--Rin Surtantini
Demikian dikatakan oleh Prof. Yong Zhao kepada sekelompok pendidik ESF Quarry Bay Primary School (QBS), sebuah sekolah di Hong Kong, yang memutuskan untuk mengubah krisis Covid-19 menjadi sebuah kesempatan untuk menata kembali pendidikan.
“Tofu is not cheese” oleh Iwan Pranoto, pengajar Matematika pada Institut Teknologi Bandung, dikatakan sebagai kiasan dari Yong Zhao yang mengingatkan kita bahwa sekolah dan praktik pendidikan konvensional sudah terhenti pada saat pandemi COVID-19 ini, sehingga jangan menganggap seolah-seolah sekolah masih normal. Yang paling utama menurutnya adalah bagaimana pelajar dan guru dapat mengorkestra proses belajar-mengajar sebaik-baiknya di tengah krisis ini [kompas.id, 2 Mei 2020]. Diilustrasikan olehnya, kemewahan bangunan sekolah seperti tak penting lagi saat ini. Wabah kali ini justru mengingatkan pada pendidik untuk fokus kembali pada isu utama, yakni mutu belajar.
***
Wacana yang berkembang di seputar dunia pendidikan saat pandemi COVID-19 saat ini lebih banyak tertuju kepada guru, murid, dan juga orangtua yang menggantikan peran guru sebelumnya di sekolah, karena sekarang proses belajar anak-anaknya beralih untuk dilakukan di rumah. Rumah telah menjadi sekolah bagi murid-murid. Dengan begitu, banyak yang harus dinegosiasikan antara guru, murid, dan orangtua sejalan dengan situasi dan kondisi yang dirasakan oleh semua pihak sebagai “tidak normal” ini. Negosiasi ini menjadi bagian dari kolaborasi antara ketiga pihak ini yang menghasilkan kesepakatan atas dasar azas kesetaraan.Kesetaraan? Ya, tentu saja, karena murid-murid, para guru dan para orangtua sama-sama memasuki situasi dan kondisi yang “tidak normal” yang datang sekonyong-konyong pada saat yang sama. Ketiganya berangkat bersama menghadapi ketiba-tibaan ini. Murid-murid tiba-tiba harus belajar di rumah melalui akses informasi digital, secara mandiri, tanpa guru yang setiap saat mendampingi atau mengawasinya seperti di sekolah. Mereka harus mampu mengelola proses belajarnya sendiri dengan perangkat teknologi informasi digital yang belum tentu dimilikinya, atau dimiliki seadanya. Dengan kata lain, sebagai murid, mereka pun menjadi guru bagi dirinya sendiri, yang menentukan apakah mereka mau belajar atau tidak.
Demikian pula dengan guru. Mereka dibebani tanggung jawab moril untuk harus bertanggung-jawab terhadap peningkatan pengetahuan dan keterampilan murid-muridnya. Tiba-tiba mereka harus menyiapkan konten pembelajaran yang harus disampaikan melalui teknologi pembelajaran digital berbasis internet. Kegagapan teknologi pembelajaran yang selama ini mungkin tidak begitu dirisaukan oleh guru karena hanya difungsikan sebagai “sekedar” ada media pembelajaran atau alat bantu mengajar dalam rencana program pembelajarannya, sekarang menjadi kebutuhan yang sekonyong-konyong datang dan harus dipenuhi.
Orangtua pun tak kalah dipaksa untuk bertanggung-jawab tanpa perlu ada surat perintah atau surat tugas dari sekolah anak-anaknya. Murid-murid yang dikembalikan ke rumah untuk belajar telah mendorong orangtua untuk menyediakan keperluan anak-anaknya mulai dari misalnya akses internet, gawai atau perangkat teknologi informasi, serta “waktu” dan “kesabaran” serta “keikhlasan” untuk menjadi guru bagi anak-anaknya. Komunikasi dengan guru-guru pun menjadi hal penting yang kadang harus dilakukan karena keterbatasan orangtua dalam mengelola proses belajar mengajar bagi anak-anaknya.
Pada situasi di atas, murid, orangtua, dan guru berada pada kesetaraan dampak “ketiba-tibaan” yang terjadi. Banyak solusi ditawarkan, melalui program-program belajar online, paket-paket media pembelajaran melalui misalnya youtube, program televisi, slides, rekaman audio, seminar online, referensi-referensi seperti download e-book gratis, dan lain sebagainya. Murid, orangtua, dan guru, bersama-sama mengakses semua solusi yang ditawarkan tersebut. Artinya, ketiganya sama-sama berperan sebagai orang yang belajar, sama-sama belajar, sama-sama saling mengajarkan, baik teknologinya dalam mengakses informasi, maupun konten dari yang diakses.
Hal menarik yang dikatakan oleh Iwan Pranoto melalui artikel “Revolusi Pendidikan” itu [kompas.id, 2 Mei 2020) adalah belajar akan lebih efektif sekaligus mengasyikkan jika anak bersama dengan orangtuanya mempelajari pengetahuan dan keterampilan secara berkolaborasi; demikian pula guru dan murid, ke depannya harus duduk sama tinggi untuk berkolaborasi belajar bersama. Dengan kata lain, situasi dan kondisi yang saat ini dianggap “tidak normal” karena terjadi secara mendadak, harus dihadapi sedemikan rupa bersama-sama untuk dapat menciptakan kembali “kenormalan” yang “baru” dengan adaptasi-adaptasi yang harus dilakukan. Maka, setelah pandemi berakhir, semua akan menjadi “terbiasa” dengan “kenormalan baru” itu, kenormalan sebagai hasil dari memeroleh solusi bersama untuk meningkat ke level proses belajar mengajar yang lebih baik.
Prof. Yong Zhao mengatakan bahwa online education memang tidak dapat menggantikan semua fungsi yang dilakukan oleh sekolah, tetapi online education juga dapat melakukan banyak hal yang lebih daripada versi face-to-face schooling. Masa ini, menurutnya, merupakan kesempatan besar bagi para guru untuk mengajarkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang kita harapkan dapat kita ajarkan atau bagikan selama ini, tetapi tidak pernah mendapatkan ruang atau waktu di dalam kurikulum. Kompetensi global dan digital adalah dua contoh dalam hal ini.
***
Lalu, apa yang terjadi dengan “widyaiswara”? Siapakah dan bagaimanakah widyaiswara serta lembaga-lembaga diklat bagi guru dalam situasi pandemi COVID-19 ini? Sangat sedikit atau bahkan hampir tidak ada wacana yang membicarakan widyaiswara (teacher educator, teacher trainer) dan lembaga-lembaga diklat ketika hiruk-pikuk tiba-tiba terjadi sehubungan dengan kebutuhan yang sekonyong-konyong mencuat seperti literasi digital, akses terhadap informasi digital, sistem pengelolaan belajar berbasis digital atau online. Fokus perhatian ada pada murid-murid, guru-guru, dan para orangtua, karena ketiga unsur inilah yang memang secara nyata terlihat sebagai pelaku utama dan langsung dalam praktik belajar mengajar. Widyaiswara menjadi self-determined person, silakan menentukan sendiri apa yang harus dilakukannya.Maka, kutipan-kutipan tulisan Iwan Pranoto [kompas.id, 2 Mei 2020) berikut ini menjadi menarik untuk direnungkan oleh para widyaiswara dan lembaga-lembaga diklat bagi guru:
“Krisis ini menunjukkan usangnya cara berpikir berurutan dalam strategi pelatihan guru, yaitu membenahi pendidikan dengan meningkatkan kecakapan mengajar guru, baru kemudian guru akan meningkatkan proses membelajarkan ke siswa. Cara berpikir sequential atau antrean ini lamban sekaligus mahal.”
“Peningkatan kecakapan guru sekaligus penyediaan pembelajaran bermutu bagi siswa harus dilakukan secara bersamaan dan lewat satu medium.”
“Program pelatihan guru konvensional yang dilaksanakan dengan guru harus meninggalkan sekolah merugikan murid. Cara lama itu harus ditinggalkan”.
Pendapat kritis di atas dapat menjadi pertanyaan reflektif terhadap diri sendiri sebagai seorang widyaiswara: apakah saat ini, dalam situasi murid belajar dari rumah, maka posisi kemampuan atau kecakapan widyaiswara adalah masih tetap lebih tinggi daripada para guru, murid, dan orangtua? Guru, murid, dan orangtua saat ini, dalam situasi tidak normal ini, ada pada kesetaraan dalam belajar secara online, dalam memperoleh informasi secara digital, dalam mengelola proses belajar mengajar secara mandiri, dalam menggunakan dan memanfaatkan perangkat teknologi informasi digital. Mereka belajar bersama dan berkolaborasi untuk mengatasi masalah bersama seperti misalnya memeroleh kecakapan literasi digital dan konten materi yang dibungkus secara digital.
Not to return to the same education after we return to the same school
seems to be a widely shared desire among the innovative (Yong Zhao).
Pernyataan Yong Zhao di atas kira-kira diterjemahkan begini: Para inovator dalam konteks pendidikan saat ini menginginkan untuk tidak kembali lagi ke pola dan sistem pendidikan yang sama (baca: “lama”) setelah pandemi COVID-19 nanti berakhir, meskipun secara fisik kita akan kembali lagi ke gedung sekolah yang sama.
Ini mengimplikasikan akan adanya “kenormalan baru” yang akan tercipta, yaitu kenormalan sistem pembelajaran yang sudah terbiasa dilakukan selama masa pandemi COVID-19 oleh guru-guru, murid-murid, dan para orangtua. Kenormalan baru itu adalah kenormalan digital, kenormalan teknologi informasi, kenormalan learning management system… kenormalan yang awalnya harus dihadapi dengan kegagapan teknologi dan kebingungan dalam menghadapinya secara tiba-tiba, tetapi seiring dengan the show must go on, maka ketiga unsur pelaku proses pembelajaran ini akan terbiasa dan menjadi “bisa”. Maka, proses ini akan menunjukkan adanya perubahan kultural dalam kehidupan manusia, dan itu secara konektivitas akan terjadi dalam tujuh cultural universals yang dikemukakan oleh George Murdock, Claude Levi-Strauss, Donald Brown, yang mencakup bahasa, sistem teknologi, sistem pengetahuan, sistem mata pencarian hidup, organisasi sosial, religi, dan kesenian dalam berbagai praktik dan aplikasinya.
Jadi, apakah widyaiswara dan lembaga-lembaga diklat bagi guru akan tetap berada di puncak menara gadingnya, atau bersedia untuk turun dan lebur, cair bersama dengan para guru, murid, dan orangtua pada proses belajar yang sama, menuju terciptanya “kenormalan” era baru? Menjadi seorang profesional yang setidaknya setara atau bahkan satu level lebih tinggi dari para guru dan murid, sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya?
Ditulis pada masa Work from Home,
[ketika menjadi peserta diklat online untuk merancang pembelajaran online]
Yogyakarta, 9 Mei 2020.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteDefinitely.
DeletePerubahan adalah hidup dan kehidupan itu sendiri. We should embrace the change, and once we do, we learn about the new world we're in ... and be the one for others by sharing...
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteYang harus kita miliki2 bersama2 adalah kesadaran bahwa kita berada di era yang tidak 'steady state'. Kita tidak berada pada jaman ajeg atau mapan. Kalo orang ekonomi menyebutnya era disrupsi; dimana hal-hal yang sama sekali baru menggeser kondisi2 mapan yang lama. Jadilah kita harus shifting/berpindah/hijrah menyesuaikan pada kesetimbangan baru yang tercipta. Kita tidak bisa melawan, karena itu kealamiahan, sunatullah...
ReplyDeleteExactly. Sependapat. Kita harus bersedia mengucapkan selamat datang kepada perubahan yang selalu akan terjadi karena kita menjadi bagian dari yang menciptakan perubahan itu sendiri. Perubahan atau kondisi yang tidak "steady state" itu menandai sebuah peradaban....
DeleteHidup tak akan pernah sama lagi setlh Covid 19, dan tidak boleh sama lagi. Kalau masih merindukan hidup yang sama, berarti we learn nothing from this precious lesson.
ReplyDeleteYes. Absolutely.
DeleteLet's be part of some changes based on the lessons of life.
Semestinya konsep pelatihan guru yg tak sequensial itu telah tertentukan sejak lama, sejak ada penilaian kinerja guru. Sampai saat ini tidak ada kesambungan sama sekali antara penilaian kinerja guru dengan pelatihan guru secara konten. Belum lagi soal cara yang bisa mendadak dan bersama. Revolusi industri 4.0 itu gagah dibicarakan di sana sini sementara mentalitas yang ada ditengarai masih 1.0, tanpa perubahan berkelanjutan itu merupakah kemustahilan.
ReplyDeleteBenar sekali. Mayoritas dari pihak otoritas, pengambil kebijakan, atau personal yang terlibat dalam pelatihan guru disibukkan dengan tujuan menjadi "gagah" sebatas kata-kata, yang tak sejalan dengan pikiran, mental dan aksi, dan hanya diukur dengan angka untuk pencapaiannya, lalu diinterpretasi secara kuantitatif dan formalitas saja... Penilaian kinerja guru, pelatihan guru, penerapan konsep revolusi industri 4.0, dst. berjalan sendiri-sendiri ...
ReplyDeleteSiip Mbak Rin..
ReplyDeleteTerima kasih.
DeleteTulisan yang bagus, bentuk penyadaran kita bersama. Sejak beberapa waktu lalu kita sudah harua merasa bahwa kita harus siap dengan kondisi ini. Bukan karena wabah Covid-19 saja, tetapi memang zaman menuntut hal itu. Kompetitoe kita (pemyedia layanan diklat lainnya) sudah banyak menyediakan konten yang sama atau hampir sama dengan kita dengan cara-cara kretif dan menarik. Tetapi kita belum tetlambat, masih bisa kita bekerja keras lagi untuk mengejar pembelajarab sesuai kondisi zaman. Kuncinya kerja keras, fokus, jangan mengeluh dan buat kelas dan model pembelajaran sesuai kebutuhan peserta. Gali ide-ide baru. Bisa. Insya Allah.
ReplyDeleteTerima kasih, pak Win.
DeleteMari gandeng tangan kita susun langkah ke depan...
Then one time, a 우리카지노 wonderfully nicely executed Chinese-themed sport tanked throughout the first month of its release. A skin of that math carried out by a totally different staff with a singular pre-rendered 3D art type was already within the ultimate phases of deployment. We have been loathe to change it as a result of|as a outcome of} it had simply gotten approval by GLI, the industry watch-dog, and advertising and gross sales have been wanting to sell it. So we launched the skin, and would not you understand, it took off. Same actual math, similar actual features, rendered a unique way|in one other way} produced extensively different results. We had a success, and the game was deployed everywhere in banks of slots.
ReplyDelete