Friday, December 20, 2019

"Bisa" dan "Bangkit": Meneropong Makna


---Rin Surtantini

Kegelisahan yang berdiam
Mengingat kembali istilah “memroduksi pikiran” yang dimunculkan oleh salah seorang kolega widyaiswara, membuat tulisan yang sempat tertunda-tunda ini saya selesaikan. Kegelisahan yang berdiam dalam pikiran harus ditanggapi, dengan cara “berpikir” juga, agar pikiran tidak sakit. Kali ini kegelisahan saya berawal dari seputar makna dua kata yang saya dengar berulang-ulang beberapa waktu terakhir ini, bahkan tak luput saya pun harus mengucapkan beramai-ramai, bersama-sama, senada, seirama, di dalam lingkungan kerja, dalam berbagai kesempatan. Kedua kata itu adalah “bangkit” dan “bisa”. Tujuan menyerukan kata-kata itu bersama-sama --dengan diiringi gesture tangan kanan diangkat sambil mengepalkan jari tangan-- tentu adalah untuk menumbuhkan semangat, kesetiaan, kegembiraan, kebersamaan, identitas diri, kebanggaan, kemampuan, dan berbagai nuansa lainnya. Sudah dapat dipastikan, seruan kata-kata itu tentu tidak dimaksudkan untuk menumbuhkan kegelisahan.

Tetapi saya merasakan gelisah, ketika menyerukan kedua kata itu.
Seni Budaya, “bangkit”! Seni Budaya, “bisa”!


Kata adalah simbol, segala sesuatu yang dimaknai
Simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai, sedangkan “kata” yang diucapkan merupakan wujud dari pikiran atau gagasan. Jika “kata” yang diserukan itu adalah untuk mengomunikasikan pikiran atau gagasan, dan terjadi pemaknaan, maka kata adalah simbol. Karena simbol ini dilisankan sebagai salah satu bentuk komunikasi, maka simbol ini ditangkap dalam bentuk bunyi. Jadi, interaksi di antara kita adalah interaksi simbolik. Sebagai simbol, maka kata “bangkit” dan kata “bisa” sejatinya memiliki makna dan diberi makna oleh yang mengucapkannya.

Sebagai makhluk yang memroduksi pikiran, kita tidak bisa terhindar dari tidak memaknai atau tidak memberi makna. Simbol tidak harus konkrit atau berupa material, tetapi juga berupa gagasan. Kembali ke persoalan kata “bangkit” dan “bisa”, maka kedua kata ini adalah simbol yang abstrak, yang berupa gagasan. Ada dimensi makna di sini. Jadi, apa makna dari gagasan yang diusung oleh kedua kata itu?

Pemaknaan dilakukan oleh pencipta simbol, maupun orang lain. Pemaknaan bisa personal (private) ataupun kolektif (shared, public, collective). Adakah makna dari gagasan yang diwujudkan oleh kata “bangkit” dan “bisa” dari ujaran Seni Budaya “bangkit”, Seni Budaya “bisa” itu?


Meneropong makna: hasil kesepakatan?
Ketika simbol berupa kata diserukan bersama-sama oleh sekumpulan orang dalam bentuk bunyi, sejatinya itu adalah hasil kesepakatan dan komitmen bersama. Rupanya ini yang membuat saya gelisah. Saya ikut-ikutan mengangkat tangan dan berseru sebagai wujud aksi dari ego yang saya miliki, yang terjadi karena bekerjanya super ego saya berupa nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam pengelolaan hubungan sosial. Akan tetapi saya merasakan ada dorongan-dorongan lain yang mengganggu dan mempertanyakan aksi saya itu, yang menggelisahkan:

Bisa!
Bisa apa? Bisa menjadi apa?

Bangkit!
Bangkit dari apa? Bangkit dari mana?
Bangkit menuju apa? Bangkit menjadi apa?

Entah dari mana dan siapa yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu dalam pikiran saya. Dan setiap saat saya menyerukan kedua kata itu beramai-ramai dengan gesture yang sama, setiap saat pula pertanyaan-pertanyaan berikutnya memenuhi rongga pikiran saya:

Bukankah itu “unfinished sentence” yang sering kamu gunakan sebagai pancingan agar murid-murid dalam kelas Bahasa Inggris memproduksi kalimat secara kreatif dengan struktur yang benar dan penggunaan bahasa yang sesuai?

I can ……………………..
I move up to ……………….

Lalu, dari pancingan kalimat yang belum selesai itu, murid-muridmu akan melaporkan berbagai kemungkinan kalimat yang diproduksinya. Menarik, dan menyenangkan sekali mendengarkan variasi kalimat-kalimat yang muncul dari mereka.

Dan perhatikan, ketika kamu meminta mereka untuk mengoneksikan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari, maka penyelesaian kalimatmereka yang bervariasi itu mencerminkan perilaku, tindakan, gagasan mereka!

Betul sekali!
Maka ….
jika kita menyerukan “Seni Budaya bisa!” / “Seni Budaya bangkit!”
coba lanjutkan kalimat itu dalam hati: “bisa …………… ” dan “bangkit dari …………….”
Jika kedua kata itu adalah “simbol”, maka keduanya mengusung makna, keduanya memiliki makna, keduanya adalah gagasan yang dimaknai, dan bukan tidak mungkin bahwa kedua kata ini menjadi bagian dari kita sebagai organisme, yang berpikir, bertindak, berperilaku, bersikap, dan bertutur menurut makna personal yang kita berikan kepada kedua kata ini, yang kemudian dalam lingkaran yang lebih luas, menjadi makna kolektif, makna bersama (shared, collective meaning) yang disepakati…..

Dan dalam perjalanan waktu, kedua kata itu pun akan menjadi “wajah” institusi, menjadi work culture. Pikirkan, jika kita tidak tahu bahwa kita “bisa apa”, atau “bisa menjadi apa” dan “bangkit dari apa” atau “bangkit dari mana”…..

Malang, 3 Desember 2019.

2 comments:

  1. Dalam teknik mengajar, menggunakan kalimat tidak selesai dan berharap diselesaikan oleh peserta sangat ditabukan.. Misal (kece.. wa, bong, pit.. dll) hehehe efek kalimat tidak selesai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waaa...kalo contohnya itu jelas ditabukan...hehehe ...krn levelnya suku kata...

      Delete