Sunday, January 24, 2021

Bisa Membaca: Paham yang Dibaca?

  

--Rin Surtantini

 


 Terusik oleh diskusi di Whatsapp pribadi dengan salah seorang teman tentang kegiatan membaca yang hampir setiap saat dilakukan oleh siapapun, membuat saya mengenang kembali salah satu materi yang saya pelajari di Regional English Language Center (RELC) di Singapura, sekira lima tahun yang lalu. Saat itu saya bersyukur, terseleksi sebagai salah satu dari sekian banyak pendaftar untuk mendapatkan beasiswa mengikuti Professional Enhancement Program in Pedagogy and Principles of Teaching for Indonesian Master Trainers of English, karena itu sungguh bermanfaat! Dua bulan tinggal dan belajar dengan jadwal padat setiap hari Senin sampai Jumat dari pukul 09.00 sampai 16.00 di negeri singa pada tahun 2015 ini, salah satu materi yang sampai saat ini masih berkesan adalah yang berkaitan dengan literasi “membaca”.

 Ya, setiap orang yang bersekolah pasti bisa membaca (dalam bahasa yang digunakannya). Setiap orang mengalami bagaimana ia belajar membaca, mulai dari mengenal huruf, suku kata dan kata, sampai menjadi frasa atau kelompok kata, kalimat yang utuh, mengeja, merangkai, dan mengucapkannya dari sebuah teks tulis yang tersedia. Saya juga ingat, bagaimana dulu keponakan saya yang saya kunjungi di Surabaya, ketika ia berusia lima tahun, selalu berusaha membaca keras setiap tulisan yang dilihatnya di pinggir jalan, di baliho, di spanduk, di papan iklan, di toko-toko, di sepanjang perjalanan kami di atas mobil. Sungguh menarik, dia secara alami dan spontan mempraktikkan kepandaiannya bahwa dia sudah bisa membaca.

 Peristiwa yang juga masih saya ingat adalah ketika di Sekolah Dasar berpuluh tahun silam, ibu dan bapak guru di kelas satu dan dua selalu meminta murid-muridnya secara bergiliran untuk membaca nyaring (reading aloud) bahan bacaan yang ada di buku pelajaran Bahasa Indonesia. Nanti, akan terlihat siapa yang lancar, lantang, intonasinya baik, tidak salah ucap. Yang masih belum lancar, suaranya pelan, intonasinya kurang baik, ucapannya masih salah, akan diminta oleh ibu atau bapak guru untuk mengulangi. Begitulah, pelajaran membaca menjadi salah satu persyaratan di sekolah untuk dapat memahami pelajaran-pelajaran lainnya.

 ***

Kembali ke diskusi saya dengan teman di atas tadi, yang kami perbincangkan adalah: setiap orang bisa membaca, tetapi apakah setiap orang paham apa yang dibacanya? Diskusi ini muncul karena dalam sebuah forum komunikasi, sempat terlihat ketidakpahaman seseorang terhadap apa yang dibacanya, sehingga responnya terhadap topik pembicaraan menjadi tidak pas, menggok. Ingatan saya tentang “apa itu membaca” dalam konteks literasi baca tulis tiba-tiba muncul. Kita banyak membaca apapun, mulai dari yang ringan sampai yang serius, tetapi mungkin pernah suatu saat kita sendiri mengalami, atau kita menyaksikan orang lain, bahwa “bisa membaca” belum tentu “paham apa yang dibaca”! Jika memperhatikan dengan cermat, indikasi ketidakpahaman seseorang akan apa yang dibaca dapat terlihat pada forum komunikasi yang terjadi, baik komunikasi lisan maupun tulis.

 Kita tentu ingat bahwa beberapa tahun silam, “literasi” sempat menjadi salah satu materi umum yang wajib diberikan pada diklat-diklat bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas di negeri ini. Di dalam bahan tayang yang wajib disampaikan oleh widyaiswara pada diklat-diklat ini, terdapat sekian jenis literasi, bukan hanya literasi baca tulis saja. Sementara itu, yang paling banyak bisa dicontohkan adalah yang berkaitan dengan literasi baca tulis. Contoh-contoh literasi baca tulis itu ditampilkan dengan misalnya membuat pojok baca di sekolah yang didekorasi sedemikian rupa untuk menumbuhkan minat baca, membaca tentang sebuah topik selama lima belas menit pada pagi hari di dalam kelas, memperbanyak jumlah buku di perpustakaan sekolah, dan berbagai teori lainnya, ditambah lagi dengan sekian banyak panduan teknis bagi para guru untuk melaksanakannya di sekolah, sampai ke lembar evaluasi apakah usaha meningkatkan literasi sudah dilakukan.

 Seiring dengan perubahan kebijakan dan lain sebagainya, materi literasi dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sudah berlalu dan tidak lagi menjadi “trend” sebagai materi diklat saat ini. Saya teringat tulisan almarhum Prof. Winarno Surakhmad, guru besar Universitas Negeri Jakarta dalam buku Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi (2009). Dituliskannya, menerapkan pendidikan tanpa menghiraukan landasan filosofinya, atau mendalami filosofi pendidikan sebagai pengetahuan tanpa menghiraukan penerapannya, berarti memilih yang tidak benar. Menurutnya, secara hakiki, tidak ada aktivitas atau praktik pendidikan yang dapat berlangsung tanpa dasar filosofi yang sedikitnya terkait dengan makna kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan; demikian pula sebaliknya, tidak ada filosofi yang dapat mendalami problematik pendidikan tanpa menjiwai praktik pendidikan. Filosofi pendidikan yang tidak berkelanjutan ke dalam penerapannya dalam kehidupan nyata, menjadi mubazir dan tidak layak disebut filosofi pendidikan.

 ***

Kegiatan paling awal yang dilakukan oleh pengajar di RELC Singapura pada materi “Reading” yang saya alami adalah menumbuhkan kesadaran terhadap apa itu keterampilan membaca atau reading skills. Dengan survei yang dilakukannya terhadap peserta program pelatihan ini, sesuatu yang menggelitik pun muncul: apakah yang dimaksud dengan membaca nyaring (reading aloud) versus membaca untuk memahami (reading comprehension)? Membaca nyaring sesungguhnya bukan termasuk keterampilan membaca, melainkan speaking skills (keterampilan berbicara), karena dalam membaca nyaring, yang ingin dicapai adalah pengucapan yang benar dan jelas, intonasi yang tepat, kelancaran dalam mengucapkan, dan nada suara yang sesuai. Inilah yang dilatihkan dan diajarkan ketika guru-guru meminta muridnya untuk membaca nyaring (reading aloud), jadi tujuannya adalah bukan untuk memahami apa yang dibaca. Ini mengingatkan saya ketika mendapat giliran membaca keras ketika di Sekolah Dasar dahulu.

Pelajaran membaca yang sesungguhnya adalah reading comprehension (membaca untuk memahami). Membaca dalam konteks memahami adalah ketika seseorang melihat teks dan “memberi makna” kepada simbol tertulis (teks) tersebut. Membaca adalah mengonstruksi makna melalui interaksi dinamis antara tiga hal, yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang sebagai pembaca, informasi yang diberikan oleh teks, dan konteks yang tersedia. Jadi, untuk tujuan ini, maka pelajaran “membaca” bukanlah read aloud, tetapi think aloud.

 Kegiatan berikutnya yang dilakukan oleh pengajar di RELC Singapura pada materi “Reading” ini adalah melakukan survei terhadap peserta pelatihan, yang antara lain menanyakan apa yang dilakukan oleh guru dalam pelajaran membaca? Mengajarkan membaca (teaching reading), ataukah memberikan tes membaca (testing reading)?  Pertanyaan ini menggelitik, karena faktanya adalah guru lebih cenderung melakukan “tes membaca” terhadap murid-muridnya daripada mengajarkan “strategi membaca” untuk memperoleh makna atau memahami bacaan. Hal ini akan terlihat dari kegiatan klasik yang dilakukan oleh guru setelah murid-murid membaca, yaitu meminta mereka untuk menjawab pertanyaan bacaan. Jika murid dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan yang “tersurat” pada bacaan, maka disimpulkan bahwa murid memahami isi bacaan. Benarkah demikian? Ini sangat berkaitan dengan konstruksi pertanyaan yang dibuat oleh guru terhadap bacaan yang diberikan kepada murid-murid. Apakah pertanyaan bacaan itu hanya mengecek “ingatan”, ataukah sampai kepada level yang lebih tinggi? Setelah tiga tahun kemudian di Indonesia, hal ini saya temukan mirip pada materi HOTS (higher order thinking skills) yang menjadi “hot issues” atau materi wajib pada diklat-diklat guru di negeri ini, bersamaan dengan materi literasi.

 Selanjutnya, pengajar RELC Singapura meminta peserta pelatihan untuk melakukan evaluasi terhadap bahan-bahan bacaan dalam buku-buku pelajaran Bahasa Inggris yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit di Indonesia, mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas.

Fokus yang harus kami lakukan saat itu adalah mengevaluasi konstruksi pertanyaan-pertanyaan yang ada pada bahan bacaan pada buku-buku pelajaran terbitan Indonesia tersebut. Evaluasi dilakukan menggunakan taksonomi pada keterampilan membaca. Hasilnya? Sungguh menggugah. Evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar pertanyaan yang diberikan untuk mengecek reading comprehension (pemahaman terhadap bacaan) setelah murid membaca bahan-bahan bacaan pada sebagian besar buku penerbit Indonesia, ada pada level literal comprehension, yang jika disetarakan dengan taksonomi Bloom, ada pada level LOTS (lower order thinking skills), atau C1 (mengingat). Level literal comprehension merupakan salah satu level rendah yang ada pada taksonomi membaca. Sangat sedikit ditemukan pertanyaan yang dibuat untuk membuat murid berlatih menganalisis, mengevaluasi, mengapresiasi, atau melakukan inferensi dan variannya.

 Dari fakta di atas, maka selain “apa yang dibaca” (what to read), mengajarkan “bagaimana membaca” (how to read) menjadi strategi membaca yang perlu dikuasai dan diajarkan oleh guru, pendidik, pengajar, sebagai bagian dari penguasaan literasi baca tulis dalam segala bidang ilmu. Mengajarkan strategi membaca (teaching reading) ini menjadi isu penting dalam pengalaman literasi baca tulis, bukan sekedar mengetes membaca (testing reading). Akhirnya, pengecekan terhadap pemahaman membaca (reading comprehension) juga menjadi bagian penting dalam belajar membaca. Pengecekan ini dilakukan melalui konstruksi pertanyaan yang tidak hanya melibatkan ingatan murid terhadap yang tersurat, tetapi juga melibatkan kebiasaan pada level-level berpikir tingkat tinggi, seperti melakukan inferensi, mengevaluasi, menganalisis, mengapresiasi, dan berbagai variannya.

 ***

 Bisa membaca dan paham apa yang dibaca, menjadi dua persoalan penting dalam meningkatkan “literasi” (baca tulis) sebagai salah satu kecakapan abad 21 dalam pembelajaran. Dalam konteks yang lebih luas, literasi baca tulis tentu harus terjadi dalam pembelajaran pada segala bidang ilmu dan pengetahuan, bukan hanya pada pelajaran bahasa. Literasi baca tulis pun tidak hanya terjadi pada pembelajaran di sekolah, tetapi juga dalam segala konteks kehidupan, dalam bersosialisasi, dalam berkomunikasi, dalam bekerja, dengan mengoneksikan landasan filosofis dan praktik. Selamat berliterasi!

 

 Yogyakarta, 24 Januari 2021.

5 comments:

  1. Pemahaman membaca menjadi salah satu instrumen pokok AKM, dan kalau melihat contoh2 soalnya memang siswa dirangsang untuk menganalisis dan menginterpretasi bacaan... Sudah bukan lagi menghafal. Semoga para pengajarnya juga tergerak utk demikian.

    ReplyDelete
  2. Betul sekali. Analisis Kompetensi Minimum salah satunya berfokus pada kemampuan memahami bacaan. Tantangan yang besar bagi pengajar dan pendidik untuk pencapaian tujuan pemahaman membaca ini, yang dimulai dari dirinya sendiri, dan harus dilatihkan ke murid-muridnya melalui strategi di dalam pembelajaran.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf, maksud saya Asesmen Kompetensi Minimun (AKM).

      Delete
  3. Ternyata, membaca itu adalah aktivitas yang sulit. Bahkan untuk seorang akademisi.:-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tidak sulit sepertinya, tapi melibatkan proses berpikir jika ingin memahami, dan persoalannya adalah apakah kita mau berpikir, hehehe...

      Delete