Saturday, March 27, 2021

Money Talks: Sebuah Kejadian yang Diceritakan


--Rin Surtantini





Kemarin sore ketika menunggu maghrib tiba, denting di sebuah grup Whatsapp terdengar. Seorang teman mengirimkan kopi tulisan tentang sebuah kejadian kecil yang diceritakan oleh Winston Churchill, perdana Menteri Inggris jaman dulu. Entah dari mana asalnya teman ini mendapat kopian tulisan dalam bahasa Inggris itu, yang jika diterjemahkan kira-kira begini…

Perdana Menteri United Kingdom masa dulu, Winston Churchill, menceritakan sebuah kejadian menarik yang dialaminya sendiri. Ia naik taksi pada suatu hari ke kantor BBC untuk sebuah interview. Ketika sampai di tujuan, ia meminta kepada supir taksi untuk menunggunya sekitar 40 menit di sana, karena ia ingin pulang dengan menumpang taksi itu lagi. Tetapi supir taksi meminta maaf dan berkata, “Saya tidak bisa, pak, karena saya harus pulang ke rumah untuk mendengarkan pidato Winston Churchill di rumah.”

Pernyataan supir taksi itu sungguh mengagetkan Churcill. Ia sangat kagum dan sangat senang dengan niat supir taksi itu untuk mendengarkan pidatonya di radio! Bahkan supir taksi itu ingin segera pulang ke rumah demi keinginannya itu, dan tidak mau menunggu Churchill untuk menumpang taksinya lagi. Karena rasa bahagia dan kagumnya, Churchill pun mengeluarkan £20 dari dompetnya yang pada masa itu bernilai sangat besar. Diberikannya uang itu kepada supir taksi tanpa memberitahu siapa sebetulnya dirinya. Ketika supir taksi itu menerima uang sebanyak itu dari Churchill, ia mengatakan, “Pak, saya akan menunggumu sampai berapa lama pun bapak akan kembali! Dan membiarkan Churchill go to hell….”

Dari kejadian itu, Churchill mengatakan, bahwa kita dapat melihat bagaimana “prinsip-prinsip” sudah dimodifikasi demi uang; bangsa dijual untuk uang; kehormatan dijual karena uang; keluarga tercerai berai demi uang; teman-teman berpisah karena uang; orang-orang terbunuh untuk tujuan uang; dan orang-orang dibuat menjadi budak karena uang. Kejadian ini sungguh menarik baginya; maka ia pun memutuskan untuk membagi cerita ini, dan berharap kita dapat belajar sesuatu dari kejadian ini.

***

Sesungguhnya ini kejadian yang bukan luar biasa dan sangat banyak kita saksikan dalam lingkungan kita, di tempat kerja, di komunitas kecil sekali pun, di lingkungan sosial, di kompleks tempat tinggal, di mana pun, kapan pun di segala masa atau zaman, dan di dalam konteks apapun tetapi dengan pesan yang sama... Bukan hanya menyaksikan, tetapi mengalaminya. Dan yang justru membuat ngeri adalah… jangan-jangan, kita justru salah satu dari sekian juta manusia serupa supir taksi yang diceritakan oleh Churchill di atas, tetapi tidak menyadarinya, bahkan malah sibuk menuding bahwa sekitar kitalah yang melakukan itu!

Oh, my God. Suara adzan dari masjid pun sayup mengalun, menghentikan lamunan ini.

Money talks, money rules, money acts, money wins, money kills, money …

Silakan ditambahkan lagi sesuai dengan pengalaman masing-masing.


Yogyakarta, akhir pekan, 27 Maret 2021.

Friday, March 26, 2021

Tentang Paradigma: Teropong-Teropong dalam Berkegiatan Ilmiah

  

--Rin Surtantini

 



Beberapa hari lalu saya mengikuti sebuah diskusi ilmiah dengan komunitas ketika saya sekolah dulu. Topik yang didiskusikan adalah seputar paradigma atau model dalam teori ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir. Diskusi ini menarik karena bagi para peserta diskusi, topik yang didiskusikan ini menguatkan apa yang selama ini diamati, diketahui, dilakukan, atau bahkan tidak diketahui dan tidak dilakukan, oleh para peserta diskusi, kaitannya dengan kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh mereka seperti melakukan kajian, penelitian, atau penulisan di ranah akademik atau ilmiah.

Diskusi itu, dengan seorang narasumber yang memantik topik “paradigma” ini, menyoroti “teropong-teropong” yang digunakan oleh para peneliti atau pengkaji di ranah budaya ketika membedah sebuah masalah atau isu penelitian dan kajiannya. Yang menarik adalah narasumber ini dapat mengkategorikan dan menamakan apa saja teropong-teropong pembedah itu berdasarkan pengamatannya terhadap penelitian atau kajian yang dilakukan oleh para peneliti atau pengkaji yang tergabung dalam komunitas itu. Maka, para peserta diskusi pun kemudian disadarkan akan adanya teropong-teropong itu, tetapi tidak menyadari selama ini bahwa mereka telah menggunakan salah satu di antara teropong-teropong tersebut dalam meneliti, mengkaji, atau menuliskan hasil penelitian dan kajiannya. Begitu pentingnya peran teropong yang digunakan atau dipilih dalam menyoroti sebuah masalah, sehingga ketika paradigma atau kerangka berpikir tidak dipahami oleh peneliti, pengkaji atau penulis, maka arah penelitian, pengkajian atau pengungkapannya dalam tulisan akan menjadi tidak jelas dan kabur.

Kemarin saya dan beberapa rekan sejawat juga melakukan diskusi kecil terkait dengan kegiatan ilmiah ini. Berangkat dari latihan melakukan penilaian terhadap tulisan-tulisan hasil penelitian atau kajian, kegiatan ini dimaksudkan untuk mempelajari lebih dalam tentang komponen-komponen umum yang penting dalam menuliskan sebuah hasil penelitian atau kajian. Komponen-komponen yang disoroti adalah substansi tulisan, kebaruan yang ditawarkan, manfaat yang diberikan, gaya dan format penulisan, penggunaan bahasa, logika berpikir, metode kajian atau penelitian, cara mengkaji atau menganalisis, serta sumber bacaan atau referensi. Kami mencoba untuk memberikan penilaian terhadap tulisan-tulisan menggunakan komponen-komponen ini.

Hal menarik yang diperoleh dari kegiatan bersama rekan sejawat ini adalah adanya keragaman yang dimiliki oleh setiap orang. Keragaman terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan di antara kami, yaitu perbedaan dalam menyoroti sebuah masalah atau isu, karena teropong-teropong yang kami miliki juga berbeda-beda. Perbedaan itu menyangkut misalnya perbedaan latar belakang, minat, fokus, standar, sudut pandang, paradigma, yang dipegang dan dimiliki oleh masing-masing dari kami. Bagi saya, inilah sebuah forum yang membebaskan individu, yaitu ketika setiap peserta diskusi yang hadir memiliki ruang untuk mengemukakan teropong yang digunakannya, dan dapat memberikan alasan atau logika dari penggunaan teropong itu sebagai wujud kerangka berpikirnya. Ini juga sebuah forum yang melatih seseorang untuk belajar dari yang lain tentang hal-hal yang tidak diketahui atau dipahaminya, dan membelajarkan yang lain tentang hal-hal yang belum dimiliki atau dipahami oleh rekan lain. Ini juga sebuah forum untuk bersosialisasi melalui kegiatan yang menyehatkan akal budi, ketika setiap orang memiliki ruang untuk menyuarakan concern-nya dengan terbuka, dan bersedia untuk mendengarkan yang lain agar dapat menyerap maksud yang ada dalam concern dan alur pikir seseorang. Ini juga sebuah forum yang membuat seseorang harus bertanggung jawab terhadap pendapatnya dengan berlatih mengembangkan argumentasi yang kuat dan logis serta kredibel.

Akhirnya, yang lebih menarik lagi adalah setelah semua concern rekan sejawat ini diutarakan dalam bentuk-bentuk keragaman dan perbedaannya, diperoleh kesamaan cara pandang yang menyatukan. Sebuah proses sintesis terjadi, yang mengerucut menjadi sebuah kesimpulan dan keputusan bersama, yang mewadahi aneka teropong, sudut pandang, dan concern. Saya berpendapat, alangkah menyenangkan jika hal-hal kecil semacam ini menjadi spirit dari culture of knowledge sharing yang berkembang dan dipelihara di lingkungan tempat kita bekerja, bukan hanya sekedar atau selalu meneriakkan slogan-slogan tetapi kehilangan ruh dan maknanya.


Yogyakarta, 26 Maret 2021.


[Salam dan terima kasih saya untuk mbak Feti, mas Bagus, pak Gede, mas Haryadi, mas Fajar, mas Rohmat, mas Cahyo, mas Eko & mbak Diah, yang kemarin berdiskusi dan menginspirasi saya untuk menuliskan ini].

 

 

Tuesday, March 16, 2021

KONSEP ‘LAKU’ BAGI ORANG JAWA

 

-- Sito Mardowo (A’ak Sito dari Studio Karawitan)

 


Tulisan ini bukan hasil kajian atau penelitian yang melahirkan ‘pengertian yang mendalam’ apalagi membuahkan konklusi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai refeferensi bagi para peneliti-pengkaji lainnya, meskipun judulnya cetar membahana. Kan sudah ada kesepakatan bersama, Vidyasana merupakan wadah tulisan jenis apapun… (bahkan tidak hanya tulisan…. Gambar… puisi… atau apapun), cara menulis apapun, bahasa apapun, gaya bahasa apapun, dan tentunya gak usah mikir gaya selingkung juga…. He…he….pokoke nulis…. Itu semangatnya. Apik-elek nomor 207.

Kembali ke laptop. Teman-teman yang pernah belajar Bahasa Daerah Jawa di SD ataupun SMP biasanya pirsa atau tahu pupuh tembang Pocung karya Kanjeng Gusti Pangéran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunagara IV yang bunyinya seperti ini:

 

Ngelmu iku Kalakone kanthi laku,

Lekase lawan kas,

Tegese kas nyantosani,

Setya budya pangekese dur angkara. 

 

        Banyak filsuf, budayawan, sastrawan, peneliti dan pengkaji menginterpretasikan makna filosofi yang terkandung dalam pupuh tembang Pocung tersebut. Dari ilmu Hermeneutika sampai teori semiotika bahkan disiplin ilmu lainnya digunakan sebagai ‘pisau’ untuk membedah pupuh tembang Pocung tersebut. Lain halnya dengan saya. Saya akan mencoba menginterpretasikan salah satu kata dalam pupuh tembang tersebut dengan dengan menggunakan ‘ilmu krungu’. Hehehe….. mungkin teman-teman jadi tertawa dengan istilah ‘ilmu krungu’. Kayaknya nggak sebanding ya dengan ilmu-ilmu ‘joss’ para intelektual.

Saya menamakan ‘ilmu krungu’, karena memang saya dapat ketika saya ‘krungu’ atau mendengar para tokoh ‘kejawen’ yang ngobrol bersama dengan orang tua saya di masa beberapa tahun yang lalu. Lumayan lama sih!  Saya tidak melakukan klarifikasi, tidak melakukan wawancara, tidak mendebat, dan tidak aktif melakukan apapun. Saya hanya pasif mendengarkan mereka saja. Tentunya sambil ‘ngunjuk’ wedang kopi biar fresh.

Kembali ke laptop lagi. Sesuai dengan judul tulisan ini, saya hanya akan membahas kata ‘laku’ yang ada pada pupuh tembang Pocung tersebut. Menurut mereka, kata ‘laku’ sangat populer digunakan dalam perbincangan sehari-hari bagi masyarakat Jawa, sehingga bukan sesuatu yang luar biasa ketika kata tersebut digunakan dalam tembang. Kalimat tanya seperti ‘Laku-mu kok pincang, kenapa?’.  Kemudian ada ungkapan lain seperti, ‘Yen kowe pengin dadi wong, kudu sing gede laku-mu mas.’ Ternyata dua kata tersebut ‘bisa’ berbeda makna. Pada kalimat   Laku-mu kok pincang, kenapa?’, kata ‘laku’ berarti jalan. Kata jalan tersebut bermakna harafiah atau literal yang artinya bergerak maju atau mundur dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan kata laku pada kalimat  Yen kowe pengin dadi wong, kudu sing gede laku-mu mas’, memiliki makna yang tersirat. Menurut mereka (para kejawen Klaten), kata ‘laku’ pada kalimat tersebut sama dengan kata ‘laku’ yang terdapat dalam pupuh tembang Pocung di atas.

Para bapak-ibu kejawen Klaten (ada ibunya juga lhoh…)  merumuskan setidaknya ada 4 aspek yang terkandung dalam kata ‘laku’ pada pupuh tembang Pocung.

·         Pertama, ‘laku’ diartikan sebagai sebuah tindakan untuk mempelajari ‘guna kasantikan’ yang dapat diterjemahkan sebagai ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan. Ilmu tersebut tidak terbatas untuk meningkatan kompetensi di suatu bidang tertentu, tetapi juga ilmu sosial, ilmu spiritual agama-keyakinan, ilmu ‘rasa’, dan sebagainya. Ilmu yang dimaksud di sini cenderung olah pikir. Meskipun di situ terdapat ilmu spiritual dan ilmu rasa, tetapi yang dipelajari bertumpu dari sisi ‘wadag’ atau ilmunya. Bukan implementasinya.

·         Kedua, ‘laku’ diartikan sebagai ‘mati-raga’  dengan cara mengurangi segala jenis atau aktifitas nafsu duniawi. Jenis kegiatan tersebut misalnya                  (1) Menjalankan puasa makan dan atau puasa terhadap kegiatan yang mengundang nafsu. Puasa makan misalnya ngebleng, senin-kemis, weton, dan sebagainya.  Puasa kegiatan mengundang nafsu misalnya puasa tidak melakukan hubungan intim (agak saru dikit ya…) (2) Melakukan ‘sesirik’ atau menghindari makanan yang enak atau membikin enak. Misalnya pantang makan daging, pantang makan garam, pantang makan gula dan sebagainya. (3) Tirakat,  tidak tidur di sepanjang malam, ‘kumkum’ di sungai, napak tilas dan sebagainya.

·         Ketiga, ‘laku’ diartikan sebagai kegiatan mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang Jawa memiliki konsep Ke-Tuhanan yang kuat, sehingga diyakini bahwa semua ‘pambudidaya’ atau usaha seseorang dapat terkabul kalau mendapat ijin dari Tuhan. Ketika segala usaha fisik sudah dilakukan, sebagai penguat orang Jawa akan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Prinsip orang Jawa, kalau segenap usaha terkabul maka usaha tersebut sejalan dengan kehendak Tuhan, tetapi apabila tidak terlaksana seperti yang diharapkan manusia maka hal tersebut tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Orang Jawa tidak memiliki karakter menghakimi Tuhan apabila kehendaknya tidak dikabulkan. Upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara menyembah Tuhan dengan berbagai cara seturut dengan keyakinannya dan melakukan perbuatan baik pada diri sendiri dan kepada sesama.

·         Keempat, ‘laku’ diartikan sebagai suatu cara untuk mengelola emosi dengan melatih kesabaran, berpikir positif, berlaku bijak dalam berbagai masalah, tidak mengembangkan karakter ‘adigang-adigung-adiguna’, mengembangkan rasa tepa slira dan sebagainya. ‘Laku’ dalam konteks ini berkaitan erat dengan dengan ‘laku’ dalam artian guna kasantikan seperti yang disampaikan pada aspek pertama tadi. Aspek pertama menyampaikan secara’ wadag’ sedangkan aspek keempat merupakan implementasinya dalam berkehidupan.

Setidaknya ada 4 aspek itu yang saya tangkap tentang kata ‘laku’ dalam obrolan bapak-ibu kejawen di rumah orang tua saya tempo doeloe. Tapi jangan lupa… konteksnya pada pupuh tembang Pocung, karena ada kata ‘laku’ yang jauh berbeda makna yaitu pada konteks ‘laku’ pada saat seseorang akan meninggal dunia.

Saya yakin, bahwa kata laku yang dibahas dalam tulisan ini mungkin berbeda dengan opini bapak ibu WI. Mungkin juga…. ada aspek lain yang kurang. Mungkin juga…. Ada yang keliru. Mungkin juga…. teman-teman bisa melengkapi. Kalau mau sich……  

Mohon maaf teman-teman, ini asal nulis yang tiba-tiba hinggap di ingatanku… tentunya banyak kesalahan terkait penulisan. Tangkiyu evribadeh…

Salam.

 

Sunday, March 14, 2021

Di Balik Dinding Sekolah

  

--Rin Surtantini

 


 Pada suatu hari pada tahun 2014, seorang teman yang menjadi pengurus komite sekolah pada sebuah sekolah dasar tempat anaknya bersekolah, meminta kepada saya untuk membantunya menuliskan sebuah puisi. Dia ingin membacakannya pada acara perpisahan murid-murid kelas enam di sekolah itu, yang dihadiri tidak hanya oleh murid-murid, tetapi juga oleh para orangtua atau wali murid. Bagi saya ini sebuah permintaan khusus, karena saya tidak tahu mengapa hal ini menjadi penting baginya. Lagipula, saya tidak atau belum pernah menulis puisi karena permintaan orang lain yang ingin menyampaikan sebuah pesan atau sesuatu, sesuai dengan gagasan atau maksud darinya. Bukankah apa yang ada di benak setiap orang berbeda-beda dalam hal memberi dan mencipta makna? Maka, ini menjadi permintaan yang agak sulit bagi saya saat itu.

 Saya harus bertemu dengan teman ini. Percakapan melalui pertemuan singkat dengannya membantu saya untuk memahami mengapa ia ingin membacakan pesan melalui puisi itu pada acara perpisahan murid-murid di sekolah anaknya, dan apa pesan yang ingin dimunculkannya pada puisi itu. Menulis puisi tidaklah mudah bagi saya, meski saya sangat menyukai kegiatan ini sebagai dorongan hati. Akan tetapi, rasa ingin membantu teman ini pun tak bisa dipungkiri. Saya perlu sejenak berdiam untuk dapat menuliskannya.

 Alhasil, tulisan itu berwujud, entah itu puisi atau bukan, saya harus segera mengirimkannya kepada teman ini, dengan catatan saya tidak yakin apakah betul itu isi yang diinginkannya. Saya tak begitu peduli apakah puisi itu jadi dibacakan olehnya pada acara perpisahan itu atau tidak. Yang paling utama adalah akhirnya isi puisi itu malah mewakili pikiran saya dan beberapa fenomena yang saya rasa dan alami. Karena dituliskan pada tujuh tahun yang lalu, mungkin ada yang tidak relevan dengan konteks sekarang, misalnya pada istilah atau frasa “dinding sekolah” sehingga pada masa ini harus dimaknai sebagai makna metaforis.

 Setelah tahun 2014 itu, pada beberapa kesempatan semisal pelatihan kepala sekolah, pengawas, atau guru-guru, puisi itu menjadi bagian dari kegiatan refleksi yang saya lakukan pada akhir pelatihan. Saya membacakannya. Melalui puisi itu, saya bermaksud mengajak para pendidik yang sekaligus juga para orangtua, kita semua, untuk melakukan “redefinisi” terhadap makna dari pencapaian murid-murid yang sekaligus juga anak-anak kita melalui pendidikan. Baru-baru ini, puisi itu kembali saya bacakan sebagai closing statement pada acara Kolase Inovasi dengan topik "Pendekatan Pembelajaran Arts Integration", yang disiarkan secara live streaming melalui channel Youtube milik Radio Edukasi pada hari Kamis, 11 Maret 2021 lalu.

Atas ijin dari Radio Edukasi, bagian akhir dari video yang berisi pembacaan puisi ini diedit dan diunggah ulang oleh saya, sehingga dapat dilihat pada Youtube channel pada link https://youtu.be/JAJhx42vvg0.

Banyak terima kasih saya sampaikan kepada mas Dhanang, yang telah membuatkan backsound dalam bentuk piano cover lagu "The Way We were" atas permintaan khusus saya, sehingga menambah warna untuk pembacaan puisi ini pada video Youtube yang saya edit. Puisi ini ditulis dan dibacakan untuk kita semua, untuk pendidik, untuk para orangtua.

 

Di Balik Dinding Sekolah

(Juli 2014)

 

Ruang kelas adalah dunia yang diciptakan bersama

oleh guru dan murid-muridnya

melalui hari-hari yang terbentang panjang

dengan aneka goresan dan coretan yang penuh warna.

 

Di dalam dunia itu kepada guru

kita titipkan anak-anak kita

dengan sejuta pesan dan kata

yang mewakili gundukan keinginan dan tujuan kita.

 

Kepada guru kita mintakan anak-anak kita

menjadi pandai dengan angka yang cemerlang,

menjadi maju dengan langkah yang panjang,

menjadi hebat dengan prestasi yang gemilang,

menjadi cerdas dengan pengetahuan yang luas,

menjadi terampil dengan kemampuan yang tangkas,

menjadi juara dengan piala di almari kaca yang menghias,

menjadi terkenal karena aneka kesuksesannya.

 

Di dalam dunia yang bernama sekolah itu

kita tak segan meminta para guru

mendengarkan semua pesan dan permintaan kita

yang kita bukukan dan jilid dengan seksama

dengan judul “Cinta Kami kepada Anak-Anak Kami”.

 

Kita sangat mengingat judul buku itu,

karena kita tulis dengan semangat cinta kepada anak-anak kita,

tetapi kita lupa dan mungkin abaikan isinya:

 

Jika kita minta anak kita pandai dengan angka yang cemerlang,

mungkin ia tidak peduli bahwa setiap angka memiliki makna.

 

Jika kita minta anak kita maju dengan langkah yang panjang,

mungkin ia tak sadar telah menginjak kaki temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi hebat dengan prestasi yang gemilang,

mungkin ia akan lupa bagaimana memperolehnya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi cerdas dengan pengetahuan yang luas,

mungkin ia lupa untuk berbagi dengan temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi terampil dengan kemampuan yang tangkas,

mungkin ia abai untuk membantu temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi juara dengan berbagai piala di almari kaca,

mungkin ia tak peduli sekitar dan ingin untuk selalu berada di atas.

 

Jika kita minta anak kita menjadi terkenal karena kesuksesannya,

mungkin ia akan tumbuh dengan rasa bangga yang berlebih.

 

Banyak catatan yang kita titip dan mintakan

kepada guru bagi anak-anak kita

atas nama "cinta" kepada mereka.

Tetapi kita terkadang lupa

untuk menitipkan “nilai-nilai” dan bukan sekedar “angka”:

bahwa anak-anak kita harus tumbuh dan belajar

menjadi anak-anak yang berempati, menghargai,

menghormati, jujur, rendah hati, adil, dan toleran;

bahwa kita terkadang abai

jika anak-anak kita tumbuhkan hanya dengan angka-angka,

maka nilai-nilai menjadi tak lagi bermakna,

dan cinta tidaklah lagi dapat berbicara.

 

 

 


Terima kasih telah membaca catatan ini, atau telah melihat pembacaannya melalui Youtube channel.


Salam sukacita untuk semua!

 

Yogyakarta, 15 Maret 2021.

Friday, March 12, 2021

Bernostalgia Sejenak

 

---Digna Sjamsiar




Tiga hari belakangan ini anakku yang pertama sibuk mencari tahu keberadaan kakak perempuan ayahku yang tinggal di Belanda, dimulai dari dia menanyai opanya tentang nama berikut nama familinya (marga), tahun berapa terakhir kali berkunjung ke Situbondo, Jawa Timur dan nama anaknya yang ikut berkunjung.

Disela-sela kegiatanku mengikuti Pelatihan Google Master Trainer, aku berusaha menjawab pertanyaan anakku yang lumayan membutuhkan ingatan luar biasa karena waktu itu umurku 9 tahun, dan pada tahun 2015 aku pernah meminta tolong pada rekan kerjaku yang sedang melanjutkan studi S2 di Belanda untuk melacak alamat yang dimiliki oleh orangtuaku, tetapi sayang, suratku kembali karena tanteku sudah tidak tinggal di alamat tersebut.

Sejujurnya yang mendasari anakku untuk mencari tahu keberadaan tanteku adalah dia sangat penasaran dengan perjalanan hidup opa dan omaku. Sedikit aku bercerita disini, papi dari papaku harus kembali ke Belanda disaat usia papaku 2 tahun, mami dari papaku menolak untuk ikut karena ibunya juga tidak bersedia, bisa dimaklumi mereka semua lahir dan berumah tangga di Indonesia sehingga mereka kuatir sulit untuk beradaptasi. Anakku berusaha terus melacaknya dengan masuk ke website komunitas Quora dan Twitter, salah satu anggota komunitas tersebut memberikan saran untuk mengecek suatu website yang berisi data kepulangan warga Belanda dari Asia Tenggara dan Australia dari tahun 1945 – 1966 (disebut repatriasi). Tetapi sayang, usahanya tidak berhasil karena papaku tidak tahu kapan papinya terakhir bekerja di perusahaan/pabrik gula di Indonesia, ditambah lagi papi dari papaku juga tidak mempunyai keturunan selain papaku.

Kemudian anakku kembali fokus berusaha mencari nama lengkap sepupuku yang kuceritakan sebelumnya melalui Facebook dan Instagram. Anakku menelepon papaku dan mencatat jawaban-jawabannya, kemudian anakku via internet memasukkan alamat dan nama tersebut, akhirnya usahanya berhasil, dia menemukan akun IG dan Facebooknya. Kemudian baik anakku maupun aku menambah pertemanan. Alhamdulillah..permintaan berteman kami diterima. Yang paling menggembirakan setelah dua hari pertemanan kami,  sepupuku membalas chat anakku via FB. Mengingat budaya kita yang berbeda, anakku mengirim foto tanteku sewaktu masih gadis, sepupuku membenarkan jika foto tersebut adalah foto mominya, dia senang sekali, dan dia bercerita bahwa mominya masih menyimpan foto-foto ketika mereka berkunjung ke Situbondo tahun 1977. Dia mampu mengingat kenangan-kenangan manis saat di Situbondo sekalipun saat itu dia masih berumur 6 tahun. Chatku di FB juga dia balas, senang sekali rasanya. Akhirnya anakku dan sepupuku mengatur jadwal untuk melakukan video call secara bersama Sabtu sore besok yaitu papaku, kedua kakakku dan keluarganya dan aku sendiri. Satu keberuntungan lagi, sepupuku fasih berbahasa Inggris karena dia bekerja sebagai manajer hotel, sehingga komunikasi via chat di Facebook berjalan lancar, begitu juga jika besok diadakan pertemuan secara virtual, karena kami tidak bisa berbahasa Belanda, papaku juga sudah banyak lupa dengan kosa kata bahasa Belanda.

Hal ini tak luput dari kecanggihan teknologi saat ini dimana teknologi dapat membantu kita dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dibutuhkan. Saat ini di WA grup kami yang terdiri dari papaku berikut anak, menantu dan cucu ramai membicarakan temuan anakku ini. Papaku gembira sekaligus terharu karena akan mengobrol lagi dengan kakak perempuannya walau hanya secara virtual, dan saat ini kami bernostalgia di grup WA, mengingat saat sepupuku yang ngotot pingin main di sungai, kebetulan rumah nenekku dan rumah orang tuaku dekat dengan sungai, dan cerita lucu lainnya….jadi tak sabar menunggu besok jam 16.00 waktu Indonesia bagian barat….hehehehe


Yogyakarta, 12 Maret 2020

Catatan sore setelah menyelesaikan tugas Pelatihan Google Master Trainer

Digna Sjamsiar

 

Monday, March 8, 2021

Percakapan yang Membelajarkan

 

  --Rin Surtantini

 


Suatu hari menjelang akhir bulan Desember tahun lalu, saya melakukan percakapan di Whatsapp dengan seorang kolega sekaligus sahabat yang mengajar di sebuah perguruan tinggi negeri. Ia mengelola jurnal terakreditasi nasional berbahasa Inggris yang kebetulan saya menjadi salah satu reviewer (mitra bestari atau penelaah) di dalamnya. Percakapan kami berdua cukup panjang, mengenai tradisi ilmiah dalam menulis dan menelaah artikel yang dikirim ke jurnal yang dikelolanya. Biasanya kami tidak pernah melakukan percakapan untuk artikel-artikel yang kebetulan saya diminta untuk menelaah sesuai dengan bidang keilmuan saya, karena jurnal itu dikelola menggunakan Open Journal System (OJS)yaitu aplikasi perangkat lunak sumber terbuka untuk mengelola dan menerbitkan jurnal ilmiah secara daring dengan penelaahan sejawat. Dengan OJS, sirkulasi pengiriman artikel, penyuntingan, review, dan seterusnya dilakukan secara online. Selain itu, biasanya artikel yang ditelaah itu tidak memiliki identitas penulisnya, sehingga para penelaah merupakan blind reviewers.

 Mengapa kali ini kami melakukan percakapan tentang artikel yang selesai saya telaah itu, karena melalui OJS, saya menyatakan bahwa artikel tersebut harus mengalami major revision yang harus dilakukan oleh penulisnya. Berhari-hari saya menelaah artikel tersebut dan merasa agak bersalah jika harus merekomendasikan ke pengelola jurnal bahwa artikel tersebut “ditolak” (decline) atau dikirim saja oleh penulisnya ke jurnal yang lain (submit elsewhere). Tentu tidak dengan tanpa alasan saya harus merekomendasikan itu, karena mengacu kepada profesionalisme serta standar substansi, teori, metode dan analisis penelitian, serta kebahasaan, artikel tersebut banyak sekali memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mengapa saya kemudian merasa bersalah, adalah karena secara tidak sengaja saya mengetahui bahwa penulis artikel tersebut ternyata rekan sejawat kami berdua juga, teman sekolah pada saat kami sama-sama menempuh pendidikan tertinggi. Dalam artikelnya itu, ia menyematkan beberapa foto yang ada dirinya ketika melakukan penelitian yang ditulisnya!

 Saya tidak jadi menolak artikel tersebut, sehingga saya merekomendasikan revisi mayor alias perlu ditulis ulang dengan comments yang sangat banyak di bagian badan artikel. Ini akan sangat berat baginya. Rasa bersalah itu pun muncul di antara keinginan menegakkan standar serta kualitas dan membiarkan artikel itu lolos apa adanya….  Maka dari sinilah percakapan antara saya dengan kolega, sahabat saya sebagai pengelola jurnal itu terjadi.

 ***

 Oleh kolega saya ini, artikel hasil telaah saya tersebut dikembalikan ke penulisnya melalui OJS, dengan pilihan resubmit for review after revision as suggested within two weeks (silakan dikirim kembali agar bisa dilakukan telaah kembali oleh reviewer setelah penulis melakukan revisi sebagaimana disarankan dalam waktu dua minggu). Baiklah, ini merupakan sebuah tantangan yang berat bagi penulisnya, menurut saya, karena saya membayangkan kondisi artikel dengan revisi mayor tersebut akan sangat sulit untuk direvisi hanya dalam waktu dua minggu.

 Satu hal yang saya pelajari di sini: kolega saya sebagai pengelola jurnal mengatakan, “Dalam tradisi ilmiah, ditolak oleh jurnal itu adalah hal yang biasa, karena saya juga ngalami kok…hahaha…”

Saya menyetujui itu, karena tradisi ilmiah membuat kita banyak belajar untuk menerima fakta dan berbesar hati jika yang kita rasa sudah memenuhi kaidah ilmiah, ternyata belum bagi orang lain. Itulah manfaatnya penelaahan sejawat, yang membuka kesempatan bagi kita sebagai penulis artikel jurnal untuk memasuki dan belajar mengenai pandangan orang lain.

 Berikutnya kolega saya ini mengatakan, “Hal-hal inilah yang mengukuhkan agar pengelola jurnal harus selalu berusaha objektif. Jadi menolak naskah atau artikel itu sama sekali tidak apa-apa…”, demikian lanjutnya. “Apalagi kita sudah mendapat gelar akademik tertinggi. Ini menjadi tanggung jawab moral yang melekat pada hal-hal yang sifatnya objektif sebagai bagian dari membangun tradisi ilmiah. Itu yang harus selalu kita perjuangkan.”

 “Saya dan tim belajar step-by-step dalam perjalanan mengelola jurnal ini. Pada saat awal-awal mengajukan akreditasi dulu, editorial boards harus melakukan make up artikel yang gak nyambung biar jadi nyambung, yang morat-marit biar jadi tertata. Tetapi sekarang, kalau gak sesuai ya langsung kami decline (tolak)…,” lanjutnya.

 “Saya dulu menginisiasi jurnal ini untuk punya mimpi, yaitu punya tradisi ilmiah yang baik. Sudah sepuluh tahun masih merangkak. Semua melewati proses dengan terus memegang teguh tradisi ini. Kita harus menguatkan tradisi ilmiah yang jujur dan kredibel. Kita jauhkan diri dari kepentingan pribadi. Contoh konkritnya adalah sebagai editor in chief, adalah tidak etis jika mendominasi tulisannya sendiri di jurnal yang dikelolanya. Makanya saya sendiri jarang untuk melakukan ini, walaupun bisa dengan mudah saya lakukan itu… Saya harus berusaha menulis di tempat lain,” demikian lanjutnya.

 “Semoga kita dimudahkan oleh-Nya di jalan-Nya. Ini cara kita mengembangkan keilmuan di ranah yang kita kuasai sebagai hasil dari pendidikan yang kita peroleh.”

 Saya mengamini doanya. Terdiam. Yang tiba-tiba melintas dalam benak saya saat itu adalah membandingkan dengan yang saya alami dan yang terjadi di lingkungan saya. Saya tersentak ketika ia melanjutkan lagi…

 “Ini hari ibu. Sepertinya saat baik untuk merenungkan keberadaan kita di bidang akademik dan pendidikan”. Saya melihat kalender meja di dekat laptop. Ah iya, tanggal 22 Desember. Bagi saya ini sebuah kebetulan saja. Yang lebih penting bagi saya adalah pada hari ini terjadi sebuah momen percakapan yang fruitful, bermanfaat dan membelajarkan.

 “….Saya berjuang untuk semua yang saya katakan tadi, walaupun juga ada rongrongan-rongrongan pragmatis…. Tetapi kalau saya masih menjadi leader dalam tugas ini, saya percaya Tuhan tetap memberikan kekuatan bagi saya untuk istiqomah. Jadi akhirnya kita akan dibiarkan untuk memegang prinsip dan memertahankan idealisme yang kita miliki,” lanjutnya lagi.

 Maka saya pun memotong, “Saya sangat berterima kasih karena diberi kesempatan untuk belajar banyak dari proses dan tugas saya menjadi reviewer.”

 Belum sempat saya melanjutkan lagi, ia mengatakan, “Sama-sama, sahabatku. Saya mewakili tim kami, yang harus menyampaikan banyak terima kasih, dan permohonan maaf karena tidak bisa memberikan apresiasi yang layak. Di dalam sistem, kami telah mengikrarkan untuk free of charge, jadi tidak ada dana untuk pengelolaan jurnal ini. Hanya Allah yang membalas amal solehmu, sahabat. Berapa waktu dan pikiran yang dimanfaatkan untuk me-review itu tak ternilai harganya… Mohon maaf, yang kami bisa lakukan hanya menyampaikan SK Rektor dan sertifikat sebagai reviewer. Matur nuwun, sahabat, atas ketulusan dan komitmennya. Iringan doa kami kirimkan, agar engkau tetap sehat, bahagia, dan sukses dunia akherat. Aamiin.”

 Maka saya pun mengucapkan ini, “To me, this is something that makes me proud and feel contented. Sesuatu yang lebih tinggi nilainya secara intangible. Semua itu menjadi urusan Allah, karena saya yakin Tuhan tidak pernah lalai terhadap makhluk yang diciptakan-Nya. Doa yang sama saya kirimkan untukmu.”

 Matahari pun semakin tinggi hari itu. Saya seperti berada dalam dunia yang baru, meski dengan matahari yang tetap sama……. Bagi saya, apa yang saya lakukan selama beberapa tahun terakhir ini pada jurnal yang dikelola oleh kolega dan sahabat saya itu adalah sebuah pengalaman dan contoh nyata berada dalam lingkungan budaya ilmiah yang terpelihara. Tiba-tiba saya ragu, dapatkah ini saya ceritakan dan lakukan dalam sebuah lingkungan yang sarat dengan muatan pragmatis dan politis? Keraguan ini kembali menggedor-gedor pintu hati saya pada malam yang semakin tua, malam setelah saya menerima tugas yang sama dalam bentuk SK yang berbeda!

  

Yogyakarta, 8 Maret 2021.