--Rin Surtantini
Mengenal kata “FOMO”
Baru-baru ini saya
terusik oleh tulisan teman saya, Ahmad Munjid, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya
UGM, yang dikirim ke grup WhatsApp teman-teman jaman sekolah S1 dulu di Sastra
Inggris. Ia menulis tentang “Seberapa FOMO-kah
kamu?” Saya pun bergegas untuk “memeriksa” diri sendiri dengan pertanyaan itu. Beberapa
kamus online berbahasa Inggris saya
telusuri untuk meneropong apa itu sebenarnya “FOMO”.
Kata “FOMO” ternyata
telah menjadi sebuah kosakata baru dalam banyak kamus berbahasa Inggris sejak
tahun 2013. Mari kita kenali kata baru dalam bahasa Inggris ini meskipun kita
berbahasa Indonesia. Mengapa? Perkembangan istilah atau kata dalam bahasa apa
pun menunjukkan bahwa sebuah istilah atau sebuah kata dapat menjadi kosakata baru
dalam sebuah bahasa ketika kata tersebut digunakan manusia untuk menyatakan
gagasannya, untuk berperilaku, berproses, dan memunculkan produk atau hasil
dari gagasan, perilaku, dan proses yang
dilakukan tersebut. Kata itu pun menjadi bagian dari perilaku dan tindakan atau
gaya hidup sehari-hari, meski tidak kita sadari. Maka, apakah kata “FOMO” juga demikian?
“FOMO” adalah singkatan
dari Fear of Missing Out. Apa itu? Definisi
atau penjelasan dari makna kata ini saya telusuri dari beberapa kamus online berbahasa Inggris, yang
menunjukkan adanya kesamaan dalam mendefinsikan makna kata ini.
- » Kamus Merriam-Webster menjelaskan arti kata “FOMO” sebagai sebuah ketakutan akan tidak terlibatnya diri kita di dalam sesuatu hal, seperti misalnya tidak terlibat dalam aktivitas yang menarik atau menyenangkan yang dialami oleh orang lain.
- » Kamus lain, Cambridge, menuliskan bahwa kata “FOMO” adalah perasaan khawatir bahwa kita kehilangan kejadian-kejadian menarik yang sedang dilakukan oleh orang lain, yang disebabkan terutama oleh apa yang kita lihat di media sosial.
- » Oxford Leaner’s Dictionaries menjelaskan kata “FOMO” sebagai rasa cemas bahwa sebuah kejadian menarik terjadi di sebuah tempat lain; dan karena kita semua terlibat dalam kehidupan internet, maka ketika kita melihat kehidupan orang lain via internet dan merasa bahwa orang-orang lain mengalami atau melakukan hal-hal yang lebih menyenangkan daripada kita, itu pertanda kita mengalami kecemasan dan FOMO.
- » Collins Dictionary mencatat kata “FOMO” sebagai kecemasan yang muncul dari keyakinan kita bahwa orang lain sedang menjalani kehidupan yang lebih aktif dan memuaskan daripada diri kita.
Kecemasan atau ketakutan
akan ketinggalan atau kehilangan “sesuatu” menjadi pokok persoalan munculnya
kata “FOMO”. Rasa cemas ini tak bisa terlepas dari gelombang kehidupan digital
yang kita alami, yang menguasai kita, dan tidak bisa kita hindari. FOMO
menyelinap perlahan tapi pasti, menyusup diam-diam di bawah kesadaran dan terkadang
di luar kendali kesadaran kita. Ia menguasai fokus kesadaran diri kita, dan
pada kekuatan tertentu, ia akan mengacaukan makna atau konsep “kebahagiaan”.
FOMO mengacu kepada rasa
cemas akan ketinggalan atau kehilangan informasi, berita-berita, atau update-update status, seperti
posting-posting yang muncul dari Facebook,
tweets dari Twitter, atau bahkan informasi
tentang produk-produk belanja dan pelayanan-pelayanan yang muncul gencar secara
online (https://www.managementstudyguide.com/).
FOMO berkaitan dengan kebutuhan seseorang untuk selalu terkoneksi dengan orang
lain secara digital dalam rangka mendapatkan informasi atau berita mengenai apa
yang sedang dilakukan oleh orang lain. Hal ini diungkap dalam artikel di https://www.ionos.com/digitalguide/online-marketing/social-media/fomo/. Dengan demikian, FOMO merupakan
gejala sosial yang secara erat berkaitan dengan proses digitalisasi dalam kehidupan
sehari-hari kita. Semakin banyak saat ini orang terbiasa dengan perasaan cemas,
mengalami rasa takut, khawatir semacam ini, yang memiliki potensi untuk berkembang
menjadi tekanan psikologis yang mengganggu.
Wajah dan pemicu dari FOMO
Mengutip artikel di https://www.ionos.com/digitalguide/online-marketing/social-media/
di atas, FOMO memiliki wajah dan pemicu yang berbeda-beda, yang antara lain
diidentifikasikan berikut ini (diterjemahkan secara bebas dari laman web tersebut).
Kegiatan teman-teman:
FOMO sering berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh teman-teman kita atau kenalan yang kita tidak terlibat di
dalamnya. Hal ini memicu rasa khawatir bahwa kita bukan menjadi bagian dari
mereka dan merasa bahwa kita tidak disukai oleh orang-orang tersebut yang
menurut kita penting bagi kita.
Terlalu
banyak pilihan:
Rasa cemas akan kehilangan sebuah momen atau
sesuatu juga dapat dipicu bukan oleh karena tidak terlibatnya kita dalam
kegiatan dengan teman-teman kita, tetapi dapat juga dipicu oleh justru banyaknya
jumlah kemungkinan yang kita miliki pada waktu luang kita, misalnya perasaan “Wah,
seharusnya saya pergi ke sana”, “Jangan-jangan sesungguhnya pekerjaan lain itu
lebih baik”, “Ah, sepertinya saya salah memilih yang ini,” dan
perasaan-perasaan semacam itu karena kita dihadapkan pada berbagai pilihan dan
kemungkinan yang membingungkan.
Berada
dalam proses yang berulang-ulang:
FOMO juga disebabkan oleh aliran berita yang muncul
tanpa akhir, terus-menerus, di telepon genggam kita. Akan sangat tidak mungkin
kita selalu bisa up to date terhadap
segala hal. Akan tetapi, orang-orang yang menderita FOMO akan merasa bahwa
mereka harus dan butuh untuk selalu meng-klik ke depan dan ke belakang setiap
atau semua pasokan berita (news feed), atau informasi yang datang atau masuk
ke telepon genggamnya, baik itu dari koran online,
media sosial, aplikasi-aplikasi pesan, dan sebagainya. Itu akan membuatnya
merasa tidak ketinggalan atau tidak kehilangan satu pun info, tren,
perkembangan, atau kesempatan yang muncul di sana.
FOMO: fenomena lama setua peradaban manusia
Sebagai sebuah konsep,
FOMO muncul seiring dengan lahir dan merebaknya media sosial dalam satu atau
dua dekade terakhir ini. Namun demikian, sebagai fenomena psikologis, FOMO sejatinya
sudah dialami manusia sejak dahulu kala. Bukankah kecemasan untuk melihat ke
belakang dengan rasa menyesal karena telah mengambil jalan yang salah dialami
oleh manusia sejak dahulu? Bukankah membiarkan kesempatan baik berlalu juga
terjadi pada banyak orang? Bukankah mengambil keputusan yang salah juga telah
banyak memengaruhi banyak manusia dalam perjalanan kehidupannya? Jadi, fenomena
psikologis ini sangat manusiawi dan alami, terjadi setua peradaban manusia.
FOMO, fear of missing out (rasa takut, khawatir, cemas kehilangan atau
ketinggalan sesuatu) yang manusiawi ini berkembang menjadi semakin intensif
seiring dengan berkembangnya media sosial. Sejak munculnya Facebook, Instagram,
WhatsApp, dan lain-lainnya, kita secara kontinyu tergoda untuk “menginvestigasi”
kehidupan orang lain, atau “disuguhi” sesuatu yang di luar kehidupan kita
sendiri. Kita melihat teman-teman kita berada dalam kebahagiaan dan kesuksesan
mereka, kenalan-kenalan kita yang menjelajah dunia, wirausahawan yang sudah
memiliki milyaran dollar di akun bank
mereka pada usia 20 tahunan, dan sebagainya. Aneka digital shop windows ini menggoda kita untuk membandingkan
kehidupan kita sendiri dengan kehidupan orang lain yang kita saksikan di media
sosial. Di sisi lain, kita pun terdorong untuk ikut menjadi “penyuguh”
kehidupan kita di media sosial, menjadi pemain juga di dalam digital shop windows bagi pengguna media
sosial.
Manifestasi FOMO pada diri sendiri dan sekitar kita
Manifestasi dari kata
“FOMO” dapat terlihat dari perilaku, tindakan, sikap kita, dan juga dari efek
atau akibat yang muncul di luar kendali kesadaran kita. Fokus kesadaran diri
kita dapat terpecah karena FOMO, dan ini dapat memengaruhi hubungan
interpersonal atau hubungan sosial.
Amatilah:
- Pernahkah satu dua kali atau sering, rekan kerja kita yang sedang bekerja tim bersama kita di dalam kelas, atau di momen menyeleksi atau menilai beberapa asesi bersama-sama, atau sedang terlibat diskusi dengan kita, tiba-tiba tidak mendengar atau menjawab pertanyaan kita kepadanya, atau tiba-tiba sibuk sendiri dan seperti berada di luar konteks bersama kita, atau tiba-tiba tidak peduli dengan asesi atau trainee yang sedang dihadapinya?
- Pernahkah ketika kita cek, ternyata layar laptop yang dihadapi rekan kerja kita ini adalah misalnya web.WhatsApp, bukan materi yang sedang dibahas atau diajarkan bersama-sama dengan kita?
- Pernahkah ketika kita sedang berbicara dengannya, telinganya terbuka tetapi tidak mendengar, dan dia lebih peduli kepada telepon genggam yang sedang dihadapinya?
- Atau jika ia merespon, respon itu “tidak nyambung”?
Apa yang kita rasakan
menghadapi rekan kerja yang begini? Atau, jangan-jangan kitalah yang justru
melakukan hal-hal itu dan membuat rekan kerja kita menjadi jengkel karena
tindakan atau perilaku kita itu.
Coba periksa juga:
- · Apakah tiap sebentar kita perlu merasa harus mengecek media sosial (Instagram, Facebook, Twitter, WhatsApp, dan lain-lain), karena dilanda rasa khawatir ketinggalan informasi aau berita hangat di dunia sana, khawatir tidak segera tahu update status para teman, saudara, kenalan di dunia maya, takut kehilangan berita adanya peristiwa penting atau kehebohan yang terjadi di tempat lain, bahkan ketika kita sedang liburan?
- · Apakah ada pekerjaan yang lebih penting yang kita tunda karena mengecek ada apa di telepon genggam menjadi lebih penting?
- · Apakah kita harus membuka-buka aplikasi pesan ketika duduk, sementara pengkhotbah agama sedang ceramah, atau ketika kita sedang ikut rapat di kantor, atau ketika sedang makan?
- · Apakah ketika berhenti di perempatan menunggu lampu hijau menyala, meski sebentar, kita wajib segera membuka aplikasi chat?
- · Ada lagi, apakah kita merasa harus meletakkan telepon genggam di tempat tidur, dan segera wajib membuka aplikasi pesan begitu kita terbangun?
- · Atau apakah semua pembicaraan grup chat di semua aplikasi harus kita ikuti? Kita respon?
- · Apakah kita membiarkan diri kita menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk menyelidiki apa yang ada dan terjadi di luar diri kita melalui media sosial?
- · Ketika sedang beraktivitas dengan teman-teman, apakah kita memikirkan apa, bagaimana, dan di media sosial mana kita akan memosting aktivitas kita dengan teman-teman ini?
- · Apakah kita merasa gelisah, sedih, atau tidak nyaman ketika tahu apa yang sedang dilakukan oleh teman kita di tempat lain tanpa ada kita di sana?
Silakan menambahkan
daftar pertanyaan ini.
Pertanyaan teman saya,
Munjid, di awal tulisan ini, “seberapa FOMO-kah
kamu?” saya jawab menggunakan rangkaian pertanyaan di atas. Dan jujur, menurut saya,
setiap orang sekarang adalah FOMO! Apa yang membedakan seorang FOMO yang satu
dengan FOMO lainnya? Kadarnya! Juga “sikap bijak” yang tumbuh dan dijaga pada
diri seseorang untuk memerangi FOMO-nya, untuk membuat FOMO-nya ada di dalam
kendali kesadarannya, untuk menjaga agar fokus kesadaran dirinya tidak terpecah
karena FOMO-nya, untuk tidak mencederai hubungan sosial dan interpersonalnya,
untuk tidak mudah iri dan curiga terhadap kegiatan yang dilakukan oleh orang
lain, untuk tidak mudah ingin semua yang ada di dunia ini dilakukan dan
diperolehnya, untuk tidak melakukan jalan apa pun demi keinginan yang menghantuinya
itu, untuk sadar bahwa tidak mungkin setiap orang harus selalu terlibat dalam
semua kegiatan yang dilakukan oleh orang lain, dan sebagainya.
FOMO vs rasa bahagia
FOMO menyelinap, perlahan
dan pasti, dalam kehidupan digital kita. Maka, sekarang setiap kita adalah FOMO,
yang sebagian kemunculannya dipicu oleh intensitas kita dalam bermedia sosial.
Karena intensitas ini, kita terkadang lupa atau tidak menyadari bahwa foto-foto, video, gambar, yang
ditampilkan oleh teman-teman, orang-orang, atau kenalan di media sosial
cenderung merupakan tampilan dari sisi kehidupan mereka yang terang, menarik
dan menyenangkan. Ini dunia maya, bukan dunia nyata. Dalam dunia maya orang cenderung
ingin terlihat lebih baik daripada kenyataannya. Dunia modifikasi, dunia
polesan, dunia yang direvisi, dunia yang diedit. Dalam level tertentu, dunia
semacam ini berpotensi menghasilkan penyandang FOMO yang parah akibat hubungan
atau interaksi interpersonal atau sosial yang dijalaninya adalah interaksi
semu. Penyandang FOMO yang parah merasa bahwa dunia maya adalah dunia nyata,
dan ia akan semakin tenggelam di dalamnya.
Akibatnya, ia semakin tidak bahagia, dan malah akan semakin FOMO.
Dalam posisi begini, saya
teringat tulisan Eko Santosa dua bulan silam tentang pencarian kebahagiaan
dengan model filsafat Stoa. Memahami tulisannya itu, saya pikir sudah
seharusnya kita tak perlu risau atau menjadi sangat FOMO dengan seliweran news feeds di dunia maya, di telepon
genggam kita, di berbagai aplikasi media sosial kita, karena semua itu ada di
luar kendali kita. Menurut Eko dalam memahami model Stoa, semua hal yang berada
atau terjadi di luar kendali diri seorang manusia, bukanlah tempat
bersemayamnya kebahagiaan, karena semua itu akan dengan mudahnya hilang,
lenyap, jatuh. Kebahagiaan, dengan demikian, harus diciptakan dari dalam
kendali kesadaran diri kita, bukan dari news
feeds di dunia maya yang membuat kita menjadi penderita-penderita FOMO.
Risaulah dengan bagaimana kita harus dapat mengendalikan dan fokus pada
kesadaran diri kita. Risaulah terhadap bagaimana mengatasi FOMO!
Jangan biarkan FOMO
menyelinap, diam-diam, dalam kehidupan kita.