--Eko Santosa
Sekumpulan mahasiswa sedang memperbincangkan dosen mereka
ketika menunggu jadwal kuliah berlangsung. Dosen tesebut terkenal dan sering
menjadi perbincangan karena ketakmauannya menggunakan teknologi informasi dalam
mengajar, terutama penggunaan gawai. Paling banter, ia hanya menggunakan alat
presentasi untuk menjelaskan keterangan lisan berbasis buku yang masih kurang
dipahami. Selebihnya, ia akan langsung turun ke lapangan membimbing para
mahasiswa berpraktik. Menurut para mahasiswa, sementara banyak dosen telah
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sampai taraf virtual reality,
dosen mereka yang satu ini terhitung sangat ketinggalan zaman. Meskipun
komunikasi verbal yang dibangun di kelas berjalan lancar tetapi menurut para mahasiswa
hal tersebut dianggap kurang cukup menopang performansi ideal seorang dosen di
zaman modern.
Di tengah perbincangan yang sedikit riuh cenderung
kasak-kusuk tersebut, sang dosen datang, berjalan santai dan langsung masuk ke
kelas. Semua mahasiswa segera mengikutinya dan duduk dengan rapi. “Kelas hari
ini akan saya mulai dengan pendekatan baru”, kata sang dosen. “Oleh karenanya,
silakan keluarkan smartphone masing-masing.” Mendengar itu, sontak kelas riuh. Semua
mahasiswa gembira karena merasa ada kemajuan dari sang dosen. “Nah, sekarang,
carilah gambar atau foto apel melalui gawai kalian. Bebas, apel jenis apapun
yang disukai!” Tak beberapa lama para mahasiswa sudah siap dengan gambar
masing-masing. “Sekarang angkat dan tunjukkan gambar apel itu dan saling
perlihatkan!” Semuanya mengikuti arahan sang dosen. “Nah, kalian semua telah
punya apel. Saya juga punya sebuah apel”, lanjut dosen tersebut sambil
mengambil apel dari tasnya.
“Sekarang, mari kita makan bersama apel tersebut,
silakan!”, dengan tenang sang dosen memakan apelnya, sementara para mahasiswa
saling menatap bingung satu sama lain. “Ada yang nggak enak apelnya?”, tanya
sang dosen. Para mahasiswa kembali bingung dan sang dosen dengan lahapnya
memakan apel tersebut. Begitu mau selesai, ia lanjut berkata, “Nah, sebagai
orang yang berbudaya, kita harus membuang sampah di tempatnya”, seraya
mengambil kantong hitam dan membuang sisa apel yang ia makan ke kantong
tersebut. “Jika kalian sudah selesai makan apelnya, silakan buang sisanya ke
kantong hitam ini ya, dan tolong nanti kantong hitam ini dibuang ke bak sampah”.
Kemudian dengan tenang dosen itu berdiri dan berkata, “Sekian pelajaran untuk
hari ini, dan sebagai penutup, kita mesti mampu menyediakan kebutuhan makan,
tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga bagi banyak orang, itulah
tujuan utama kita belajar pertanian dan perkebunan. Selamat siang dan
terimakasih.” Dengan tenang, dosen itu meninggalkan kelas, meninggalkan para
mahasiswa yang saling melongo atau senyum kecut antara satu dengan yang lain.
Selepas kelas, para mahasiswa kembali riuh dalam
kasak-kusuk. Ada yang memahami pesan yang hendak disampaikan sang dosen, ada
yang tetap bingung, dan ada yang terkesima. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa
berkata, “Kemarin bapak itu menjelaskan teori Bronislaw Malinowski bahwa untuk
menilai ataupun merasakan sesuatu kita mesti mengalaminya secara langsung.”
“Ya, tapi apa kaitannya dengan apel?”, tanya yang lain. “Makanan kan harus kita
sediakan secara benar-benar nyata apa adanya, kita makan secara nyata, termasuk
rasa kenyang itu harus nyata, tidak semuanya bisa diwakili secara virtual”,
sela yang lain. Mendengar itu semuanya diam. Lepas benar atau salah kesimpulan
itu, namun kelas menjadi diam, semuanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
(**)
Eko Santosa
WFH/O,
080221
Keterampilan praktik idealnya mmg harus dialami, dirasakan, dihayati sebagai proses pembelajaran praktik.
ReplyDeletebenar.
DeleteIt's reality....
ReplyDeleteMulane dalang2 kae isa nyritakke penak-orane duwe bojo loro.... Merga ngalami sik ya... Ngono ra p Pur?
tanyakan pada ahlinya
DeleteHaha... pesan yang disampaikan dosen itu mendalam, sarat makna, jika ingin dipikirkan!
ReplyDeleteItu memang berdasar kisah nyata
DeleteApik.
DeleteLogikanya malah goes beyond current "convention" ...