Thursday, January 28, 2021

“Entropi”: Menelisik Realitanya di Tempat Kerja

 --Rin Surtantini

  


Tulisan tentang “entropi” pada Vidyasana, Jumat, 22 Januari 2021 lalu oleh seorang teman, mas Rohmat Sulistya yang latar belakang pendidikannya adalah teknik kimia, cukup menarik. Membahasnya dari definisi dan pemahaman kata “entropi” sebagai hukum kedua termodinamika ini, penulisnya kemudian mengoneksikannya dengan bagaimana makna dari kata “entropi” ini berkorespondensi dengan realitas dalam kehidupan umat manusia, makhluk hidup dan benda-benda, bumi, alam semesta, dan jagad kehidupan. Inilah yang menarik untuk dibahas.

 Memahami hukum termodinamika kedua dalam kehidupan sehari-hari, segala sesuatu di jagad semesta akan mengalami dan merasakan hadirnya “waktu” yang bergerak menuju satu arah, yaitu ke depan. Kecenderungan yang selalu terjadi dengan hadirnya waktu adalah bahwa segala sesuatu itu akan menuju kepada ketidakteraturan. Buah-buahan dan sayur-sayuran akan membusuk, lalu lama kelamaan akan menghilang dari pandangan kita. Lima tahun yang lalu rumah kita masih baru, tetapi saat ini pintunya mungkin rusak, atapnya bocor, pemanas air panasnya tak berfungsi lagi, temboknya retak, dan sebagainya. Bangunan-bangunan tempat kita bekerja mulai rusak di sana-sini, kendaraan yang dimiliki mulai rewel, manusia menua dengan bertambah umurnya. Semua yang tadinya utuh dan teratur akan berubah pasti seiring berjalannya jarum waktu.

 Peristiwa-peristiwa di atas merupakan bagian dari apa yang dinamakan “entropi”. Entropi menyadarkan manusia bahwa waktu terus berjalan maju. Entropi mengacu kepada kondisi ketika sebuah sistem dalam kondisi normal cenderung berproses menjadi tidak teratur, rusak, hancur. Jika sebuah sistem semakin tidak teratur, maka entropinya meningkat, atau menjadi tinggi.

 Di luar konteks termodinamika, kata “entropy” dalam kamus-kamus Bahasa Inggris memiliki arti chaos, randomness, disorganization, lack of order, gradual decline into disorder, confusion, lack of pattern. Jadi entropi mengacu kepada kondisi kekacauan, kondisi acak, tidak terorganisir, kurangnya tatanan, penurunan secara perlahan menjadi ketidakteraturan, kebingungan, kurangnya pola-pola, dan kondisi-kondisi serupa atau semacam ini. Entropi dalam aspek kehidupan akan terus meningkat dan itu dapat diamati setiap saat di dalam jagad raya semesta ini.

 John Demma (2012) menjelaskan, ketika sebutir telur jatuh dari atas meja dan pecahan telur itu mengotori lantai, kita tidak pernah dapat melihat lagi bahwa pecahan telur itu secara spontan akan membentuk sebutir telur yang utuh lagi seperti semula. Kondisi telur sebelumnya di atas meja utuh; tetapi ketika jatuh, telur itu di atas lantai berubah menjadi kepingan-kepingan pecahan kulit dan tumpahan isinya. Jika pecahan, tumpahan, dan kepingan kulit telur itu dikumpulkan, maka partikel-partikel itu tak mungkin dapat membentuk kembali telur utuh seperti semula. Logika yang diperoleh adalah, semakin banyak kepingan pecahan telur, semakin tinggi nilai entropinya.

***

Entropi dalam perbincangan budaya kerja sesungguhnya juga mengadopsi dari entropi dalam hukum termodinamika. Sebuah mesin menghasilkan energi yang jumlahnya sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Tetapi jika di dalam mesin tersebut terjadi kerusakan pada salah satu komponennya, maka sebagian energi yang dimiliki oleh mesin akan digunakan untuk mengatasi kerusakan komponen ini. Dengan begitu, mesin itu tidak akan berfungsi optimal dalam menghasilkan energi seperti yang diharapkan, karena sebagian energi yang seharusnya mengoptimalkan fungsi mesin sudah terambil untuk mengatasi kerusakan komponen yang terjadi pada mesin. Dalam kondisi ini, entropi pun terjadi.

 Di dalam lingkup kerja, entropi dapat setiap saat terjadi jika orang-orang yang bekerja di dalamnya mengalami misalnya konflik, rasa tidak percaya, kecewa, putus asa, persaingan tidak sehat, friksi, kecurigaan, kebencian, ketidakadilan, dan emosi-emosi serupa ini. Beranalogi dengan kerja mesin yang menurun karena ada kerusakan pada salah satu komponen di dalamnya, maka energi yang dimiliki oleh para karyawan di suatu lingkup kerja yang seharusnya digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang produktif, akan beralih dan digunakan oleh mereka untuk mengatasi berbagai emosi, sikap, dan rasa negatif yang muncul di lingkungan kerja mereka. Akibatnya, jumlah energi mereka menjadi minimum, mereka tidak menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang produktif. Mengapa? Karena energi yang dilibatkan karyawan untuk mengatasi entropi di lingkungan kerja mereka adalah energi yang seharusnya tersedia untuk pekerjaan produktif mereka, namun energi itu sudah terambil.

 Apabila dilakukan pengukuran secara valid dan sahih terhadap kondisi di atas, maka skor dari entropi budaya kerja akan menunjukkan berapa banyak energi yang dikonsumsi oleh para karyawan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sama sekali tidak produktif dan tidak perlu, bahkan yang sama sekali tidak mendukung nilai positif lembaga tempatnya bekerja! Skor yang dilakukan melalui pengukuran atau alat ukur yang benar juga akan memperlihatkan tingkat dari disfungsi yang terjadi di dalam lembaga. Bukan hanya itu saja, disfungsi dan penyebab entropi di dalam lingkup kerja pun akan dapat ditelisik, dan dijadikan pijakan untuk evaluasi (jika sadar dan mau!).

 Ketika skor entropi meningkat, energi karyawan menjadi minimum; maka produktivitas dan nilai positif lembaga pun otomatis menurun (kecuali ada usaha-usaha rekayasa untuk menyelubunginya). Waktu bekerja dirasa menjadi panjang, membosankan, dan ini harus dibunuh oleh karyawan dengan membuatnya cepat berlalu. Apa yang dilakukan oleh mereka? Tak perlu jawaban, karena mungkin, atau jangan-jangan kita juga sudah berada dalam entropi di tempat kita bekerja! Mari periksa bersama…

 Maka tulisan ini juga mungkin pertanda bahwa entropi sudah melilitkan akar-akarnya di tubuh suatu entitas tempat kita selalu mengatakan bahwa kita berintegritas.

 

 Masa WfH -- Yogyakarta, 28 Januari 2021.

Wednesday, January 27, 2021

Zonk Lagi!

 

--Rohmat Sulistya



Kembali menelan pil pahit. 

Setelah pengajuan Februari lalu berbuah zonk, pengajuan ulang November ini pun zonk. Pada bulan Februari, pengajuan dinilai nol karena -katanya- kurang bukti fisik. Saya memang tidak mengumpulkan bukti fisik secara penuh, tetapi saya hanya mengumpulkan bukti fisik terkait dengan artikel saya: salinan sampul jurnal, daftar isi, dan artikel saya. Artikel lain dalam jurnal tersebut memang tidak saya sertakan. Toh, kalau penilai mau menelusur,dapat dilakukan dengan  sangat mudah karena dalam pengajuan itu saya sertakan link e-journalnya.

Iya, ini tentang pengajuan angka kredit berkaitan dengan jurnal nasional terakreditasi.

Pengajuan ulang di Bulan November pun berakhir zonk dengan diberikan catatan bahwa artikel jurnal tersebut kadaluarsa. Jurnal terbit bulan Desember 2019, saya ajukan ulang bulan November 2020. Kalau mepet, iya sih. Tetapi dalam benak saya, ini masih koridor kriteria 1 tahun. Tetapi, bisa jadi pemahaman saya salah.

Sebenarnya, saya sangat senang apabila ini lolos penilaian, karena nilai kredit dari artikel jurnal lebih ‘worth it’ dibanding dengan nilai dari aspek-aspek lain. Mengirimkan artikel pada jurnal (terlebih lagi jurnal terakreditasi) memerlukan perjuangan lebih untuk dapat lolos. Dimulai dengan penilaian awal saat artikel kita submit. Akan ada penilaian dari 3 (tiga) reviewer  (mungkin berbeda jurnal satu dengan yang lain) yang akan memutuskan artikel kita lanjut atau tidak. Saya tidak tahu persis bagaimana seluk beluk penilaian awal, yang jelas 1 reviewer ‘menolak’ dengan catatan yang menyedihkan dan 2 lagi menyatakan ‘menerima’  dengan catatan revisi mayor. Dan memang saya menyadari sekali, inilah pertama sekali saya menulis artikel kajian tentang sesuatu yang saya juga masih belajar. Sebelumnya saya hanya menulis artikel berdasarkan hasil data-data kuantitatif laboratorium. Ya, penilitian sains.

Dan dengan artikel non sains ini, saya men-chalange diri saya sendiri pascapelatihan menulis artikel jurnal di Hotel Sahid dan hasilnya memang masih belum layak. Tetapi, Alhamdulillah para reviewer memberikan kesempatan untuk merevisi secara mayor. Setelah berbulan-bulan merevisi dengan 3 atau 4 proses revisi akkhirnya artikel diterima untuk diterbitkan. Bagi saya, ini adalah proses yang melelahkan dan mirip dengan berkonsultasi skripsi ke dosen pembimbing.

Tetapi, apa mau dikata, proses melelahkan tersebut berbuah zonk. Sedih sih sedih, tetapi saya ingat pada sebuah peristiwa di sebuah siang.

***

Sebuah siang.

Anak saya ikut ke kantor setelah saya menjemputnya pulang sekolah. Seperti biasa, dia cukup senang ikut ke kantor. Selain di rumah tidak ada orang, di kantor juga tersedia wifi untuk nonton YouTube dan main game.  

Tiba-tiba dia tertunduk lesu. Tanpa ngomong. Terlihat sedih. Setelah ditanya sana-sini, ternyata kota yang dia bangun hilang seketika saat Minecraftnya diupdate ke versi yang lebih tinggi. Dia adalah penggemar game Minecraft, sebuah game yang masih sangat polular sampai saat ini. Siang itu seharusnya dia senang karena bisa  mengupadate Minecraftnya. Tetapi menjadi kesedihan ketika kota yang ia bangun menjadi hilang seiring meningkatnya versi game. Ini bisa terjadi ketika perangkat yang digunakan tidak secanggih versi yang baru diunduh. Alhasil, kerja berminggu-minggu menjadi sia-sia.

Tetapi apakah memang sia-sia?

Cukup lama saya menenangkannya dari rasa kecewa.

“Dik, yang penting Aqila punya kemampuan membangun lagi, bukan kotanya. Tetapi kemampuan membangun kota itu lho yang lebih penting”.

“Kalau kotanya mungkin bisa rusak, bisa hilang; tetapi ilmunya itu yang lebih mahal. Dan ilmunya, Aqila sudah ngerti. Gak papa, nanti bisa bangun lagi”.

***

Dengan teringat peristiwa sebuah siang itu, maka saya bolehlah sedikit kecewa. Tapi gak harus kecewa banget. Yang penting bukan hasil artikel jurnal yang dinilai nol, tapi punya pengalaman menulis jurnal dan dapat terbit adalah jauh lebih penting. Jadi kemampuan dan proses menghasilkan, jauh lebih penting dari hasil itu sendiri.

Allah SWT mewajibkan kita untuk bergerak, berikhtiar, berusaha  tetapi hasil itu bener-bener hak prerogatif Allah. Dan Tuhan hanya melihat prosesnya kok, bukan hasilnya.

Ya, begitulah.. Wallahu a’lam.

 

Monday, January 25, 2021

Buang Telur dan Pesan Sesungguhnya yang Tak Terbaca

 

--Eko Santosa


 

Hari ini, (25/01/21), seorang kawan membagikan unggahan video dari IG dan FB tentang aksi seorang peternak membuang hasil panen telurnya ke sawah. Hal ini ia lakukan karena biaya pakan ternak yang tinggi sehingga hasilnya tak sebanding dengan panen telur yang diperoleh. Atas aksi tersebut komentarpun berhamburan. Seperti umumnya media sosial, komentar selalu bersifat kulit, emosional, dan subjektif. Hampir semua komentar menyesalkan tindakan peternak tersebut. Sebagian besar menganggapnya mubadzir dan tidak memikirkan bahwa banyak orang lain yang sedang kesusahan, bisa makan telur sehari 1 saja sudah syukur. Intinya, 90 persen komentar bernada menyalahkan bahkan menghujat sang peternak.

Ya, semua orang pasti akan berkomentar seperti itu jika hanya melihat sekilas apa yang dilakukan sang peternak. Saya pun juga, kira-kira, akan berkomentar sama. Tetapi jika dilihat lebih mendalam, melihat video dari awal sampai akhir tanpa komentar dan kalau perlu diulang, mungkin peternak tersebut ingin menyampaikan maksud lain dari sekedar selisih harga pakan dan telur yang tak sebanding sehingga melahirkan kerugian. Mungkin ia ingin bertanya keras, mengapa harga pakan bisa naik sedangkan harga telur merosot? Apa yang menyebabkan harga pakan naik dan harga telur merosot? Siapa yang bisa menentukan kenaikan dan penurunan harga barang? Dan mungkin pertanyaan-pertanyaan lain. Tetapi karena ia tidak menemukan orang atau lembaga yang tepat untuk ditanyai, atau pernah bertanya tetapi selalu tidak menemukan jawaban yang tepat, maka aksi buang telur itu ia lakukan, divideo, diunggah ke medsos, agar viral dan agar pesan berupa pertanyaan itu segara tersampai pada orang atau lembaga yang tepat menangani perkara harga pakan dan telur. Mungkin demikian maksudnya.

Walakin, yang ia dapatkan justru komentar-komentar menyalahkan atas aksi yang dilakukannya. Artinya, pesan sesungguhnya yang hendak ia sampaikan tak terbaca. Sama sekali tak terbaca. Bahkan, tak lama kemudian, aksi dan pesan peternak tersebut bakal berlalu dengan video viral lain yang diunggah orang lain dengan perkara yang lain. Mungkin, orang pintar akan berkata bahwa, kalau peternak tersebut hendak protes (bertanya), semestinya menggunakan saluran yang benar, bukan dengan aksi buang-buang hasil panen semacam itu. Mungkin orang pintar juga akan berkomentar bahwa, semestinya ada manajemen baik yang diterapkan sehingga perhitungan antara pakan, lama waktu pemeliharaan, dan panen tidak negatif. Banyak kemungkinan memang, namun bandul timbangan tetap lebih besar pada kesalahan tindakan sang peternak.

Ya, memang yang terjadi seperti itu. Dalam kehidupan yang serba cepat dan informasi serba kilat ini, sulit sekali menyeret perhatian publik untuk mendalami sebuah persoalan secara menyeluruh. Sebagian besar orang pasti akan melihat fisik dari tindakan saja. Mereka tidak mau bersusah payah mendalami persoalan karena itu jelas bukan urusan mereka dan tidak ada keuntungan bagi mereka. Padahal, kalau ditinjau sedikit lebih dalam, apa yang dilakukan peternak tersebut sebetulnya juga tidak merugikan mereka. Tetapi, siapa pula yang mau meninjau lebih dalam? Kondisi semacam ini hanya akan melingkar-lingkar dan berada di luar persoalan sesungguhnya.

Jadi, sangat kecil sekali kemungkinan adanya jawaban bagi peternak tersebut tentang mengapa harga pakan bisa naik dan harga telur bisa turun serta siapa atau apa yang mengendalikannya? (**)

 

WFH, 25/01/21

Sunday, January 24, 2021

Bisa Membaca: Paham yang Dibaca?

  

--Rin Surtantini

 


 Terusik oleh diskusi di Whatsapp pribadi dengan salah seorang teman tentang kegiatan membaca yang hampir setiap saat dilakukan oleh siapapun, membuat saya mengenang kembali salah satu materi yang saya pelajari di Regional English Language Center (RELC) di Singapura, sekira lima tahun yang lalu. Saat itu saya bersyukur, terseleksi sebagai salah satu dari sekian banyak pendaftar untuk mendapatkan beasiswa mengikuti Professional Enhancement Program in Pedagogy and Principles of Teaching for Indonesian Master Trainers of English, karena itu sungguh bermanfaat! Dua bulan tinggal dan belajar dengan jadwal padat setiap hari Senin sampai Jumat dari pukul 09.00 sampai 16.00 di negeri singa pada tahun 2015 ini, salah satu materi yang sampai saat ini masih berkesan adalah yang berkaitan dengan literasi “membaca”.

 Ya, setiap orang yang bersekolah pasti bisa membaca (dalam bahasa yang digunakannya). Setiap orang mengalami bagaimana ia belajar membaca, mulai dari mengenal huruf, suku kata dan kata, sampai menjadi frasa atau kelompok kata, kalimat yang utuh, mengeja, merangkai, dan mengucapkannya dari sebuah teks tulis yang tersedia. Saya juga ingat, bagaimana dulu keponakan saya yang saya kunjungi di Surabaya, ketika ia berusia lima tahun, selalu berusaha membaca keras setiap tulisan yang dilihatnya di pinggir jalan, di baliho, di spanduk, di papan iklan, di toko-toko, di sepanjang perjalanan kami di atas mobil. Sungguh menarik, dia secara alami dan spontan mempraktikkan kepandaiannya bahwa dia sudah bisa membaca.

 Peristiwa yang juga masih saya ingat adalah ketika di Sekolah Dasar berpuluh tahun silam, ibu dan bapak guru di kelas satu dan dua selalu meminta murid-muridnya secara bergiliran untuk membaca nyaring (reading aloud) bahan bacaan yang ada di buku pelajaran Bahasa Indonesia. Nanti, akan terlihat siapa yang lancar, lantang, intonasinya baik, tidak salah ucap. Yang masih belum lancar, suaranya pelan, intonasinya kurang baik, ucapannya masih salah, akan diminta oleh ibu atau bapak guru untuk mengulangi. Begitulah, pelajaran membaca menjadi salah satu persyaratan di sekolah untuk dapat memahami pelajaran-pelajaran lainnya.

 ***

Kembali ke diskusi saya dengan teman di atas tadi, yang kami perbincangkan adalah: setiap orang bisa membaca, tetapi apakah setiap orang paham apa yang dibacanya? Diskusi ini muncul karena dalam sebuah forum komunikasi, sempat terlihat ketidakpahaman seseorang terhadap apa yang dibacanya, sehingga responnya terhadap topik pembicaraan menjadi tidak pas, menggok. Ingatan saya tentang “apa itu membaca” dalam konteks literasi baca tulis tiba-tiba muncul. Kita banyak membaca apapun, mulai dari yang ringan sampai yang serius, tetapi mungkin pernah suatu saat kita sendiri mengalami, atau kita menyaksikan orang lain, bahwa “bisa membaca” belum tentu “paham apa yang dibaca”! Jika memperhatikan dengan cermat, indikasi ketidakpahaman seseorang akan apa yang dibaca dapat terlihat pada forum komunikasi yang terjadi, baik komunikasi lisan maupun tulis.

 Kita tentu ingat bahwa beberapa tahun silam, “literasi” sempat menjadi salah satu materi umum yang wajib diberikan pada diklat-diklat bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas di negeri ini. Di dalam bahan tayang yang wajib disampaikan oleh widyaiswara pada diklat-diklat ini, terdapat sekian jenis literasi, bukan hanya literasi baca tulis saja. Sementara itu, yang paling banyak bisa dicontohkan adalah yang berkaitan dengan literasi baca tulis. Contoh-contoh literasi baca tulis itu ditampilkan dengan misalnya membuat pojok baca di sekolah yang didekorasi sedemikian rupa untuk menumbuhkan minat baca, membaca tentang sebuah topik selama lima belas menit pada pagi hari di dalam kelas, memperbanyak jumlah buku di perpustakaan sekolah, dan berbagai teori lainnya, ditambah lagi dengan sekian banyak panduan teknis bagi para guru untuk melaksanakannya di sekolah, sampai ke lembar evaluasi apakah usaha meningkatkan literasi sudah dilakukan.

 Seiring dengan perubahan kebijakan dan lain sebagainya, materi literasi dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sudah berlalu dan tidak lagi menjadi “trend” sebagai materi diklat saat ini. Saya teringat tulisan almarhum Prof. Winarno Surakhmad, guru besar Universitas Negeri Jakarta dalam buku Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi (2009). Dituliskannya, menerapkan pendidikan tanpa menghiraukan landasan filosofinya, atau mendalami filosofi pendidikan sebagai pengetahuan tanpa menghiraukan penerapannya, berarti memilih yang tidak benar. Menurutnya, secara hakiki, tidak ada aktivitas atau praktik pendidikan yang dapat berlangsung tanpa dasar filosofi yang sedikitnya terkait dengan makna kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan; demikian pula sebaliknya, tidak ada filosofi yang dapat mendalami problematik pendidikan tanpa menjiwai praktik pendidikan. Filosofi pendidikan yang tidak berkelanjutan ke dalam penerapannya dalam kehidupan nyata, menjadi mubazir dan tidak layak disebut filosofi pendidikan.

 ***

Kegiatan paling awal yang dilakukan oleh pengajar di RELC Singapura pada materi “Reading” yang saya alami adalah menumbuhkan kesadaran terhadap apa itu keterampilan membaca atau reading skills. Dengan survei yang dilakukannya terhadap peserta program pelatihan ini, sesuatu yang menggelitik pun muncul: apakah yang dimaksud dengan membaca nyaring (reading aloud) versus membaca untuk memahami (reading comprehension)? Membaca nyaring sesungguhnya bukan termasuk keterampilan membaca, melainkan speaking skills (keterampilan berbicara), karena dalam membaca nyaring, yang ingin dicapai adalah pengucapan yang benar dan jelas, intonasi yang tepat, kelancaran dalam mengucapkan, dan nada suara yang sesuai. Inilah yang dilatihkan dan diajarkan ketika guru-guru meminta muridnya untuk membaca nyaring (reading aloud), jadi tujuannya adalah bukan untuk memahami apa yang dibaca. Ini mengingatkan saya ketika mendapat giliran membaca keras ketika di Sekolah Dasar dahulu.

Pelajaran membaca yang sesungguhnya adalah reading comprehension (membaca untuk memahami). Membaca dalam konteks memahami adalah ketika seseorang melihat teks dan “memberi makna” kepada simbol tertulis (teks) tersebut. Membaca adalah mengonstruksi makna melalui interaksi dinamis antara tiga hal, yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang sebagai pembaca, informasi yang diberikan oleh teks, dan konteks yang tersedia. Jadi, untuk tujuan ini, maka pelajaran “membaca” bukanlah read aloud, tetapi think aloud.

 Kegiatan berikutnya yang dilakukan oleh pengajar di RELC Singapura pada materi “Reading” ini adalah melakukan survei terhadap peserta pelatihan, yang antara lain menanyakan apa yang dilakukan oleh guru dalam pelajaran membaca? Mengajarkan membaca (teaching reading), ataukah memberikan tes membaca (testing reading)?  Pertanyaan ini menggelitik, karena faktanya adalah guru lebih cenderung melakukan “tes membaca” terhadap murid-muridnya daripada mengajarkan “strategi membaca” untuk memperoleh makna atau memahami bacaan. Hal ini akan terlihat dari kegiatan klasik yang dilakukan oleh guru setelah murid-murid membaca, yaitu meminta mereka untuk menjawab pertanyaan bacaan. Jika murid dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan yang “tersurat” pada bacaan, maka disimpulkan bahwa murid memahami isi bacaan. Benarkah demikian? Ini sangat berkaitan dengan konstruksi pertanyaan yang dibuat oleh guru terhadap bacaan yang diberikan kepada murid-murid. Apakah pertanyaan bacaan itu hanya mengecek “ingatan”, ataukah sampai kepada level yang lebih tinggi? Setelah tiga tahun kemudian di Indonesia, hal ini saya temukan mirip pada materi HOTS (higher order thinking skills) yang menjadi “hot issues” atau materi wajib pada diklat-diklat guru di negeri ini, bersamaan dengan materi literasi.

 Selanjutnya, pengajar RELC Singapura meminta peserta pelatihan untuk melakukan evaluasi terhadap bahan-bahan bacaan dalam buku-buku pelajaran Bahasa Inggris yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit di Indonesia, mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas.

Fokus yang harus kami lakukan saat itu adalah mengevaluasi konstruksi pertanyaan-pertanyaan yang ada pada bahan bacaan pada buku-buku pelajaran terbitan Indonesia tersebut. Evaluasi dilakukan menggunakan taksonomi pada keterampilan membaca. Hasilnya? Sungguh menggugah. Evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar pertanyaan yang diberikan untuk mengecek reading comprehension (pemahaman terhadap bacaan) setelah murid membaca bahan-bahan bacaan pada sebagian besar buku penerbit Indonesia, ada pada level literal comprehension, yang jika disetarakan dengan taksonomi Bloom, ada pada level LOTS (lower order thinking skills), atau C1 (mengingat). Level literal comprehension merupakan salah satu level rendah yang ada pada taksonomi membaca. Sangat sedikit ditemukan pertanyaan yang dibuat untuk membuat murid berlatih menganalisis, mengevaluasi, mengapresiasi, atau melakukan inferensi dan variannya.

 Dari fakta di atas, maka selain “apa yang dibaca” (what to read), mengajarkan “bagaimana membaca” (how to read) menjadi strategi membaca yang perlu dikuasai dan diajarkan oleh guru, pendidik, pengajar, sebagai bagian dari penguasaan literasi baca tulis dalam segala bidang ilmu. Mengajarkan strategi membaca (teaching reading) ini menjadi isu penting dalam pengalaman literasi baca tulis, bukan sekedar mengetes membaca (testing reading). Akhirnya, pengecekan terhadap pemahaman membaca (reading comprehension) juga menjadi bagian penting dalam belajar membaca. Pengecekan ini dilakukan melalui konstruksi pertanyaan yang tidak hanya melibatkan ingatan murid terhadap yang tersurat, tetapi juga melibatkan kebiasaan pada level-level berpikir tingkat tinggi, seperti melakukan inferensi, mengevaluasi, menganalisis, mengapresiasi, dan berbagai variannya.

 ***

 Bisa membaca dan paham apa yang dibaca, menjadi dua persoalan penting dalam meningkatkan “literasi” (baca tulis) sebagai salah satu kecakapan abad 21 dalam pembelajaran. Dalam konteks yang lebih luas, literasi baca tulis tentu harus terjadi dalam pembelajaran pada segala bidang ilmu dan pengetahuan, bukan hanya pada pelajaran bahasa. Literasi baca tulis pun tidak hanya terjadi pada pembelajaran di sekolah, tetapi juga dalam segala konteks kehidupan, dalam bersosialisasi, dalam berkomunikasi, dalam bekerja, dengan mengoneksikan landasan filosofis dan praktik. Selamat berliterasi!

 

 Yogyakarta, 24 Januari 2021.

Friday, January 22, 2021

ENTROPI

 

--Rohmat Sulistya

 


Beberapa hari lalu, saya secara iseng menonton kanal YouTube Gita Wirjawan, seorang pengusaha dan mantan Menteri perdagangan di era Soesilo Bambang Yudhoyono. Saya mendapatkan kanal ini tentu saja atas kecanggihan teknologi saat ini, dimana feed dan suggestion pada laman akun Youtube saya dan beberapa akun media social lainnya, tercipta karena perilaku dan minat saya pada topik-topik tertentu. Termasuk kemudian tercatat juga menjadi suggestion dalam belanjaan saya di Bukalapak dan Shopee. Inilah era dimana minat terlusur kita pada suatu topik akan terekam secara otomatis sebagai data yang berharga dan akan digunakan oleh raksasa-raksasa teknologi untuk mengarahkan “kehidupan” kita.

Dalam kanal tersebut, Gita Wiryawan sebagai host mewawancari seorang tamu wanita lulusan ITB dan MIT yang sangat smart. Sayangnya wanita itu sudah bersuami 😊. Topik yang dibicarakan cukup luas: dari wabah covid, metabolism manusia indonesia dan eropa, PCR, biodiversifikasi, AI, ide pengkodean genetic 270 juta manusia Indonesia, dan banyak topik berat lainnya yang saya sendiri banyak gak ngerti. Tapi benang merahnya adalah sustainability, keberlangsungan hidup manusia dalam puluhan, ratusan tahun ke depan bahkan saat kita harus berdampingan dengan robot yang dinyawai oleh artificial intelegent. Saat robot, pada saatnya nanti, bisa mengerjakan semua urusan manusia; lalu bagaimana mereka hidup berdampingan dan tidak saling mematikan. Wisdom atau kebijaksanaan adalah kuncinya.

Banyak kata-kata penting dan ilmiah adalah perbincangan tersebut. Tetapi ada satu kata yang dulu sangat akrab saat kuliah dan sampai saat inipun saya kurang berhasil memahaminya. Kata tersebut adalah entropi. Ini adalah peristilahan dalam kimia yang berhubungan dengan panas; yang bagi saya sendiri adalah ilmu yang sulit.



Berikut ini adalah definisi entropi dari Wikipedia yang tetap bikin pusing.

Entropi adalah salah satu besaran termodinamika yang mengukur energi dalam sistem per satuan temperatur yang tak dapat digunakan untuk melakukan usaha. Mungkin manifestasi yang paling umum dari entropi adalah (mengikuti hukum termodinamika), entropi dari sebuah sistem tertutup selalu naik dan pada kondisi transfer panas, energi panas berpindah dari komponen yang bersuhu lebih tinggi ke komponen yang bersuhu lebih rendah. Pada suatu sistem yang panasnya terisolasi, entropi hanya berjalan satu arah (bukan proses reversibel/bolak-balik). Entropi suatu sistem perlu diukur untuk menentukan bahwa energi tidak dapat dipakai untuk melakukan usaha pada proses-proses termodinamika. Proses-proses ini hanya bisa dilakukan oleh energi yang sudah diubah bentuknya, dan ketika energi diubah menjadi kerja/usaha, maka secara teoretis mempunyai efisiensi maksimum tertentu. Selama kerja/usaha tersebut, entropi akan terkumpul pada sistem, yang lalu terdisipasi dalam bentuk panas buangan.

Duhhh....

Belakangan istilah entropi ini mengarah kepada kata umum (dari kata khusus yang hanya membahas panas dalam termodinamika). Entropi sering diungkapkan sebagai derajat ketidakteraturan, kekacauan, atau derajat ke-chaos-an. Entropi itu selalu naik, dengan demikian ketidakteraturan ini semakin tinggi juga. Dan ini sebuah keniscayaan, kealamiahan, atau sunatullah. Bumi, manusia, alam raya, universe entropinya akan naik. Dengan kata lain bumi dan seisinya ini akan semakin chaos dari waktu ke waktu. Apakah kechaiosan ini akan menuju kesetimbangan yang baru atau malah menuju kehancuran total, wallahu a’lam.

Yang jelas, kita mungkin sepakat, keadaan hari ini makin lama makin membuat kita bingung. Pandemi virus 2019/2020 bukanlah pandemi yang pertama yang menimpa umat manusia. Paling tidak, dijaman yang sudah tercatat dalam sejarah modern, dari 10 pademi, 4 diantaranya adalah wabah influenza (medcom.id). Jadi menjadi 5 dengan wabah covid-19 saat ini yang juga varian influenza. Bahkan pandemi flu tahun 1918-1920 menewaskan 20-50 juta manusia di seluruh dunia.

Bertatap muka, saling berkunjung, berkumpul, bersalaman, semua dibatasi. Muka kita hanya nampak dari mata. Kita hanya bisa menebak seseorang cantik atau cool hanya dari matanya. 

Kalau dari kacamata agama, inilah waktu kita semakin menundukkan pandangan.

Bukankah ini keadaan yang aneh, yang membuat segalanya menjadi semakin tidak teratur dan kacau. Boleh jadi dalam beberapa tahun ke depan gedung-gedung megah mewah semakin unutilized karena minim digunakan. Belajar online juga tidak serta merta menggantikan belajar dengan berhadap-hadapan guru dan murid. Sebuah ritual belajar yang sudah dijalani ribuan tahun. Tetapi iniah realitasnya, dan sangat mungkin ini adalah sebuah ketidakteraturan yang naik.

Sangat mungkin, semuanya itu menuju ke kesetimbangan baru -yang sifatnya adalah sementara- menuju ke derajat kekacauan yang lebih parah dalam ratusan tahun ke depan. Siapa tahu?. Yang jelas kehancuran total alam raya pasti akan datang pada masanya. Mungkin ratusan atau ribuan tahun ke depan.

Haruskah berpikir sejauh itu. Ya gak papa, berpikir membuat kita hidup.

Bagaimana kita secara individu akan bertahan dalam kondisi ketidakteraturan ini, yang minim dukungan (support) dan panduan (guidance) secara sistemik. Program kerja kurang jelas, apa yang harus dikerjakan belum nampak. Mungkin inilah chaos kecil di dunia kerja kita.

Akhirnya kita akan kembali kepada sebuah hal saat kemungkinan hubungan manusia dan robot cerdas semakin nyata dimasa depan: wisdom atau kebijaksanaan. Kita tetap harus menjadi manusia yang bijaksana dalam segala keadaan. Menuntut ilmu adalah kewajiban abadi setiap manusia, dalam pandangan agama maupun rasio manusia. 

Jadi, kita akan lebih banyak belajar dalam hal apapun dalam menghadapi tahun-tahun ke depan; terlebih lagi perjalanan kita dalam ribuan tahun ke depan.

Salam sehat.