--Eko Santosa
Seni adalah karya
manusia yang mengutamakan keindahan, kata sebagian orang. Keindahan seringkali
diidentikkan dengan estetika sehingga hal-hal yang indah disebut sebagai
estetis. Namun soal utamanya adalah apakah estetika itu? Adalah Alexander
Gotlieb Baumgarten (1714-1762) yang pertama kali memunculkan istilah “estetika”
melalui karyanya Reflections on Certain Matters Relating to
Poetry pada tahun 1735 dan berikutnya secara lebih tegas pada
tahun 1750 melalui karyanya Aesthetica. Semenjak aktivitas
filosfis mengenai keindahan yang disebut estetika ini dibincangkan, problem
subyektiftas dan identitas mulai muncul. Artinya, ukuran keindahan karya seni
dapat terjebak pada ukuran subyektif dan bergantung pada identitas. Meski
begitu, estetika diterima sebagai cabang filsafat yang tak hanya membicarakan
perihal keindahan namun juga lingkup alamiah pengalaman manusia dalam konteks
persepsi, perasaan, dan renjana. Secara sederhana, pemikiran ini memberikan
gambaran bahwa perihal keindahan mesti akan selalu bersangkutan dengan
persepsi, perasaan, dan renjana yang mana ketiganya dapat dibentuk melalui
pengalaman berbudaya dan pemikiran yang melingkupinya.
Jauh sebelum
Baumgarten, pada masa Klasik, soal mengenai keindahan ini juga banyak
diperbincangkan (meski tentu saja belum memakai kacamata estetika). Pada masa
hidup Socrates, Plato, dan Aristoteles gagasan atas keindahan seni ini banyak
dimunculkan dan selalu dikaitkan dengan nilai kebenaran. Mengait dengan budaya
pada masa itu di mana kepercayaan akan Dewa-Dewa sangat kuat,
keindahan selalu dikaitkan dengan kebenaran secara metafisik. Jagad para Dewa
adalah dunia atas nan ideal di mana semua keindahan dan kebenaran berasal dan
jagad manusia seisinya adalah dunia imitasi yang pucat menurut Socrates. Plato
berpendapat sama dan ia menilai karya seni atas kualitas peniruannya. Pada masa
itu arsitektur, musik, dan patung dianggap jauh lebih memiliki keindahan dan
kebenaran dibandingkan lukis dan puisi. Lukisan dianggap sebagai peniruan yang
jelek dan palsu karena bersifat 2 dimensi sementara puisi dianggap memberikan
gambaran tak lengkap atas Jagad Dewa bagi para pendengarnya. Meski demikian,
Plato tidak menghujat mereka dengan sangat keras. Melalui karyanya The
Sophist (360 SM) ia mengkategorikan mereka ke dalam “simulakrum”, sebuah kategori
yang sepenuhnya terpisah dari soal keindahan dan kebenaran (maka dengan
demikian, lukis dan puisi belum sepenuhnya dianggap seni).
Aristoteles
mengambil sikap yang berbeda. Ia mengajukan gagasan tentang “fiksi” untuk
memberikan wadah bagi seni yang dianggap tak tampil sempurna, khususnya teater dan
sastra yang pada saat itu sedang gandrung tragedi. Fiksi adalah dunia yang
memiliki struktur dan kenyataan tersendiri. Keindahan, dan dengan demikian juga
kebenaran, fiksi tidak bisa dipersamakan dengan realitas meskipun ide dasar
penciptaannya diambil/dipantik dari sana. Apa yang terjadi di dalam fiksi justru
dapat merefleksikan realitas bagi para penikmatnya. Tokoh Pahlawan yang
menderita di dalam panggung tragedi bukanlah gambaran sempurna realitas
kapahlawanan pada masa itu namun mampu membangkitkan kesadaran akan perlunya
pahlawan sejati di tengah masyarakat. Di sinilah, melalui apresiasi penikmat
atas karya seni, keindahan dan kebenaran fiksi itu berfungsi (maka dengan
demikian, apa yang dipandang sebagai belum seni sebelumnya dapat dikatakan
sebagai seni).
Kaitan antara
keindahan dan kebenaran ini terus menjadi isu sentral di kemudian hari. Apa
yang disebut indah adalah apa yang benar. Ketika agama-agama monoteis masuk, patokan
utama keindahan yang tadinya adalah Jagad Para Dewa bergeser ke Kitab Suci dan
kepercayaan bahwa Tuhan adalah Maha Sempurna. Bahkan ketika kebangkitan sains
memulai pergerakannya dengan beragam penemuan, kaitan antara keindahan dan
kebenaran tetap saja kukuh. Namun kebenaran tak lagi berkutat pada kepercayaan
semata melainkan bergeser pada pengetahuan. Apa yang dianggap benar menjadi
atau merupakan pengetahuan. Model atau rumus pengetahuan agama-agama adalah
Kitab Suci X Logika sementara rumusan pengetahuan sains adalah Data Empiris X
Matematika (Harari, 2018). Keindahan seni berkelindan di antara 2 rumusan pengetahuan
(kebenaran) tersebut. Barulah ketika Humanisme mengajukan rumusan baru di mana Pengetahuan
adalah Pengalaman X Sensitivitas (Harari, 2018), karya seni bisa melepaskan diri dari ikatan
kebenaran. Apa yang indah tidak kemudian
selalu sama dengan apa yang benar.
Dengan berdasarkan
pada rumusan tersebut, Humanisme menyatakan bahwa keindahan karya seni terletak
pada penontonnya/penikmatnya. Jika seseorang melihat karya seni dan atas dasar
pengalaman dan sensitivitasnya dalam mengapresiasi karya itu kemudian mengatakan
bahwa karya seni itu indah, maka indahlah karya seni itu, demikian juga
sebaliknya. Rumusan ini dengan sendirinya menyingkirkan standar tertentu atas
keindahan. Mungkin orang akan manasuka berkarya seni karena cairnya rumusan
estetika yang diajukan. Namun semua bergantung pada respon penikmat apakah
karya seni itu indah atau tidak, apakah keindahan karya seni itu dapat diterima
banyak orang atau tidak. Justru melalui rumusan ini, karya seni mendapatkan
tantangan sesungguhnya ketika hadir menawarkan keindahan kepada khalayak.
Ketiga rumusan
tentang pengetahuan yang mempengaruhi keindahan tersebut masih langgeng hidup
sampai hari ini. Ada orang yang mengatakan bahwa karya seni itu indah karena
mengandung pesan-pesan surgawi di dalamnya. Ada orang yang menyatakan karya
seni itu indah karena bentuk, ukuran penampang dan volume sesuai dengan ruang
pajang yang ia miliki di rumah. Ada pula orang yang mengatakan karya seni itu
indah karena mampu membangkitkan sensasi dalam diri ketika melihatnya.
Penilaian atas keindahan dengan demikian sangat tergantung timbangan-timbangan
estetik yang digunakan. Ketika karya seni mesti dikaitkan dengan “benar dan
salah”, maka tentu saja mesti ada patokan untuk menyatakan bahwa itu “benar”
atau “salah”. Patokan yang semestinya bukan hanya ukuran-ukuran terlihat
melainkan konsep filosofis dan etis di sebaliknya. Ketika karya seni dibebaskan
dari nalar “benar dan salah”, maka semestinya apresiasi yang dihasilkan
berdasarkan pengalaman dan sensitivitas penikmatan itu mesti dihargai dari
sudut pandang penikmat. Dengan demikian, penyematan nilai estetika karya seni
tidak terjebak, berhenti serta dipertahankan ke dalam satu rumusan saja. (**)
Domas-F8, 201019
Sumber utama tulisan:
Kul-Want,
Christopher & Piero. 2012. Introducing Aesthetics, A Graphic Guide.
London: Icon Books
Bacaan dampingan:
Harari, Yuval Noah. 2018. Homo Deus, Masa Depan
Umat Manusia. Jakarta: PT Pustaka Alvabet