---Eko Santosa
Dewasa ini, kritik berhamburan di media-media sosial,
tentang apa saja. Hampir semua hal yang ada dan terjadi tidak lepas dari
kritik. Masing-masing orang dapat menyampaikannya sesuai dengan cara dan
gayanya. Dari proses berhamburnya kritik ini kemudian lahirllah klasifikasi
baru yang disebut “nyinyiran” atau dianggap sebagai tanggapan asal omong dan
“kritik membangun”. Istilah “nyinyiran” muncul karena kritikan yang disampaikan
dinilai sebagai lebih banyak memperlihatkan sisi buruk seseorang atau lembaga
atau kelompok tertentu, dan hal ini dianggap sebagai kecaman. Sementara itu,
“kritik membangun” muncul sebagai counter atas “nyinyiran” dengan maksud
bahwa setiap pengungkapan kesalahan atau kekeliruan atas sebuah tindakan atau
kebijakan atau langkah atau apapun yang dilakukan oleh orang, kelompok atau
lembaga mesti diikuti dengan penawaran solusi.
Masing-masing orang tentunya memiliki alasan tersendiri
dalam menyampaikan kritik, apakah itu berupa “nyinyiran” maupun “ kritik membangun”.
Namun, jika diulik sedikit lebih jauh, sesungguhnya kritik “nyinyiran” dan
biasanya berisi kecaman tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Hal ini dikarenakan
memang arti “kritik” di dalam kamus Bahasa Indonesia adalah kecaman atau tanggapan,
atau kupasan yang kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk
terhadap suatu karya, pendapat, dan sebagainya (KBBI V). Jadi dengan demikian, kritik memang adalah
kecaman, soal di dalamnya ada uraian dan pertimbangan mengenai baik buruk itu
hukumnya hanya “kadang-kadang”, sehingga tidak harus. Oleh karenanya, mereka
juga tidak merasa memiliki kewajiban untuk menyampaikan solusi karena solusi
semestinya ditemukan oleh orang atau kelompok atau lembaga yang dikritik
berdasar kritikan yang disampaikan.
Sementara itu, dari sisi lain, bagi orang yang menganggap
kritik mesti “membangun”, kemungkinan memaknai kritik dari seluruh arti
“kritik” dengan mengesampingkan kata “kecaman” dan “kadang-kadang”. Jadi bagi
mereka kritik adalah tanggapan, atau kupasan yang disertai uraian dan
pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya, pendapat, dan sebagainya. Oleh
karenanya, kritik mesti harus diuraikan dengan segala pertimbangan baik buruk
yang pada akhirnya akan mengerucut pada solusi. Dengan demikian, kiritik tidak
bisa disampaikan secara sembarangan oleh siapa saja.
Kelit kelindan dan relasi semrawut atas “nyinyiran” dan
“kritik membangun” masih eksis hingga hari ini di media-media sosial.
Masing-masing memiliki pendukungnya sendiri. Jika saja arti “kritik” lebih
menukik pada penilaian profesional, mungkin perdebatan receh nan seru antara
“nyinyiran” dan “kritik membangun” tidak perlu terjadi. Seperti dalam kamus
bahasa Inggris Concise Oxford (11th edition) misalnya, di situ kata
kritik sebagai kata benda diartikan menjadi asesmen dan analisis yang detail
atas sesuatu, sementara sebagai kata kerja diartikan menjadi tindak evaluasi yang
dilakukan dengan cara detail dan analitis. Karena mesti detail dan analitis,
maka tidak sembarangan orang bisa melakukannya. Artinya, tukang kritik itu
mesti profesional di bidangnya. Namun demikian, pemaknaan kata mewujud ke
tindakan dan respons atas tindakan tersebut sejatinya tetap dapat disikapi
dengan bijak. Namun demikian, semua itu berpulang pada tujuan diri masing-masing
atas tindakan yang dilakukan tanpa membebani makna sebuah kata yang bisa saja,
dengan alibi tertentu, arbitrer. (**)
Eko Santosa
WFH/O, 090221
Saya sependapat kritik semestinya keluar dari orang yang menguasai permasaahan. Ini penting agar wacana yang dibangun menjadi produktif. Baik itu berasal dari orang yang pro maupun oposisi. Kalaupun tujuannya untuk menjatuhkan, ya oke2 saja; asal nyambung dan sinkron.
ReplyDeleteSing agak mengusik itu kenapa kata pertama arti kritik adalah kecaman di kamus. Atau memang dari dulu budaya mengkritik adalah mengecam? Ketoke apik kui nek diselisik
DeleteKarena pemaknaan terhadap kata "kritik" itu sendiri arbitrer, memang sikap bijak perlu dibangun dalam menilai atau merespon tindakan melakukan kritik. Kenyataan bahwa akhir2 ini warganet dihadapkan pada fenomena pendengung (buzzer) dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik dalam mengkritik, menunjukkan bahwa sifat arbitrer dari suatu kata tidak akan mencapai keseragaman.
ReplyDeleterealitas manasuka bisa jadi lahir karena adanya relasi kuasa dan makna, yang dipaksakan dan bikin jengah.
DeleteBisa jadi begitu, arbitrer memberi peluang terhadap kuasa.
DeleteKritik lahir dari pencernaan pikir seseorang terhadap sesuatu, menganalisis, mempertanyakan dan menyampaikan argumen atau pendapat sebatas yang dipahami. Kebanyakan orang sangat jarang berani menyampaikannya dalam tatap muka dengan berbagai alasan, pada saat ini medsoslah yg menjadi media pilihan untuk menyampaikan pikirannya.
ReplyDeletesalam.
Yup, bisa jadi juga karena tidak mungkin bertatap muka.
Delete