Tuesday, October 22, 2019

Estetika: Keindahan dan Kebenaran


--Eko Santosa

Seni adalah karya manusia yang mengutamakan keindahan, kata sebagian orang. Keindahan seringkali diidentikkan dengan estetika sehingga hal-hal yang indah disebut sebagai estetis. Namun soal utamanya adalah apakah estetika itu? Adalah Alexander Gotlieb Baumgarten (1714-1762) yang pertama kali memunculkan istilah “estetika” melalui karyanya Reflections on Certain Matters Relating to Poetry pada tahun 1735 dan berikutnya secara lebih tegas pada tahun 1750 melalui karyanya Aesthetica. Semenjak aktivitas filosfis mengenai keindahan yang disebut estetika ini dibincangkan, problem subyektiftas dan identitas mulai muncul. Artinya, ukuran keindahan karya seni dapat terjebak pada ukuran subyektif dan bergantung pada identitas. Meski begitu, estetika diterima sebagai cabang filsafat yang tak hanya membicarakan perihal keindahan namun juga lingkup alamiah pengalaman manusia dalam konteks persepsi, perasaan, dan renjana. Secara sederhana, pemikiran ini memberikan gambaran bahwa perihal keindahan mesti akan selalu bersangkutan dengan persepsi, perasaan, dan renjana yang mana ketiganya dapat dibentuk melalui pengalaman berbudaya dan pemikiran yang melingkupinya.

Jauh sebelum Baumgarten, pada masa Klasik, soal mengenai keindahan ini juga banyak diperbincangkan (meski tentu saja belum memakai kacamata estetika). Pada masa hidup Socrates, Plato, dan Aristoteles gagasan atas keindahan seni ini banyak dimunculkan dan selalu dikaitkan dengan nilai kebenaran. Mengait dengan budaya pada masa itu di mana kepercayaan akan Dewa-Dewa sangat kuat, keindahan selalu dikaitkan dengan kebenaran secara metafisik. Jagad para Dewa adalah dunia atas nan ideal di mana semua keindahan dan kebenaran berasal dan jagad manusia seisinya adalah dunia imitasi yang pucat menurut Socrates. Plato berpendapat sama dan ia menilai karya seni atas kualitas peniruannya. Pada masa itu arsitektur, musik, dan patung dianggap jauh lebih memiliki keindahan dan kebenaran dibandingkan lukis dan puisi. Lukisan dianggap sebagai peniruan yang jelek dan palsu karena bersifat 2 dimensi sementara puisi dianggap memberikan gambaran tak lengkap atas Jagad Dewa bagi para pendengarnya. Meski demikian, Plato tidak menghujat mereka dengan sangat keras. Melalui karyanya The Sophist (360 SM) ia mengkategorikan mereka ke dalam “simulakrum”, sebuah kategori yang sepenuhnya terpisah dari soal keindahan dan kebenaran (maka dengan demikian, lukis dan puisi belum sepenuhnya dianggap seni).

Aristoteles mengambil sikap yang berbeda. Ia mengajukan gagasan tentang “fiksi” untuk memberikan wadah bagi seni yang dianggap tak tampil sempurna, khususnya teater dan sastra yang pada saat itu sedang gandrung tragedi. Fiksi adalah dunia yang memiliki struktur dan kenyataan tersendiri. Keindahan, dan dengan demikian juga kebenaran, fiksi tidak bisa dipersamakan dengan realitas meskipun ide dasar penciptaannya diambil/dipantik dari sana. Apa yang terjadi di dalam fiksi justru dapat merefleksikan realitas bagi para penikmatnya. Tokoh Pahlawan yang menderita di dalam panggung tragedi bukanlah gambaran sempurna realitas kapahlawanan pada masa itu namun mampu membangkitkan kesadaran akan perlunya pahlawan sejati di tengah masyarakat. Di sinilah, melalui apresiasi penikmat atas karya seni, keindahan dan kebenaran fiksi itu berfungsi (maka dengan demikian, apa yang dipandang sebagai belum seni sebelumnya dapat dikatakan sebagai seni).

Kaitan antara keindahan dan kebenaran ini terus menjadi isu sentral di kemudian hari. Apa yang disebut indah adalah apa yang benar. Ketika agama-agama monoteis masuk, patokan utama keindahan yang tadinya adalah Jagad Para Dewa bergeser ke Kitab Suci dan kepercayaan bahwa Tuhan adalah Maha Sempurna. Bahkan ketika kebangkitan sains memulai pergerakannya dengan beragam penemuan, kaitan antara keindahan dan kebenaran tetap saja kukuh. Namun kebenaran tak lagi berkutat pada kepercayaan semata melainkan bergeser pada pengetahuan. Apa yang dianggap benar menjadi atau merupakan pengetahuan. Model atau rumus pengetahuan agama-agama adalah Kitab Suci X Logika sementara rumusan pengetahuan sains adalah Data Empiris X Matematika (Harari, 2018). Keindahan seni berkelindan di antara 2 rumusan pengetahuan (kebenaran) tersebut. Barulah ketika Humanisme mengajukan rumusan baru di mana Pengetahuan adalah Pengalaman X Sensitivitas (Harari, 2018), karya  seni bisa melepaskan diri dari ikatan kebenaran.  Apa yang indah tidak kemudian selalu sama dengan apa yang benar.

Dengan berdasarkan pada rumusan tersebut, Humanisme menyatakan bahwa keindahan karya seni terletak pada penontonnya/penikmatnya. Jika seseorang melihat karya seni dan atas dasar pengalaman dan sensitivitasnya dalam mengapresiasi karya itu kemudian mengatakan bahwa karya seni itu indah, maka indahlah karya seni itu, demikian juga sebaliknya. Rumusan ini dengan sendirinya menyingkirkan standar tertentu atas keindahan. Mungkin orang akan manasuka berkarya seni karena cairnya rumusan estetika yang diajukan. Namun semua bergantung pada respon penikmat apakah karya seni itu indah atau tidak, apakah keindahan karya seni itu dapat diterima banyak orang atau tidak. Justru melalui rumusan ini, karya seni mendapatkan tantangan sesungguhnya ketika hadir menawarkan keindahan kepada khalayak.

Ketiga rumusan tentang pengetahuan yang mempengaruhi keindahan tersebut masih langgeng hidup sampai hari ini. Ada orang yang mengatakan bahwa karya seni itu indah karena mengandung pesan-pesan surgawi di dalamnya. Ada orang yang menyatakan karya seni itu indah karena bentuk, ukuran penampang dan volume sesuai dengan ruang pajang yang ia miliki di rumah. Ada pula orang yang mengatakan karya seni itu indah karena mampu membangkitkan sensasi dalam diri ketika melihatnya. Penilaian atas keindahan dengan demikian sangat tergantung timbangan-timbangan estetik yang digunakan. Ketika karya seni mesti dikaitkan dengan “benar dan salah”, maka tentu saja mesti ada patokan untuk menyatakan bahwa itu “benar” atau “salah”. Patokan yang semestinya bukan hanya ukuran-ukuran terlihat melainkan konsep filosofis dan etis di sebaliknya. Ketika karya seni dibebaskan dari nalar “benar dan salah”, maka semestinya apresiasi yang dihasilkan berdasarkan pengalaman dan sensitivitas penikmatan itu mesti dihargai dari sudut pandang penikmat. Dengan demikian, penyematan nilai estetika karya seni tidak terjebak, berhenti serta dipertahankan ke dalam satu rumusan saja. (**)

Domas-F8, 201019

Sumber utama tulisan:
Kul-Want, Christopher & Piero. 2012. Introducing Aesthetics, A Graphic Guide. London: Icon Books
Bacaan dampingan:
Harari, Yuval Noah. 2018. Homo Deus, Masa Depan Umat Manusia. Jakarta: PT Pustaka Alvabet

No comments:

Post a Comment