---Rin Surtantini
Kegelisahan yang berdiam
Mengingat kembali istilah
“memroduksi pikiran” yang dimunculkan oleh salah seorang kolega widyaiswara, membuat
tulisan yang sempat tertunda-tunda ini saya selesaikan. Kegelisahan yang
berdiam dalam pikiran harus ditanggapi, dengan cara “berpikir” juga, agar
pikiran tidak sakit. Kali ini kegelisahan saya berawal dari seputar makna dua kata
yang saya dengar berulang-ulang beberapa waktu terakhir ini, bahkan tak luput
saya pun harus mengucapkan beramai-ramai, bersama-sama, senada, seirama, di
dalam lingkungan kerja, dalam berbagai kesempatan. Kedua kata itu adalah
“bangkit” dan “bisa”. Tujuan menyerukan kata-kata itu bersama-sama --dengan
diiringi gesture tangan kanan
diangkat sambil mengepalkan jari tangan-- tentu adalah untuk menumbuhkan
semangat, kesetiaan, kegembiraan, kebersamaan, identitas diri, kebanggaan,
kemampuan, dan berbagai nuansa lainnya. Sudah dapat dipastikan, seruan
kata-kata itu tentu tidak dimaksudkan untuk menumbuhkan kegelisahan.
Tetapi saya merasakan gelisah, ketika menyerukan kedua kata
itu.
Seni Budaya,
“bangkit”! Seni Budaya, “bisa”!
Kata adalah simbol, segala sesuatu yang dimaknai
Simbol adalah segala
sesuatu yang dimaknai, sedangkan “kata” yang diucapkan merupakan wujud dari
pikiran atau gagasan. Jika “kata” yang diserukan itu adalah untuk
mengomunikasikan pikiran atau gagasan, dan terjadi pemaknaan, maka kata adalah
simbol. Karena simbol ini dilisankan sebagai salah satu bentuk komunikasi, maka
simbol ini ditangkap dalam bentuk bunyi. Jadi, interaksi di antara kita adalah
interaksi simbolik. Sebagai simbol, maka kata “bangkit” dan kata “bisa”
sejatinya memiliki makna dan diberi makna oleh yang mengucapkannya.
Sebagai makhluk yang
memroduksi pikiran, kita tidak bisa terhindar dari tidak memaknai atau tidak
memberi makna. Simbol tidak harus konkrit atau berupa material, tetapi juga
berupa gagasan. Kembali ke persoalan kata “bangkit” dan “bisa”, maka kedua kata
ini adalah simbol yang abstrak, yang berupa gagasan. Ada dimensi makna di sini.
Jadi, apa makna dari gagasan yang diusung oleh kedua kata itu?
Pemaknaan dilakukan oleh
pencipta simbol, maupun orang lain. Pemaknaan bisa personal (private) ataupun kolektif (shared, public, collective). Adakah
makna dari gagasan yang diwujudkan oleh kata “bangkit” dan “bisa” dari ujaran Seni Budaya “bangkit”, Seni Budaya “bisa” itu?
Meneropong makna: hasil kesepakatan?
Ketika simbol berupa kata
diserukan bersama-sama oleh sekumpulan orang dalam bentuk bunyi, sejatinya itu
adalah hasil kesepakatan dan komitmen bersama. Rupanya ini yang membuat saya
gelisah. Saya ikut-ikutan mengangkat tangan dan berseru sebagai wujud aksi dari
ego yang saya miliki, yang terjadi karena bekerjanya super ego saya berupa
nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam pengelolaan hubungan sosial. Akan tetapi
saya merasakan ada dorongan-dorongan lain yang mengganggu dan mempertanyakan
aksi saya itu, yang menggelisahkan:
Bisa!
Bisa apa? Bisa menjadi
apa?
Bangkit!
Bangkit dari apa?
Bangkit dari mana?
Bangkit menuju apa?
Bangkit menjadi apa?
Entah dari mana dan siapa
yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu dalam pikiran saya. Dan setiap saat
saya menyerukan kedua kata itu beramai-ramai dengan gesture yang sama, setiap saat pula pertanyaan-pertanyaan berikutnya
memenuhi rongga pikiran saya:
Bukankah itu “unfinished sentence” yang sering kamu gunakan sebagai
pancingan agar murid-murid dalam kelas Bahasa Inggris memproduksi kalimat secara
kreatif dengan struktur yang benar dan penggunaan bahasa yang sesuai?
I can ……………………..
I move up to ……………….
Lalu, dari pancingan kalimat yang belum
selesai itu, murid-muridmu akan melaporkan berbagai kemungkinan kalimat yang
diproduksinya. Menarik, dan menyenangkan sekali mendengarkan variasi
kalimat-kalimat yang muncul dari mereka.
Dan perhatikan, ketika kamu meminta mereka
untuk mengoneksikan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari, maka
penyelesaian kalimatmereka yang bervariasi itu mencerminkan perilaku, tindakan,
gagasan mereka!
Betul
sekali!
Maka
….
jika
kita menyerukan “Seni Budaya bisa!” / “Seni Budaya bangkit!”
coba
lanjutkan kalimat itu dalam hati: “bisa …………… ” dan “bangkit dari …………….”
Jika
kedua kata itu adalah “simbol”, maka keduanya mengusung makna, keduanya
memiliki makna, keduanya adalah gagasan yang dimaknai, dan bukan tidak mungkin
bahwa kedua kata ini menjadi bagian dari kita sebagai organisme, yang berpikir,
bertindak, berperilaku, bersikap, dan bertutur menurut makna personal yang kita
berikan kepada kedua kata ini, yang kemudian dalam lingkaran yang lebih luas,
menjadi makna kolektif, makna bersama (shared,
collective meaning) yang disepakati…..
Dan dalam
perjalanan waktu, kedua kata itu pun akan menjadi “wajah” institusi, menjadi work culture. Pikirkan, jika kita tidak
tahu bahwa kita “bisa apa”, atau “bisa menjadi apa” dan “bangkit dari apa” atau
“bangkit dari mana”…..
Dalam teknik mengajar, menggunakan kalimat tidak selesai dan berharap diselesaikan oleh peserta sangat ditabukan.. Misal (kece.. wa, bong, pit.. dll) hehehe efek kalimat tidak selesai
ReplyDeleteWaaa...kalo contohnya itu jelas ditabukan...hehehe ...krn levelnya suku kata...
Delete