Tuesday, June 23, 2020

WfH Series: Menuju Pembelajaran Online



---Eko Santosa



Situasi dan kondisi pandemik Covid-19 yang terjadi menandai dimulainya budaya baru dalam tata kehidupan di mana persinggungan fisik musti dibatasi. Keakraban sosial berubah wujud penghargaan ke dalam bentuk “jaga jarak”.  Perubahan tata kehidupan ini berpengaruh langsung dengan model pembelajaran di mana tatap muka hampir tidak diperbolehkan dan diganti dengan pertemuan dalam jaringan. Isitlah “jaga jarak” menjadikan kelas nyata berganti dengan kelas “maya” di mana aktivitas kelas dapat dilangsungkan namun tanpa bersentuhan fisik. Kemudian, inisiasi dan pengembangan kelas “maya” melalui internet ini menjadi semacam kewajiban baru bagi guru, dosen, widyaiswara serta pendidik dan tenaga kependidikan lainnya. Banyak terdapat  fasilitas pembelajaran yang tersedia gratis di internet yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan ini. Namun demikian hal pokok yang mesti diperhatikan adalah perubahan pola pikir dari budaya fisik ke budaya jaringan yang mana keduanya jelas tidak bisa disamakan terutama dalam hal perilaku.

Secara umum, hal-hal yang biasanya dapat dipenuhi dalam kelas nyata belum tentu bisa berlaku di dalam kelas maya. Khusus untuk pembelajaran di sekolah, banyak guru mulai gelisah karena pertemuan dalam jaringan yang mereka buat seringkali – terasa - diabaikan oleh peserta didik. Bahkan mereka juga mulai ragu apakah para peserta didik memahami apa yang disampaikan secara daring tersebut. Belum lagi soal cara memberikan, mengunduh dan mengunggah tugas di mana guru dan peserta didik juga merasa kewalahan. Tidak luput juga orang tua yang menjadi pendamping anaknya dalam belajar. Semua hal ini mungkin terjadi karena perilaku offline coba diterapkan secara online di mana perilaku online keseharian seseorang (peserta didik) belum sepenuhnya terpahami atau ditelisik mendalam.

Perilaku seseorang mempelajari sesuatu berbasis media yang terhubung internet umumnya bersifat personal dan arbitrer. Hal inilah yang  belum bisa terpenuhi oleh sekolah selama program belajar dari rumah berjalan. Sistem pembelajaran “sekolah nyata” memang telah tertentu, di mana dalam prosesnya peserta didik harus mengikuti ketentuan tersebut utamanya dalam hal jadwal dan urutan materi pelajaran yang diberikan. Sementara melalui gawai dalam kesehariannya, seseorang (peserta didik) boleh dan bisa menentukan materi apa saja yang mau dipelajari (dilihat, didengar, bahkan kemudian diunduh). Pun waktunya juga mana suka serta durasi belajarnya dapat ditentukan sendiri. Bahkan jika merasa senang tidak jarang sampai lupa waktu. Lagi pula materi yang bisa dipelajari di dalam gawai tersebut melimpah dan sebagian besar bisa diakses secara gratis.

Untuk itu diperlukan penyesuaian sistem persekolahan dan tentu saja kurikulum serta model pembelajaran yang ramah guna melalui gawai berbasis internet. Tentu saja tidak mudah melakukan hal semacam ini namun perlu dipertimbangkan mengingat masa normal baru yang bisa saja berlangsung lama. Penyesuaian dapat berupa sistem kelas yang bersifat terbuka di mana satu orang dapat menentukan sendiri materi apa yang akan dipelajari lengkap dengan tugas serta penilaian di dalamnya. Jadi dalam satu kelas antara peserta didik satu dengan yang lain berbeda yang dipelajari. Untuk mendukung hal tersebut, rancangan sebaran materi dari seluruh mata pelajaran dalam satu semester yang dapat dipilih oleh peserta didik untuk dipelajari secara mandiri sangat diperlukan. Materi-materi ini menjadi semacam menu yang bebas untuk dipilih yang tersaji dalam satu aplikasi di mana aplikasi tersebut mudah dioperasikan melalui gawai standar minimal yang mungkin untuk dimiliki oleh peserta didik. Komunikasi dengan guru dapat berlangsung melalui pesan teks atau pertemuan online sebagai dukungan yang semuanya tersedia dalam aplikasi tersebut. Dengan demikian kondisi pembelajaran online benar-benar bersifat online dan bukan offline yang di-online-kan.

Namun demikian, tentunya diperlukan usaha yang tidak ringan dan waktu yang tidak sebentar karena persiapan kesadaran pikiran untuk menggerakkan sangat diperlukan terutama dari para pengajar dan pemangku kebijakan persekolahan. Memindahkan materi pembelajaran ke dalam aplikasi juga tidak semudah merekam ceramah dan aktivitas guru di kelas. Visualisasi, perangsangan daya tarik, pemberian tantangan, metode dan media untuk memudahkan pemahaman, proses penilaian, dan lain sebagainya yang terkait dengan proses belajar-mengajar di dalam aplikasi tersebut perlu benar-benar dipersiapkan, termasuk administrasi persekolahnnya. Pun demikian juga pembuatan aplikasi yang memerlukan banyak sumber daya dengan dana yang tidak sedikit. Akan tetapi, jika memang benar-benar dibutuhkan, tidak mustahil pembelajaran online secara penuh semacam ini dapat dilangsungkan oleh sekolah-sekolah secara umum. (*).


Ekoompong,
Domas, 22 juni 20


Friday, June 19, 2020

WfH Series: Belajar dari Konten Sebuah Webinar: Etika Publikasi Ilmiah






--Rin Surtantini


Seorang teman memosting flyer webinar gratis di grup Whatsapp dengan topik Menghindari "Perampokan" Akademik: Etika Publikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi. Webinar ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Agama Pluralisme dan Demokrasi bekerjasama dengan Pusat Kajian Kelembagaan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Jadwal pelaksanaannya adalah hari Rabu, 3 Juni 2020, pukul 11.00 – 13.00 WIB, kira-kira dua minggu yang lalu, berkapasitas 100 orang peserta, dan tidak memberikan sertifikat bagi pesertanya.

Dalam tulisan terdahulu tentang “perhelatan webinar”, dimunculkan saran agar nilai-nilai pembelajaran dalam perhelatan webinar perlu diciptakan. Artinya jika memang tren webinar saat ini adalah perayaan, maka peserta atau penggemar webinar perlu memilih secara selektif konten webinar apa yang dibutuhkan untuk peningkatan, pertumbuhan, atau pengembangan dirinya secara personal. Hal ini termasuk menetapkan pada diri sendiri apakah konten webinar sesuai atau relevan dengan yang dibutuhkannya secara personal, atau secara kelembagaan, sehingga menjadi peserta webinar benar-benar memberi manfaat, bukan sekedar hanya untuk mengisi waktu saja, atau untuk tujuan primer memperoleh sertifikat semata.

Maka ketika flyer webinar berjudul Menghindari "Perampokan" Akademik: Etika Publikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi beredar, dorongan ketertarikan untuk mengikutinya pun tentu berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya. Mungkin juga tak banyak yang tertarik. Terlepas dari apa dorongan atau motivasi untuk mengikuti webinar tersebut, berbagi sedikit konten dari webinar itu menjadi tujuan dari tulisan ini. Salah satu penanda terjadinyasebuah prinsip pembelajaran pada webinar adalah adanya peristiwa give and gain something antara penyaji dan peserta. Setidaknya ada sesuatu yang bermanfaat karena disampaikan oleh narasumbernya secara efektif dan profesional. Selain itu, ada efek positif jika sesuatu yang bermanfaat itu dapat diperluas jangkauannya melalui forum berbagi.

***

Judul webinar Menghindari "Perampokan" Akademik: Etika Publikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi, menjadi menarik karena ada kata “perampokan” di dalamnya, yang mengandung metafora kriminalitas di dalam dunia akademik. Topik ini mengundang keingintahuan bagi yang bekerja atau bergelut dengan hal-hal yang bersifat akademis. Ada tiga narasumber, yaitu Jonathan Lassa, Ph.D., seorang dosen senior warga negara Indonesia yang mengajar di Charles Darwin University, Australia, lalu Nelly Martin-Anatias, Ph.D., orang Indonesia juga yang mengajar di Auckland University of Technology, Selandia Baru, dan Neil Semuel Rupidara, Ph.D., Rektor Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia. Masing-masing membawakan topiknya sendiri-sendiri yang saling berkaitan, dan ini berlangsung selama dua jam termasuk waktu untuk berdiskusi dengan beberapa peserta.

Tulisan ini hanya akan memberikan highlight pada sebagian kecil dari keseluruhan konten webinar, yaitu masalah hak cipta dan sitasi (pengutipan karya orang lain) dalam sebuah karya ilmiah, yang disoroti oleh Nelly Martin-Anatias. Sitasi merupakan masalah etika publikasi dalam karya-karya kita yang kita “akui” sebagai “ilmiah”. Dikatakan, banyak dari kita yang berada di dunia akademis tidak tahu bagaimana cara melakukan sitasi secara benar, seperti mengutip karya ilmiah orang lain. Kita tidak memperlakukan “properti intelektual” sebagai hak milik orang lain, sehingga dengan mudahnya kita mengambil tulisan dan proses berpikir orang lain untuk kita akui sebagai milik kita. Tidak menuliskan sitasi merupakan salah satu hal yang paling mudah untuk melihat apakah kita itu sebenarnya menjalankan etika publikasi ilmiah atau tidak.

Penulis yang karyanya dikutip seseorang tanpa melakukan sitasi akan sangat dirugikan, karena proses menghasilkan sebuah karya ilmiah yang baik itu tentunya melewati sebuah perjalanan yang panjang. Proses berpikir dan tulisan orang lain itu wajib diakui sebagai properti intelektual, hak miliknya, dan saat kita menggunakan hak milik orang lain itu, kita harus memberikan “credit” kepadanya. “Credit” ini dilakukan dengan cara melakukan sitasi, sehingga kita tidak bisa seenaknya saja mengambil ide orang lain, pikiran orang lain, dan mengakuinya sebagai karya kita.

Dalam hal tidak melakukan sitasi atas karya ilmiah orang lain karena ketidaktahuan, maka sejak kita mengetahui bahwa itu melanggar etika publikasi ilmiah, sebaiknya hal tersebut tidak kita lakukan lagi. Mempelajari academic writing menjadi sangat penting dalam konteks ini, sehingga siapa pun yang menghasilkan karya ilmiah harus dan dapat saling menghargai properti intelektual masing-masing dengan cara memberikan kredit kepada pemilik aslinya berupa sitasi. Kesimpulannya, sitasi merupakan bagian dari etika publikasi ilmiah, yang mengakui adanya pikiran dan karya orang lain di dalam karya ilmiah kita.

***

Demikianlah, sebagian kecil dari materi webinar di atas tentang sitasi yang merupakan bagian dari etika publikasi ilmiah. Ini mengingatkan kita akan tidak etisnya praktik-praktik plagiat.Bagi siapapun yang mengklaim dirinya menghasilkan karya-karya ilmiah, maka melakukan sitasi merupakan kultur atau tradisi akademik beretika yang harus dibangun olehnya. Menghormati, mengakui, dan memberikan kredit atas karya ilmiah dan proses berpikir orang lain menjadi suatu prinsip yang harus dibangun dalam memproduksi karya ilmiah. Ilmu pengetahuan dibangun dan dikembangkan dari ilmu pengetahuan yang telah ada sebelumnya, sehingga sitasi menunjukkan kepatuhan kita terhadap penghargaan, pengakuan, dan penghormatan karya orang lain sebelumnya. Dengan melakukan sitasi, kita secara jujur dapat menunjukkan kepada publik, mana bagian dari karya ilmiah kita yang merupakan pikiran atau gagasan orang lain, dan mana yang merupakan gagasan atau pikiran kita sendiri.

Berkaitan dengan sitasi, kapan kita ternyata tidak beretika dalam melakukan publikasi ilmiah? Kita dapat mengeceknya dengan bertanya kepada diri kita sendiri, sebelum orang lain menemukannya:
  1. Apakah saya mengutip kata-kata atau kalimat orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya?
  2. Apakah saya menggunakan pendapat, gagasan, pemikiran, pandangan, konsep orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya?
  3. Apakah saya menggunakan data atau informasi milik orang lain tanpa juga menyebutkan identitas sumbernya?
  4. Apakah saya dengan sadar mengakui karya orang lain sebagai karya saya sendiri?
  5. Apakah saya, meskipun telah melakukan parafrase atau mengubah kalimat orang lain ke dalam kalimat saya sendiri, tetap tidak menyebutkan identitas sumber aslinya?
  6. Apakah saya mempublikasikan karya ilmiah yang dihasilkan orang lain sebagai karya saya sendiri?
  7. Apakah saya mengambil karya saya sendiri sebelumnya tanpa melakukan perubahan yang berarti untuk saya akui sebagai karya baru saya?

Banyak pemicu yang mendorong terjadinya praktik plagiat yang merupakan tindak kejahatan properti intelektual. Perhatikan apakah kita memiliki keterbatasan waktu dalam menghasilkan karya ilmiah sehingga mengopi atau meniru persis karya orang lain menjadi hal yang kita lakukan? Atau apakah kita enggan mencari dan menganalisis referensi yang ada? Ataukah kita tidak paham dan tidak tahu bagaimana, di mana, dan saatnya melakukan sitasi? Atau apakah lingkungan akademis kita tidak peduli dan tidak menganggap sitasi adalah bagian dari etika publikasi ilmiah?

Akhirnya, pilihan dalam menerapkan etika publikasi ilmiah, ada pada hati nurani kita masing-masing.
Selamat menghasilkan karya-karya (ilmiah) yang “beretika” selama masa panjang work and learn from home!

Yogyakarta, 18 Juni 2020.


Thursday, June 18, 2020

Perhelatan Webinar


--Rin Surtantini

 Di mana-mana ada webinar
Setiap saat pun siap digelar
Flyer menarik luas beredar
Duduk santai di muka layar
Tiada lama sertifikat keluar
Hati semerta jadi berpendar
Perburuan pun lalu gencar
Terhanyut oleh arus besar
Gelombang pasang webinar


 Arus gelombang pasang
Seiring masa pandemi COVID-19, dunia digital melaju semakin kencang dalam memenuhi keinginan manusia untuk berkomunikasi dan menyampaikan informasi, baik yang bersifat pengetahuan praktis, pengetahuan dan keterampilan abstrak, keterampilan-keterampilan teknis, maupun yang bersifat hiburan, penyehatan dan pemeliharaan jiwa, spiritual, mental, psikis. Webinar menjadi salah satu pilihan kegiatan yang semakin hari semakin menunjukkan grafik menaik, yang dimeriahkan dengan munculnya flyers aneka desain yang eye-catching di media sosial, juga dengan variasi topik, beragam narasumber, dan berbagai jenis webinar software. Webinar terjadi hampir setiap saat, setiap hari, tanpa jeda. Penggemar webinar tinggal memilih, mana yang ingin diikutinya.
 Webinar sendiri merupakan kombinasi dari kata “web” dan “seminar”, yang dikemas oleh penyelenggaranya untuk melakukan workshop, ceramah, diskusi, atau presentasi secara online menggunakan webinar software. Webinar dipilih menjadi salah satu pilihan kegiatan yang mendukung diterapkannya protokol kesehatan bagi banyak orang pada saat stay at home dan work from home serta learn from home, karena orang-orang tidak harus bertemu secara fisik. Webinar menjadi salah satu alternatif dan cara menarik untuk berbagi dan memeroleh bermacam ilmu, mengisi waktu, menghilangkan kejenuhan atau kebosanan selama mengunci diri di rumah, atau bahkan untuk dapat memeroleh selembar sertifikat.
 Ketika diluncurkan pada saat-saat awal pandemi COVID-19, webinar menjadi ide kegiatan yang menarik. Banyak keuntungan dan kelebihan yang dirasa dapat diperoleh dengan webinar untuk menggantikan face-to-face meetings. Banyak webinar yang diserbu oleh calon pesertanya yang jumlahnya ribuan sehingga penyelenggara terpaksa menolak pendaftar karena melebihi ketersediaan kapasitas. Penyelenggara lalu membuat live-streaming atau rekaman video youtube untuk mengobati kekecewaan pendaftar yang tertolak menjadi peserta karena kapasitas terbatas. Webinar juga memudahkan dan memperluas target group untuk memeroleh konten yang ingin dibagi oleh penyelenggara dan narasumber. Bagi penyelenggara, biaya yang dikeluarkan untuk sebuah webinar juga jauh lebih murah daripada harus mengorganisasikan sebuah pertemuan di sebuah tempat khusus dengan segala uba-rampe-nya. Demikianlah, webinar tumbuh seperti jamur. Setiap hari. Daftar dari kelebihan dan keuntungan webinar ini masih dapat ditambahkan jika diidentifikasi lebih lanjut.
 Arus dari gelombang pasang webinar itu sangat deras mengalir sampai hari ini. Seperti gerakan yang menggelembung pada permukaan laut, bergulung-gulung. Seperti ombak, ia sampai di pantai, sampai di hati atau pikiran calon peserta lewat bantuan flyers yang beredar. Penggemarnya selalu banyak, pembicara atau narasumber makin bervariasi, dan penyelenggaranya tetap antusias dan makin gencar untuk mengadakannya. Bagi yang memang menyukai kegiatan ini untuk menjadi peserta, ia bahkan bisa sampai mengikuti beberapa webinar dalam sehari, dan ia harus rajin mencatatnya dalam agenda setiap hari agar tidak lupa atau kelewatan dengan jadwal pelaksanaannya.
Yang luput dari “perhelatan”
Tak ada yang salah dari webinar. Ia muncul sebagai gagasan kreatif di tengah pandemi, bagaimana teknologi mampu mengubah sesuatu yang statis, bahkan bisa menjadi inovatif jika ia juga memunculkan kebaruan, keorisinilan, dampak luas, sesuatu yang menakjubkan dan bernilai, baik dari segi konten, format, metode penyampaian, narasumber, maupun modanya. Webinar itu serupa ombak, gerakan air laut yang turun naik, bergulung-gulung, memecah di pantai, kembali lagi ke laut, begitu seterusnya. Gulungan ombak pun datang menjelma sebagai gelombang pasang, mengalirkan arus yang besar, mengalir ke mana-mana, ke segala penjuru. Itulah webinar pada saat ini.
 Maka apa yang salah kemudian? Bukan salah, melainkan ada yang mungkin kemudian dapat terluputkan. Webinar dengan arus yang besar dapat menimbulkan semacam gelombang “perhelatan”, sebuah perayaan yang luput dari esensi “pembelajaran” itu sendiri. Jika dirayakan di mana-mana, di setiap saat, oleh siapa saja, ia akan mencapai grafik puncak, dan suatu saat grafik ini akan melandai seiring dengan gelombang surut. Bukankah tujuan diselenggarakannya webinar selama masa pandemi adalah membagi ilmu, informasi, pengetahuan, keterampilan, atau memberi asupan jiwa dan pikiran, dan mungkin juga hiburan secara online? Pertanyaannya, dari sekian banyak webinar, apakah tujuan-tujuan itu tercapai?
 Jika webinar dipilih sebagai ruang berbagi dan memeroleh sesuatu, bukan sebuah “perhelatan” yang kesuksesannya dilihat dari berapa ratus atau ribu peserta yang mendaftar karena flyers yang menjanjikan, juga bukan sebagai sebuah pesta yang kemeriahannya diukur dari berapa banyak tamu yang diundang untuk datang, bukan pula sebuah perayaan dengan door prize berupa sertifikat bagi tamu yang beruntung, maka agaknya penyelenggara, narasumber dan calon peserta (penggemar webinar) perlu mengingatkan diri sendiri dengan beberapa pertanyaan reflektif sebagai “reminders” agar selalu on the right and essential track ….
 Sebagai seorang narasumber atau seseorang yang profesinya adalah pengajar, menyampaikan materi atau konten di webinar juga memiliki beberapa kekurangan dan hal-hal yang kurang menguntungkan, baik bagi dirinya maupun bagi peserta. Dalam penyampaian atau pemaparan materi atau juga dalam merespon pertanyaan peserta, narasumber webinar tidak dapat menguasai dan mengetahui audience atau siapa pesertanya, tidak dapat mengubah metode atau cara penyampaian yang seyogyanya dilakukannya, misalnya ia harus segera men-switch- metode deliveri jika peserta yang sekian ratus atau ribu tersebut ternyata merasa bosan, mengantuk, tidak tertarik, tidak fokus, mengobrol, melakukan pekerjaan lain, meninggalkan forum, dan banyak lagi, yang membuat peserta tidak engage in the webinar. Di sisi lain, tidak semua peserta mendaftar webinar karena memang ingin mendapatkan pengetahuan atau ilmu sesuai dengan minat atau ketertarikannya, tapi karena ingin memeroleh selembar sertifikat untuk kepentingan lain. Konten dari webinar tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan kebutuhan pengembangan dirinya. Dalam keinginan yang seperti ini, jelas ia akan menjadi peserta yang tidak engage in, tidak mendapatkan apapun kecuali selembar sertifikat, karena apapun materinya tidaklah penting baginya. Prinsip memberi dan menerima tidak terjadi.
 Kasus yang lain adalah bagaimana terjadinya pola komunikasi dalam webinar. Prinsip belajar yang student-centered menjadi sebuah tantangan. Komunikasi yang hanya searah dilakukan oleh narasumber webinar menjadi terbatas. Bukankah ini malah bertentangan dengan prinsip pembelajaran yang student-centered, yang berfokus pada peserta? Tetapi kelemahan ini tidak disadari, karena tertanamnya mindset bahwa webinar itu sudah meningkatkan kemampuan literasi digital, hanya karena ada istilah “online”-nya atau “webinar”-nya.
 Pembelajaran dalam perhelatan
Webinar digelar sebagai perhelatan? Tak ada salahnya. Perhelatan adalah perayaan. Jika ia memang perlu dirayakan, “kemeriahan” perhelatan perlu dijaga:
~        Jika menjadi narasumber atau pemberi materi dalam perayaan itu, sebuah prinsip pembelajaran perlu diusahakan terjadi, yaitu ada give and gain something antara penyaji dan peserta. Tanyakan pada diri sendiri: apakah saya memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi peserta secara efektif dan profesional, dan apakah mereka memeroleh sesuatu yang mereka butuhkan dari saya.
~        Jika menjadi penyelenggara, sebuah prinsip pembelajaran pun harus diusahakan terjadi, yaitu penyelenggara menjadi acuan, atau sebuah sumber konten yang kredibel dan akuntabel bagi komunitas dalam bidang tertentu. Tanyakan secara reflektif: bentuk webinar yang bagaimana yang dapat memuaskan pengguna jasa, lebih dari sekedar berhelai-helai sertifikat yang dapat diterbitkannya untuk sekian ratus atau ribu peserta.
~        Jika menjadi peserta atau penggemar webinar, sebuah prinsip pembelajaran juga harus diusahakan terjadi, yaitu memilih secara selektif konten webinar apa yang dibutuhkan untuk peningkatan, pertumbuhan, atau pengembangan dirinya secara personal. Tanyakan pada diri sendiri: apakah yang saya butuhkan relevan dengan webinar yang saya ikuti sehingga jika saya mendapatkan sertifikat, sertifikat itu dapat berbicara tentang apa yang telah saya peroleh pada webinar. Jika pun saya tidak memeroleh sertifikat, itu tidak masalah karena itu bukanlah tujuan utama dalam mengikuti webinar.
 Maka, silakan rayakan “perhelatan webinar” menjadi sebuah bentuk “pembelajaran yang esensial”.



Ditulis pada masa Work from Home

Yogyakarta, 17 Juni 2020.