Friday, June 19, 2020

WfH Series: Belajar dari Konten Sebuah Webinar: Etika Publikasi Ilmiah






--Rin Surtantini


Seorang teman memosting flyer webinar gratis di grup Whatsapp dengan topik Menghindari "Perampokan" Akademik: Etika Publikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi. Webinar ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Agama Pluralisme dan Demokrasi bekerjasama dengan Pusat Kajian Kelembagaan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Jadwal pelaksanaannya adalah hari Rabu, 3 Juni 2020, pukul 11.00 – 13.00 WIB, kira-kira dua minggu yang lalu, berkapasitas 100 orang peserta, dan tidak memberikan sertifikat bagi pesertanya.

Dalam tulisan terdahulu tentang “perhelatan webinar”, dimunculkan saran agar nilai-nilai pembelajaran dalam perhelatan webinar perlu diciptakan. Artinya jika memang tren webinar saat ini adalah perayaan, maka peserta atau penggemar webinar perlu memilih secara selektif konten webinar apa yang dibutuhkan untuk peningkatan, pertumbuhan, atau pengembangan dirinya secara personal. Hal ini termasuk menetapkan pada diri sendiri apakah konten webinar sesuai atau relevan dengan yang dibutuhkannya secara personal, atau secara kelembagaan, sehingga menjadi peserta webinar benar-benar memberi manfaat, bukan sekedar hanya untuk mengisi waktu saja, atau untuk tujuan primer memperoleh sertifikat semata.

Maka ketika flyer webinar berjudul Menghindari "Perampokan" Akademik: Etika Publikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi beredar, dorongan ketertarikan untuk mengikutinya pun tentu berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya. Mungkin juga tak banyak yang tertarik. Terlepas dari apa dorongan atau motivasi untuk mengikuti webinar tersebut, berbagi sedikit konten dari webinar itu menjadi tujuan dari tulisan ini. Salah satu penanda terjadinyasebuah prinsip pembelajaran pada webinar adalah adanya peristiwa give and gain something antara penyaji dan peserta. Setidaknya ada sesuatu yang bermanfaat karena disampaikan oleh narasumbernya secara efektif dan profesional. Selain itu, ada efek positif jika sesuatu yang bermanfaat itu dapat diperluas jangkauannya melalui forum berbagi.

***

Judul webinar Menghindari "Perampokan" Akademik: Etika Publikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi, menjadi menarik karena ada kata “perampokan” di dalamnya, yang mengandung metafora kriminalitas di dalam dunia akademik. Topik ini mengundang keingintahuan bagi yang bekerja atau bergelut dengan hal-hal yang bersifat akademis. Ada tiga narasumber, yaitu Jonathan Lassa, Ph.D., seorang dosen senior warga negara Indonesia yang mengajar di Charles Darwin University, Australia, lalu Nelly Martin-Anatias, Ph.D., orang Indonesia juga yang mengajar di Auckland University of Technology, Selandia Baru, dan Neil Semuel Rupidara, Ph.D., Rektor Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia. Masing-masing membawakan topiknya sendiri-sendiri yang saling berkaitan, dan ini berlangsung selama dua jam termasuk waktu untuk berdiskusi dengan beberapa peserta.

Tulisan ini hanya akan memberikan highlight pada sebagian kecil dari keseluruhan konten webinar, yaitu masalah hak cipta dan sitasi (pengutipan karya orang lain) dalam sebuah karya ilmiah, yang disoroti oleh Nelly Martin-Anatias. Sitasi merupakan masalah etika publikasi dalam karya-karya kita yang kita “akui” sebagai “ilmiah”. Dikatakan, banyak dari kita yang berada di dunia akademis tidak tahu bagaimana cara melakukan sitasi secara benar, seperti mengutip karya ilmiah orang lain. Kita tidak memperlakukan “properti intelektual” sebagai hak milik orang lain, sehingga dengan mudahnya kita mengambil tulisan dan proses berpikir orang lain untuk kita akui sebagai milik kita. Tidak menuliskan sitasi merupakan salah satu hal yang paling mudah untuk melihat apakah kita itu sebenarnya menjalankan etika publikasi ilmiah atau tidak.

Penulis yang karyanya dikutip seseorang tanpa melakukan sitasi akan sangat dirugikan, karena proses menghasilkan sebuah karya ilmiah yang baik itu tentunya melewati sebuah perjalanan yang panjang. Proses berpikir dan tulisan orang lain itu wajib diakui sebagai properti intelektual, hak miliknya, dan saat kita menggunakan hak milik orang lain itu, kita harus memberikan “credit” kepadanya. “Credit” ini dilakukan dengan cara melakukan sitasi, sehingga kita tidak bisa seenaknya saja mengambil ide orang lain, pikiran orang lain, dan mengakuinya sebagai karya kita.

Dalam hal tidak melakukan sitasi atas karya ilmiah orang lain karena ketidaktahuan, maka sejak kita mengetahui bahwa itu melanggar etika publikasi ilmiah, sebaiknya hal tersebut tidak kita lakukan lagi. Mempelajari academic writing menjadi sangat penting dalam konteks ini, sehingga siapa pun yang menghasilkan karya ilmiah harus dan dapat saling menghargai properti intelektual masing-masing dengan cara memberikan kredit kepada pemilik aslinya berupa sitasi. Kesimpulannya, sitasi merupakan bagian dari etika publikasi ilmiah, yang mengakui adanya pikiran dan karya orang lain di dalam karya ilmiah kita.

***

Demikianlah, sebagian kecil dari materi webinar di atas tentang sitasi yang merupakan bagian dari etika publikasi ilmiah. Ini mengingatkan kita akan tidak etisnya praktik-praktik plagiat.Bagi siapapun yang mengklaim dirinya menghasilkan karya-karya ilmiah, maka melakukan sitasi merupakan kultur atau tradisi akademik beretika yang harus dibangun olehnya. Menghormati, mengakui, dan memberikan kredit atas karya ilmiah dan proses berpikir orang lain menjadi suatu prinsip yang harus dibangun dalam memproduksi karya ilmiah. Ilmu pengetahuan dibangun dan dikembangkan dari ilmu pengetahuan yang telah ada sebelumnya, sehingga sitasi menunjukkan kepatuhan kita terhadap penghargaan, pengakuan, dan penghormatan karya orang lain sebelumnya. Dengan melakukan sitasi, kita secara jujur dapat menunjukkan kepada publik, mana bagian dari karya ilmiah kita yang merupakan pikiran atau gagasan orang lain, dan mana yang merupakan gagasan atau pikiran kita sendiri.

Berkaitan dengan sitasi, kapan kita ternyata tidak beretika dalam melakukan publikasi ilmiah? Kita dapat mengeceknya dengan bertanya kepada diri kita sendiri, sebelum orang lain menemukannya:
  1. Apakah saya mengutip kata-kata atau kalimat orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya?
  2. Apakah saya menggunakan pendapat, gagasan, pemikiran, pandangan, konsep orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya?
  3. Apakah saya menggunakan data atau informasi milik orang lain tanpa juga menyebutkan identitas sumbernya?
  4. Apakah saya dengan sadar mengakui karya orang lain sebagai karya saya sendiri?
  5. Apakah saya, meskipun telah melakukan parafrase atau mengubah kalimat orang lain ke dalam kalimat saya sendiri, tetap tidak menyebutkan identitas sumber aslinya?
  6. Apakah saya mempublikasikan karya ilmiah yang dihasilkan orang lain sebagai karya saya sendiri?
  7. Apakah saya mengambil karya saya sendiri sebelumnya tanpa melakukan perubahan yang berarti untuk saya akui sebagai karya baru saya?

Banyak pemicu yang mendorong terjadinya praktik plagiat yang merupakan tindak kejahatan properti intelektual. Perhatikan apakah kita memiliki keterbatasan waktu dalam menghasilkan karya ilmiah sehingga mengopi atau meniru persis karya orang lain menjadi hal yang kita lakukan? Atau apakah kita enggan mencari dan menganalisis referensi yang ada? Ataukah kita tidak paham dan tidak tahu bagaimana, di mana, dan saatnya melakukan sitasi? Atau apakah lingkungan akademis kita tidak peduli dan tidak menganggap sitasi adalah bagian dari etika publikasi ilmiah?

Akhirnya, pilihan dalam menerapkan etika publikasi ilmiah, ada pada hati nurani kita masing-masing.
Selamat menghasilkan karya-karya (ilmiah) yang “beretika” selama masa panjang work and learn from home!

Yogyakarta, 18 Juni 2020.


9 comments:

  1. Apakah sitasi itu hanya untuk kutipan yang dinyatakan utuh dalam artikel kita atau termasuk juga pemikiran dalam sebuah artikel walaupun sudah kita parafrase?
    Kalo saya pribadi lebih aman, mencantumkan sitasi; walaupun itu sesuatu yang kecil kita kutip. Gmn Bu?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau menurut saya, jika itu berasal dari karya orang lain, apapun bentuknya, kita tetap harus melakukan sitasi untuk memberikan credit kepada pemiliknya, dan untuk tidak melakukan tindakan plagiat. Parafrase adalah mengungkapkan pemikiran atau tulisan orang lain dengan kata-kata atau kalimat kita sendiri, jadi kalau menurut saya, itu juga bukan milik kita, tetap harus kita cantumkan pemilik aslinya.

      Delete
    2. Meskipun ada juga yang berpendapat, kita tidak melakukan tindakan plagiat ketika gagasan atau tulisan orang lain itu sudah kita parafrase, sehingga tidak perlu mencantumkan pemilik aslinya... Jika dalam "lingkungan" yang ketat, jika parafrase kita itu mirip atau sangat dekat dengan naskah aslinya, tetap dianggap plagiat.

      Delete
  2. Etika yang mudah tapi praktikanya banyak dilencengkan, soal dasariahnya ada di kultur "permakluman" yang kemudian "membiasa".

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, kita lebih sering berada dan bermain dalam lingkungan kultur permakluman, jadi aman-aman saja.... yang ini akan sangat berbeda jika kita berada dan bermain dalam lingkungan yang "ketat"...

      Delete
  3. Tulisan yang bagus dan manfaat. Terima kasih mbak Rin. Teruslah menulis.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, mas Fajar. Sekedar berbagi konten webinar yang saya ikuti, dan sekedar mengingatkan diri saya sendiri juga ketika belajar menghargai properti intelektual orang lain...

      Delete
  4. Terima kasih sudah diingatkan kembali agar kita semua yang bergulat pada penulisan karya ilmiah agar selalu hati² dalam mengutip sekecil apapun, jangan lupa berterima kasih dengan mencantumkan nama yang bersangkutan. Jangan mencuri apalagi merampok.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, pak Gede. Bayangkan jika kita yang kecurian atau dirampok...hehehe..

      Delete