Wednesday, May 27, 2020

WfH Series: KISAH RUMAH 1000 HARI (Memori Gempa Jogja 2006)




---F. Dhanang Guritno


Tanggal 27 Mei 2006 pukul 05.55 tepat 14 tahun yang lalu masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya dikejutkan dengan peristiwa yang sangat menggemparkan yakni gempa bumi. Gempa tersebut berpusat di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa sumber menyatakan gempa itu berkekuatan 5,9 skala richter dengan pusat gempa di daratan. Korban meninggal tercatat 6.234 orang. Ribuan rumah luluh lantak rata dengan tanah. Betapa menyedihkan jika kita ingat peristiwa itu. Tulisan ini bukan ingin megajak para pembaca bersedih ataupun menakut-nakuti tetapi penulis mengajak kita semua selalu waspada dan menyadari sepenuhnya bahwa kita hidup di daerah bencana yang mungkin suatu ketika akan terjadi lagi.
Setelah peristiwa itu terjadi, masyarakat Yogyakarta bangkit kembali membangun tempat tinggalnya secara berhati-hati dengan memenuhi anjuran pemerintah untuk membuat bangunan tahan gempa. Rumah yang dibangun kembali harus memenuhi standar yakni tahan gempa. Barangkali masyarakat sebelum peristiwa gempa memang tidak memperhitungkan bangunannya jika suatu saat diguncang gempa berkekuatan besar. Kalaupun sudah diperhitungkan mungkin ada beberapa hal yang diabaikan sehingga Ketika benar-benar terjadi gempa kuat bangunan tersebut tidak kuat menahan goncangan.
Tulisan ini mengangkat cerita sisi lain dari ribuan rumah roboh diguncang gempa, yakni rumah tinggal saya. Pada saat peristiwa itu tempat tinggal kami sekeluarga tidak luput pula rusak parah, dan tidak mungkin untuk ditinggali lagi. Bagi kami sekeluarga kisah itu amat membekas dan tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidup. Namun kami tetap bersyukur selamat dari maut, karena peristiwa terjadi pagi hari dimana kami sekeluarga sudah bangun tidur dan sedang mempersiapkan diri menjalankan aktivitas sehari-hari.

Rumah 1000 hari
Pada tahun 2003 kami membeli rumah baru yang tentu saja sesuai kemampuan dibeli dengan cara dicicil alias KPR (kredit kepemilikan rumah). Rumah yang kami beli berada di komplek perumahan baru dan rumah itupun dibangun karena kami pesan.  Dengan demikian rumah yang kami beli adalah bangunan baru. Kami sekeluarga sangat bahagia karena akan segera menempati rumah baru kami. Tetapi pada saat akan menempati rumah baru tersebut kami harus menerima kenyataan kehilangan orang tua terkasih, yakni ayah dari istri atau ayah mertua dipanggil Tuhan, karena sakit yang memang sudah diderita sejak lama. Beberapa hari setelah pemakaman barulah kami sekeluarga bisa pindah menempati rumah baru kami. Oleh karena peristiwa meninggalnya orang tua sangat kami kenang, maka kami tidak pernah lupa juga kapan kami mulai menempati rumah baru kami.
Dalam tradisi budaya masyarakat Jawa, dikenal istilah memule atau peringatan bagi orang meninggal dunia dengan menggelar doa. Peringatan itu diadakan pada 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari setelah meninggal. Demikian juga kami sekeluarga besar selalu mengadakan acara memule tersebut. Mulai dari 7 hari, 40 hari, hingga puncaknya 1000 harinya. Dari serangkaian peringatan-peringatan tersebut tidak ada yang kami ingat tanggal maupun harinya, namun yang sangat kami ingat adalah saat memule 1000 harinya. Acara tersebut terselenggara pada tanggal 26 Mei 2006 malam. 
Setelah selesai acara memule tersebut kami pun sekeluarga pulang ke rumah. Segera beristirahat seperti biasa karena esok harinya anak-anak harus sekolah seperti biasa. Pagi harinya ketika seiisi rumah sedang bersiap-siap untuk menjalankan aktivitasnya masing-masing tiba-tiba terjadilah peristiwa yang tidak kami duga sebelumnya yakni gempa bumi yang cukup besar. Cukup lama kami merasakan goyangan itu hampir satu menit. Dengan paniknya kami sekeluarga berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Puji syukur pada Tuhan satu persatu kami bisa keluar rumah dengan selamat. Setelah di luar rumah tersadarlah kami bahwa rumah kami hancur sedemikian rupa dan tidak mungkin kami tempati kembali. Namun kami tetap bersyukur karena seisi rumah selamat tidak ada yang menjadi korban. Karena rusaknya terlalu parah akhirnya rumah itu kami putuskan untuk dirobohkan saja. Demi keamanan serta keselamatan untuk ditinggali dikemudian hari.


Kondisi rumah sesaat setelah gempa foto diambil pukul 6.23, tanggal 27 Mei 2006
Foto: Dokumen pribadi

Kini peristiwa itu sudah berlalu 14 tahun lamanya. Kami sekeluarga tidak akan pernah lupa peristiwa itu sampai kapanpun. Kami memaknai rumah kami yang hancur diguncang gempa itu sebagai “kisah rumah seribu hari”. Karena secara kebetulan dari pertama menempati hingga rumah itu hancur, bersamaan dengan peristiwa meninggalnya ayah mertua hingga peringatan 1000 harinya.
Itulah sekelumit kenangan keluarga kami pada peristiwa gempa tahun 2006. Tidak ada maksud untuk kembali mengajak bersedih karena peristiwa itu, tetapi cerita ini perlu dibuat sebagai peringatan untuk  waspada dan menyadari bahwa kita tinggal di daerah rawan bencana alam antara lain gempa bumi. Belum lagi bencana non alam seperti pandemi virus corona yang kini sedang berlangsung. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita renungkan dalam masa WFH.

Terimakasih
Bantul, 27 Mei 2020

F. Dhanang Guritno


DOKUMENTASI GAMBAR
Solidaritas teman-teman P4TK SB beberapa hari setelah gempa
                                    



Foto Dokumen pribadi sekitar Juni 2006


Rumah kami kini setelah 14 tahun berlalu…



Foto Dokumen pribadi 27 Mei 2020

WfH Series: Ngrungokke lan Dirungokke



--Kartiman

Edisi “Latihan Basa Jawa”

Urip ono sajroning pasrawungan pancen ora gampang, kudu gelem tulad tinuladan. Bebasan timbangan, dadiyo timbangan sing adil, ojo nganti njomplang, supoyo ora ngrugekke wong liya. Nanging kabeh kuwi mung gampang diomongke, kasunyatane angel banget. Ono unen-unen “thukuling jamur ing mangsa ketiga”, angel lan adoh kelakone.
Ngrungokke lan dirungokke isa kanggo bukti menawa tumindak adil iku pancen angel. Opo maneh ing jaman saiki dadi barang kang larang regane. Ora saben pawongan iso lan gelem nglakoni. Menawa ono sing gelem nglakoni mergane kepeksa, ora tuwuh saka niate dhewe. Dadi mung neng kulit, ora nganti tumekeng daging, opo maneh nganti balung sungsum.
Ngrungokke lan dirungokke kedadeyan soko tembung “krungu” utowo midhanget. Saben pawongan, mligine sing urip neng tlatah etnis Jawa, etnis Jawatimur, etnis Banyumas, lan etnis Semarang uwis ngerti opo jarwane tembung krungu. Nanging ora kabeh pawongan ngerti opo jarwane ngrungokke lan dirungokke. Sejatine ngrungokke lan dirungokke iku iso dinggo pasemon tumrape manungsa urip neng bebrayan agung.

Menawa kaperang, sejatine pawongan iku akeh-akehe mung gelem dirungokke, nanging ora gelem menawa kudu ngrungokke. Menawa lagi ngomongan bebasan koyo dalang kang lagi medharsabdo, utawa koyo Ratu kang lagi paring dhawuh “sabdo pandito ratu”, opo kang dadi omongane kudu dirungokke lan dilakoni. Nanging menawa genti kudu ngrungokke omongane liyan, bebasan “udhu geger”, nyingkuri, nganggep yen sing diomongke liyan ora ono gunane.

Kahanan ing ndhuwur saiki wis kedadeyan neng masyarakat. Ora sithik pawongan kang adigang, adigung, adiguna. Kabeh kepengin dadi pemimpin, nganti koyo ora ono bedane pemimpin karo sing dipimpin. Kabeh amung mbujung mareme pribadi datan mulad rekasaning liyan. Opo kang omongke kudu dirungokke lan dilakoni, sanajan ora bener, ora mentes, lan mbeblinger liyan. Tambah mongkok maneh menawa opo sing diomongke iso nggawe girising liyan. Mbok menawa pancen mareming ati yen nyumurupi cilakaning liyan mergo omongane.

Ndonya pancen wis kebak kacintrakan. Wong ngalah dhuwur wekasane, dadine wong ngalah dhuwur rekasane. Becik ketitik ala ketara, dadine sing becik mung sethithik, sing ala tambah ngambra-ambra. Durjana disubya-subya, satriya dipulasara. 

Friday, May 22, 2020

WfH Spesial: FSC 2020 [FESTIVAL SENI COVID-19, tahun 2020 di Vidyasana]



---Irene Nusanti


Covid-19 membuat kita semua mencari seni menyikapi hidup ini agar tetap semangat dan tangguh. Covid 19 boleh belum tuntas, tetapi hal itu tidak boleh menyurutkan semangat hidup. Semangat untuk mempelajari suatu nilai kehidupan baru - sebagai dampak hadirnya ‘Sang Covid’ di muka bumi - harus terus dikobarkan dengan bergandeng tangan melalui berbagai cara. Salah satu cara tersebut diberi nama: ‘Festival Seni Covid-19’, berlangsung di suatu tempat yang ada di hati kita semua, yaitu Vidyasana. Festival ini merupakan kegiatan dari beberapa teman yang belajar nilai-nilai kehidupan baru melalui berbagai seni menyiasati hidup, diantaranya adalah seni membawakan acara, seni membaca puisi, seni membaca berita dalam bahasa Inggris, seni berlatih bahasa Inggris melalui lagu, seni belajar memainkan alat musik, dan masih banyak ‘seni-seni baru’ lainnya yang nantinya dapat bermunculan jika kita mau mencoba.

Covid-19 telah mengajarkan kepada kita untuk tidak membuat diri kita menjadi terbatas hanya karena dibatasi oleh ruang gerak dan gerak langkah yang sempit. Jika paket kuota internet bisa dibuat ‘unlimited’, maka kreativitas menciptakan ‘seni-seni baru’ juga dapat didesain menjadi ‘unlimited’. Melalui Covid-19, kita juga dilatih untuk tidak takut mencoba hal baru, yang belum pernah dilakukan sebelumnya agar kita bisa menjadi ‘unlimited’. Maxwell (2017) mengatakan bahwa yang dapat membatasi gerak langkah adalah ‘pikiran kita sendiri. Kondisi ‘kumyur’ yang dialami dalam diklat Google Classroompun tidak dapat membatasi kita: the show must go on – so does the show of life’. Jadi, jangan ijinkan Covid-19 membatasi pikiran kita untuk melakukan sesuatu, sebagai ekspresi dari nilai-nilai yang dapat dipetik dari kejadian di balik pandemi tercinta. Kita juga diajak untuk tidak terlalu khawatir, karena tidak ada satu kejadianpun di muka bumi ini yang 100% negatif murni, pasti ada sekian persen tercampur unsur positif (Meyer). Possibility thinking (cara berpikir alternatif) mengajak kita untuk mengarahkan pikiran pada digalinya alternatif positif di balik ‘raungan sirene pandemi’ yang hanya dapat dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga. Possibility thinking juga berperan dalam mempengaruhi kita untuk meninggalkan euphoria popular thinking yang hanya memiliki banyak pengikut, tetapi seringkali kurang memiliki bobot. Akhirnya, possibility thinking juga mengajak kita untuk tidak kembali kepada kehidupan lama sebelum pandemi, tetapi mendesain berbagai alternatif pola kehidupan baru yang lebih membuat kita semua merasa sebagai manusia, bukan robot yang terus menerus diputar tanpa henti. Semoga pemikiran-pemikiran yang digali selama pandemi, termasuk yang digali melalui FSC-19, dapat ikut berperan dalam memberikan alternatif-alternatif dimaksud. Selamat menyimak FSC 2020.......bila diperlukan pakai headset...


Salam unlimited,

Participants of FSC 2020


Link urutan kegiatan FSC 2020 di Vidyasana
Opening FSC 2020:


Pembacaan Puisi:



MC mengantar belajar bermain keyboard dan menyanyi



Belajar bermain keyboard dan belajar menyanyi lagu berbahasa Inggris



MC dan Belajar membaca berita berbahasa Inggris



Closing FSC 2020


###

Thursday, May 21, 2020

WfH Series: Setelah Belajar Google Classroom Berakhir: Sebuah Catatan Personal

  
--Rin Surtantini

Assalammu’allaikum warrahmatullahi wabarakaatuh.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Shalom.
Om Swastiastu.
Namo Buddhaya.
Salam Kebajikan.


Yang saya hormati, ibu Sarjilah, Kepala P4TK Seni dan Budaya.
Pak Windarto, pak Joko, pak Sigit, pak Noor, dan semua pejabat struktural yang hadir.
Mas Rohmat, mas Cahya, mas Agung, mbak Eko selaku tim pengajar diklat yang excellent.
Mas Kartiman, mas Sito, mas Eru selaku Koordinator Widyaiswara.
Teman-teman panitia diklat,
serta teman-teman widyaiswara sebagai sesama peserta diklat online “Perancangan Kelas Online dengan Google Classroom” yang saya kasihi.

Terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh panitia serta tim pengajar kepada saya untuk memberikan sedikit kesan dan pesan mewakili teman-teman widyaiswara sebagai peserta diklat Google Classroom ini. (Ini mungkin lebih merupakan catatan personal saya, jadi apabila kurang dapat mewakili perasaan dan pengalaman teman-teman selama mengikuti diklat ini, mohon berkenan untuk dimaafkan).

Yang pertama-tama ingin saya sampaikan adalah bahwa inisiasi yang muncul dari teman-teman di Koordinatoriat Widyaiswara untuk dilaksanakannya diklat ini bagi para widyaiswara merupakan sebuah momen berharga dan penting untuk kita bersama-sama belajar dan saling belajar, dengan tujuan meningkatkan kapasitas kita sebagai widyaiswara di lembaga ini. Ini bukan sebuah kebetulan belaka karena adanya pandemi Covid-19 sehingga hampir semua komunikasi harus dilakukan secara online, tetapi lebih dari itu, saya memandangnya sebagai usaha kita semua secara  bersama-sama dalam menjawab tuntutan profesionalisme korps widyaiswara di era Revolusi 4.0. Jangan sampai hanya menjadi sebatas “mantera” saja (meminjam istilah mas Eko Ompong).

Terlepas dari up-and-down-nya kualitas komunikasi di antara kita, saya memandang bahwa gagasan diadakannya diklat ini mendapat tanggapan yang baik dari manajemen sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama Koordinatoriat Widyaiswara, tim pengajar yang dimintai tolong untuk menjadi penyiap materi dan sistem pembelajaran online, serta manajemen pada akhirnya bisa bersama-sama merancang, dan kemudian mewujudkan serta mengelola diklat ini secara serius.

Yang kedua adalah bahwa kita semua di segala lini di lembaga ini memang harus mau berubah menuju sebuah kehidupan normal baru (new normal life) yang segera ada di hadapan kita. Kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi dan kita hadapi, tetapi setidaknya kita dapat melakukan prediksi (“making predictions”) berdasarkan data, fakta, dan akal sehat serta logika kita. Mungkin kenyamanan, kemudahan, dan kemapanan kita selama ini menjadi terusik, karena selama ini ada sebagian dari widyaiswara menjalankan tugas belajar-mengajar dengan materi-materi dan perangkat pembelajarannya yang fixed, given, sudah tersedia. Mengapa? Karena materi-materi yang harus diturunkan ke peserta diklat tersebut diperoleh berdasarkan ToT (Train of the Trainer), yang harus diajarkan kembali ke instruktur nasional atau guru-guru sasaran tanpa perlu atau tanpa boleh mengubah, meskipun materi-materi yang given tersebut itu dirasa tidak sesuai.

Widyaiswara dalam hal di atas menjadi semacam “agent of fixed learning materials”, bukan “agent of change”, bukan pembelajar yang autonomous, self-fulfilled. Bukan pula seorang pembelajar yang dapat memiliki personalized instructional design. Demikian juga ketika ada diklat yang memiliki rancangan bagian yang dilaksanakan secara online (baik sinkronous maupun asinkronous), LMS (learning management system-nya) juga sudah dibuat, misal pernah pada suatu masa menggunakan Moodle sehingga widyaiswara cukup menjadi user dalam mengoperasikan sistemnya ketika mengajar, tidak mendesain atau membangun kelasnya sendiri. Maka dalam hal ini widyaiswara bukan desainernya, tapi penyedia materi atau konten saja, dan ketika materinya sendiri ditransfer ke LMS, banyak hal yang tidak memuaskan hatinya…. namun tak dapat melakukan apa-apa lagi. Sudah terkunci.

Tetapi kali ini, dalam diklat online “Perancangan Kelas Online dengan Google Classroom” ini, semua itu berubah. Jika ingat, ada pernyataan mas Rohmat sebagai pengajar ketika pertemuan awal diklat ini yang cukup membangunkan kita, yaitu bahwa widyaiswara  peserta diklat ini akan menjadi “class creator”, jadi peserta diklat akan membuat sendiri kelas online dengan Google Classroom. Sesuatu yang bagi sebagian besar dari para widyaiswara merupakan hal baru yang harus dipelajari dan dikuasai, untuk dapat “meningkat satu level lebih tinggi” dari kapasitasnya saat ini. Maka para widyaiswara akan bertanggungjawab sejak awal desain kelasnya disiapkan, diisi dengan konten atau materi, dikelola, dan dinilai serta dievaluasi hasilnya. Widyaiswara akan menjadi seorang pembelajar yang autonomous, self-fulfilled, dan self-determined. Kelasnya pun akan menjadi kelas-kelas unik yang personalized, dan widyaiswara dapat berkembang menjadi pembelajar-pembelajar kreatif yang independent, mengembangkan kapasitasnya yang selama ini dimiliki, tetapi “terbungkus”.

Mengikuti diklat online “Perancangan Kelas Online dengan Google Classroom” ini, dapat disimpulkan, ada lima hal yang diperoleh, yang menjadikan widyaiswara akan meningkat levelnya, yaitu belajar mengenai: (1) mendesain kelas online dengan LMS –yang kali ini menggunakan Google Classroom, (2) membuat desain instruksional atau pembelajaran untuk konten yang akan disampaikan melalui LMS, (3) mengisi konten atau materi yang sesuai dengan prinsip-prinsip rancangan diklat online, (4) mengelola kelas online, serta (5) melakukan penilaian dan mengembangkan instrumen penilaian secara online terhadap. Satu hal yang tak boleh diabaikan, yang dilakukan tidak hanya sekedar “memindah” materi dari buku atau handout yang sudah ada ke dalam kelas online.


Semua ini dipelajari dalam waktu tidak kurang dari 9 (sembilan) hari yang secara administratif setara dengan 70 jam pelajaran x 45 menit jika diklat dilakukan secara tatap muka. Kenyataannya, ketika diikuti, waktu yang diperlukan untuk memahami dan mempelajari materi pada diklat ini tidaklah terhitung. Kita bisa berjam-jam bekerja di depan laptop, bisa bekerja pagi-pagi setelah sahur dan sholat subuh, bisa siang hari, bahkan bisa pada sunyi malam hari… Awalnya sembilan hari tak terbayangkan, kelihatannya lama ya…. Tetapi nyatanya, pada hari terakhir, kita pun dapat menyelesaikannya, tidak terasa. Jadi sepertinya, It’s a fun learning!  Apalagi jika desain kelas yang dibuat adalah sesuatu yang disukai, dipahami dan dikuasai sebagai kompetensi masing-masing widyaiswara.

We have to love what we do.
If we don’t love what we do
we’re always worried anytime a duty or task
is assigned to us concerning with that …
So, love your work!

Meskipun kita berangkat dengan kapasitas awal atau prior knowledge yang berbeda-beda dan kecepatan yang juga berbeda-beda antara satu sama lain, serta kondisi personal yang juga bervariasi, teman-teman widyaiswara sebagai peserta terlihat menikmatinya, meskipun … sebentar-sebentar harus “kumyuuuur” (meminjam istilah yang dipopulerkan oleh mas Heri Yonathan di grup SKP). Kumyur dengan vicon, kumyur dengan materi yang harus dipahami, kumyur dengan tugas-tugas yang bertumpuk, kumyur dengan class design project, kumyur dengan simulasi, kumyur dengan membuat kuis, assignment, materi, kumyur dengan rasa lelah, kumyur dengan sinyal internet yang hilang timbul, kumyur dengan banyak hal lainnya…. Tetapi toh kita semua akhirnya sampai pada peningkatan level itu, sampai pada sebuah pencapaian, seperti yang diharapkan tentunya oleh tim pengajar.

Lihat hasil pos-tesnya, lihat hasil prosesnya, dan lihat hasil proyek rancangan kelasnya…. Pasti tim pengajar bisa menilainya dengan bijak, bagaimana perubahan itu terjadi. Kita yakin, sebagai peserta, meskipun diklat ini sudah ditutup, kita masih punya keinginan untuk melanjutkan, memperdalam, dan memperbaikinya (setelah sejenak berhenti untuk merayakan Idul Fitri). Sebagai widyaiswara kita semua sepakat untuk berubah, untuk memelihara “growth mindset”, bukan “fixed mindset”. Tujuan kita bukan hanya memperoleh selembar sertifikat untuk penilaian angka kredit, tetapi bagaimana sertifikat itu bisa berbicara, bahwa kita bisa membuktikan perubahan yang kita lakukan.

Untuk itu semua, hal berikutnya yang ingin saya sampaikan adalah apresiasi dan terima kasih yang luar biasa dari teman-teman peserta diklat kepada mas Rohmat, mas Agung, mas Cahyo, mbak Eko, yang dengan ketekunan dan kapasitasnya telah merancang dan mengelola diklat ini secara online, yang dengan tingkat kesabaran yang tinggi telah melayani dan membelajarkan peserta yang sangat heterogen, yang dengan cermatnya sudah menyiapkan modul, konten dan materi-materi, dan yang dengan tulus ikhlas tanpa pamrih telah membagi pengetahuan dan keterampilannya. Semua ini tentunya dilakukan oleh teman-teman pengajar karena memiliki dorongan besar untuk “berbagi” dengan sebuah pertanyaan kunci di dalam hatinya, “Apa yang diperoleh peserta diklat dari kami?” atau “Apakah mereka telah belajar dan memperoleh sesuatu dari kami?” Self-question ini dijawab oleh teman-teman pengajar dengan memberikan peserta diklat sesuatu yang dilakukan dengan “as best as they can”. Sebaik-baiknya!  Dan ini menjadikan widyaiswara peserta diklat meraih level setingkat lebih tinggi dari kapasitas sebelumnya. Thank you so much, terima kasih banyak, bapak ibu guru.

Kegiatan ini berjalan lancar dan sukses. Apresiasi dan terima kasih yang berlipat disampaikan kepada ibu Kapus dan jajaran manajemen, panitia, dan juga tim untuk penyelenggaraan Vicon setiap hari. Terima kasih juga kepada bapak-bapak Kooordinator Widyaiswara untuk dukungan dan kebijakannya dalam membantu “subsidi” bagi kemajuan korps widyaiswara dan yang mendorong korps widyaiswara untuk maju.

Akhirnya, sebagai penutup, pesan yang disampaikan adalah:
1.    Program peningkatan kapasitas widyaiswara ini masih dapat terus dilakukan, misalnya melalui diklat Google Classroom tahap kedua untuk pendalamannya, atau belajar LMS dengan program aplikasi lainnya, atau belajar merancang desain dan konten pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip online learning.
2.    Manajemen dapat menindaklanjuti dan mengakomodasi hasil dari diklat ini, misalnya dengan memetakan kelas-kelas yang potensial untuk dilaksanakan secara online dengan rekomendasi dan bimbingan lebih lanjut dari tim pengajar.
3.    Manajemen dan widyaiswara secara bersama-sama mengembangkan menu-menu diklat yang konten dan desain LMS-nya siap secara kualitas, atau yang dilakukan secara online dengan mode yang bervariasi, yang pengelolaan administrasinya secara online juga diterapkan, untuk kemudian di-launching kepada guru-guru sebagai target sasaran, atau kepada sesama widyaiswara untuk proses peningkatan kapasitas widyaiswara.


Semoga Allah yang Maha Baik akan selalu menuntun setiap pikiran, perkataan, sikap, serta perbuatan kita. Aamiin.

Terima kasih banyak untuk semuanya.
Selamat menyambut Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah bagi teman-teman Muslim.
Wassalammu’alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh.


Ditulis pada masa Work from Home,
[ketika selesai menjadi peserta diklat online untuk merancang pembelajaran online]
Yogyakarta, 20 Mei 2020.


Monday, May 18, 2020

WfH Series: Lingga Yoni “Dalam Perspektif Kehidupan”


--Kartiman

Edisi Mengajak Wisata ke Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah



Lingga Yoni merupakan istilah yang kurang akrab bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Sangat dimaklumi, mengingat istilah ini jarang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat yang sudah mendengar, tingkat interesting-nya juga kurang maksimal. Salah satu penyebabnya adalah referensi yang masih sangat terbatas. Hanya beberapa saja, dan itupun berbeda makna antara referensi satu dengan lainnya. Sudut pandang yang digunakan dalam mengupas berbeda, sehingga menimbulkan daya interpretasi yang berlainan.

Lingga Yoni dalam kebudayaan Hindu merupakan jalur energi Illahi di tubuh manusia dan di alam semesta. Penyatuan keduanya akan melahirkan sesuatu yang baru, yaitu penciptaan dunia dan kesuburan. Lingga merupakan simbol maskulin, sedangkan Yoni merupakan simbol feminim. Wujud Lingga menyerupai alat kelamin laki-laki, sedangkan wujud Yoni menyerupai alat kelamin perempuan. Dalam perspektif Jawa, biasanya artefak Lingga berwujud “alu”, dan artefak Yoni berwujud “lumpang”.

Lingga Yoni oleh beberapa masyarakat dimaknai sebagai simbol atau kekuatan seks. Pemaknaannya terbagi menjadi dua, yaitu pemaknaan dalam arti yang luas dan pemaknaan dalam arti yang sempit. Dalam arti luas, Lingga Yoni dimaknai sebagai cara untuk mengeluarkan kotoran dari pikiran yang bersih untuk mendapatkan generasi baru sebagai penerus masa depan. Kehadiran Lingga begitu ditunggu dan dirindukan Yoni untuk melakukan kewajiban sebagai pasangan. Penetrasi Lingga ke Yoni bersifat bebas, terencana, terukur tanpa dihantui perasaan salah. Puncak kenikmatannya merupakan kenikmatan dunia akhirat. Dalam arti sempit, Lingga Yoni dimaknai sebagai cara untuk mengeluarkan kotoran dari pikiran kotor. Pertemuan Lingga dan Yoni juga direncanakan, bahkan sangat dirindukan, tetapi bukan sebagai pertemuan untuk melaksanakan kewajiban. Perpaduan yang dilakukan bukan dalam rangka menciptakan generasi baru, tetapi lebih mengarah pada kepuasan sesaat. Penetrasi Lingga ke Yoni menjadi tidak bebas, terbatas, terhantui oleh pemikiran bersalah. Kenikmatan yang diperoleh hanya kenikmatan dunia, bahkan mungkin kenikmatan semu.

Lingga Yoni bagi masyarakat penganut kepercayaan Jawa masih dianggap mempunyai kekuatan atau kharisma tertentu, khususnya yang berhubungan dengan kesuburan. Bagi yang berdomisili di wilayah Solo Raya dan sekitarnya, kegiatan terkait dengan kepercayaan ini masih sering dijumpai di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah. Dalam situs Candi Sukuh dapat dilihat beberapa arca yang menggambarkan simbol kesuburan, baik kesuburan manusia maupun kesuburan alam. Secara geografis dan suasana alam, keberadaan Candi Sukuh sangat mendukung untuk menggambarkan simbol kesuburan. Terletak di dataran tinggi dengan hawa yang dingin sangat sesuai untuk meningkatkan hormon kesuburan pada manusia maupun tanaman.




WfH Songs: Lagu Gerak Dakwah Budaya (cipt: Diah Uswatun) dalam Penyajian Paduan Suara Wanita


--Diah Uswatun

Salah satu bentuk penyajian musik vokal adalah Paduan Suara. Seperti sudah kita ketahui bersama bahwa kegiatan Paduan Suara pada umumnya bersifat temporer, artinya hanya dibentuk jika ada event yang membutuhkan dan menyewa pelatih dari luar dengan biaya yang relatif mahal. Padahal jika kita memahami teknik latihan Paduan Suara sebenarnya tidak terlalu sulit dan bisa kita lakukan sendiri. Yang penting bisa membuat program latihan yang baik, dengan sarana/tempat latihan yang representatif. 

Paduan suara terdiri dari 15 orang atau lebih yang memadukan berbagai warna suara menjadi satu kesatuan yang utuh dan dapat menampakan jiwa lagu yang dibawakan. Jenis-jenis paduan suara seperti Paduan Suara unisono yaitu Paduan suara dengan menggunakan satu suara; Paduan Suara 2 suara sejenis, yaitu paduan suara yang menggunakan 2 suara manusia yang sejenis, yaitu suara sejenis wanita, suara sejenis pria, suara sejenis anak-anak; Paduan Suara 3 sejenis S-S-A, yaitu paduan suara sejenis dengan menggunakan suara Sopran 1, Sopran 2, dan Alto; Paduan Suara 3 suara Campuran S-A-B, yaitu paduan suara yang menggunakan 3 suara campuran, yaitu Sopran, Alto, Bass; Paduan suara 3 sejenis T-T-B, yaitu paduan suara 3 suara sejenis pria dengan suara Tenor 1, Tenor 2, Bass; Paduan Suara 4 suara Campuran, yaitu paduan suara yang menggunakan suara campuran pria dan wanita, dengan suara S-A-T-B. Sopran, Alto, Tenor, Bass.

Teknik vokal paduan suara sama dengan teknik vokal secara umum seperti latihan pernafasan, artikulasi, phrasering, intonasi, resonansi, dan sikap badan. Berikut ini salah contoh kelompok Paduan Suara sejenis wanita yang ditampilkan oleh kelompok Paduan Suara Aisyiyah Wilayah DIY dengan lagu Gerak Dakwah Budaya.


Gerak Dakwah Budaya 

Do=F 4/4 Cipt: Diah Uswatun 
Tempo de Marcia Arr. Koor: Nowo K 


Aisyiyah gerakan pembaharu 
Memberdayakan umat berpadu 
Lembaga kebudayaan pendukungnya 
Berorganisasi dengan gembira 

Cabang ranting mari kita berjuang 
Tegakkan niai budaya Islam 
K’luarga sakinah qoriyah thoyibah 
Menuju masyarakat utama 


Reff: mari bangun kebersamaan 
dalam gerak dakwah budaya 
Mari bangun s’mangat berjuang 
Menggapai Aisyiyah nan jaya 




Salam sehat n semangat #bekerjadarirumah#

Sunday, May 10, 2020

WfH Series: Cakra Manggilingan: Renungan Menjelang Buka Puasa Hari ke 17



--Kartiman

Cakra manggilingan merupakan filosofi Jawa yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Makna di dalamnya berhubungan dengan kodrat bahwa kehidupan manusia itu tidak ada yang abadi. Dalam skala besar atau kecil, kehidupan manusia akan selalu berubah. Diibaratkan sebuah roda, kadang ada di atas, kadang ada di bawah menurut kuat atau cepatnya roda itu berputar.

Cakra manggilingan oleh beberapa anggota masyarakat diinterpretasikan sebagai siklus kehidupan manusia. Setiap manusia harus menerima dan menempati posisinya sesuai dengan kodrat yang digariskan. Pada waktu tertentu seseorang posisinya di atas dengan segala keunggulan, kemudahan, dan kenikmatan. Namun di waktu yang lain terjun bebas ke bawah, sehingga keunggulan, kemudahan, dan kenikmatan menjadi sirna.

Cakra manggilingan ada juga yang menginterpretasikan sebagai hukum sebab akibat. Perubahan posisi manusia disebabkan oleh ulahnya, sehingga berdampak pada posisi kehidupan. Interpretasi ini belum sepenuhnya bisa mewakili makna yang terdapat di dalamnya. Banyak manusia yang selama hidup posisinya ada di atas, bahkan sampai turun temurun, meski kehidupannya jauh dari kebenaran. Secara materi nampak mapan, bahagia tanpa kekurangan suatu apapun. Sebaliknya banyak juga manusia selama hidup posisinya di bawah. Sampai turun temurun tidak mengenal kemapanan, kemegahan hidup, padahal kehidupannya selalu mengutamakan kebenaran.

Sebenarnya bagaimanakah menginterpretasikan makna cakra manggilingan itu. Berdasarkan pengamatan kehidupan manusia, makna cakra manggilingan dapat diinterpretasikan dengan waktu. Siklus kehidupan manusia dan hukum sebab akibat akan terbukti ketika waktunya sudah sampai. Banyak ungkapan yang mengatakan “kalau saatnya atau waktunya sudah sampai maka manusia tidak bisa menghindar dari kodratnya”. Semua merupakan rahasia, rencana, dan milik Hyang Maha Kuasa. Selamat berbuka puasa bagi yang menjalankan.


WfH Series: Murid, Guru, Orangtua, dan Widyaiswara


--Rin Surtantini





“Tofu is not cheese”, tahu bukanlah keju. 
Demikian dikatakan oleh Prof. Yong Zhao kepada sekelompok pendidik ESF Quarry Bay Primary School (QBS), sebuah sekolah di Hong Kong, yang memutuskan untuk mengubah krisis Covid-19 menjadi sebuah kesempatan untuk menata kembali pendidikan. 


Tofu is not cheese” oleh Iwan Pranoto, pengajar Matematika pada Institut Teknologi Bandung, dikatakan sebagai kiasan dari Yong Zhao yang mengingatkan kita bahwa sekolah dan praktik pendidikan konvensional sudah terhenti pada saat pandemi COVID-19 ini, sehingga jangan menganggap seolah-seolah sekolah masih normal. Yang paling utama menurutnya adalah bagaimana pelajar dan guru dapat mengorkestra proses belajar-mengajar sebaik-baiknya di tengah krisis ini [kompas.id, 2 Mei 2020]. Diilustrasikan olehnya, kemewahan bangunan sekolah seperti tak penting lagi saat ini. Wabah kali ini justru mengingatkan pada pendidik untuk fokus kembali pada isu utama, yakni mutu belajar.
***
Wacana yang berkembang di seputar dunia pendidikan saat pandemi COVID-19 saat ini lebih banyak tertuju kepada guru, murid, dan juga orangtua yang menggantikan peran guru sebelumnya di sekolah, karena sekarang proses belajar anak-anaknya beralih untuk dilakukan di rumah. Rumah telah menjadi sekolah bagi murid-murid. Dengan begitu, banyak yang harus dinegosiasikan antara guru, murid, dan orangtua sejalan dengan situasi dan kondisi yang dirasakan oleh semua pihak sebagai “tidak normal” ini. Negosiasi ini menjadi bagian dari kolaborasi antara ketiga pihak ini yang menghasilkan kesepakatan atas dasar azas kesetaraan.

Kesetaraan? Ya, tentu saja, karena murid-murid, para guru dan para orangtua sama-sama memasuki situasi dan kondisi yang “tidak normal” yang datang sekonyong-konyong pada saat yang sama. Ketiganya berangkat bersama menghadapi ketiba-tibaan ini. Murid-murid tiba-tiba harus belajar di rumah melalui akses informasi digital, secara mandiri, tanpa guru yang setiap saat mendampingi atau mengawasinya seperti di sekolah. Mereka harus mampu mengelola proses belajarnya sendiri dengan perangkat teknologi informasi digital yang belum tentu dimilikinya, atau dimiliki seadanya. Dengan kata lain, sebagai murid, mereka pun menjadi guru bagi dirinya sendiri, yang menentukan apakah mereka mau belajar atau tidak.

Demikian pula dengan guru. Mereka dibebani tanggung jawab moril untuk harus bertanggung-jawab terhadap peningkatan pengetahuan dan keterampilan murid-muridnya. Tiba-tiba mereka harus menyiapkan konten pembelajaran yang harus disampaikan melalui teknologi pembelajaran digital berbasis internet. Kegagapan teknologi pembelajaran yang selama ini mungkin tidak begitu dirisaukan oleh guru karena hanya difungsikan sebagai “sekedar” ada media pembelajaran atau alat bantu mengajar dalam rencana program pembelajarannya, sekarang menjadi kebutuhan yang sekonyong-konyong datang dan harus dipenuhi.

Orangtua pun tak kalah dipaksa untuk bertanggung-jawab tanpa perlu ada surat perintah atau surat tugas dari sekolah anak-anaknya. Murid-murid yang dikembalikan ke rumah untuk belajar telah mendorong orangtua untuk menyediakan keperluan anak-anaknya mulai dari misalnya akses internet, gawai atau perangkat teknologi informasi, serta “waktu” dan “kesabaran” serta “keikhlasan” untuk menjadi guru bagi anak-anaknya. Komunikasi dengan guru-guru pun menjadi hal penting yang kadang harus dilakukan karena keterbatasan orangtua dalam mengelola proses belajar mengajar bagi anak-anaknya.

Pada situasi di atas, murid, orangtua, dan guru berada pada kesetaraan dampak “ketiba-tibaan” yang terjadi. Banyak solusi ditawarkan, melalui program-program belajar online, paket-paket media pembelajaran melalui misalnya youtube, program televisi, slides, rekaman audio, seminar online, referensi-referensi seperti download e-book gratis, dan lain sebagainya. Murid, orangtua, dan guru, bersama-sama mengakses semua solusi yang ditawarkan tersebut. Artinya, ketiganya sama-sama berperan sebagai orang yang belajar, sama-sama belajar, sama-sama saling mengajarkan, baik teknologinya dalam mengakses informasi, maupun konten dari yang diakses.

Hal menarik yang dikatakan oleh Iwan Pranoto melalui artikel “Revolusi Pendidikan” itu [kompas.id, 2 Mei 2020) adalah belajar akan lebih efektif sekaligus mengasyikkan jika anak bersama dengan orangtuanya mempelajari pengetahuan dan keterampilan secara berkolaborasi; demikian pula guru dan murid, ke depannya harus duduk sama tinggi untuk berkolaborasi belajar bersama. Dengan kata lain, situasi dan kondisi yang saat ini dianggap “tidak normal” karena terjadi secara mendadak, harus dihadapi sedemikan rupa bersama-sama untuk dapat menciptakan kembali “kenormalan” yang “baru” dengan adaptasi-adaptasi yang harus dilakukan. Maka, setelah pandemi berakhir, semua akan menjadi “terbiasa” dengan “kenormalan baru” itu, kenormalan sebagai hasil dari memeroleh solusi bersama untuk meningkat ke level proses belajar mengajar yang lebih baik.

Prof. Yong Zhao mengatakan bahwa online education memang tidak dapat menggantikan semua fungsi yang dilakukan oleh sekolah, tetapi online education juga dapat melakukan banyak hal yang lebih daripada versi face-to-face schooling. Masa ini, menurutnya, merupakan kesempatan besar bagi para guru untuk mengajarkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang kita harapkan dapat kita ajarkan atau bagikan selama ini, tetapi tidak pernah mendapatkan ruang atau waktu di dalam kurikulum. Kompetensi global dan digital adalah dua contoh dalam hal ini.
***
Lalu, apa yang terjadi dengan “widyaiswara”? Siapakah dan bagaimanakah widyaiswara serta lembaga-lembaga diklat bagi guru dalam situasi pandemi COVID-19 ini? Sangat sedikit atau bahkan hampir tidak ada wacana yang membicarakan widyaiswara (teacher educator, teacher trainer) dan lembaga-lembaga diklat ketika hiruk-pikuk tiba-tiba terjadi sehubungan dengan kebutuhan yang sekonyong-konyong mencuat seperti literasi digital, akses terhadap informasi digital, sistem pengelolaan belajar berbasis digital atau online. Fokus perhatian ada pada murid-murid, guru-guru, dan para orangtua, karena ketiga unsur inilah yang memang secara nyata terlihat sebagai pelaku utama dan langsung dalam praktik belajar mengajar. Widyaiswara menjadi self-determined person, silakan menentukan sendiri apa yang harus dilakukannya.

Maka, kutipan-kutipan tulisan Iwan Pranoto [kompas.id, 2 Mei 2020) berikut ini menjadi menarik untuk direnungkan oleh para widyaiswara dan lembaga-lembaga diklat bagi guru:

“Krisis ini menunjukkan usangnya cara berpikir berurutan dalam strategi pelatihan guru, yaitu membenahi pendidikan dengan meningkatkan kecakapan mengajar guru, baru kemudian guru akan meningkatkan proses membelajarkan ke siswa. Cara berpikir sequential atau antrean ini lamban sekaligus mahal.”


“Peningkatan kecakapan guru sekaligus penyediaan pembelajaran bermutu bagi siswa harus dilakukan secara bersamaan dan lewat satu medium.”

“Program pelatihan guru konvensional yang dilaksanakan dengan guru harus meninggalkan sekolah merugikan murid. Cara lama itu harus ditinggalkan”.

Pendapat kritis di atas dapat menjadi pertanyaan reflektif terhadap diri sendiri sebagai seorang widyaiswara: apakah saat ini, dalam situasi murid belajar dari rumah, maka posisi kemampuan atau kecakapan widyaiswara adalah masih tetap lebih tinggi daripada para guru, murid, dan orangtua? Guru, murid, dan orangtua saat ini, dalam situasi tidak normal ini, ada pada kesetaraan dalam belajar secara online, dalam memperoleh informasi secara digital, dalam mengelola proses belajar mengajar secara mandiri, dalam menggunakan dan memanfaatkan perangkat teknologi informasi digital. Mereka belajar bersama dan berkolaborasi untuk mengatasi masalah bersama seperti misalnya memeroleh kecakapan literasi digital dan konten materi yang dibungkus secara digital.

Not to return to the same education after we return to the same school
seems to be a widely shared desire among the innovative (Yong Zhao).

Pernyataan Yong Zhao di atas kira-kira diterjemahkan begini: Para inovator dalam konteks pendidikan saat ini menginginkan untuk tidak kembali lagi ke pola dan sistem pendidikan yang sama (baca: “lama”) setelah pandemi COVID-19 nanti berakhir, meskipun secara fisik kita akan kembali lagi ke gedung sekolah yang sama.

Ini mengimplikasikan akan adanya “kenormalan baru” yang akan tercipta, yaitu kenormalan sistem pembelajaran yang sudah terbiasa dilakukan selama masa pandemi COVID-19 oleh guru-guru, murid-murid, dan para orangtua. Kenormalan baru itu adalah kenormalan digital, kenormalan teknologi informasi, kenormalan learning management system… kenormalan yang awalnya harus dihadapi dengan kegagapan teknologi dan kebingungan dalam menghadapinya secara tiba-tiba, tetapi seiring dengan the show must go on, maka ketiga unsur pelaku proses pembelajaran ini akan terbiasa dan menjadi “bisa”. Maka, proses ini akan menunjukkan adanya perubahan kultural dalam kehidupan manusia, dan itu secara konektivitas akan terjadi dalam tujuh cultural universals yang dikemukakan oleh George Murdock, Claude Levi-Strauss, Donald Brown, yang mencakup bahasa, sistem teknologi, sistem pengetahuan, sistem mata pencarian hidup, organisasi sosial, religi, dan kesenian dalam berbagai praktik dan aplikasinya.

Jadi, apakah widyaiswara dan lembaga-lembaga diklat bagi guru akan tetap berada di puncak menara gadingnya, atau bersedia untuk turun dan lebur, cair bersama dengan para guru, murid, dan orangtua pada proses belajar yang sama, menuju terciptanya “kenormalan” era baru? Menjadi seorang profesional yang setidaknya setara atau bahkan satu level lebih tinggi dari para guru dan murid, sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya?

Ditulis pada masa Work from Home,
[ketika menjadi peserta diklat online untuk merancang pembelajaran online]

Yogyakarta, 9 Mei 2020.