--Rin Surtantini

Suatu hari
menjelang akhir bulan Desember tahun lalu, saya melakukan percakapan di Whatsapp dengan seorang kolega sekaligus
sahabat yang mengajar di sebuah perguruan tinggi negeri. Ia mengelola jurnal
terakreditasi nasional berbahasa Inggris yang kebetulan saya menjadi salah satu
reviewer (mitra bestari atau penelaah)
di dalamnya. Percakapan kami berdua cukup panjang, mengenai tradisi ilmiah dalam
menulis dan menelaah artikel yang dikirim ke jurnal yang dikelolanya. Biasanya
kami tidak pernah melakukan percakapan untuk artikel-artikel yang kebetulan
saya diminta untuk menelaah sesuai dengan bidang keilmuan saya, karena jurnal
itu dikelola menggunakan Open Journal
System (OJS), yaitu aplikasi perangkat lunak sumber terbuka untuk mengelola dan menerbitkan jurnal ilmiah secara daring dengan penelaahan sejawat. Dengan OJS, sirkulasi pengiriman artikel, penyuntingan, review, dan seterusnya dilakukan secara online. Selain itu, biasanya artikel yang ditelaah itu tidak memiliki identitas penulisnya, sehingga para penelaah merupakan blind reviewers.
Mengapa kali
ini kami melakukan percakapan tentang artikel yang selesai saya telaah itu,
karena melalui OJS, saya menyatakan bahwa artikel tersebut harus mengalami major revision yang harus dilakukan oleh
penulisnya. Berhari-hari saya menelaah artikel tersebut dan merasa agak
bersalah jika harus merekomendasikan ke pengelola jurnal bahwa artikel tersebut
“ditolak” (decline) atau dikirim saja
oleh penulisnya ke jurnal yang lain (submit
elsewhere). Tentu tidak dengan tanpa alasan saya harus merekomendasikan
itu, karena mengacu kepada profesionalisme serta standar substansi, teori, metode
dan analisis penelitian, serta kebahasaan, artikel tersebut banyak sekali memiliki
keterbatasan dan kekurangan. Mengapa saya kemudian merasa bersalah, adalah
karena secara tidak sengaja saya mengetahui bahwa penulis artikel tersebut
ternyata rekan sejawat kami berdua juga, teman sekolah pada saat kami sama-sama
menempuh pendidikan tertinggi. Dalam artikelnya itu, ia menyematkan beberapa
foto yang ada dirinya ketika melakukan penelitian yang ditulisnya!
Saya tidak
jadi menolak artikel tersebut, sehingga saya merekomendasikan revisi mayor
alias perlu ditulis ulang dengan comments
yang sangat banyak di bagian badan artikel. Ini akan sangat berat baginya.
Rasa bersalah itu pun muncul di antara keinginan menegakkan standar serta
kualitas dan membiarkan artikel itu lolos apa adanya…. Maka dari sinilah percakapan antara saya
dengan kolega, sahabat saya sebagai pengelola jurnal itu terjadi.
***
Oleh
kolega saya ini, artikel hasil telaah saya tersebut dikembalikan ke penulisnya
melalui OJS, dengan pilihan resubmit for
review after revision as suggested within two weeks (silakan dikirim kembali
agar bisa dilakukan telaah kembali oleh reviewer
setelah penulis melakukan revisi sebagaimana disarankan dalam waktu dua
minggu). Baiklah, ini merupakan sebuah tantangan yang berat bagi penulisnya,
menurut saya, karena saya membayangkan kondisi artikel dengan revisi mayor
tersebut akan sangat sulit untuk direvisi hanya dalam waktu dua minggu.
Satu hal
yang saya pelajari di sini: kolega saya sebagai pengelola jurnal mengatakan,
“Dalam tradisi ilmiah, ditolak oleh jurnal itu adalah hal yang biasa, karena
saya juga ngalami kok…hahaha…”
Saya
menyetujui itu, karena tradisi ilmiah membuat kita banyak belajar untuk
menerima fakta dan berbesar hati jika yang kita rasa sudah memenuhi kaidah
ilmiah, ternyata belum bagi orang lain. Itulah manfaatnya penelaahan sejawat,
yang membuka kesempatan bagi kita sebagai penulis artikel jurnal untuk memasuki
dan belajar mengenai pandangan orang lain.
Berikutnya
kolega saya ini mengatakan, “Hal-hal inilah yang mengukuhkan agar pengelola
jurnal harus selalu berusaha objektif. Jadi menolak naskah atau artikel itu
sama sekali tidak apa-apa…”, demikian lanjutnya. “Apalagi kita sudah mendapat
gelar akademik tertinggi. Ini menjadi tanggung jawab moral yang melekat pada
hal-hal yang sifatnya objektif sebagai bagian dari membangun tradisi ilmiah.
Itu yang harus selalu kita perjuangkan.”
“Saya dan
tim belajar step-by-step dalam
perjalanan mengelola jurnal ini. Pada saat awal-awal mengajukan akreditasi
dulu, editorial boards harus melakukan
make up artikel yang gak nyambung biar jadi nyambung, yang morat-marit biar jadi
tertata. Tetapi sekarang, kalau gak sesuai
ya langsung kami decline (tolak)…,”
lanjutnya.
“Saya dulu
menginisiasi jurnal ini untuk punya mimpi, yaitu punya tradisi ilmiah yang
baik. Sudah sepuluh tahun masih merangkak. Semua melewati proses dengan terus
memegang teguh tradisi ini. Kita harus menguatkan tradisi ilmiah yang jujur dan
kredibel. Kita jauhkan diri dari kepentingan pribadi. Contoh konkritnya adalah
sebagai editor in chief, adalah tidak
etis jika mendominasi tulisannya sendiri di jurnal yang dikelolanya. Makanya
saya sendiri jarang untuk melakukan ini, walaupun bisa dengan mudah saya
lakukan itu… Saya harus berusaha menulis di tempat lain,” demikian lanjutnya.
“Semoga
kita dimudahkan oleh-Nya di jalan-Nya. Ini cara kita mengembangkan keilmuan di
ranah yang kita kuasai sebagai hasil dari pendidikan yang kita peroleh.”
Saya
mengamini doanya. Terdiam. Yang tiba-tiba melintas dalam benak saya saat itu adalah
membandingkan dengan yang saya alami dan yang terjadi di lingkungan saya. Saya
tersentak ketika ia melanjutkan lagi…
“Ini hari
ibu. Sepertinya saat baik untuk merenungkan keberadaan kita di bidang akademik
dan pendidikan”. Saya melihat kalender meja di dekat laptop. Ah iya, tanggal 22 Desember. Bagi saya
ini sebuah kebetulan saja. Yang lebih penting bagi saya adalah pada hari ini terjadi
sebuah momen percakapan yang fruitful, bermanfaat
dan membelajarkan.
“….Saya
berjuang untuk semua yang saya katakan tadi, walaupun juga ada
rongrongan-rongrongan pragmatis…. Tetapi kalau saya masih menjadi leader dalam tugas ini, saya percaya
Tuhan tetap memberikan kekuatan bagi saya untuk istiqomah. Jadi akhirnya kita akan dibiarkan untuk memegang prinsip
dan memertahankan idealisme yang kita miliki,” lanjutnya lagi.
Maka saya
pun memotong, “Saya sangat berterima kasih karena diberi kesempatan untuk
belajar banyak dari proses dan tugas saya menjadi reviewer.”
Belum
sempat saya melanjutkan lagi, ia mengatakan, “Sama-sama, sahabatku. Saya
mewakili tim kami, yang harus menyampaikan banyak terima kasih, dan permohonan
maaf karena tidak bisa memberikan apresiasi yang layak. Di dalam sistem, kami
telah mengikrarkan untuk free of charge, jadi
tidak ada dana untuk pengelolaan jurnal ini. Hanya Allah yang membalas amal
solehmu, sahabat. Berapa waktu dan pikiran yang dimanfaatkan untuk me-review itu tak ternilai harganya… Mohon
maaf, yang kami bisa lakukan hanya menyampaikan SK Rektor dan sertifikat
sebagai reviewer. Matur nuwun, sahabat,
atas ketulusan dan komitmennya. Iringan doa kami kirimkan, agar engkau tetap
sehat, bahagia, dan sukses dunia akherat. Aamiin.”
Maka saya
pun mengucapkan ini, “To me, this is
something that makes me proud and feel contented. Sesuatu yang lebih tinggi
nilainya secara intangible. Semua itu
menjadi urusan Allah, karena saya yakin Tuhan tidak pernah lalai terhadap
makhluk yang diciptakan-Nya. Doa yang sama saya kirimkan untukmu.”
Matahari pun
semakin tinggi hari itu. Saya seperti berada dalam dunia yang baru, meski
dengan matahari yang tetap sama……. Bagi saya, apa yang saya lakukan selama
beberapa tahun terakhir ini pada jurnal yang dikelola oleh kolega dan sahabat
saya itu adalah sebuah pengalaman dan contoh nyata berada dalam lingkungan
budaya ilmiah yang terpelihara. Tiba-tiba saya ragu, dapatkah ini saya
ceritakan dan lakukan dalam sebuah lingkungan yang sarat dengan muatan
pragmatis dan politis? Keraguan ini kembali menggedor-gedor pintu hati saya
pada malam yang semakin tua, malam setelah saya menerima tugas yang sama dalam
bentuk SK yang berbeda!
Yogyakarta, 8 Maret 2021.
kalau kpk itu, "berani jujur hebat!", kalau ilmiah itu, "harus jujur!". sama-sama sulit di tengah budaya bedak dan gincu, tapi tetap harus dilakoni.
ReplyDeleteKuasa bedak dan gincu itulah yang amat sering mengiris-iris hati karena selalu ada di sekeliling kita...
DeleteBerjihad utk menerapkan hal yg sama di tempat kita😆
ReplyDeleteMerasa ingin begitu mas, di tengah segala sesuatu yg pragmatis dan politis...
Delete