--Rin Surtantini
Merespon spontan
Akhir bulan November 2019
lalu, buku Luka-Luka yang Terluka: Jejak Perkembangan
Lakon, saya terima, dengan pesan tertulis di halaman pertama, “Selamat
membaca” pada bagian buku yang berbahasa Indonesia, dan “Happy reading, happy
learning” pada bagian sebaliknya yang berbahasa Inggris.
I’m so glad, for sure, to get such a good book from such a good friend,
yang juga adalah penulis buku ini sendiri, Eko Santosa, bersama dengan Whani
Darmawan, yang adalah penulis lakon Luka-Luka
yang Terluka (1991). Alasan lain yang membuat saya merasa so glad adalah “perasaan saya” bahwa tujuan dari
penerbitan buku ini sebenarnya sampai ke pembaca potensial. Maka, meskipun free, tentulah pembagiannya perlu selektif. Tidak semua orang bisa memperolehnya,
bukan? For me, personally, ini sebuah
privilege, of course. And as I consider
it as a particular present for me, I’m
pleased to read it. Dan itu harus saya ceritakan di sini.
Pertama, tentu wajah buku
ini yang saya amati sebelum mencari tahu apa isinya. Keunikan yang saya dapati
adalah buku ini memiliki dua wajah: satu wajah sampul (cover depan buku) berjudul bahasa Indonesia, Luka-Luka yang Terluka: Jejak Perkembangan Lakon; dan ketika wajah sampul
ini dibalik, ternyata bagian belakang buku ini juga merupakan wajah sampul (cover depan buku) yang menampilkan judulnya
dalam bahasa Inggris, The Wounded Cuts:
Traces of the Development of the Play. Jadi, buku ini tidak memiliki sampul
atau cover belakang buku, tetapi
memiliki dua sampul atau cover depan
sebagai wajahnya. Tinggal mau mulai membaca atau membuka yang mana, versi
bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Apresiasi saya kepada Eko
Santosa, sebagai kolega widyaiswara (dengan tidak mengenyampingkan Whani
Darmawan sebagai partner dalam menuliskan buku ini): spontan saya memberitakan di grup widyaiswara, dengan melampirkan
foto kedua “wajah” cover depan buku,
diiringi caption: Terbit, oleh Dinas
Kebudayaan DIY, satu buku dalam dua bahasa. “Happy reading, happy learning”
{Eko Santosa}.
Mengapa saya memberitakan
di grup tersebut, adalah semata-mata ingin mengungkapkan apresiasi bahwa
dorongan seorang Eko Santosa dalam menuliskan buku tersebut (dalam pemahaman
saya terhadap Eko) adalah menyebarkan atau menyumbang (ilmu) pengetahuan atas
dasar kemampuan dan kompetensi yang ia miliki, pelajari, tekuni, dan juga ia
“lakoni” dengan hati. Ini cerminan sebuah bentuk aktualisasi diri sebagai personal achievement sesuai dengan
bidang yang digelutinya dengan rasa senang dan serius. Tidak ada sama sekali
tujuan “administratif” yang mengikat seorang widyaiswara, yang pada umumnya cenderung
menjadi terjebak dalam lunturnya atau pudarnya esensi pengembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Terbitnya buku tersebut
dalam dua bahasa adalah persoalan lain; jadi menurut pendapat saya, teman-teman
widyaiswara yang kebetulan latar belakang pendidikannya adalah jurusan bahasa
atau sastra Inggris, rasanya tidak perlu merasa “isin” atau terhenyak karena merasa
belum menulis buku dalam bahasa Inggris. Mengapa? Karena buku ini ‘aslinya’ ditulis
oleh Eko Santosa dan Whani Darmawan dalam bahasa Indonesia, lho, bukan dalam bahasa Inggris. Jadi values yang perlu diangkat sebagai pokok
persoalannya dengan terbitnya buku ini adalah masalah “konten” atau “esensi”
dari apa yang disampaikan oleh penulisnya, yaitu tentang jejak perkembangan
lakon dari naskah sandiwara Luka-Luka
yang Terluka. Itulah yang ingin disampaikan oleh penulisnya sebagai
pengetahuan kepada pembaca potensial. Jadi sama sekali bukan untuk menunjukkan
keterampilan atau kepiawaian menulis dalam bahasa Inggris. Lalu mengapa kemudian
diterbitkan juga dalam bahasa Inggris? Karena pementasan lakon ini, baik di dalam
maupun di luar negeri, menimbulkan kebutuhan untuk diterbitkannya buku lakon
ini dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), untuk memberi ruang yang lebih
luas terhadap gagasan-gagasan kreatif dan menemukan dialektikanya dalam
percaturan kebudayaan dunia (mengutip Aris Eko Nugroho, Kepala Dinas Kebudayaan
DIY dalam kata pengantarnya). Maka, lihatlah, kemudian ada penerjemah lakon dan
penerjemah teks dalam buku versi bahasa Inggrisnya untuk memenuhi tujuan yang
disebutkan itu.
Happy reading, happy learning
Ada lipatan-lipatan waktu
yang harus saya buka untuk membaca buku ini. Sepuluh menit, setengah jam, satu
dua jam, tiga jam, lipatan waktu itu saya sempatkan untuk dibuka: saat menunggu
di klinik dokter gigi, saat naik go car, saat
menunggu cucian digiling di mesin cuci, saat menunggu air mendidih sebelum
menyeduh teh, saat di ruang tunggu airport,
saat akan tidur, saat istirahat dari mengedit modul menuju deadline, dan saat-saat lainnya. Dan alhasil, seiring dengan
lipatan waktu yang saya buka berulang-ulang, buku itu tidak mulus lagi seperti
ketika pertama saya terima.
Saat membaca buku Luka-Luka yang Terluka, saya merasakan flashback sekian puluh tahun silam
ketika menjadi mahasiswi di jurusan Sastra Inggris di Fakultas Sastra, di
kampus biru. Mata kuliah Literary
Criticism, Novels, Poetry, Drama, Book Report, menjadi bagian tak
terpisahkan dari sekian paper yang selalu harus ditulis dan diselesaikan dari
kegiatan membaca sekian teks, naskah, karya-karya sastra berupa novel, puisi,
drama, dalam bahasa Inggris. Dua tulisan Eko Santosa dalam buku Luka-Luka yang Terluka, mengingatkan
saya akan masa-masa silam itu. Ah, betapa pekerjaan dan tugas saya sebagai
widyaiswara saat ini sudah sangat sangat berbeda dan jauh dari masa-masa
tersebut. Tiba-tiba saya rindu untuk kembali membaca teks-teks ber-genre sastra, berselancar, menyelam ke
kedalaman nilai-nilai dan pesan-pesan yang sarat dengan potret segala sisi
kehidupan manusia dalam perjalanan jaman.
“Telisik Lakon Luka-Luka yang Terluka” adalah tulisan
pertama Eko Santosa dalam buku ini yang mengingatkan saya pada tugas menelaah naskah-naskah
drama pada jaman kuliah di Fakultas Sastra pada masa lalu itu, dan pelibatan critical thinking, analisis, sintesis,
evaluasi, dalam melakukan telaah. Eko melakukan dan menuliskan telisiknya terhadap
naskah lakon Luka-Luka yang Terluka dengan
cermat dan kritis mulai dari sinopsis, penokohan, setting dan spektakel, plot dan dramatika lakon dengan interpretasi
dan sub-metode yang dipilihnya. Perhatikan, ia mencantumkan daftar bacaan yang
tentu digunakannya sebagai referensi untuk mewujudkan tulisannya ini.
Telisik Eko terhadap
lakon yang ditulis oleh Whani Darmawan (1991) ini menurut saya tidak terlepas
juga dari sejarah bagaimana naskah lakon ini pertama kali jatuh ke tangan Eko
pada tahun 1993. Eko-lah yang melakukan adaptasi terhadap naskah aslinya sesuai
kebutuhan tanpa merusak esensi, demikian menurut Whani. Naskah versi Eko inilah
yang kemudian beredar jauh dan dimainkan berganti-ganti pemain dalam rentang
waktu tertentu (terakhir pada akhir bulan November 2018 di Singapura). Jadi,
jika Eko menuliskan dengan cermat telisiknya terhadap naskah lakon ini, tidak
diragukan lagi, karena ia juga merupakan orang yang paling banyak mementaskan
lakon ini, baik sebagai pemeran maupun sutradaranya.
Apa yang membuat saya
mengalami happy reading and happy
learning? Persinggungan dan komunikasi Eko yang intens dengan teks lakon Luka-Luka yang Terluka sangat membantu
saya untuk mencoba memahami atau menginterpretasi naskah lakon ini melalui
telisik yang dituangkan Eko dalam tulisannya tersebut. Dan saya kemudian
menuliskan ini dalam status saya di WhatsApp, the more I read, the more I acquire, and the more certain I am that I
know nothing… (mengutip kata-kata bijak dari sebuah web). Jadi, saya
mendapatkan pengetahuan tentang keberadaan naskah lakon karya Whani Darmawan
ini, sebagaimana judul catatan penyunting buku ini: Mengingat Ulang terhadap Lakon yang pernah Ditinggalkan. Saya pun
mendapatkan pemahaman mengenai lakon ini, yang bercerita tentang apa…. Saya
belajar kembali.
“Perjalanan Artistik
Pementasan Luka-Luka yang Terluka”
adalah tulisan kedua Eko Santosa dalam buku ini. Tidak seperti tulisan Eko yang
pertama, tulisan ini tidak membawa saya ke masa lalu ketika mengikuti kuliah di
jurusan Sastra Inggris, karena tulisan kedua ini sudah secara spesifik menjadi
keahlian khusus bidang teater, yaitu artistik pementasan yang tidak pernah saya
pelajari pada masa lalu. Apresiasi yang saya berikan terhadap tulisan kedua ini
adalah bagaimana dokumentasi pementasan lakon Luka-Luka yang Terluka diceritakan secara detil dan lengkap oleh
Eko sejak pertama kali dipentaskan pada tahun 1993 sampai dengan tahun 2018.
Kurun waktu 25 tahun merupakan bentangan waktu yang cukup panjang untuk
mengikuti bagaimana naskah lakon ini menyerupai “organisme yang hidup” dan
mengalami perkembangan pada jaman yang berbeda-beda. Setidaknya Eko mencatat
ada enam konsep dasar atau pendekatan yang digunakan dalam proses pemeranan
yang menandai kehidupan naskah lakon ini. Ia mencatatnya dengan detil termasuk
gambar-gambar karyanya sendiri yang disajikannya untuk menyertai setiap babakan
konsep dasar yang diuraikan. Sebuah pencapaian yang ulung! Selain itu, melalui
tulisan kedua ini, pembaca juga bisa mencatat bagaimana perjalanan seorang Eko
Santosa menikmati pergulatannya dengan naskah lakon Luka-Luka yang Terluka dan meraih prestasi di bidang yang ia tekuni
melaluinya. Maka benarlah: Naskah ini penting, orang yang terlibat di dalamnya
penting untuk naskah ini (mengutip Whani Darmawan dalam Mengapa Menerbitkan Lakon Ini?).
Maka, saya pun kemudian
membaca naskah lakon Luka-Luka yang
Terluka, untuk tujuan extensive
reading, meski telah “dipengaruhi” oleh kedua tulisan Eko, catatan
penyunting, dan tulisan Whani Darmawan pada bagian awal buku. Interpretasi saya
yang mandiri terhadap naskah lakon ini, tentu ada, dan itu menjadi bagian dari
kegiatan personal reading for fun and, of
course, for learning, as always.
Terimakasih, mas Eko.
Best wishes for your next achievement!
Resensi yang sangat menarik, dituturkan dengan apik...
ReplyDeleteMas Rohmat, terimakasih sudah memuat tulisan saya ini di Vidyasana. Bukan tulisan ilmiah, tetapi tulisan yg merupakan apresiasi saya terhadap terbitnya buku Eko Santosa yg kebetulan jatuh ke tangan 'pembaca potensial', hehehe... Juga keinginan saya untuk mempromosikan 'bentuk' atau 'genre' tulisan lain baik dari mas Eko maupun saya sendiri, yang saya harapkan bisa 'mewarnai' tulisan2 teman2 widyaiswara yang selama ini diproduksi .... juga keinginan untuk mempromosikan bentuk 'dorongan' dalam menulis sesuatu... Again, thanks a lot, mas Rohmat n mas Eko!
DeleteSalam kenal dan terimakasih mbak Rini
DeleteWhani Darmawan
DeleteMas Whani, terimakasih. Saya kenal mas Whani karena dulu kita pernah sama2 belajar berbahasa Inggris. Salamat juga ya mas, utk piala Citra-nya! Salut.
DeleteMohon ijin tulisannya sy nukil untuk promo di ig nggih? Wd
DeleteInteresting book review!
ReplyDeleteTerimakasih. Boleh saya tau, komentar ini dari siapa ya...
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah, it's amazing writing and reading ! I enjoy very much your good review mbak Rien ! Go on and good luck ! Be blessed always forever dear sister !
ReplyDeleteThank you. Unfortunately, I can't recognize the sender of this comment. Many thanks for your response. GBU, too!
DeleteMantab jeng Rin resensinya. Monggo segera menyusul mas Paul ke Kompas.
ReplyDeleteNuwun, mb Rio (?), mb Mimi, or mb Wiwied (?) ya ini... wah, kalo saya masih sangat jauh di bawahnya mas Paul, hehehe...
Delete