Tuesday, December 31, 2019

“FOMO”: Menyelinap dalam kehidupan digital kita?

--Rin Surtantini

Mengenal kata “FOMO”
Baru-baru ini saya terusik oleh tulisan teman saya, Ahmad Munjid, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UGM, yang dikirim ke grup WhatsApp teman-teman jaman sekolah S1 dulu di Sastra Inggris. Ia menulis tentang “Seberapa FOMO-kah kamu?” Saya pun bergegas untuk “memeriksa” diri sendiri dengan pertanyaan itu. Beberapa kamus online berbahasa Inggris saya telusuri untuk meneropong apa itu sebenarnya “FOMO”.

Kata “FOMO” ternyata telah menjadi sebuah kosakata baru dalam banyak kamus berbahasa Inggris sejak tahun 2013. Mari kita kenali kata baru dalam bahasa Inggris ini meskipun kita berbahasa Indonesia. Mengapa? Perkembangan istilah atau kata dalam bahasa apa pun menunjukkan bahwa sebuah istilah atau sebuah kata dapat menjadi kosakata baru dalam sebuah bahasa ketika kata tersebut digunakan manusia untuk menyatakan gagasannya, untuk berperilaku, berproses, dan memunculkan produk atau hasil dari  gagasan, perilaku, dan proses yang dilakukan tersebut. Kata itu pun menjadi bagian dari perilaku dan tindakan atau gaya hidup sehari-hari, meski tidak kita sadari.  Maka, apakah kata “FOMO” juga demikian?

“FOMO” adalah singkatan dari Fear of Missing Out. Apa itu? Definisi atau penjelasan dari makna kata ini saya telusuri dari beberapa kamus online berbahasa Inggris, yang menunjukkan adanya kesamaan dalam mendefinsikan makna kata ini.
  • »        Kamus Merriam-Webster menjelaskan arti kata “FOMO” sebagai sebuah ketakutan akan tidak terlibatnya diri kita di dalam sesuatu hal, seperti misalnya tidak terlibat dalam aktivitas yang menarik atau menyenangkan yang dialami oleh orang lain.
  • »        Kamus lain, Cambridge, menuliskan bahwa kata “FOMO” adalah perasaan khawatir bahwa kita kehilangan kejadian-kejadian menarik yang sedang dilakukan oleh orang lain, yang disebabkan terutama oleh apa yang kita lihat di media sosial.
  • »        Oxford Leaner’s Dictionaries menjelaskan kata “FOMO” sebagai rasa cemas bahwa sebuah kejadian menarik terjadi di sebuah tempat lain; dan karena kita semua terlibat dalam kehidupan internet, maka ketika kita melihat kehidupan orang lain via internet dan merasa bahwa orang-orang lain mengalami atau melakukan hal-hal yang lebih menyenangkan daripada kita, itu pertanda kita mengalami kecemasan dan FOMO.
  • »        Collins Dictionary mencatat kata “FOMO” sebagai kecemasan yang muncul dari keyakinan kita bahwa orang lain sedang menjalani kehidupan yang lebih aktif dan memuaskan daripada diri kita.


Kecemasan atau ketakutan akan ketinggalan atau kehilangan “sesuatu” menjadi pokok persoalan munculnya kata “FOMO”. Rasa cemas ini tak bisa terlepas dari gelombang kehidupan digital yang kita alami, yang menguasai kita, dan tidak bisa kita hindari. FOMO menyelinap perlahan tapi pasti, menyusup diam-diam di bawah kesadaran dan terkadang di luar kendali kesadaran kita. Ia menguasai fokus kesadaran diri kita, dan pada kekuatan tertentu, ia akan mengacaukan makna atau konsep “kebahagiaan”.

FOMO mengacu kepada rasa cemas akan ketinggalan atau kehilangan informasi, berita-berita, atau update-update status, seperti posting-posting yang muncul dari Facebook, tweets dari Twitter, atau bahkan informasi tentang produk-produk belanja dan pelayanan-pelayanan yang muncul gencar secara online (https://www.managementstudyguide.com/). FOMO berkaitan dengan kebutuhan seseorang untuk selalu terkoneksi dengan orang lain secara digital dalam rangka mendapatkan informasi atau berita mengenai apa yang sedang dilakukan oleh orang lain. Hal ini diungkap dalam artikel di https://www.ionos.com/digitalguide/online-marketing/social-media/fomo/. Dengan demikian, FOMO merupakan gejala sosial yang secara erat berkaitan dengan proses digitalisasi dalam kehidupan sehari-hari kita. Semakin banyak saat ini orang terbiasa dengan perasaan cemas, mengalami rasa takut, khawatir semacam ini, yang memiliki potensi untuk berkembang menjadi tekanan psikologis yang mengganggu.


Wajah dan pemicu dari FOMO
Mengutip artikel di https://www.ionos.com/digitalguide/online-marketing/social-media/ di atas, FOMO memiliki wajah dan pemicu yang berbeda-beda, yang antara lain diidentifikasikan berikut ini (diterjemahkan secara bebas dari laman web tersebut).

Kegiatan teman-teman:
FOMO sering berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh teman-teman kita atau kenalan yang kita tidak terlibat di dalamnya. Hal ini memicu rasa khawatir bahwa kita bukan menjadi bagian dari mereka dan merasa bahwa kita tidak disukai oleh orang-orang tersebut yang menurut kita penting bagi kita.

Terlalu banyak pilihan:
Rasa cemas akan kehilangan sebuah momen atau sesuatu juga dapat dipicu bukan oleh karena tidak terlibatnya kita dalam kegiatan dengan teman-teman kita, tetapi dapat juga dipicu oleh justru banyaknya jumlah kemungkinan yang kita miliki pada waktu luang kita, misalnya perasaan “Wah, seharusnya saya pergi ke sana”, “Jangan-jangan sesungguhnya pekerjaan lain itu lebih baik”, “Ah, sepertinya saya salah memilih yang ini,” dan perasaan-perasaan semacam itu karena kita dihadapkan pada berbagai pilihan dan kemungkinan yang membingungkan.

Berada dalam proses yang berulang-ulang:
FOMO juga disebabkan oleh aliran berita yang muncul tanpa akhir, terus-menerus, di telepon genggam kita. Akan sangat tidak mungkin kita selalu bisa up to date terhadap segala hal. Akan tetapi, orang-orang yang menderita FOMO akan merasa bahwa mereka harus dan butuh untuk selalu meng-klik ke depan dan ke belakang setiap atau semua pasokan berita (news feed), atau informasi yang datang atau masuk ke telepon genggamnya, baik itu dari koran online, media sosial, aplikasi-aplikasi pesan, dan sebagainya. Itu akan membuatnya merasa tidak ketinggalan atau tidak kehilangan satu pun info, tren, perkembangan, atau kesempatan yang muncul di sana.


FOMO: fenomena lama setua peradaban manusia
Sebagai sebuah konsep, FOMO muncul seiring dengan lahir dan merebaknya media sosial dalam satu atau dua dekade terakhir ini. Namun demikian, sebagai fenomena psikologis, FOMO sejatinya sudah dialami manusia sejak dahulu kala. Bukankah kecemasan untuk melihat ke belakang dengan rasa menyesal karena telah mengambil jalan yang salah dialami oleh manusia sejak dahulu? Bukankah membiarkan kesempatan baik berlalu juga terjadi pada banyak orang? Bukankah mengambil keputusan yang salah juga telah banyak memengaruhi banyak manusia dalam perjalanan kehidupannya? Jadi, fenomena psikologis ini sangat manusiawi dan alami, terjadi setua peradaban manusia.

FOMO, fear of missing out (rasa takut, khawatir, cemas kehilangan atau ketinggalan sesuatu) yang manusiawi ini berkembang menjadi semakin intensif seiring dengan berkembangnya media sosial. Sejak munculnya Facebook, Instagram, WhatsApp, dan lain-lainnya, kita secara kontinyu tergoda untuk “menginvestigasi” kehidupan orang lain, atau “disuguhi” sesuatu yang di luar kehidupan kita sendiri. Kita melihat teman-teman kita berada dalam kebahagiaan dan kesuksesan mereka, kenalan-kenalan kita yang menjelajah dunia, wirausahawan yang sudah memiliki  milyaran dollar di akun bank mereka pada usia 20 tahunan, dan sebagainya. Aneka digital shop windows ini menggoda kita untuk membandingkan kehidupan kita sendiri dengan kehidupan orang lain yang kita saksikan di media sosial. Di sisi lain, kita pun terdorong untuk ikut menjadi “penyuguh” kehidupan kita di media sosial, menjadi pemain juga di dalam digital shop windows bagi pengguna media sosial.


Manifestasi FOMO pada diri sendiri dan sekitar kita
Manifestasi dari kata “FOMO” dapat terlihat dari perilaku, tindakan, sikap kita, dan juga dari efek atau akibat yang muncul di luar kendali kesadaran kita. Fokus kesadaran diri kita dapat terpecah karena FOMO, dan ini dapat memengaruhi hubungan interpersonal atau hubungan sosial.

Amatilah:
  •        Pernahkah satu dua kali atau sering, rekan kerja kita yang sedang bekerja tim bersama kita di dalam kelas, atau di momen menyeleksi atau menilai beberapa asesi bersama-sama, atau sedang terlibat diskusi dengan kita, tiba-tiba tidak mendengar atau menjawab pertanyaan kita kepadanya, atau tiba-tiba sibuk sendiri dan seperti berada di luar konteks bersama kita, atau tiba-tiba tidak peduli dengan asesi atau trainee yang sedang dihadapinya?
  •         Pernahkah ketika kita cek, ternyata layar laptop yang dihadapi rekan kerja kita ini adalah misalnya web.WhatsApp, bukan materi yang sedang dibahas atau diajarkan bersama-sama dengan kita?
  •        Pernahkah ketika kita sedang berbicara dengannya, telinganya terbuka tetapi tidak mendengar, dan dia lebih peduli kepada telepon genggam yang sedang dihadapinya?
  •        Atau jika ia merespon, respon itu “tidak nyambung”?


Apa yang kita rasakan menghadapi rekan kerja yang begini? Atau, jangan-jangan kitalah yang justru melakukan hal-hal itu dan membuat rekan kerja kita menjadi jengkel karena tindakan atau perilaku kita itu.

Coba periksa juga:
  • ·         Apakah tiap sebentar kita perlu merasa harus mengecek media sosial (Instagram, Facebook, Twitter, WhatsApp, dan lain-lain), karena dilanda rasa khawatir ketinggalan informasi aau berita hangat di dunia sana, khawatir tidak segera tahu update status para teman, saudara, kenalan di dunia maya, takut kehilangan berita adanya peristiwa penting atau kehebohan yang terjadi di tempat lain, bahkan ketika kita sedang liburan?
  • ·         Apakah ada pekerjaan yang lebih penting yang kita tunda karena mengecek ada apa di telepon genggam menjadi lebih penting?
  • ·         Apakah kita harus membuka-buka aplikasi pesan ketika duduk, sementara pengkhotbah agama sedang ceramah, atau ketika kita sedang ikut rapat di kantor, atau ketika sedang makan?
  • ·         Apakah ketika berhenti di perempatan menunggu lampu hijau menyala, meski sebentar, kita wajib segera membuka aplikasi chat?
  • ·         Ada lagi, apakah kita merasa harus meletakkan telepon genggam di tempat tidur, dan segera wajib membuka aplikasi pesan begitu kita terbangun?
  • ·         Atau apakah semua pembicaraan grup chat di semua aplikasi harus kita ikuti? Kita respon?
  • ·         Apakah kita membiarkan diri kita menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk menyelidiki apa yang ada dan terjadi di luar diri kita melalui media sosial?
  • ·         Ketika sedang beraktivitas dengan teman-teman, apakah kita memikirkan apa, bagaimana, dan di media sosial mana kita akan memosting aktivitas kita dengan teman-teman ini?
  • ·         Apakah kita merasa gelisah, sedih, atau tidak nyaman ketika tahu apa yang sedang dilakukan oleh teman kita di tempat lain tanpa ada kita di sana?


Silakan menambahkan daftar pertanyaan ini.

Pertanyaan teman saya, Munjid, di awal tulisan ini, “seberapa FOMO-kah kamu?” saya jawab menggunakan rangkaian pertanyaan di atas. Dan jujur, menurut saya, setiap orang sekarang adalah FOMO! Apa yang membedakan seorang FOMO yang satu dengan FOMO lainnya? Kadarnya! Juga “sikap bijak” yang tumbuh dan dijaga pada diri seseorang untuk memerangi FOMO-nya, untuk membuat FOMO-nya ada di dalam kendali kesadarannya, untuk menjaga agar fokus kesadaran dirinya tidak terpecah karena FOMO-nya, untuk tidak mencederai hubungan sosial dan interpersonalnya, untuk tidak mudah iri dan curiga terhadap kegiatan yang dilakukan oleh orang lain, untuk tidak mudah ingin semua yang ada di dunia ini dilakukan dan diperolehnya, untuk tidak melakukan jalan apa pun demi keinginan yang menghantuinya itu, untuk sadar bahwa tidak mungkin setiap orang harus selalu terlibat dalam semua kegiatan yang dilakukan oleh orang lain, dan sebagainya.


FOMO vs rasa bahagia
FOMO menyelinap, perlahan dan pasti, dalam kehidupan digital kita. Maka, sekarang setiap kita adalah FOMO, yang sebagian kemunculannya dipicu oleh intensitas kita dalam bermedia sosial. Karena intensitas ini, kita terkadang lupa atau tidak menyadari bahwa foto-foto, video, gambar, yang ditampilkan oleh teman-teman, orang-orang, atau kenalan di media sosial cenderung merupakan tampilan dari sisi kehidupan mereka yang terang, menarik dan menyenangkan. Ini dunia maya, bukan dunia nyata. Dalam dunia maya orang cenderung ingin terlihat lebih baik daripada kenyataannya. Dunia modifikasi, dunia polesan, dunia yang direvisi, dunia yang diedit. Dalam level tertentu, dunia semacam ini berpotensi menghasilkan penyandang FOMO yang parah akibat hubungan atau interaksi interpersonal atau sosial yang dijalaninya adalah interaksi semu. Penyandang FOMO yang parah merasa bahwa dunia maya adalah dunia nyata, dan ia akan semakin tenggelam di dalamnya.  Akibatnya, ia semakin tidak bahagia, dan malah akan semakin FOMO.

Dalam posisi begini, saya teringat tulisan Eko Santosa dua bulan silam tentang pencarian kebahagiaan dengan model filsafat Stoa. Memahami tulisannya itu, saya pikir sudah seharusnya kita tak perlu risau atau menjadi sangat FOMO dengan seliweran news feeds di dunia maya, di telepon genggam kita, di berbagai aplikasi media sosial kita, karena semua itu ada di luar kendali kita. Menurut Eko dalam memahami model Stoa, semua hal yang berada atau terjadi di luar kendali diri seorang manusia, bukanlah tempat bersemayamnya kebahagiaan, karena semua itu akan dengan mudahnya hilang, lenyap, jatuh. Kebahagiaan, dengan demikian, harus diciptakan dari dalam kendali kesadaran diri kita, bukan dari news feeds di dunia maya yang membuat kita menjadi penderita-penderita FOMO. Risaulah dengan bagaimana kita harus dapat mengendalikan dan fokus pada kesadaran diri kita. Risaulah terhadap bagaimana mengatasi FOMO!

Jangan biarkan FOMO menyelinap, diam-diam, dalam kehidupan kita.


Yogyakarta, 30 Desember 2019.

Friday, December 20, 2019

"Bisa" dan "Bangkit": Meneropong Makna


---Rin Surtantini

Kegelisahan yang berdiam
Mengingat kembali istilah “memroduksi pikiran” yang dimunculkan oleh salah seorang kolega widyaiswara, membuat tulisan yang sempat tertunda-tunda ini saya selesaikan. Kegelisahan yang berdiam dalam pikiran harus ditanggapi, dengan cara “berpikir” juga, agar pikiran tidak sakit. Kali ini kegelisahan saya berawal dari seputar makna dua kata yang saya dengar berulang-ulang beberapa waktu terakhir ini, bahkan tak luput saya pun harus mengucapkan beramai-ramai, bersama-sama, senada, seirama, di dalam lingkungan kerja, dalam berbagai kesempatan. Kedua kata itu adalah “bangkit” dan “bisa”. Tujuan menyerukan kata-kata itu bersama-sama --dengan diiringi gesture tangan kanan diangkat sambil mengepalkan jari tangan-- tentu adalah untuk menumbuhkan semangat, kesetiaan, kegembiraan, kebersamaan, identitas diri, kebanggaan, kemampuan, dan berbagai nuansa lainnya. Sudah dapat dipastikan, seruan kata-kata itu tentu tidak dimaksudkan untuk menumbuhkan kegelisahan.

Tetapi saya merasakan gelisah, ketika menyerukan kedua kata itu.
Seni Budaya, “bangkit”! Seni Budaya, “bisa”!


Kata adalah simbol, segala sesuatu yang dimaknai
Simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai, sedangkan “kata” yang diucapkan merupakan wujud dari pikiran atau gagasan. Jika “kata” yang diserukan itu adalah untuk mengomunikasikan pikiran atau gagasan, dan terjadi pemaknaan, maka kata adalah simbol. Karena simbol ini dilisankan sebagai salah satu bentuk komunikasi, maka simbol ini ditangkap dalam bentuk bunyi. Jadi, interaksi di antara kita adalah interaksi simbolik. Sebagai simbol, maka kata “bangkit” dan kata “bisa” sejatinya memiliki makna dan diberi makna oleh yang mengucapkannya.

Sebagai makhluk yang memroduksi pikiran, kita tidak bisa terhindar dari tidak memaknai atau tidak memberi makna. Simbol tidak harus konkrit atau berupa material, tetapi juga berupa gagasan. Kembali ke persoalan kata “bangkit” dan “bisa”, maka kedua kata ini adalah simbol yang abstrak, yang berupa gagasan. Ada dimensi makna di sini. Jadi, apa makna dari gagasan yang diusung oleh kedua kata itu?

Pemaknaan dilakukan oleh pencipta simbol, maupun orang lain. Pemaknaan bisa personal (private) ataupun kolektif (shared, public, collective). Adakah makna dari gagasan yang diwujudkan oleh kata “bangkit” dan “bisa” dari ujaran Seni Budaya “bangkit”, Seni Budaya “bisa” itu?


Meneropong makna: hasil kesepakatan?
Ketika simbol berupa kata diserukan bersama-sama oleh sekumpulan orang dalam bentuk bunyi, sejatinya itu adalah hasil kesepakatan dan komitmen bersama. Rupanya ini yang membuat saya gelisah. Saya ikut-ikutan mengangkat tangan dan berseru sebagai wujud aksi dari ego yang saya miliki, yang terjadi karena bekerjanya super ego saya berupa nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam pengelolaan hubungan sosial. Akan tetapi saya merasakan ada dorongan-dorongan lain yang mengganggu dan mempertanyakan aksi saya itu, yang menggelisahkan:

Bisa!
Bisa apa? Bisa menjadi apa?

Bangkit!
Bangkit dari apa? Bangkit dari mana?
Bangkit menuju apa? Bangkit menjadi apa?

Entah dari mana dan siapa yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu dalam pikiran saya. Dan setiap saat saya menyerukan kedua kata itu beramai-ramai dengan gesture yang sama, setiap saat pula pertanyaan-pertanyaan berikutnya memenuhi rongga pikiran saya:

Bukankah itu “unfinished sentence” yang sering kamu gunakan sebagai pancingan agar murid-murid dalam kelas Bahasa Inggris memproduksi kalimat secara kreatif dengan struktur yang benar dan penggunaan bahasa yang sesuai?

I can ……………………..
I move up to ……………….

Lalu, dari pancingan kalimat yang belum selesai itu, murid-muridmu akan melaporkan berbagai kemungkinan kalimat yang diproduksinya. Menarik, dan menyenangkan sekali mendengarkan variasi kalimat-kalimat yang muncul dari mereka.

Dan perhatikan, ketika kamu meminta mereka untuk mengoneksikan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari, maka penyelesaian kalimatmereka yang bervariasi itu mencerminkan perilaku, tindakan, gagasan mereka!

Betul sekali!
Maka ….
jika kita menyerukan “Seni Budaya bisa!” / “Seni Budaya bangkit!”
coba lanjutkan kalimat itu dalam hati: “bisa …………… ” dan “bangkit dari …………….”
Jika kedua kata itu adalah “simbol”, maka keduanya mengusung makna, keduanya memiliki makna, keduanya adalah gagasan yang dimaknai, dan bukan tidak mungkin bahwa kedua kata ini menjadi bagian dari kita sebagai organisme, yang berpikir, bertindak, berperilaku, bersikap, dan bertutur menurut makna personal yang kita berikan kepada kedua kata ini, yang kemudian dalam lingkaran yang lebih luas, menjadi makna kolektif, makna bersama (shared, collective meaning) yang disepakati…..

Dan dalam perjalanan waktu, kedua kata itu pun akan menjadi “wajah” institusi, menjadi work culture. Pikirkan, jika kita tidak tahu bahwa kita “bisa apa”, atau “bisa menjadi apa” dan “bangkit dari apa” atau “bangkit dari mana”…..

Malang, 3 Desember 2019.

Tuesday, December 17, 2019

Sejenak Menikmati “Luka-Luka yang Terluka” (2019)

(Sebuah penerbitan buku lakon drama oleh Dinas Kebudayaan DIY dengan Dana Keistimewaan)

--Rin Surtantini


Merespon spontan
Akhir bulan November 2019 lalu, buku Luka-Luka yang Terluka: Jejak Perkembangan Lakon, saya terima, dengan pesan tertulis di halaman pertama, “Selamat membaca” pada bagian buku yang berbahasa Indonesia, dan “Happy reading, happy learning” pada bagian sebaliknya yang berbahasa Inggris.

I’m so glad, for sure, to get such a good book from such a good friend, yang juga adalah penulis buku ini sendiri, Eko Santosa, bersama dengan Whani Darmawan, yang adalah penulis lakon Luka-Luka yang Terluka (1991). Alasan lain yang membuat saya merasa so glad  adalah “perasaan saya” bahwa tujuan dari penerbitan buku ini sebenarnya sampai ke pembaca potensial. Maka, meskipun free, tentulah pembagiannya perlu selektif. Tidak semua orang bisa memperolehnya, bukan? For me, personally, ini sebuah privilege, of course. And as I consider it as a particular present for me, I’m pleased to read it. Dan itu harus saya ceritakan di sini.

Pertama, tentu wajah buku ini yang saya amati sebelum mencari tahu apa isinya. Keunikan yang saya dapati adalah buku ini memiliki dua wajah: satu wajah sampul (cover depan buku) berjudul bahasa Indonesia, Luka-Luka yang Terluka: Jejak Perkembangan Lakon; dan ketika wajah sampul ini dibalik, ternyata bagian belakang buku ini juga merupakan wajah sampul (cover depan buku) yang menampilkan judulnya dalam bahasa Inggris, The Wounded Cuts: Traces of the Development of the Play. Jadi, buku ini tidak memiliki sampul atau cover belakang buku, tetapi memiliki dua sampul atau cover depan sebagai wajahnya. Tinggal mau mulai membaca atau membuka yang mana, versi bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Apresiasi saya kepada Eko Santosa, sebagai kolega widyaiswara (dengan tidak mengenyampingkan Whani Darmawan sebagai partner dalam menuliskan buku ini): spontan  saya memberitakan di grup widyaiswara, dengan melampirkan foto kedua “wajah” cover depan buku, diiringi caption: Terbit, oleh Dinas Kebudayaan DIY, satu buku dalam dua bahasa. “Happy reading, happy learning” {Eko Santosa}.

Mengapa saya memberitakan di grup tersebut, adalah semata-mata ingin mengungkapkan apresiasi bahwa dorongan seorang Eko Santosa dalam menuliskan buku tersebut (dalam pemahaman saya terhadap Eko) adalah menyebarkan atau menyumbang (ilmu) pengetahuan atas dasar kemampuan dan kompetensi yang ia miliki, pelajari, tekuni, dan juga ia “lakoni” dengan hati. Ini cerminan sebuah bentuk aktualisasi diri sebagai personal achievement sesuai dengan bidang yang digelutinya dengan rasa senang dan serius. Tidak ada sama sekali tujuan “administratif” yang mengikat seorang widyaiswara, yang pada umumnya cenderung menjadi terjebak dalam lunturnya atau pudarnya esensi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Terbitnya buku tersebut dalam dua bahasa adalah persoalan lain; jadi menurut pendapat saya, teman-teman widyaiswara yang kebetulan latar belakang pendidikannya adalah jurusan bahasa atau sastra Inggris, rasanya tidak perlu merasa “isin” atau terhenyak karena merasa belum menulis buku dalam bahasa Inggris. Mengapa? Karena buku ini ‘aslinya’ ditulis oleh Eko Santosa dan Whani Darmawan dalam bahasa Indonesia, lho, bukan dalam bahasa Inggris. Jadi values yang perlu diangkat sebagai pokok persoalannya dengan terbitnya buku ini adalah masalah “konten” atau “esensi” dari apa yang disampaikan oleh penulisnya, yaitu tentang jejak perkembangan lakon dari naskah sandiwara Luka-Luka yang Terluka. Itulah yang ingin disampaikan oleh penulisnya sebagai pengetahuan kepada pembaca potensial. Jadi sama sekali bukan untuk menunjukkan keterampilan atau kepiawaian menulis dalam bahasa Inggris.  Lalu mengapa kemudian diterbitkan juga dalam bahasa Inggris? Karena pementasan lakon ini, baik di dalam maupun di luar negeri, menimbulkan kebutuhan untuk diterbitkannya buku lakon ini dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), untuk memberi ruang yang lebih luas terhadap gagasan-gagasan kreatif dan menemukan dialektikanya dalam percaturan kebudayaan dunia (mengutip Aris Eko Nugroho, Kepala Dinas Kebudayaan DIY dalam kata pengantarnya). Maka, lihatlah, kemudian ada penerjemah lakon dan penerjemah teks dalam buku versi bahasa Inggrisnya untuk memenuhi tujuan yang disebutkan itu.

Happy reading, happy learning
Ada lipatan-lipatan waktu yang harus saya buka untuk membaca buku ini. Sepuluh menit, setengah jam, satu dua jam, tiga jam, lipatan waktu itu saya sempatkan untuk dibuka: saat menunggu di klinik dokter gigi, saat naik go car, saat menunggu cucian digiling di mesin cuci, saat menunggu air mendidih sebelum menyeduh teh, saat di ruang tunggu airport, saat akan tidur, saat istirahat dari mengedit modul menuju deadline, dan saat-saat lainnya. Dan alhasil, seiring dengan lipatan waktu yang saya buka berulang-ulang, buku itu tidak mulus lagi seperti ketika pertama saya terima.

Saat membaca buku Luka-Luka yang Terluka, saya merasakan flashback sekian puluh tahun silam ketika menjadi mahasiswi di jurusan Sastra Inggris di Fakultas Sastra, di kampus biru. Mata kuliah Literary Criticism, Novels, Poetry, Drama, Book Report, menjadi bagian tak terpisahkan dari sekian paper yang selalu harus ditulis dan diselesaikan dari kegiatan membaca sekian teks, naskah, karya-karya sastra berupa novel, puisi, drama, dalam bahasa Inggris. Dua tulisan Eko Santosa dalam buku Luka-Luka yang Terluka, mengingatkan saya akan masa-masa silam itu. Ah, betapa pekerjaan dan tugas saya sebagai widyaiswara saat ini sudah sangat sangat berbeda dan jauh dari masa-masa tersebut. Tiba-tiba saya rindu untuk kembali membaca teks-teks ber-genre sastra, berselancar, menyelam ke kedalaman nilai-nilai dan pesan-pesan yang sarat dengan potret segala sisi kehidupan manusia dalam perjalanan jaman.

“Telisik Lakon Luka-Luka yang Terluka” adalah tulisan pertama Eko Santosa dalam buku ini yang mengingatkan saya pada tugas menelaah naskah-naskah drama pada jaman kuliah di Fakultas Sastra pada masa lalu itu, dan pelibatan critical thinking, analisis, sintesis, evaluasi, dalam melakukan telaah. Eko melakukan dan menuliskan telisiknya terhadap naskah lakon Luka-Luka yang Terluka dengan cermat dan kritis mulai dari sinopsis, penokohan, setting dan spektakel, plot dan dramatika lakon dengan interpretasi dan sub-metode yang dipilihnya. Perhatikan, ia mencantumkan daftar bacaan yang tentu digunakannya sebagai referensi untuk mewujudkan tulisannya ini.

Telisik Eko terhadap lakon yang ditulis oleh Whani Darmawan (1991) ini menurut saya tidak terlepas juga dari sejarah bagaimana naskah lakon ini pertama kali jatuh ke tangan Eko pada tahun 1993. Eko-lah yang melakukan adaptasi terhadap naskah aslinya sesuai kebutuhan tanpa merusak esensi, demikian menurut Whani. Naskah versi Eko inilah yang kemudian beredar jauh dan dimainkan berganti-ganti pemain dalam rentang waktu tertentu (terakhir pada akhir bulan November 2018 di Singapura). Jadi, jika Eko menuliskan dengan cermat telisiknya terhadap naskah lakon ini, tidak diragukan lagi, karena ia juga merupakan orang yang paling banyak mementaskan lakon ini, baik sebagai pemeran maupun sutradaranya.

Apa yang membuat saya mengalami happy reading and happy learning? Persinggungan dan komunikasi Eko yang intens dengan teks lakon Luka-Luka yang Terluka sangat membantu saya untuk mencoba memahami atau menginterpretasi naskah lakon ini melalui telisik yang dituangkan Eko dalam tulisannya tersebut. Dan saya kemudian menuliskan ini dalam status saya di WhatsApp, the more I read, the more I acquire, and the more certain I am that I know nothing… (mengutip kata-kata bijak dari sebuah web). Jadi, saya mendapatkan pengetahuan tentang keberadaan naskah lakon karya Whani Darmawan ini, sebagaimana judul catatan penyunting buku ini: Mengingat Ulang terhadap Lakon yang pernah Ditinggalkan. Saya pun mendapatkan pemahaman mengenai lakon ini, yang bercerita tentang apa…. Saya belajar kembali.

“Perjalanan Artistik Pementasan Luka-Luka yang Terluka” adalah tulisan kedua Eko Santosa dalam buku ini. Tidak seperti tulisan Eko yang pertama, tulisan ini tidak membawa saya ke masa lalu ketika mengikuti kuliah di jurusan Sastra Inggris, karena tulisan kedua ini sudah secara spesifik menjadi keahlian khusus bidang teater, yaitu artistik pementasan yang tidak pernah saya pelajari pada masa lalu. Apresiasi yang saya berikan terhadap tulisan kedua ini adalah bagaimana dokumentasi pementasan lakon Luka-Luka yang Terluka diceritakan secara detil dan lengkap oleh Eko sejak pertama kali dipentaskan pada tahun 1993 sampai dengan tahun 2018. Kurun waktu 25 tahun merupakan bentangan waktu yang cukup panjang untuk mengikuti bagaimana naskah lakon ini menyerupai “organisme yang hidup” dan mengalami perkembangan pada jaman yang berbeda-beda. Setidaknya Eko mencatat ada enam konsep dasar atau pendekatan yang digunakan dalam proses pemeranan yang menandai kehidupan naskah lakon ini. Ia mencatatnya dengan detil termasuk gambar-gambar karyanya sendiri yang disajikannya untuk menyertai setiap babakan konsep dasar yang diuraikan. Sebuah pencapaian yang ulung! Selain itu, melalui tulisan kedua ini, pembaca juga bisa mencatat bagaimana perjalanan seorang Eko Santosa menikmati pergulatannya dengan naskah lakon Luka-Luka yang Terluka dan meraih prestasi di bidang yang ia tekuni melaluinya. Maka benarlah: Naskah ini penting, orang yang terlibat di dalamnya penting untuk naskah ini (mengutip Whani Darmawan dalam Mengapa Menerbitkan Lakon Ini?). 

Maka, saya pun kemudian membaca naskah lakon Luka-Luka yang Terluka, untuk tujuan extensive reading, meski telah “dipengaruhi” oleh kedua tulisan Eko, catatan penyunting, dan tulisan Whani Darmawan pada bagian awal buku. Interpretasi saya yang mandiri terhadap naskah lakon ini, tentu ada, dan itu menjadi bagian dari kegiatan personal reading for fun and, of course, for learning, as always.

Terimakasih, mas Eko.
Best wishes for your next achievement!

Manggarai, Flores, Desember 2019.