--Rin Surtantini
Pembelajaran
secara online dipahami sebagai sebuah
proses belajar yang dijalani oleh seseorang sesuai dengan waktu yang
dimilikinya dan dari lokasi tempatnya berada. Kelas yang diikuti bukan kelas
yang secara fisik ada, karena pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka langsung
atau secara fisik. Pada moda pembelajaran online
terdapat fleksibilitas, sehingga seseorang dapat belajar tentang sesuatu sesuai
dengan kebutuhannya, kapanpun dan dari manapun ia berada dengan menggunakan jaringan
internet.
***
Seminggu
setelah mendaftar pada sebuah program tim seleksi yang ditawarkan oleh
Kemendikud, saya menerima undangan untuk mengikuti pelatihan. Pelatihan ini merupakan
bagian dari program tim seleksi nasional, yang mensyaratkan bahwa seorang
asesor dalam tim seleksi harus dinyatakan “certified” atau disertifikasi.
“Certified” ini diberikan apabila calon tim seleksi mengikuti pelatihan secara
penuh, sehingga selama proses pelatihan, peserta diharapkan dapat mencapai
penguasaan kompetensi-kompetensi sebagai tim seleksi sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh lembaga penyedia pelatihan dan Kemendikbud.
Kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai tersebut dilatihkan kepada peserta
pelatihan melalui konsep-konsep seleksi dan skills
practice untuk setiap kompetensi.
Tulisan ini
merupakan refleksi yang berupa catatan pengalaman belajar saya melalui
pelatihan online yang saya ikuti
selama lima hari pada minggu lalu melalui aplikasi Zoom.
***
Asumsi
personal terhadap pembelajaran “online”
Tiga hari sebelum pelaksanaan pelatihan “Targeted
Selection Interview” –demikian judul pelatihan yang saya ikuti ini— semua
peserta mengikuti briefing yang
diadakan oleh Kemendikbud bekerjasama dengan sebuah lembaga profesional pada
bidang pengembangan sumber daya manusia yang akan menjadi pelaksana pelatihan.
Lembaga pelaksana pelatihan ini merupakan perwakilan resmi dari pusatnya yang
berada di Amerika Serikat. Artinya, materi pelatihan dan standar-standar yang ditetapkan
pada pelatihan ini memiliki copyright
sebagai properti intelektual.
Dalam briefing
diberikan gambaran awal bahwa pelatihan ini akan dilakukan secara online sinkronous (full video conference) menggunakan aplikasi Zoom (yang tentu versi
berbayar), non-stop selama lima hari dari pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul
14, atau pukul 15, 16, dan pukul 18 pada hari terakhir. Apa yang harus
disiapkan oleh peserta? Tentu saja jaringan internet yang stabil dan kuota
internet yang cukup setiap hari selama mengikuti pelatihan, perangkat laptop
yang memadai, tidak adanya gangguan atau hambatan yang dapat membuyarkan
konsentrasi, mental dan fisik yang tangguh, ketahanan dalam menggunakan headset sepanjang mengikuti pelatihan
dengan video yang harus on terus, tidak melakukan multi-tasks atau banyak pekerjaan lain di luar pelatihan, serta amunisi
berupa makanan, makan siang, dan minuman yang cukup dan siap tersedia di dekat
peserta agar tetap fit dan ada ketika dibutuhkan.
Semua yang harus disiapkan ini menimbulkan kecemasan
tersendiri yang muncul karena asumsi-asumsi berdasarkan pengalaman, seperti
misalnya: jaringan internet melalui wifi sewaktu-waktu tidak stabil, dan akan
sangat merepotkan jika listrik juga tiba-tiba mati; atau ada kejadian-kejadian
yang tiba-tiba mengganggu konsentrasi; atau kondisi mental dan tubuh yang
kadang tidak fit; atau telinga yang akan sakit jika menggunakan headset terus menerus; atau gerakan dan
sikap tubuh yang harus selalu ditata karena master
trainer (pelatih) dan peserta lain akan bisa mengawasi atau melihat semua
gerak-gerik melalui video yang harus dihidupkan terus; adanya pekerjaan lain di
luar pelatihan yang harus diselesaikan dan tidak bisa dihindari; pelatihan ini
akan sangat melelahkan dengan tugas-tugas (LK yang banyak) sesuai dengan
kebutuhan pengajar (bukan kebutuhan peserta), sehingga ilmu, pengetahuan, atau
keterampilan yang diperoleh tidak jelas; dan sebagainya.
Stereotip
yang gugur
Semua asumsi berdasarkan stereotip di atas karena beberapa
pengalaman masa lalu memenuhi pikiran dan perasaan saya, sebelum akhirnya gugur
ketika hari pelatihan itu datang, dan berjalan selama lima hari. Apa yang saya
rasakan dan alami? Model pembelajaran yang dilakukan mengingatkan saya akan
pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti di luar negeri, di negara-negara maju,
atau ketika di dalam negeri dengan pengajar atau pelatih yang berasal dari
negara-negara maju tersebut. Catatan hasil refleksi berikut ini menggugurkan
asumsi-asumsi personal berdasarkan stereotip yang terbangun dalam pikiran dan
perasaan saya sebelumnya.
1. Pelatihan
berbasis kompetensi
Target
kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta jelas dan terukur, sehingga
kompetensi-kompetensi itulah yang dikenalkan dan dilatihkan melalui
konsep-konsep pada sesi pemberian materi, dan dipraktikkan melalui skills practice selama pelatihan
berlangsung. Pelatihan fokus pada apa yang peserta harus dapat tunjukkan dan
lakukan melalui skills practice pada
situasi tertentu (what an individual can
really do in a given situation) untuk kompetensi-kompetensi yang harus
dicapai. Ketercapaian kompetensi-kompetensi ini dilihat melalui evidence atau bukti-bukti, sehingga
seseorang dinyatakan “certified” apabila ia memenuhi pencapaian penguasaan
kompetensi-kompetensi tersebut. Seseorang juga dapat diberikan status
“deferred” atau sertifikasinya ditunda karena harus mengulang, menambah jam
pelatihannya, atau mengikuti lagi pelatihan untuk mencapai status “certified”.
Seseorang juga dapat berstatus “not certified” apabila tidak memenuhi
pencapaian kompetensi yang distandarkan. Semua evidence ini diperoleh dari unjuk kerja peserta pada skills practice yang dicatat secara
cermat melalui observasi, dan diberikan sebagai laporan kepada peserta setelah
pelatihan berakhir.
2. Penilaian
berdasarkan kriteria (criterion-referenced assessment)
Penilaian
dilakukan selama proses berlangsung, terutama pada saat peserta melakukan skills practice secara kelompok. Karena
tujuan dari praktik keterampilan ini adalah untuk menerapkan konsep dan
pengetahuan yang telah diberikan, peserta tidak menyadari bahwa pada saat itu
penilaian per-individu sesungguhnya dilakukan oleh co-trainer. Berbeda dengan penilaian berdasarkan norma
(“norm-referenced assessment”), pelatihan ini menerapkan penilaian berdasarkan
kriteria (“criterion-referenced assessment”), yang tidak membandingkan
pencapaian atau skor satu peserta dengan peserta lain, tapi melihat bagaimana
pencapaian individu terhadap semua kompetensi yang harus dikuasainya. Jadi setiap individu tidak bersaing terhadap
individu lainnya, melainkan berupaya bagaimana dirinya sendiri dapat mencapai
target kompetensi yang ditetapkan sebagai tim seleksi. Maka, hal ini sesuai
dengan prinsip-prinsip dari pelatihan berbasis kompetensi yang pernah saya
pelajari dan alami ketika berkesempatan belajar mengenai technical and vocational education selama setahun di negeri kanguru
beberapa puluh tahun silam.
3. Belajar
dalam kelas kecil
Kelebihan yang
dialami dengan kelas yang kecil adalah terpeliharanya perhatian yang intense
dari master trainer (pelatih utama)
terhadap pesertanya. Master trainer
pada satu jam pertama pada hari pertama sudah hapal dengan nama-nama peserta
(meskipun ini juga terbantu oleh nama yang tertulis pada setiap layar video
peserta). Jadi nama pada layar video peserta itu sebenarnya name tag pada kelas virtual.
Kelas kecil
juga memberi kemudahan pada pelatih dalam mengelola kelas. Fokus tercipta. Hanya
ada 12 (duabelas) peserta pada setiap kelas pada ruang Zoom itu, yang diampu
oleh seorang master trainer dan
dibantu oleh empat co-trainers, dan
seorang staf yang menangani administrasi virtual serta masalah teknis pada
bidang IT. Masing-masing bertanggung jawab sesuai dengan tugasnya dan
melakukannya secara profesional, penuh perhatian, dan dengan keramahan, senang
hati, sehingga semua kebutuhan dan permasalahan peserta terpenuhi dan dapat
dikelola dengan cermat dan cepat.
Belajar dalam
kelas kecil ini juga membuat terciptanya suasana hangat, akrab, dan nyaman
antarpeserta dan pelatih serta staf yang terlibat, meskipun pertemuan secara
fisik tidak terjadi. Ini artinya, suasana kelas fisik dapat diciptakan pada
kelas virtual. Dengan suasana seperti ini, belajar dan berbagi di kelas virtual
seperti pada kelas fisik pun menjadi menyenangkan. Peserta dalam satu kelas
terdiri dari enam orang widyaiswara dari tiga PPPPTK yang berbeda, dan enam
orang guru yang berasal dan mengajar di sekolah-sekolah internasional di
beberapa kota, yang merupakan sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan JIS
(Jakarta Intercultural School). Kombinasi peserta dalam kelas kecil seperti ini
memungkinkan terjadinya saling belajar atas dasar perbedaan pengalaman dan
tugas masing-masing.
4. Adopsi
kelas fisik ke dalam kelas virtual yang well-prepared
Aplikasi Zoom
yang digunakan sepanjang hari dari pagi sampai sore selama lima hari melalui video conference adalah ibarat sebuah
upaya mengadopsi kelas fisik tatap muka langsung ke dalam kelas virtual. Itulah
sebabnya, saya menduga, mengapa pelatihan ini tidak menggunakan atau
memanfaatkan LMS (Learning Management
System), seperti misalnya Google Classroom, Moodle, ATutor, Schoology,
Edmodo, dan sebagainya. Meskipun ada
keterbatasan di mana kelas virtual tidak dapat menyerupai persis seperti kelas
fisik, pelatihan yang saya ikuti ini mencoba untuk menciptakan beberapa
kegiatan seperti terjadi dalam kelas fisik.
Ketika master trainer memberikan materi berupa
konsep dan contoh-contoh penerapannya, keduabelas peserta berada bersama di main room dari Zoom. Ketika peserta
berlatih mempraktikkan kompetensi-kompetensinya, mereka akan dipecah menjadi
grup-grup yang lebih kecil, terdiri dari tiga orang per-grup, dengan seorang co-trainer untuk setiap grup kecil ini,
yang akan menjadi pembimbing dan sekaligus pengamat bagi setiap individu. Empat
grup kecil ini dikirim dan bergabung ke breakout
room masing-masing yang berbeda. Praktik, diskusi, argumentasi yang lebih
intensif terjadi di sini pada waktu yang ditentukan secara ketat, sebelum
akhirnya semua kembali lagi ke main room
untuk melaporkan dan membahas hasil praktik dan diskusi kelompok. Grouping semacam ini akan selalu berubah
anggotanya, sehingga peserta berkesempatan untuk saling bertemu, mengenal, dan
bekerja dengan peserta lain yang berbeda.
Agar apa yang
dilakukan dalam kelas fisik juga teradopsi di kelas virtual ini, setiap peserta
harus paham dan menggunakan fitur-fitur, atau fasilitas dan fungsi dari Zoom,
misalnya ketika ia ingin bertanya atau mengemukakan pendapat, ketika ia harus
pindah ke breakout room, ketika
menggunakan papan tulis sewaktu mencatat hasil diskusi, ketika memberikan
respon, ketika ijin keluar dalam beberapa menit, dan sebagainya, yang
sebetulnya mudah untuk dilakukan, hanya perlu pembiasaan saja.
Sebagaimana
halnya dengan kelas fisik, master trainer
menggunakan bahan tayang atau resource
book yang dibagi di layar pada saat menjelaskan. Dua hari sebelum
pelatihan, peserta juga sudah mendapatkan resource
book dan practice book dalam
bentuk elektronik. Semua peserta atas
inisiatif sendiri mencetak kedua buku tersebut untuk memudahkan dalam membaca
dibandingkan membuka dalam bentuk e-book.
Semua materi, baik konsep maupun praktik disampaikan oleh master trainer dengan sangat efektif,
detil, dan jelas, meskipun padat. Efektivitas penyampaian materi yang padat
sangat terbantu dengan pemutaran video yang memang dirancang untuk tatap muka
virtual, bukan untuk ditonton secara mandiri oleh peserta. Video itu
menayangkan bagaimana keterampilan dan kompetensi tertentu dinilai secara detil
melalui pemeranan aktual dari tim seleksi dan pelamar dalam sebuah seleksi. Pada
setiap bagian video sudah dirancang kapan master
trainer menghentikan video, dan menggunakan waktu untuk mendiskusikannya
dengan peserta.
Pada setiap
pagi di awal sesi, master trainer selalu
membawa peserta untuk memecah kebekuan atau mengawali hari dengan semangat yang
terpelihara, sebagaimana terjadi di kelas-kelas fisik. Contoh yang dilakukan
adalah, setiap peserta secara bergiliran mengatakan pengalaman apa yang pernah
dilakukannya yang mirip dengan tugas sebagai tim seleksi, setiap peserta
diminta untuk menyebutkan perasaannya pada pagi itu, setiap peserta
menceritakan secara singkat apa yang membuatnya merasa berhasil pada pagi hari
itu, atau setiap peserta diminta untuk mengatakan apa kekuatan atau kelebihan
yang dimilikinya yang membuatnya layak menjadi tim seleksi.
Demikian juga
pada akhir kelas, master trainer meminta
setiap peserta misalnya menyebutkan kesannya dalam satu kata tentang pelatihan
pada hari itu, atau seperti layaknya orang beli makan di restoran, maka apa take-away pengalaman yang bisa dibawa
oleh peserta pada sore itu, atau peserta menyebutkan tiga kata yang mewakili
gambaran mengenai pelatihan pada hari itu. Peserta serius mengikuti, tetapi
tetap bisa relaks dan tidak tegang.
Terlihat juga bahwa pengajar atau pelatih memiliki tanggung jawab besar
dan berkomitmen untuk dapat membuat setiap pesertanya paham dan dapat menguasai
kompetensi yang ditetapkan.
5. Properti
intelektual dan profesionalisme
Copyright sebagai properti intelektual pada resource book dan practice
book menjadi hal yang harus dihormati. Sejak briefing sampai selama pelatihan, peserta diingatkan untuk hal ini,
artinya semua itu hanya digunakan untuk personal
use peserta yang mengikuti pelatihan. Poin atau nilai-nilai penting yang diajarkan
secara tidak langsung kepada peserta adalah bahwa siapapun dalam bidang
akademis harus melakukan kegiatan akademisnya secara jujur, dan dapat dipertanggung
jawabkan secara pribadi. Seseorang yang ingin berada pada level sukses harus
mencapainya dengan cara-cara yang benar, bukan cara-cara short cut yang palsu, misalnya praktik-praktik mendapatkan bocoran
soal untuk tujuan lulus suatu tes, atau untuk tujuan menjadi the best, mengalahkan yang lain dengan
cara-cara yang tidak jujur.
Yang
seyogyanya menjadi kepedulian peserta ketika mengikuti pelatihan adalah ilmu,
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai (values)
apa yang diperolehnya dari pelatihan tersebut, yang dapat diterapkannya
pada tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga ketika ia dinyatakan
“certified”, ia memang memenuhi kompetensi yang menjadi target dari pelatihan
tersebut. Ketika target kompetensi pelatihan dirumuskan dengan jelas, disiapkan
dengan baik secara konten maupun teknis, dan dilatihkan secara profesional oleh
pengajar atau pelatihnya, serta dijalani oleh pesertanya dengan penuh komitmen,
maka sudah selayaknya jika dikatakan pelatihan itu memiliki nilai-nilai positif
yang berarti.
6. Komunikasi
dan pola pembelajaran yang membangun hubungan dan iklim kelas
Tanpa disadari
dan tanpa terasa, lima hari berlalu, dilewati. Konsentrasi dan fokus peserta
terbangun, semua permasalahan teknis yang dialami peserta selalu dengan sigap
dapat dibantu diatasi oleh staf administrasi yang merangkap IT, semangat
peserta terjaga, esensi pelatihan tersampaikan … yes, I’ve got the points! Tidak ada beban LK-LK yang berjubel, monoton,
membosankan, dikerjakan secara lembur, ditagih-tagih sebagai syarat penilaian
dan kelulusan, dikerjakan secara copy-paste,
dikerjakan dengan berat hati tanpa tahu esensi dan kontennya, dilakukan
peserta untuk mengurangi beban pengajar dan bukan untuk memenuhi kebutuhan
peserta. Tidak pula ada pre-post test yang
item tesnya tidak semuanya dibuat untuk mengukur ketercapaian kompetensi
peserta.
Lima hari pun
menjadi waktu yang singkat tetapi full of
essence and values. Kemampuan pengajar dalam strategi berkomunikasi dengan
peserta menjadi salah satu aspek penting yang mendukung iklim kelas yang
positif. Dalam pelatihan kelas virtual full
video conference ini, kondisi iklim kelas positif ini terjadi dan terjaga. Seorang pengajar yang terpanggil, seyogyanya selalu
bertanya kepada dirinya melalui refleksi, “Apakah saya telah memberikan sesuatu
yang meaningful kepada peserta
pelatihan?” “Apakah mereka memeroleh
sesuatu dari saya?” “Apakah mereka
memeroleh yang mereka butuhkan?” dan berbagai pertanyaan serupa yang akan terus
membelajarkannya.
***
Ketika
pelatihan ini berakhir, satu persatu peserta dipanggil oleh master trainer ke breakout room, untuk memeroleh feedback
dari master trainer dan co-trainer berupa area kekuatan yang
dimiliki individu serta area pengembangan yang masih perlu diperbaiki atau
ditingkatkan. Feedback lisan ini
dikrimkan juga ke setiap email individu dalam bentuk laporan tertulis. Bagi
saya, ini sebuah pengalaman mengikuti pelatihan secara online dengan full video
conference, yang mengungkap sisi lain bahwa pelatihan online semacam ini meski tidak terdapat fleksibilitas dalam jadwal
atau waktu pelaksanaannya, dapat tetap memberikan rasa senang, termotivasi, nyaman,
dan fulfilled bagi pesertanya. Ini dapat tercapai jika terdapat atau
dipenuhinya semua aspek yang menggugurkan asumsi-asumsi awal yang diuraikan di
atas.
Yogyakarta,
7 Juli 2020.