--oleh: Eko Santosa
Zeno dari Citium
(334-262 SM) mengalami kemalangan luar biasa karena kapalnya tenggelam bersama
barang dagangan berharga yang ia bawa. Lebih parah lagi, Zeno terdampar di
Athena yang mana bukan merupakan kota tujuannya. Ketika mengobservasi kota, Zeno
menemukan kedai yang menjual buku-buku filsafat. Karena begitu tertarik dengan
isinya, ia bertanya pada pemilik kedai apakah bisa dipertemukan atau
mengunjungi rumah para penulis buku tersebut. Kebetulan pada saat itu
melintaslah Crates salah satu filsuf aliran Sinis (Cynic) yang dikenal
oleh pemilik kedai dan segera saja ia memberitahu Zeno. Tanpa berpikir panjang,
Zeno mengikuti Crates dan menyatakan diri ingin belajar darinya.
Filsafat Sinis (yang diajarkan Cartes kepada Zeno) dilahirkan oleh Antisthenes yang hidup pada 445-365 SM dan merupakan salah seorang pengikut setia Socrates. Meski tidak dimasukkan ke dalam Mazhab Filsafat Formal, namun gagasan dari Filsafat Sinis ini menarik untuk dibicarakan. Tokoh Sinis yang sangat terkenal adalah Diogenes yang diperkirakan hidup pada 403-324 SM. Diogenes dikenal karena perilaku hidupnya yang unik. Ia tinggal di dalam tong anggur kosong, makan dan minum dengan sangat sederhana, dan menggunakan peralatan seadanya. Satu hari ketika sedang berjemur, Alexander the Great yang termasyhur itu menemuinya dan bertanya apakah ada nasihat yang mesti ia lakukan. Diogenes dengan enteng justru menyuruh Alexander menyingkir (bergeser) karena menghalanginya dari sinar matahari. Laku hidup unik dan sederhana ini selaras dengan doktrin mereka bahwa kebahagaiaan sejati tidak terletak atau bergantung pada sesuatu yang acak dan mengambang. Kekayaan, pamor, kekuasaan, dan kesehatan adalah sesuatu yang acak dan mengambang.
Ajaran semacam ini tepat bagi Zeno yang baru saja mengalami kemalangan kehilangan harta benda. Ia suntuk belajar mengenai filsafat Sinis (juga belajar dari filsuf lain selain Cartes) ini hingga akhirnya mengembangkan dan mengajarkan sendiri filsafatnya. Ia melakukan pengajaran di teras-teras gedung di antara pilar-pilar bangunan (colonnade) di sekitaran Athena sehingga filsafatnya dikatakan sebagai Filsafat Stoa (kata “stoa” secara harfiah berarti “teras”). Di dalam ajarannya Zeno mengembangkan pemahaman Sinisme mengenai pencarian atau pencapaian kebahagiaan. Tujuan utama Kaum Stoa adalah hidup terbebas dari emosi negatif, hidup dengan mengasah kebajikan, keberanian, serta kemampuan menahan diri. Laku penting dari aliran Stoa adalah apa yang disebut dengan dikotomi kendali. Setiap orang memiliki kendali atas dirinya sendiri dan “sesuatu yang acak dan mengambang” merupakan hal yang berada di luar kendali diri seseorang. Oleh karena itu, kebahagiaan bersemayam atau bersumber dari sesutau yang berada di bawah kendali diri. Orang yang menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu yang berada di luar kendalinya pasti akan mengalami ketakbahagiaan seperti kecemasan, kecemburuan, kemarahan, kekecewaan, bahkan depresi.
Hal-hal yang berada di bawah kendali diri seseorang adalah pertimbangan (judgement), keinginan, tujuan, pikiran, dan tindakan diri sendiri. Hal-hal yang berada di luar kendali seseorang adalah tindakan orang lain, opini orang lain, popularitas, kesehatan, kekayaan, kondisi saat lahir, serta segala sesuatu di luar pikiran dan tindakan diri sendiri (cuaca, bencana, saham, nilai tukar uang, dan lain-lain). Hal-hal yang berada di bawah kendali diri itu sesuatu yang bebas, tanpa hambatan, kuat, dan merdeka sementara yang di luar kendali adalah sebaliknya. Oleh karena itulah orang yang marah-marah karena tiba-tiba hujan turun akan mengalami kesia-siaan karena ia tidak memegang remote control alam yang mana bisa ia gunakan untuk memulai dan menghentikan hujan sekehendak hatinya.
Dalam masa sekarang ini, pencarian kebahagiaan model Stoa kembali menjadi salah satu pilihan. Hal ini beralasan karena ia bukan merupakan konsep yang ndakik-ndakik atau gagasan yang abstrak melainkan semacam panduan perilaku hidup. Meski kedengaran klise karena mirip dengan ajaran agama-agama, namun Filsafat Stoa dapat dipraktikkan oleh seseorang dari agama manapun karena pandangannya bersifat universal. Pencarian atau penggalian kebahagian melalui hal yang berada di bawah kendali diri sangatlah logis. Di era di mana informasi berseliweran tanpa kendali di dunia maya yang mana sebagian besar umat manusia berselancar di dalamnya, mencari kebahagiaan pada sesuatu yang berada di luar kendali diri dapat berubah menjadi penyakit psikologis mematikan. Penyakit gila like sebagai bentuk kepuasan semu atas foto diri yang kita unggah semakin merebak sebagaimana halnya komentar menghujat atas unggahan orang lain. Sementara itu di dalam dunia nyata, kekayaan bisa saja lenyap dalam sekejap seperti yang dialami Zeno. Kesehatan juga bisa serta-merta terenggut dari diri karena kecelakaan atau sebab lain di luar kendali diri kita. Popularitas juga bisa memudar seketika hanya karena kesalahpahaman kecil atau karena komentar yang terlalu ketus di media sosial. Kekuasaan bisa saja jatuh karena perilaku lawan politik. Intinya, hal-hal yang berada di luar kendali diri seorang manusia bukan merupakan tempat kebahagiaan bersemayam.
Jadi untuk apa
mengejar kebahagiaan yang sumbernya berada di luar kendali diri? Atau, untuk
apa bersedih, marah, benci, frustrasi karena sesuatu yang terjadi dan berada
(eksis) di luar kendali diri? Fokuslah pada apa yang ada di bawah kendali diri
kita dan di sanalah kebahagiaan itu bersemayam. Segala hal yang berada di bawah
kendali diri kita adalah segala hal yang membuat hidup kita bernalar atau
selaras dengan alam. Selamat berbahagia. (**)
Starbucks Amplaz, 191019
Tulisan ini dipantik oleh buku; Henry Manampiring (2019), Filosofi Teras – Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini, terbitan PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Tulisan menarik yang terlewatkan untuk dibaca beberapa waktu lalu. Ajaran Zeno melalui model Stoa ini mendorong kita untuk menciptakan bahagia dari diri sendiri, bukan mencarinya dari orang lain...
ReplyDeletemakasi banget untuk yg nulis, semoga bermanfaat ilmunya
ReplyDelete