--Rohmat Sulistya
Kembali menelan pil pahit.
Setelah pengajuan Februari lalu berbuah zonk, pengajuan ulang November ini pun zonk. Pada bulan Februari, pengajuan
dinilai nol karena -katanya- kurang bukti fisik. Saya memang tidak mengumpulkan
bukti fisik secara penuh, tetapi saya hanya mengumpulkan bukti fisik terkait
dengan artikel saya: salinan sampul jurnal, daftar isi, dan artikel saya. Artikel
lain dalam jurnal tersebut memang tidak saya sertakan. Toh, kalau penilai mau
menelusur,dapat dilakukan dengan sangat
mudah karena dalam pengajuan itu saya sertakan link e-journalnya.
Iya, ini tentang pengajuan angka kredit berkaitan dengan
jurnal nasional terakreditasi.
Pengajuan ulang di Bulan November pun berakhir zonk dengan
diberikan catatan bahwa artikel jurnal tersebut kadaluarsa. Jurnal terbit bulan
Desember 2019, saya ajukan ulang bulan November 2020. Kalau mepet, iya sih. Tetapi dalam benak saya, ini
masih koridor kriteria 1 tahun. Tetapi, bisa jadi pemahaman saya salah.
Sebenarnya, saya sangat senang apabila ini lolos penilaian,
karena nilai kredit dari artikel jurnal lebih ‘worth it’ dibanding dengan nilai dari
aspek-aspek lain. Mengirimkan artikel pada jurnal (terlebih lagi jurnal
terakreditasi) memerlukan perjuangan lebih untuk dapat lolos. Dimulai dengan
penilaian awal saat artikel kita submit. Akan ada penilaian dari 3 (tiga) reviewer
(mungkin berbeda jurnal satu dengan yang
lain) yang akan memutuskan artikel kita lanjut atau tidak. Saya tidak tahu
persis bagaimana seluk beluk penilaian awal, yang jelas 1 reviewer ‘menolak’
dengan catatan yang menyedihkan dan 2 lagi menyatakan ‘menerima’ dengan catatan revisi mayor. Dan memang saya
menyadari sekali, inilah pertama sekali saya menulis artikel kajian tentang
sesuatu yang saya juga masih belajar. Sebelumnya saya hanya menulis artikel
berdasarkan hasil data-data kuantitatif laboratorium. Ya, penilitian sains.
Dan dengan artikel non sains ini, saya men-chalange diri saya
sendiri pascapelatihan menulis artikel jurnal di Hotel Sahid dan hasilnya
memang masih belum layak. Tetapi, Alhamdulillah para reviewer memberikan kesempatan
untuk merevisi secara mayor. Setelah berbulan-bulan merevisi dengan 3 atau 4
proses revisi akkhirnya artikel diterima untuk diterbitkan. Bagi saya, ini
adalah proses yang melelahkan dan mirip dengan berkonsultasi skripsi ke dosen
pembimbing.
Tetapi, apa mau dikata, proses melelahkan tersebut berbuah
zonk. Sedih sih sedih, tetapi saya ingat pada sebuah peristiwa di sebuah siang.
***
Sebuah siang.
Anak saya ikut ke kantor setelah saya menjemputnya pulang
sekolah. Seperti biasa, dia cukup senang ikut ke kantor. Selain di rumah tidak
ada orang, di kantor juga tersedia wifi untuk nonton YouTube dan main game.
Tiba-tiba dia tertunduk lesu. Tanpa ngomong. Terlihat sedih.
Setelah ditanya sana-sini, ternyata kota yang dia bangun hilang seketika saat
Minecraftnya diupdate ke versi yang lebih tinggi. Dia adalah penggemar game
Minecraft, sebuah game yang masih sangat polular sampai saat ini. Siang itu seharusnya
dia senang karena bisa mengupadate
Minecraftnya. Tetapi menjadi kesedihan ketika kota yang ia bangun menjadi
hilang seiring meningkatnya versi game. Ini bisa terjadi ketika perangkat yang
digunakan tidak secanggih versi yang baru diunduh. Alhasil, kerja
berminggu-minggu menjadi sia-sia.
Tetapi apakah memang sia-sia?
Cukup lama saya menenangkannya dari rasa kecewa.
“Dik, yang penting Aqila punya kemampuan membangun lagi,
bukan kotanya. Tetapi kemampuan membangun kota itu lho yang lebih penting”.
“Kalau kotanya mungkin bisa rusak, bisa hilang; tetapi
ilmunya itu yang lebih mahal. Dan ilmunya, Aqila sudah ngerti. Gak papa, nanti bisa bangun lagi”.
***
Dengan teringat peristiwa sebuah siang itu, maka saya
bolehlah sedikit kecewa. Tapi gak harus kecewa banget. Yang penting bukan hasil
artikel jurnal yang dinilai nol, tapi punya pengalaman menulis jurnal dan dapat
terbit adalah jauh lebih penting. Jadi kemampuan dan proses menghasilkan, jauh
lebih penting dari hasil itu sendiri.
Allah SWT mewajibkan kita untuk bergerak, berikhtiar,
berusaha tetapi hasil itu bener-bener hak prerogatif Allah. Dan
Tuhan hanya melihat prosesnya kok, bukan hasilnya.
Ya, begitulah.. Wallahu a’lam.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeletePertama, selamat atas "a long journey" dalam mengirimkan artikel jurnal, mengalami proses review dan merevisi yang berulang, sampai akhirnya artikel itu pun dimuat dalam jurnal (yang saya duga terakreditasi ya...) Saya bisa merasakan your very personal contentment of this, berdasarkan my very own experience either as an author of journal article or as a journal reviewer for an accredited one.
ReplyDeleteKedua, tulisan dengan ragam bebas ini memiliki koherensi, yaitu set of ideas-nya jelas dan dituangkan dengan cara mengalir, setiap gagasan idenya dikoneksikan atau mengikuti ide sebelumnya in a natural or reasonable way, terlihat misalnya dari bagaimana melihat hubungan atau mengoneksikan dua peristiwa yang berbeda tetapi memiliki nilai-nilai yang sama.
Ketiga, I definitely agree with the values you hold, yaitu pesan atau nilai-nilai yang kita pelajari dari peristiwa yang dialami terkait dengan nasib artikel jurnal itu. Setiap orang mungkin akan memiliki sudut pandangnya sendiri-sendiri terkait ini tergantung values dan prinsip yang dipegangnya; tetapi saya sepaham, bahwa nilai dari sesuatu yang membahagiakan itu bukanlah dari hasil berupa "angka-angka" yang berpotensi memenjarakan hidup kita, melainkan dari hal-hal yang kita lakukan dengan "hati"...
Terima kasih Bu Rin atas ketiga poin tersebut. Iya, sebuah perjalanan dan perjuangan utk nembus jurnal terakreditasi Sinta 2. Kl jurnal int'l pasti lbh keras perjuangannya.
DeleteMenulis, sering sy tujukan utk berbagi dan melepaskan bunek he he
Yes, mas Rohmat. Keep writing sbg aktualisasi diri...
DeleteLuar biasa mbak Rin yang penting itu proses hasil terserah yang kuasa.
ReplyDeleteBetul Pak Gde
Deleteikut prihatin, semoga kedepan makin sukses dengan pengalam gagal itu ilmu yg sangat bermanfaat.
ReplyDeleteSiappp
DeleteProses menjadi penting dalam memahami dan memecahkan persoalan. Tetap semangat menulis dan produktif mas Rohmat....
ReplyDeleteTerimakasih...betul sekali
DeleteProses menjadi penting dalam memahami dan memecahkan persoalan. Tetap semangat menulis dan produktif mas Rohmat....
ReplyDeleteBetul sekali Pak Fajar. Ditunggu tulisannya
DeletePengalaman menarik, terutama ketika memasehati anak itu kemudian tersadari sehagai nasehat untuk diri sendiri. Sip!!
ReplyDeleteHehe...iya, itu menarik, dua peristiwa berbeda tp punya nilai pengalaman yg sama...
Deleteiya Mas, betul, hikmah utk diri sendiri. Trims...
Delete