---Eko Santosa
Situasi dan kondisi pandemik Covid-19 yang
terjadi menandai dimulainya budaya baru dalam tata kehidupan di mana
persinggungan fisik musti dibatasi. Keakraban sosial berubah wujud penghargaan
ke dalam bentuk “jaga jarak”. Perubahan
tata kehidupan ini berpengaruh langsung dengan model pembelajaran di mana tatap
muka hampir tidak diperbolehkan dan diganti dengan pertemuan dalam jaringan. Isitlah
“jaga jarak” menjadikan kelas nyata berganti dengan kelas “maya” di mana
aktivitas kelas dapat dilangsungkan namun tanpa bersentuhan fisik. Kemudian, inisiasi
dan pengembangan kelas “maya” melalui internet ini menjadi semacam kewajiban
baru bagi guru, dosen, widyaiswara serta pendidik dan tenaga kependidikan
lainnya. Banyak terdapat fasilitas
pembelajaran yang tersedia gratis di internet yang bisa dimanfaatkan untuk
kepentingan ini. Namun demikian hal pokok yang mesti diperhatikan adalah
perubahan pola pikir dari budaya fisik ke budaya jaringan yang mana keduanya
jelas tidak bisa disamakan terutama dalam hal perilaku.
Secara umum, hal-hal yang biasanya dapat
dipenuhi dalam kelas nyata belum tentu bisa berlaku di dalam kelas maya. Khusus
untuk pembelajaran di sekolah, banyak guru mulai gelisah karena pertemuan dalam
jaringan yang mereka buat seringkali – terasa - diabaikan oleh peserta didik.
Bahkan mereka juga mulai ragu apakah para peserta didik memahami apa yang
disampaikan secara daring tersebut. Belum lagi soal cara memberikan, mengunduh
dan mengunggah tugas di mana guru dan peserta didik juga merasa kewalahan.
Tidak luput juga orang tua yang menjadi pendamping anaknya dalam belajar. Semua
hal ini mungkin terjadi karena perilaku offline coba diterapkan secara online
di mana perilaku online keseharian seseorang (peserta didik) belum
sepenuhnya terpahami atau ditelisik mendalam.
Perilaku seseorang mempelajari sesuatu berbasis
media yang terhubung internet umumnya bersifat personal dan arbitrer. Hal
inilah yang belum bisa terpenuhi oleh
sekolah selama program belajar dari rumah berjalan. Sistem pembelajaran “sekolah
nyata” memang telah tertentu, di mana dalam prosesnya peserta didik harus
mengikuti ketentuan tersebut utamanya dalam hal jadwal dan urutan materi
pelajaran yang diberikan. Sementara melalui gawai dalam kesehariannya, seseorang
(peserta didik) boleh dan bisa menentukan materi apa saja yang mau dipelajari
(dilihat, didengar, bahkan kemudian diunduh). Pun waktunya juga mana suka serta
durasi belajarnya dapat ditentukan sendiri. Bahkan jika merasa senang tidak
jarang sampai lupa waktu. Lagi pula materi yang bisa dipelajari di dalam gawai
tersebut melimpah dan sebagian besar bisa diakses secara gratis.
Untuk itu diperlukan penyesuaian sistem
persekolahan dan tentu saja kurikulum serta model pembelajaran yang ramah guna
melalui gawai berbasis internet. Tentu saja tidak mudah melakukan hal semacam
ini namun perlu dipertimbangkan mengingat masa normal baru yang bisa saja
berlangsung lama. Penyesuaian dapat berupa sistem kelas yang bersifat terbuka
di mana satu orang dapat menentukan sendiri materi apa yang akan dipelajari
lengkap dengan tugas serta penilaian di dalamnya. Jadi dalam satu kelas antara
peserta didik satu dengan yang lain berbeda yang dipelajari. Untuk mendukung
hal tersebut, rancangan sebaran materi dari seluruh mata pelajaran dalam satu
semester yang dapat dipilih oleh peserta didik untuk dipelajari secara mandiri
sangat diperlukan. Materi-materi ini menjadi semacam menu yang bebas untuk
dipilih yang tersaji dalam satu aplikasi di mana aplikasi tersebut mudah
dioperasikan melalui gawai standar minimal yang mungkin untuk dimiliki oleh
peserta didik. Komunikasi dengan guru dapat berlangsung melalui pesan teks atau
pertemuan online sebagai dukungan yang semuanya tersedia dalam aplikasi
tersebut. Dengan demikian kondisi pembelajaran online benar-benar
bersifat online dan bukan offline yang di-online-kan.
Namun demikian, tentunya diperlukan usaha yang
tidak ringan dan waktu yang tidak sebentar karena persiapan kesadaran pikiran untuk
menggerakkan sangat diperlukan terutama dari para pengajar dan pemangku
kebijakan persekolahan. Memindahkan materi pembelajaran ke dalam aplikasi juga
tidak semudah merekam ceramah dan aktivitas guru di kelas. Visualisasi,
perangsangan daya tarik, pemberian tantangan, metode dan media untuk memudahkan
pemahaman, proses penilaian, dan lain sebagainya yang terkait dengan proses
belajar-mengajar di dalam aplikasi tersebut perlu benar-benar dipersiapkan,
termasuk administrasi persekolahnnya. Pun demikian juga pembuatan aplikasi yang
memerlukan banyak sumber daya dengan dana yang tidak sedikit. Akan tetapi, jika
memang benar-benar dibutuhkan, tidak mustahil pembelajaran online secara
penuh semacam ini dapat dilangsungkan oleh sekolah-sekolah secara umum. (*).
Ekoompong,
Domas, 22 juni 20