Monday, February 8, 2021

VIRTUAL TAK SEMUANYA

 

--Eko Santosa 


Sekumpulan mahasiswa sedang memperbincangkan dosen mereka ketika menunggu jadwal kuliah berlangsung. Dosen tesebut terkenal dan sering menjadi perbincangan karena ketakmauannya menggunakan teknologi informasi dalam mengajar, terutama penggunaan gawai. Paling banter, ia hanya menggunakan alat presentasi untuk menjelaskan keterangan lisan berbasis buku yang masih kurang dipahami. Selebihnya, ia akan langsung turun ke lapangan membimbing para mahasiswa berpraktik. Menurut para mahasiswa, sementara banyak dosen telah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sampai taraf virtual reality, dosen mereka yang satu ini terhitung sangat ketinggalan zaman. Meskipun komunikasi verbal yang dibangun di kelas berjalan lancar tetapi menurut para mahasiswa hal tersebut dianggap kurang cukup menopang performansi ideal seorang dosen di zaman modern.

Di tengah perbincangan yang sedikit riuh cenderung kasak-kusuk tersebut, sang dosen datang, berjalan santai dan langsung masuk ke kelas. Semua mahasiswa segera mengikutinya dan duduk dengan rapi. “Kelas hari ini akan saya mulai dengan pendekatan baru”, kata sang dosen. “Oleh karenanya, silakan keluarkan smartphone masing-masing.”  Mendengar itu, sontak kelas riuh. Semua mahasiswa gembira karena merasa ada kemajuan dari sang dosen. “Nah, sekarang, carilah gambar atau foto apel melalui gawai kalian. Bebas, apel jenis apapun yang disukai!” Tak beberapa lama para mahasiswa sudah siap dengan gambar masing-masing. “Sekarang angkat dan tunjukkan gambar apel itu dan saling perlihatkan!” Semuanya mengikuti arahan sang dosen. “Nah, kalian semua telah punya apel. Saya juga punya sebuah apel”, lanjut dosen tersebut sambil mengambil apel dari tasnya.

“Sekarang, mari kita makan bersama apel tersebut, silakan!”, dengan tenang sang dosen memakan apelnya, sementara para mahasiswa saling menatap bingung satu sama lain. “Ada yang nggak enak apelnya?”, tanya sang dosen. Para mahasiswa kembali bingung dan sang dosen dengan lahapnya memakan apel tersebut. Begitu mau selesai, ia lanjut berkata, “Nah, sebagai orang yang berbudaya, kita harus membuang sampah di tempatnya”, seraya mengambil kantong hitam dan membuang sisa apel yang ia makan ke kantong tersebut. “Jika kalian sudah selesai makan apelnya, silakan buang sisanya ke kantong hitam ini ya, dan tolong nanti kantong hitam ini dibuang ke bak sampah”. Kemudian dengan tenang dosen itu berdiri dan berkata, “Sekian pelajaran untuk hari ini, dan sebagai penutup, kita mesti mampu menyediakan kebutuhan makan, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga bagi banyak orang, itulah tujuan utama kita belajar pertanian dan perkebunan. Selamat siang dan terimakasih.” Dengan tenang, dosen itu meninggalkan kelas, meninggalkan para mahasiswa yang saling melongo atau senyum kecut antara satu dengan yang lain.

Selepas kelas, para mahasiswa kembali riuh dalam kasak-kusuk. Ada yang memahami pesan yang hendak disampaikan sang dosen, ada yang tetap bingung, dan ada yang terkesima. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa berkata, “Kemarin bapak itu menjelaskan teori Bronislaw Malinowski bahwa untuk menilai ataupun merasakan sesuatu kita mesti mengalaminya secara langsung.” “Ya, tapi apa kaitannya dengan apel?”, tanya yang lain. “Makanan kan harus kita sediakan secara benar-benar nyata apa adanya, kita makan secara nyata, termasuk rasa kenyang itu harus nyata, tidak semuanya bisa diwakili secara virtual”, sela yang lain. Mendengar itu semuanya diam. Lepas benar atau salah kesimpulan itu, namun kelas menjadi diam, semuanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. (**)

 

Eko Santosa

WFH/O, 080221

7 comments:

  1. Keterampilan praktik idealnya mmg harus dialami, dirasakan, dihayati sebagai proses pembelajaran praktik.

    ReplyDelete
  2. It's reality....
    Mulane dalang2 kae isa nyritakke penak-orane duwe bojo loro.... Merga ngalami sik ya... Ngono ra p Pur?

    ReplyDelete
  3. Haha... pesan yang disampaikan dosen itu mendalam, sarat makna, jika ingin dipikirkan!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu memang berdasar kisah nyata

      Delete
    2. Apik.
      Logikanya malah goes beyond current "convention" ...

      Delete