengah segala sesuatu yg pragmatis dan politis...

      Delete