Tuesday, February 9, 2021

Soal Kritik

 

---Eko Santosa


Dewasa ini, kritik berhamburan di media-media sosial, tentang apa saja. Hampir semua hal yang ada dan terjadi tidak lepas dari kritik. Masing-masing orang dapat menyampaikannya sesuai dengan cara dan gayanya. Dari proses berhamburnya kritik ini kemudian lahirllah klasifikasi baru yang disebut “nyinyiran” atau dianggap sebagai tanggapan asal omong dan “kritik membangun”. Istilah “nyinyiran” muncul karena kritikan yang disampaikan dinilai sebagai lebih banyak memperlihatkan sisi buruk seseorang atau lembaga atau kelompok tertentu, dan hal ini dianggap sebagai kecaman. Sementara itu, “kritik membangun” muncul sebagai counter atas “nyinyiran” dengan maksud bahwa setiap pengungkapan kesalahan atau kekeliruan atas sebuah tindakan atau kebijakan atau langkah atau apapun yang dilakukan oleh orang, kelompok atau lembaga mesti diikuti dengan penawaran solusi.

Masing-masing orang tentunya memiliki alasan tersendiri dalam menyampaikan kritik, apakah itu berupa “nyinyiran” maupun “ kritik membangun”. Namun, jika diulik sedikit lebih jauh, sesungguhnya kritik “nyinyiran” dan biasanya berisi kecaman tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Hal ini dikarenakan memang arti “kritik” di dalam kamus Bahasa Indonesia adalah kecaman atau tanggapan, atau kupasan yang kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya, pendapat, dan sebagainya (KBBI V).  Jadi dengan demikian, kritik memang adalah kecaman, soal di dalamnya ada uraian dan pertimbangan mengenai baik buruk itu hukumnya hanya “kadang-kadang”, sehingga tidak harus. Oleh karenanya, mereka juga tidak merasa memiliki kewajiban untuk menyampaikan solusi karena solusi semestinya ditemukan oleh orang atau kelompok atau lembaga yang dikritik berdasar kritikan yang disampaikan.

Sementara itu, dari sisi lain, bagi orang yang menganggap kritik mesti “membangun”, kemungkinan memaknai kritik dari seluruh arti “kritik” dengan mengesampingkan kata “kecaman” dan “kadang-kadang”. Jadi bagi mereka kritik adalah tanggapan, atau kupasan yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya, pendapat, dan sebagainya. Oleh karenanya, kritik mesti harus diuraikan dengan segala pertimbangan baik buruk yang pada akhirnya akan mengerucut pada solusi. Dengan demikian, kiritik tidak bisa disampaikan secara sembarangan oleh siapa saja.

Kelit kelindan dan relasi semrawut atas “nyinyiran” dan “kritik membangun” masih eksis hingga hari ini di media-media sosial. Masing-masing memiliki pendukungnya sendiri. Jika saja arti “kritik” lebih menukik pada penilaian profesional, mungkin perdebatan receh nan seru antara “nyinyiran” dan “kritik membangun” tidak perlu terjadi. Seperti dalam kamus bahasa Inggris Concise Oxford (11th edition) misalnya, di situ kata kritik sebagai kata benda diartikan menjadi asesmen dan analisis yang detail atas sesuatu, sementara sebagai kata kerja diartikan menjadi tindak evaluasi yang dilakukan dengan cara detail dan analitis. Karena mesti detail dan analitis, maka tidak sembarangan orang bisa melakukannya. Artinya, tukang kritik itu mesti profesional di bidangnya. Namun demikian, pemaknaan kata mewujud ke tindakan dan respons atas tindakan tersebut sejatinya tetap dapat disikapi dengan bijak. Namun demikian, semua itu berpulang pada tujuan diri masing-masing atas tindakan yang dilakukan tanpa membebani makna sebuah kata yang bisa saja, dengan alibi tertentu, arbitrer. (**)

 

Eko Santosa

WFH/O, 090221

 

Monday, February 8, 2021

VIRTUAL TAK SEMUANYA

 

--Eko Santosa 


Sekumpulan mahasiswa sedang memperbincangkan dosen mereka ketika menunggu jadwal kuliah berlangsung. Dosen tesebut terkenal dan sering menjadi perbincangan karena ketakmauannya menggunakan teknologi informasi dalam mengajar, terutama penggunaan gawai. Paling banter, ia hanya menggunakan alat presentasi untuk menjelaskan keterangan lisan berbasis buku yang masih kurang dipahami. Selebihnya, ia akan langsung turun ke lapangan membimbing para mahasiswa berpraktik. Menurut para mahasiswa, sementara banyak dosen telah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sampai taraf virtual reality, dosen mereka yang satu ini terhitung sangat ketinggalan zaman. Meskipun komunikasi verbal yang dibangun di kelas berjalan lancar tetapi menurut para mahasiswa hal tersebut dianggap kurang cukup menopang performansi ideal seorang dosen di zaman modern.

Di tengah perbincangan yang sedikit riuh cenderung kasak-kusuk tersebut, sang dosen datang, berjalan santai dan langsung masuk ke kelas. Semua mahasiswa segera mengikutinya dan duduk dengan rapi. “Kelas hari ini akan saya mulai dengan pendekatan baru”, kata sang dosen. “Oleh karenanya, silakan keluarkan smartphone masing-masing.”  Mendengar itu, sontak kelas riuh. Semua mahasiswa gembira karena merasa ada kemajuan dari sang dosen. “Nah, sekarang, carilah gambar atau foto apel melalui gawai kalian. Bebas, apel jenis apapun yang disukai!” Tak beberapa lama para mahasiswa sudah siap dengan gambar masing-masing. “Sekarang angkat dan tunjukkan gambar apel itu dan saling perlihatkan!” Semuanya mengikuti arahan sang dosen. “Nah, kalian semua telah punya apel. Saya juga punya sebuah apel”, lanjut dosen tersebut sambil mengambil apel dari tasnya.

“Sekarang, mari kita makan bersama apel tersebut, silakan!”, dengan tenang sang dosen memakan apelnya, sementara para mahasiswa saling menatap bingung satu sama lain. “Ada yang nggak enak apelnya?”, tanya sang dosen. Para mahasiswa kembali bingung dan sang dosen dengan lahapnya memakan apel tersebut. Begitu mau selesai, ia lanjut berkata, “Nah, sebagai orang yang berbudaya, kita harus membuang sampah di tempatnya”, seraya mengambil kantong hitam dan membuang sisa apel yang ia makan ke kantong tersebut. “Jika kalian sudah selesai makan apelnya, silakan buang sisanya ke kantong hitam ini ya, dan tolong nanti kantong hitam ini dibuang ke bak sampah”. Kemudian dengan tenang dosen itu berdiri dan berkata, “Sekian pelajaran untuk hari ini, dan sebagai penutup, kita mesti mampu menyediakan kebutuhan makan, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga bagi banyak orang, itulah tujuan utama kita belajar pertanian dan perkebunan. Selamat siang dan terimakasih.” Dengan tenang, dosen itu meninggalkan kelas, meninggalkan para mahasiswa yang saling melongo atau senyum kecut antara satu dengan yang lain.

Selepas kelas, para mahasiswa kembali riuh dalam kasak-kusuk. Ada yang memahami pesan yang hendak disampaikan sang dosen, ada yang tetap bingung, dan ada yang terkesima. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa berkata, “Kemarin bapak itu menjelaskan teori Bronislaw Malinowski bahwa untuk menilai ataupun merasakan sesuatu kita mesti mengalaminya secara langsung.” “Ya, tapi apa kaitannya dengan apel?”, tanya yang lain. “Makanan kan harus kita sediakan secara benar-benar nyata apa adanya, kita makan secara nyata, termasuk rasa kenyang itu harus nyata, tidak semuanya bisa diwakili secara virtual”, sela yang lain. Mendengar itu semuanya diam. Lepas benar atau salah kesimpulan itu, namun kelas menjadi diam, semuanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. (**)

 

Eko Santosa

WFH/O, 080221