Thursday, December 31, 2020

Dan Desember pun Kembali Datang

 ---Rin Surtantini




Desember datang. Seperti Desember-Desember lain sebelumnya, hujan mulai rajin menyirami bumi, meski dengan frekuensi yang masih belum teratur. Masih seperti biasanya pula, harapan-harapan manusia akan datangnya pergantian tahun yang lebih baik mulai bermunculan di berbagai media sosial dalam berbagai ungkapannya. Sama seperti yang selalu terjadi pada setiap Desember pula, retorika tentang pentingnya refleksi diri mulai banyak ditampilkan para warganet.

Desember seperti sebuah pintu rumah yang segera ditutup setelah selalu terbuka sepanjang tahun. Desember serupa bab terakhir dari sebuah buku yang selesai dibaca. Desember seakan stasiun terakhir yang menunggu kereta api datang dan berhenti. Desember seolah ujian terbuka pada puncak studi seorang mahasiswa S3. Desember bagaikan ombak membuih yang bergerak melepas gelombang air laut di pantai yang menantinya.

 Metafora Desember itu menarik untuk disimak. Jika ia pintu rumah, maka tutuplah karena malam telah tiba. Jika ia sebuah buku, maka berhentilah membaca karena semua bab sudah habis terbaca. Jika ia stasiun, maka turunlah karena kereta telah berhenti. Jika ia ujian terbuka, maka terimalah ijazah karena telah dinyatakan lulus. Jika ia ombak, maka rasakan pecahan deburnya di pantai.

 Desember memang telah datang, sesuai pakem yang ada pada kalender yang digantung di dinding, atau yang diletakkan di atas meja kerja. Hujan memang telah turun pula pada bulan Desember, dan ada kalanya gugurannya begitu memutihkan bumi.  Ia menyaput semua debu yang menempel di daun dan pohon, mengalirkan sampah-sampah di jalan, menjernihkan udara yang penuh asap dan polusi. Tetapi, benarkah sesungguhnya ungkapan yang manis ini, “Let the rain wash away all the pain of yesterday…” (Biarkan hujan menghapus semua kedukaan kemarin) dapat tercipta dengan mudah dalam mental dan hati atau perasaan seseorang? Mungkin jawabnya adalah, “Time will heal…” (Waktulah yang akan menyembuhkan).

 Ya, kunci dari “the rain washes away all the pain of yesterday” adalah waktu. Seberapa lamakah, tergantung kepada bagaimana seorang individu mengelolanya. Dan bagaimanakah, tergantung kepada cara individu itu merespon “the pain of yesterday”. Belum lagi jika itu merupakan “the pain(s)” (kedukaan yang banyak), tentu pengelolaannya akan tergantung kepada mana yang paling membuncahkan pikiran seorang manusia yang mengalaminya.

Dan pada Desember tahun ini, seorang Tan mengalami “the pain(s) of yesterday”. Sesungguhnya kebuncahan pikirannya tentang ini sudah terjadi sejak Januari pada awal tahun ini, tetapi ia masih merawat harapannya, karena bukankah pintu tahun 2020 baru saja dibuka. Jadi pikirnya, biarkanlah pintu terus terbuka sepanjang tahun sebelum ia mungkin akhirnya memadamkan harapan-harapan itu. Tak dinyana, pandemi Covid-19 menghampiri bumi Indonesia pada bulan kedua-ketiga tahun ini. Tan tetap memelihara harapan-harapan yang dibangunnya sendiri dengan banyaknya tantangan baru yang harus dihadapi. Kegagapan teknologi yang harus diatasi, pemeliharaan semangat kerja dengan tetap produktif di rumah, pemaknaan ulang terhadap integritas sebagai seorang karyawan yang harus bekerja dari dan tinggal di rumah, penumbuhan akan rasa empati, atau “compassion” terhadap mereka yang kurang beruntung, kepatuhan terhadap prinsip keselamatan diri sendiri, lingkungan, sesama, melalui protokol kesehatan yang disarankan, dan masih banyak lagi.

 Tan menjalani itu semua dengan caranya sendiri sampai tak terasa Desember pun akhirnya tiba, merangkak menuju hari terakhir. Akan tetapi, ia tak bisa menghindar dari kebuncahan ini: mengapa “the pains of yesterday” tidak sama dengan daun dan pohon yang bersih dari debu, sampah-sampah yang mengalir, udara yang segar dan jernih karena guyuran hujan yang deras? Mengapa justru setiap saat hujan turun dan bumi basah olehnya, hati Tan semakin dirundung kepedihan, kegelisahan, keprihatinan, dan kekuatiran?

 Tan mengenang kembali, sebulan yang lalu jantungnya berdegup dan pedih ketika mendengar berita kepergian seorang rekan kerja seprofesinya yang jauh lebih muda darinya, terdeteksi terinfeksi virus yang bekerja dalam senyap itu. Tan mengingat kembali, dengan keyakinan bahwa Covid-19 ada di mana-mana, di kantor, di kendaraan umum, di hotel, di tempat wisata, di keramaian, bahkan di rumah sendiri, maka kesadaran untuk berhati-hati, menjaga diri sendiri , keluarga, dan orang lain, menjadi alangkah pentingnya untuk diterapkan! Tan memikirkan, bahwa keputusannya untuk tidak mengikuti sebuah kegiatan di lingkungan tempat kerjanya yang berpotensi menciptakan mata rantai-mata rantai yang bersambung, adalah sebuah keputusan personal yang selayaknya dihormati, bukan dipertentangkan atau dinilai sebagai wujud disintegritas seorang karyawan, atau dipertanggung jawabkan sebagai sikap atau perilaku yang melanggar komitmen sebagai seorang karyawan. Tan berkata pada diri sendiri, ia tak boleh terlalu percaya diri, apalagi jemawa, merasa pasti akan dapat terhindar dari sapaan virus ini terhadap dirinya, terhadap orang-orang yang dikenalnya.

 Tan membaca situasi, Covid-19 semakin nyata ada di mana-mana, dan semakin dekat dengan dirinya, apalagi ketika rekan-rekan kerjanya mulai ada yang terinfeksi, sehingga tracing menjadi semakin meluas. Kenyataan ini sekaligus juga menimbulkan “paranoid” terhadap diri sendiri dan terhadap rekan-rekan kerja yang dianggap telah berkontak langsung dengan rekan kerja lain yang terpapar. Tan hanya bisa sedih memikirkan, bagaimana seorang rekan kerja yang selama ini memiliki integritas, juga terdampak dengan pembentukan mata rantai virus ini. Ia tak dapat berbuat atau membantu apa-apa, kecuali mengirimkan doa akan kesembuhannya, dan agar anggota keluarganya dapat terlindungi, yaitu ibu yang tinggal bersamanya yang tentu tidak lagi muda, anak yang masih belia, dan istri yang setiap hari bersama dalam masa isolasi mandirinya. Tan berharap, “compassion” terhadap dampak-dampak dari pembentukan mata rantai virus ini tumbuh sebagai social awareness di kalangan manusia.

 Tan mengenang, bahwa angka-angka pencapaian yang diklaim sebagai keberhasilan yang bersifat administratif dan kuantitatif sering tidak seirama dengan kondisi-kondisi yang bersifat kualitatif. Tan menyaksikan, perayaan dan perhelatan terhadap perubahan yang bersifat kuantitatif sangat mewarnai kehidupan lingkungannya, dan bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia pun harus sependapat bahwa perayaan menjadi sebuah kewajiban dan satu-satunya bentuk integritas jika ia adalah seorang karyawan di sebuah institusi? Tan berdiskusi dengan hatinya sendiri mengenai berbagai kebuncahan yang menyergapnya (dalam kesendirian). Tan membuat catatan-catatan itu dalam folder pribadinya, menyimpannya sendiri, dan membacanya sendiri juga sambil mendengarkan guguran air hujan yang semakin deras pada suatu malam di akhir Desember ini.

 Begitulah. Ia hanya seorang Tan. Ia hanya bisa menciptakan metafora tentang Desember dalam pikirannya sendiri. Jika pintu rumah memang harus ditutup karena malam telah tiba, bukankah esok pintu itu harus dibuka kembali dengan berharap ada perubahan dari gelap menjadi benderang? Jika sebuah buku selesai dibaca sampai bab terakhir, apa pelajaran yang diperoleh darinya? Jika kereta api telah berhenti pada stasiun terakhir, apa selanjutnya yang akan dilakukan penumpang begitu turun dari kereta? Jika ujian terbuka selesai dilalui, apakah ijazah dan gelar akademik hanya akan menjadi sebuah dokumen yang tersimpan rapi dalam map khusus? Jika ombak lepas di pantai, bukankah ia akan kembali lagi ke laut lepas untuk membentuk gelombang berikutnya?

 

 Yogyakarta, 31 Desember 2020.


Sunday, August 2, 2020

WfH Series: PERUBAHAN


---Purwadi



Ketika saya masih PTP, pernah ditugaskan untuk menjadi pengajar K13, padahal kami (PTP) belum pernah mendapatkan pembekalan mengajar K13. Oleh koordinator PTP kami mengadakan pembekalan mandiri, dan yang menjadi pengajar yaitu Pak Gede Oka Subagya, dan Pak Totok Sugiarto. Dari keduanya kami mendapatkan teknik untuk mengajarkan K13, baik cara membuka kelas, cara menyampaikan materinya, cara memberikan tugas, cara-cara membuat kelompok, cara-cara permainan, dan lain sebagainya. Banyak sekali ilmu cara mengajar yang kami dapatkan dari beliau berdua. Pokoknya sangat berkesan dan bermanfaat sekali bagi kami, yang belum pernah mengajar. Dengan apa yang disampaikan Pak Gede dan Pak Totok, saya catat urutan-urutannya sebagai modal untuk tugas yang akan kami laksanakan.

Silahkan bapak ibu menyiapkan selembar kertas dan bolpoint. Kalau sudah, silahkan membuat lima tanda tangan. Nanti saya akan menebak karakter sifat-sifat dari bapak Ibu. Kemudian semua mengerjakan sesuai dengan instruksi Pak Totok waktu itu. Setelah semua selesai membuat lima tanda tangan, kemudian Pak Totok menginstruksikan kembali. Sekarang, silahkan bapak ibu membuat lima tanda tangan lagi, tetapi dengan menggunakan tangan kiri, atau tangan yang berbeda dari sebelumnya. Kelas jadi ramai, gemuruh, riuh. Namun semua mengerjakan apa yang disampaikan Pak Totok. Pak Totok melihat hasilnya satu persatu. Bagus….. kata Pak Totok.

Setelah meneliti hasil tanda tangan yang kami kerjakan, Pak Totok menuju ke papan tulis. Apa komentar dan kesan bapak ibu, setelah membuat tanda tangan dengan tangan kiri. Silahkan beri komentar, akan saya tuliskan di papan tulis ini. Kemudian pesertapun tunjuk jari dan berkomentar, Pak Totok menulis di papan tulis:

1. Kaku

2. Sulit

3. Susah

4. Pegel

5. Hasil jelek

6. Tidak memuaskan

7. Nyerah pak

8. Tidak seperti yang diharapkan

9. Parah pak

10. Hasil berbeda pak

Setelah menulis komentar peserta di papan Tulis, Pak Totok menjelaskan. Bapak ibu, mari kita lihat satu persatu komentar bapak ibu yang sudah saya tulis ini. Nomer 1 kaku, ini negatif atau positif? Negatif Pak, semua perserta menjawab. Kemudian nomor 2? Negatif pak. Dan ternyata Bapak Ibu, dari nomor satu sampai nomor sepuluh semua komen dan kesannya adalah Negatif, tidak ada yang komen positif. Inilah yang dirasakan oleh bapak ibu. Betul? Betul Pak, semua menjawab.

Bapak Ibu…. Pak Totok melanjutkan… biasanya bapak ibu menulis dengan tangan kanan, dan kemudian ganti menulis dengan tangan kiri, ternyata yang dirasakan oleh bapak ibu adalah hal-hal yang negatif. Ini biasa terjadi apabila ada suatu perubahan. Apapun itu perubahan, biasanya komentarnya negatif, apakah itu ada perubahan menteri, perubahan kebijakan, perubahan adat-istiadat, perubahan kurikulum, dan perubahan-perubahan lainnya. biasanya orang selalu berprasangka buruk. Mengapa tadi tidak ada yang berkomentar positif, misalnya sangat tertantang pak, berusaha lebih bagus pak. Itu bukti bahwa setiap ada perubahan, biasanya kita berprasangka buruk. Oleh karena itu Bapak Ibu, janganlah kita berprasangka buruk dahulu jika ada suatu perubahan, sebelum kita mengetahui maksud dari perubahan itu. Apapun perubahan itu, kita cari segi positifnya. Pasti ada.

Itulah kenanganku belajar dengan Pak Totok dan Pak Gede. Dan setiap saya ditugaskan untuk mengajar K13 dulu, selalu saya sampaikan kepada peserta tentang membuat tanda tangan dengan tangan kanan dan tangan kiri, dan hasilnya sama, komentarnya banyak yang negatif. Saat itu baru terjadi perubahan kurikulum menjadi Kurikulum 13.

Kita, kantor kita telah terjadi berubahan, perubahan nama dari PPPPTK-SB menjadi BBPPMPV-SB, apakah kita akan berprasangka buruk, atau berprasangka positif?



Pokoh,

Sabtu, 1 Agustus 2020


Monday, July 27, 2020

WfH Series: EKSTRA KURIKULER YANG TERCECER, Sharing Pengalaman Pendampingan Anak Belajar di Rumah



Drs. F. Dhanang Guritno, M.Sn

Pada masa pandemi akibat mewabahnya virus corona ini dalam berbagai bidang mengalami kendala dalam melaksanakan kegiatannya disebabkan adanya protokol kesehatan yang harus diikuti berkaitan dengan social distancing.  Hal itu terjadi juga pada dunia pendidikan atau anak sekolah. Ketika semua kegiatan mengumpulkan orang harus dihentikan termasuk anak sekolah, praktis tidak ada kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan dengan cara tatap muka.  Semua sekolah melaksanakan pembelajaran dengan moda daring atau pembelajaran jarak jauh secara online. Disadari atau tidak sebenarnya moda ini hanya cocok digunakan untuk pembelajaran yang sifatnya teori. Namun hanya dengan cara inilah yang bisa ditempuh oleh sekolah dalam melaksanakan proses belajar mengajar.

Sebagai orang tua yang mempunyai anak belajar di SMA dan Perguruan Tinggi, saya menyaksikan juga bagaimana anak-anak dan satu orang keponakan yang ikut tinggal di rumah selama pandemi berlangsung melaksanakan kewajibannya sekolah dengan mengikuti pembelajaran jarak jauh. Mereka tiap hari bergelut dengan laptop masing-masing menyimak seluruh instruksi dan petunjuk gurunya melalui aplikasi yang dipakai. Mereka memakai  Zoom cloud meeting, atau aplilkasi yang sejenis. Beruntung keluarga kami dari sebelum pandemi memang sudah berlangganan jaringan wifi dari salah satu perusahaan penyedia jaringan milik pemerintah. Sejauh ini koneksinya aman-aman saja. Namun di luar itu kami sering mendengar cerita dari keluarga-keluarga yang tidak mempunyai akses wifi,  ternyata para orang tua mengeluh betapa besarnya pengeluaran ekstra untuk membeli kuota data agar anaknya bisa ikut mengikuti pelajaran. Belum lagi terbatasnya sarana yang dimiliki oleh keluarga tersebut belum tentu setiap anak mempunyai gadget sendiri.

Diskusi dan perbincangan mengenai sekolah pada masa pandemi yang dilakukan di media-media cetak maupun elektronik selalu mengatakan tidak bisa sekolah dituntut melaksanakan kurikulum secara ideal seperti kondisi normal pada masa pandemi. Sekolah menyelenggarakan proses belajar jarak jauh memang  tidak akan dituntut melaksanakan pembelajaran secara ideal sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Para pakar mengatakan idealnya ada kurukulum yang sifatnya darurat yang berbeda dengan pada kondisi normal.

Terlepas dari itu semua, ada satu hal yang menggelitik pikiran saya setidaknya pada kegiatan pembelajaran sekolah anak-anak saya. Mungkin sekolah yang lain terjadi juga. Dari semua pembelajaran yang dilaksanakan bisa saya pastikan semua adalah pelajaran intrakurikuler yang diusahakan semaksimal mungkin supaya berjalan dengan sebaik-baiknya. Tiap hari anak dihadapkan pada jadwal pelajaran seperti ketika mereka sekolah secara offline.

Pertanyaan yang timbul pada benak saya adalah cukupkah anak-anak sekolah hanya belajar dengan materi-materi pelajaran intrakurikuler? Tidak pentingkah kegiatan ekstrakurikuler bagi perkembangan anak didik? Memang kita sedang dihadapkan pada situasi yang tidak normal, mungkin bagi pihak sekolah berpendapat jangankan ekstrakurilkuler, intrakurikuler saja masih banyak pelajaran yang belum dapat terlaksana dengan baik.


Menurut Permendikbud No. 81A Tahun 2013, salah satu jenis kegiatan ekstrakurikuler adalah latihan/olah bakat/prestasi. Pengembangan bakat olahraga, seni dan budaya, cinta alam, jurnalistik, teater, keagamaan, dan lainnya. Disamping itu masih ada krida (kepramukaan) dan karya ilmiah. Dari berbagai jenis kegiatan ekstrakurikuler itulah saya melihat pada saat pembelajaran jarak jauh atau pandemi ini barangkali sulit dilakukan oleh sekolah.

Melihat kenyataan tersebut saya menyadari penuh bahwa tidak mungkin lagi kita berharap pada sekolah yang saat ini sedang sibuk melakukan pembelajaran jarak jauh akan melaksanakan kegiatan secara utuh baik intra maupun ekstrakurikulernya. Jangankan ekstra yang intra saja barangkali masih harus bekerja keras untuk dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena itu diperlukan peran serta orang tua memikirkan bagaimana menyediakan pengganti kegiatan ekstrakurikuler ini.

Saya berfikir tidak ingin kegiatan ekstra kurikuler anak-anak terhambat, tetap harus ada. Dengan sekuat tenaga dan kemampuan, kami sekeluarga berusaha semaksimal mungkin menyediakan kegiatan setara sebagai pengganti kegiatan ekskul tersebut. Tidak perlu jauh-jauh dari kemampuan yang kita miliki, karena bidang saya musik saya sedikit “memaksa” anak-anak untuk saya ajak latihan bermain ansambel musik sebagai pengganti kegiatan ekskul mereka yang hilang. Secara rutin latihan atau semacam pembelajaran ekskul kami selenggarakan di rumah. Kami sepakat membuat jadwal latihan setiap hari Minggu. Kami tidak punya target yang tinggi, hanya setiap kali latihan kami dokumentasikan dalam bentuk video.

Suasana latihan di rumah

Dengan diadakannya latihan rutin tersebut ternyata berdampak menjadikan anak-anak lebih bersemangat dalam menghadapi rutinitas mereka belajar secara online. Barangkali menjadi semacam variasi mengusir kebosanan yang harus mereka hadapi. Waktu berjalan terus, suatu ketika ada sebuah pengumuman festival keluarga berdendang, yakni semacam lomba membuat video bernyanyi dan bermain musik yang dilakukan oleh keluarga. Karena kami punya dokumentasi video setiap kali latihan, kami bersepakat untuk mengikuti festival tersebut dengan mengambil salah satu video kemudian sedikit diedit dan diikutkan pada festival tersebut. Tanpa diduga video kami masuk sebagai salah satu pememang pada fesival tersebut maka bersukacitalah kami sekeluarga.


Dengan peristiwa kegembiraan itu saya menjadi punya harapan bahwa kegiatan ekstrakurikuler penyalur minat dan bakat siswa yang tercecer alias tidak terpikirkan lagi, ternyata bisa kami sediakan penggantinya. Tugas ini memang menambah beban berat orang tua siswa tetapi jika berbuah manis tidak ada yang berat untuk dilakukan. Mudah-mudah sharing pengalaman ini bisa menjadi inspirasi para pembaca sekalian sesuai dengan bidang kita masing-masing untuk memikirkan pendidikan anak-anak kita menjadi semakin lengkap dan baik meski belum bisa sempurna.



Bantul, 27 Juli 2020

Tuesday, July 21, 2020

WfH Series - Tentang Menulis: Merawat Ingatan



--Rin Surtantini



Sebuah notifikasi yang muncul di akun saya di kompas.id dan adanya pengumuman di harian Kompas cetak cukup menarik: Kompas Institute pada hari Sabtu, 11 Juli 2020, pukul 10 pagi sampai dengan 13 siang akan menyelenggarakan webinar berbayar melalui aplikasi Zoom dengan tema “Merawat Ingatan lewat Cerita”. Judul webinar ini menggerakkan hati saya untuk mendaftar menjadi pesertanya. Bukan karena saya ingin menjadi penulis cerita, tapi ada beberapa alasan mengapa saya tertarik untuk ikut…..

Pertama, karena penyajinya adalah Putu Fajar Arcana, yang tak asing lagi sebagai seorang penyair, penulis cerpen dan novel, wartawan Kompas senior, dan kurator cerpen Kompas. Bli Can, demikian panggilan akrabnya, akan menyajikan materi webinar ini bersama dengan Mohammad Hilmi Faiq, yang juga wartawan Kompas dan kurator cerpen Kompas. Alasan kedua, tema ini merupakan salah satu tema yang dekat dengan salah satu bidang ketertarikan saya, yaitu menulis, bidang sastra, bidang bahasa, dan dengan studi-studi saya selama ini. Ketiga, saya ingin mendapatkan sesuatu dan lain hal dari webinar ini bagi diri saya sendiri, dan yang juga nantinya suatu saat mungkin akan dapat saya manfaatkan atau bagikan kepada orang-orang lain, jika tiba saatnya dan jika diperlukan. Keempat, saya ingin menyaksikan webinar yang memberikan pembelajaran berupa sesuatu yang spesifik yang memang saya perlukan, jadi yang kontennya bukanlah sebagai forum pemberian informasi semacam kebijakan, peraturan-peraturan normatif, atau informasi tentang hal-hal yang sudah umum diketahui saat ini. Lalu, bagaimana dengan alasan berikutnya, alasan kelima, yaitu sertifikat? Itu konsekuensi logis dari mengikuti sebuah seminar. Begitu saja.

Maka, saya pun segera mendaftar. Setelah melakukan transfer investasi, saya segera menerima email yang memberitahukan link Zoom untuk bisa masuk ke acara tersebut pada tanggal mainnya. Melalui tulisan ini, saya titipkan beberapa  catatan yang saya dapatkan dari webinar tersebut tentang kegiatan menulis. Tentu saja menurut pemahaman saya yang sudah saya kembangkan sendiri lagi. Tulisan ini pun saya buat dengan maksud agar ingatan saya tidak tercecer.
***


Merawat ingatan lewat tulisan
Frasa ini menjadi judul dari webinar, yang seperti menitipkan pesan, bahwa tulisan dapat menjadi sarana untuk menyimpan peristiwa, yang dengan demikian membantu memelihara ingatan manusia yang terbatas. Maka dikatakan, rajin-rajinlah “menabung peristiwa” atau melakukan kurasi terhadap peristiwa, sehingga peristiwa-peristiwa itu akan menjadi “tabungan” yang dapat kita buka sewaktu-waktu kita memerlukannya. Ibarat pada masa pandemi ini, banyak dari kita secara finansial terpaksa tidak mendapatkan pemasukan atau tambahan, maka tabungan yang dimiliki, berapapun itu, meski dengan terpaksa, akan menjadi sangat bermanfaat dan bernilai untuk digunakan. Demikian juga dengan “tabungan peristiwa”, yang wujudnya mungkin berupa coretan-coretan, kerangka, mindmap, draft, sketsa, poin-poin, atau hanya sebuah kalimat sebagai judul, semuanya itu adalah tabungan peristiwa, yang dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu diperlukan dalam bentuk tulisan utuh.
Tulisan, dengan begitu, akan menjadi dokumentasi dari berbagai peristiwa, dan ia akan menjadikan ingatan kita terawat. Artinya, ketika tulisan itu dibaca pada suatu masa di depan, ia akan menghidupkan ingatan manusia, bahkan bisa jadi ia akan merawat harapan-harapan manusia dalam kehidupannya ke depan, dalam pengambilan keputusan ke depan yang lebih bijak, dalam belajar dan berkaca dari yang pernah dilakukan atau dialami, dalam bertindak, dan sebagainya.


Menabung peristiwa
Meskipun webinar ini sesungguhnya berfokus pada menulis “cerita”, khususnya “cerita pendek” sebagai bentuk tulisan, bagi saya beberapa prinsip atau nilai-nilai yang dikemukakan di dalamnya dapat dicatat atau diambil sebagai pelajaran atau pengetahuan. Tabungan peristiwa akan berfungsi sebagai sumber ide bagi sebuah tulisan. Peristiwa selalu terjadi setiap saat, berseliweran dalam tangkapan pancaindera manusia, dalam hati atau perasaan manusia. Peristiwa-peristiwa itu menyediakan sumber ide tulisan yang luar biasa jika dipelihara.
Nalar, sensitivitas, naluri, nurani, bekerja bersama-sama dalam diri manusia untuk menangkap banyak peristiwa. Akan tetapi, tabungan peristiwa setiap manusia berbeda-beda. Peristiwa streaming pembukaan sebuah diklat online misalnya, akan dicerna secara berbeda-beda antara satu penonton dengan penonton lainnya meski peristiwa itu dialami secara bersama-sama oleh mereka pada waktu yang sama pula. Kegiatan diklat online yang diikuti oleh sekian puluh peserta secara bersama-sama, juga akan dimaknai secara bervariasi antara peserta satu dengan peserta lainnya.
Bagaimanakah sebuah peristiwa itu potensial menjadi ide tulisan, atau dapat dijadikan tabungan ide? Bagaimanakah cara mendapatkan ide tulisan itu?

  1. Memiliki kedekatan dengan kita, artinya kita sendiri mungkin pernah mengalami persitiwa itu, kita tahu persis kejadiannya, kita nyata menghadapinya.
  2. Mengandung daya tarik yang kuat, artinya jika ide atau peristiwa itu dituliskan, akan mengundang rasa tertarik bagi orang lain karena hal-hal menarik diungkap di dalamnya.
  3.  Memiliki sisi-sisi yang unik, artinya ide atau peristiwa tersebut menjadi khas dan spesifik untuk diketahui banyak orang, belum ada atau tidak pernah ada sebelumnya.
  4. Mengandung perhatian, artinya ide atau peristiwa itu menonjol di antara ide-ide atau peristiwa-peristiwa lainnya, sehingga mendorong orang untuk ingin mengetahui.
  5. Bersifat otentik, artinya ide itu memang murni, bukan merupakan duplikasi dari sebuah peristiwa atau ide yang pernah dikemukakan, dialami, atau dipaparkan oleh orang lain.
  6. Bersifat dapat dikembangkan, artinya ide atau peristiwa tersebut memiliki banyak sisi atau aspek yang dapat meluas, bertumbuh menjadi gagasan baru.

Pertanyaan berikutnya, haruskah mengumpulkan tabungan ide atau mencari ide di tempat sepi?
Menulis: kerja soliter dengan berbagai manifestasi
Meskipun menulis itu lebih merupakan kerja soliter, seorang diri bergelut dengan pikiran, perasaan, pancaindera, naluri, nurani milik sendiri, bukan berarti ide harus dicari di tempat yang sepi.  Soliter dalam konteks ini adalah bagaimana seseorang mengupayakan pengayaan ide terhadap proses kreatif yang dilakukannya, seperti berdiskusi, membaca, melakukan riset, menonton, melakukan pengamatan, mendengarkan, mengolah pikiran kritisnya. Ia harus menjadi pengamat yang teliti, seorang yang skeptis (tidak mudah yakin terhadap sesuatu, terus menerus mempertanyakan sesuatu yang menjadi kegelisahannya) sehingga idenya dapat terus berkembang. Dalam konteks penelitian kualitatif, ketelitian dan sikap skeptis ini sangat membantu diperolehnya data secara detil, mendalam, dan komprehensif.

Soliter dalam konteks menulis ini juga terkoneksi dengan ide yang otentik, yang biasanya juga lahir dari suatu peristiwa atau pengalaman yang “personalized”, bersifat personal, sehingga ia memenuhi syarat terciptanya sisi unik dan daya tarik tersendiri. Walau misalnya peristiwanya mirip dengan yang dialami oleh orang lain, detilnya dapat berbeda antara orang satu dengan lainnya. Mengangkat peristiwa personal yang detil menjadi salah satu kekuatan sebuah tulisan.

Manifestasi soliter adalah juga bagaimana seseorang menyambung serpih-serpih ide yang berhasil dirawatnya dalam pergumulannya mengumpulkan tabungan ide atau peristiwa. Menyambung atau mengoneksikan sebuah fenomena dengan fenomena lain menjadi kekuatan yang dilakukan seseorang atas upayanya mengembangkan cara berpikir kritis dan pola pikir yang open-minded atau terbuka. Dengan pola pikir yang sempit atau narrow-minded, akan sulit bagi seseorang untuk menerima berbagai kemungkinan atau alternatif di jagad alam raya ini, akan sulit juga baginya untuk berhasil menemukan koneksi atau sambungan peristiwa satu dengan peristiwa lainnya. Proses berpikir dan hasilnya menjadi pendek-pendek, tertutup, dan tidak berkembang. Sambungan serpih-serpih ide atau peristiwa yang berhasil dijalin oleh penulis, juga akan menjadi cara untuk membawa orang lain sebagai pembaca pada perenungan, proses refleksi, sehingga orang lain pun menjadi kaya. Orang lain mendapatkan “gizi” dari tulisan itu.

Kerja soliter dalam menulis adalah juga bagaimana menitipkan pesan kepada pembaca atau penikmat tulisan tersebut. Pesan adalah sesuatu yang lagi-lagi personalized, dapat mencerminkan pikiran, sikap, perilaku, cara pandang penulisnya. Pesan juga merupakan “nilai-nilai” atau values yang disampaikan penulis. Nilai-nilai ini juga menjadi kekuatan seseorang dalam tulisannya. Dalam konteks ini, kembali otentisitas seseorang dalam menulis akan terlihat kuat apabila itu memang lahir dari pengalaman personalnya, bukan dengan mencuri ide atau gagasan orang lain, atau meniru gaya yang dimiliki oleh orang lain.

Menyusuri jalan sendiri
Menulis memang mungkin tak bisa diajarkan, oleh karena itu dikatakan, silakan menyusuri jalan sendiri. Jangan meniru, temukan cara mengekspresikan karya sendiri, dan ini akan menentukan otentisitas karya seseorang serta menyelamatkannya dari praktik menjadi seorang plagiat, atau praktik yang sekedar mencomot sana mencomot sini tanpa menerapkan etika publikasi. Ini juga akan merefleksikan “wajah” seseorang secara jelas dan khas. Oleh karena itu, sesuatu yang bersumber dari peristiwa atau pengalaman personal menjadi sebuah kekuatan dalam mengembangkan ide. Selanjutnya, bagaimana membawa sesuatu yang bersifat personal ini menjadi milik publik melalui tulisan juga menjadi kekuatan lain dalam menulis. Tulisan mencerminkan juga bagaimana seseorang melakukan komunikasi publik dan menerapkan etikanya.
Ini semua mengingatkan saya akan jenis-jenis tulisan yang dihasilkan di lingkungan pengajar selama ini, seperti bahan ajar, modul, handout, artikel jurnal hasil penelitian, artikel majalah, artikel seminar dalam prosiding, buku, dan lain sebagainya. Menulis itu, pada tingkat kepentingan dan keperluan atau tujuan tertentu, ternyata juga dapat merupakan peristiwa terjadinya pengabaian terhadap nilai-nilai yang seyogyanya muncul dalam hasil tulisan….  Selamat menulis!

Yogyakarta, 20 Juli 2020.


Gambar: https://cdn0-production-images-kly.akamaized.net/jlF-AyOy3g13hBKOBu16IRU23H8=/1280x720/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1553188/original/072338900_1490964765-writing.jpg

Tuesday, July 7, 2020

Catatan Pengalaman dari Balik Ruang Kelas Zoom: Mengikuti “Online Training”


--Rin Surtantini

 



Pembelajaran secara online dipahami sebagai sebuah proses belajar yang dijalani oleh seseorang sesuai dengan waktu yang dimilikinya dan dari lokasi tempatnya berada. Kelas yang diikuti bukan kelas yang secara fisik ada, karena pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka langsung atau secara fisik. Pada moda pembelajaran online terdapat fleksibilitas, sehingga seseorang dapat belajar tentang sesuatu sesuai dengan kebutuhannya, kapanpun dan dari manapun ia berada dengan menggunakan jaringan internet.

***

Seminggu setelah mendaftar pada sebuah program tim seleksi yang ditawarkan oleh Kemendikud, saya menerima undangan untuk mengikuti pelatihan. Pelatihan ini merupakan bagian dari program tim seleksi nasional, yang mensyaratkan bahwa seorang asesor dalam tim seleksi harus dinyatakan “certified” atau disertifikasi. “Certified” ini diberikan apabila calon tim seleksi mengikuti pelatihan secara penuh, sehingga selama proses pelatihan, peserta diharapkan dapat mencapai penguasaan kompetensi-kompetensi sebagai tim seleksi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh lembaga penyedia pelatihan dan Kemendikbud. Kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai tersebut dilatihkan kepada peserta pelatihan melalui konsep-konsep seleksi dan skills practice untuk setiap kompetensi.

Tulisan ini merupakan refleksi yang berupa catatan pengalaman belajar saya melalui pelatihan online yang saya ikuti selama lima hari pada minggu lalu melalui aplikasi Zoom.

 ***

Asumsi personal terhadap pembelajaran “online”

Tiga hari sebelum pelaksanaan pelatihan “Targeted Selection Interview” –demikian judul pelatihan yang saya ikuti ini— semua peserta mengikuti briefing yang diadakan oleh Kemendikbud bekerjasama dengan sebuah lembaga profesional pada bidang pengembangan sumber daya manusia yang akan menjadi pelaksana pelatihan. Lembaga pelaksana pelatihan ini merupakan perwakilan resmi dari pusatnya yang berada di Amerika Serikat. Artinya, materi pelatihan dan standar-standar yang ditetapkan pada pelatihan ini memiliki copyright sebagai properti intelektual.

 Dalam briefing diberikan gambaran awal bahwa pelatihan ini akan dilakukan secara online sinkronous (full video conference) menggunakan aplikasi Zoom (yang tentu versi berbayar), non-stop selama lima hari dari pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 14, atau pukul 15, 16, dan pukul 18 pada hari terakhir. Apa yang harus disiapkan oleh peserta? Tentu saja jaringan internet yang stabil dan kuota internet yang cukup setiap hari selama mengikuti pelatihan, perangkat laptop yang memadai, tidak adanya gangguan atau hambatan yang dapat membuyarkan konsentrasi, mental dan fisik yang tangguh, ketahanan dalam menggunakan headset sepanjang mengikuti pelatihan dengan video yang harus on terus,  tidak melakukan multi-tasks atau banyak pekerjaan lain di luar pelatihan, serta amunisi berupa makanan, makan siang, dan minuman yang cukup dan siap tersedia di dekat peserta agar tetap fit dan ada ketika dibutuhkan.

 Semua yang harus disiapkan ini menimbulkan kecemasan tersendiri yang muncul karena asumsi-asumsi berdasarkan pengalaman, seperti misalnya: jaringan internet melalui wifi sewaktu-waktu tidak stabil, dan akan sangat merepotkan jika listrik juga tiba-tiba mati; atau ada kejadian-kejadian yang tiba-tiba mengganggu konsentrasi; atau kondisi mental dan tubuh yang kadang tidak fit; atau telinga yang akan sakit jika menggunakan headset terus menerus; atau gerakan dan sikap tubuh yang harus selalu ditata karena master trainer (pelatih) dan peserta lain akan bisa mengawasi atau melihat semua gerak-gerik melalui video yang harus dihidupkan terus; adanya pekerjaan lain di luar pelatihan yang harus diselesaikan dan tidak bisa dihindari; pelatihan ini akan sangat melelahkan dengan tugas-tugas (LK yang banyak) sesuai dengan kebutuhan pengajar (bukan kebutuhan peserta), sehingga ilmu, pengetahuan, atau keterampilan yang diperoleh tidak jelas; dan sebagainya.

 Stereotip yang gugur

Semua asumsi berdasarkan stereotip di atas karena beberapa pengalaman masa lalu memenuhi pikiran dan perasaan saya, sebelum akhirnya gugur ketika hari pelatihan itu datang, dan berjalan selama lima hari. Apa yang saya rasakan dan alami? Model pembelajaran yang dilakukan mengingatkan saya akan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti di luar negeri, di negara-negara maju, atau ketika di dalam negeri dengan pengajar atau pelatih yang berasal dari negara-negara maju tersebut. Catatan hasil refleksi berikut ini menggugurkan asumsi-asumsi personal berdasarkan stereotip yang terbangun dalam pikiran dan perasaan saya sebelumnya.

 

1.    Pelatihan berbasis kompetensi

Target kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta jelas dan terukur, sehingga kompetensi-kompetensi itulah yang dikenalkan dan dilatihkan melalui konsep-konsep pada sesi pemberian materi, dan dipraktikkan melalui skills practice selama pelatihan berlangsung. Pelatihan fokus pada apa yang peserta harus dapat tunjukkan dan lakukan melalui skills practice pada situasi tertentu (what an individual can really do in a given situation) untuk kompetensi-kompetensi yang harus dicapai. Ketercapaian kompetensi-kompetensi ini dilihat melalui evidence atau bukti-bukti, sehingga seseorang dinyatakan “certified” apabila ia memenuhi pencapaian penguasaan kompetensi-kompetensi tersebut. Seseorang juga dapat diberikan status “deferred” atau sertifikasinya ditunda karena harus mengulang, menambah jam pelatihannya, atau mengikuti lagi pelatihan untuk mencapai status “certified”. Seseorang juga dapat berstatus “not certified” apabila tidak memenuhi pencapaian kompetensi yang distandarkan. Semua evidence ini diperoleh dari unjuk kerja peserta pada skills practice yang dicatat secara cermat melalui observasi, dan diberikan sebagai laporan kepada peserta setelah pelatihan berakhir.

 

2.    Penilaian berdasarkan kriteria (criterion-referenced assessment)

Penilaian dilakukan selama proses berlangsung, terutama pada saat peserta melakukan skills practice secara kelompok. Karena tujuan dari praktik keterampilan ini adalah untuk menerapkan konsep dan pengetahuan yang telah diberikan, peserta tidak menyadari bahwa pada saat itu penilaian per-individu sesungguhnya dilakukan oleh co-trainer. Berbeda dengan penilaian berdasarkan norma (“norm-referenced assessment”), pelatihan ini menerapkan penilaian berdasarkan kriteria (“criterion-referenced assessment”), yang tidak membandingkan pencapaian atau skor satu peserta dengan peserta lain, tapi melihat bagaimana pencapaian individu terhadap semua kompetensi yang harus dikuasainya.  Jadi setiap individu tidak bersaing terhadap individu lainnya, melainkan berupaya bagaimana dirinya sendiri dapat mencapai target kompetensi yang ditetapkan sebagai tim seleksi. Maka, hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip dari pelatihan berbasis kompetensi yang pernah saya pelajari dan alami ketika berkesempatan belajar mengenai technical and vocational education selama setahun di negeri kanguru beberapa puluh tahun silam.

 

3.    Belajar dalam kelas kecil

Kelebihan yang dialami dengan kelas yang kecil adalah terpeliharanya perhatian yang intense dari master trainer (pelatih utama) terhadap pesertanya. Master trainer pada satu jam pertama pada hari pertama sudah hapal dengan nama-nama peserta (meskipun ini juga terbantu oleh nama yang tertulis pada setiap layar video peserta). Jadi nama pada layar video peserta itu sebenarnya name tag pada kelas virtual.

 

Kelas kecil juga memberi kemudahan pada pelatih dalam mengelola kelas. Fokus tercipta. Hanya ada 12 (duabelas) peserta pada setiap kelas pada ruang Zoom itu, yang diampu oleh seorang master trainer dan dibantu oleh empat co-trainers, dan seorang staf yang menangani administrasi virtual serta masalah teknis pada bidang IT. Masing-masing bertanggung jawab sesuai dengan tugasnya dan melakukannya secara profesional, penuh perhatian, dan dengan keramahan, senang hati, sehingga semua kebutuhan dan permasalahan peserta terpenuhi dan dapat dikelola dengan cermat dan cepat.

 

Belajar dalam kelas kecil ini juga membuat terciptanya suasana hangat, akrab, dan nyaman antarpeserta dan pelatih serta staf yang terlibat, meskipun pertemuan secara fisik tidak terjadi. Ini artinya, suasana kelas fisik dapat diciptakan pada kelas virtual. Dengan suasana seperti ini, belajar dan berbagi di kelas virtual seperti pada kelas fisik pun menjadi menyenangkan. Peserta dalam satu kelas terdiri dari enam orang widyaiswara dari tiga PPPPTK yang berbeda, dan enam orang guru yang berasal dan mengajar di sekolah-sekolah internasional di beberapa kota, yang merupakan sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan JIS (Jakarta Intercultural School). Kombinasi peserta dalam kelas kecil seperti ini memungkinkan terjadinya saling belajar atas dasar perbedaan pengalaman dan tugas masing-masing.

 

 

4.    Adopsi kelas fisik ke dalam kelas virtual yang well-prepared

Aplikasi Zoom yang digunakan sepanjang hari dari pagi sampai sore selama lima hari melalui video conference adalah ibarat sebuah upaya mengadopsi kelas fisik tatap muka langsung ke dalam kelas virtual. Itulah sebabnya, saya menduga, mengapa pelatihan ini tidak menggunakan atau memanfaatkan LMS (Learning Management System), seperti misalnya Google Classroom, Moodle, ATutor, Schoology, Edmodo, dan sebagainya. Meskipun ada keterbatasan di mana kelas virtual tidak dapat menyerupai persis seperti kelas fisik, pelatihan yang saya ikuti ini mencoba untuk menciptakan beberapa kegiatan seperti terjadi dalam kelas fisik.

 

Ketika master trainer memberikan materi berupa konsep dan contoh-contoh penerapannya, keduabelas peserta berada bersama di main room dari Zoom. Ketika peserta berlatih mempraktikkan kompetensi-kompetensinya, mereka akan dipecah menjadi grup-grup yang lebih kecil, terdiri dari tiga orang per-grup, dengan seorang co-trainer untuk setiap grup kecil ini, yang akan menjadi pembimbing dan sekaligus pengamat bagi setiap individu. Empat grup kecil ini dikirim dan bergabung ke breakout room masing-masing yang berbeda. Praktik, diskusi, argumentasi yang lebih intensif terjadi di sini pada waktu yang ditentukan secara ketat, sebelum akhirnya semua kembali lagi ke main room untuk melaporkan dan membahas hasil praktik dan diskusi kelompok. Grouping semacam ini akan selalu berubah anggotanya, sehingga peserta berkesempatan untuk saling bertemu, mengenal, dan bekerja dengan peserta lain yang berbeda.

 

Agar apa yang dilakukan dalam kelas fisik juga teradopsi di kelas virtual ini, setiap peserta harus paham dan menggunakan fitur-fitur, atau fasilitas dan fungsi dari Zoom, misalnya ketika ia ingin bertanya atau mengemukakan pendapat, ketika ia harus pindah ke breakout room, ketika menggunakan papan tulis sewaktu mencatat hasil diskusi, ketika memberikan respon, ketika ijin keluar dalam beberapa menit, dan sebagainya, yang sebetulnya mudah untuk dilakukan, hanya perlu pembiasaan saja.

 

Sebagaimana halnya dengan kelas fisik, master trainer menggunakan bahan tayang atau resource book yang dibagi di layar pada saat menjelaskan. Dua hari sebelum pelatihan, peserta juga sudah mendapatkan resource book dan practice book dalam bentuk elektronik. Semua peserta atas inisiatif sendiri mencetak kedua buku tersebut untuk memudahkan dalam membaca dibandingkan membuka dalam bentuk e-book. Semua materi, baik konsep maupun praktik disampaikan oleh master trainer dengan sangat efektif, detil, dan jelas, meskipun padat. Efektivitas penyampaian materi yang padat sangat terbantu dengan pemutaran video yang memang dirancang untuk tatap muka virtual, bukan untuk ditonton secara mandiri oleh peserta. Video itu menayangkan bagaimana keterampilan dan kompetensi tertentu dinilai secara detil melalui pemeranan aktual dari tim seleksi dan pelamar dalam sebuah seleksi. Pada setiap bagian video sudah dirancang kapan master trainer menghentikan video, dan menggunakan waktu untuk mendiskusikannya dengan peserta.

 

Pada setiap pagi di awal sesi, master trainer selalu membawa peserta untuk memecah kebekuan atau mengawali hari dengan semangat yang terpelihara, sebagaimana terjadi di kelas-kelas fisik. Contoh yang dilakukan adalah, setiap peserta secara bergiliran mengatakan pengalaman apa yang pernah dilakukannya yang mirip dengan tugas sebagai tim seleksi, setiap peserta diminta untuk menyebutkan perasaannya pada pagi itu, setiap peserta menceritakan secara singkat apa yang membuatnya merasa berhasil pada pagi hari itu, atau setiap peserta diminta untuk mengatakan apa kekuatan atau kelebihan yang dimilikinya yang membuatnya layak menjadi tim seleksi.

 

Demikian juga pada akhir kelas, master trainer meminta setiap peserta misalnya menyebutkan kesannya dalam satu kata tentang pelatihan pada hari itu, atau seperti layaknya orang beli makan di restoran, maka apa take-away pengalaman yang bisa dibawa oleh peserta pada sore itu, atau peserta menyebutkan tiga kata yang mewakili gambaran mengenai pelatihan pada hari itu. Peserta serius mengikuti, tetapi tetap bisa relaks dan tidak tegang.  Terlihat juga bahwa pengajar atau pelatih memiliki tanggung jawab besar dan berkomitmen untuk dapat membuat setiap pesertanya paham dan dapat menguasai kompetensi yang ditetapkan.

 

 

5.    Properti intelektual dan profesionalisme

Copyright sebagai properti intelektual pada resource book dan practice book menjadi hal yang harus dihormati. Sejak briefing sampai selama pelatihan, peserta diingatkan untuk hal ini, artinya semua itu hanya digunakan untuk personal use peserta yang mengikuti pelatihan.  Poin atau nilai-nilai penting yang diajarkan secara tidak langsung kepada peserta adalah bahwa siapapun dalam bidang akademis harus melakukan kegiatan akademisnya secara jujur, dan dapat dipertanggung jawabkan secara pribadi. Seseorang yang ingin berada pada level sukses harus mencapainya dengan cara-cara yang benar, bukan cara-cara short cut yang palsu, misalnya praktik-praktik mendapatkan bocoran soal untuk tujuan lulus suatu tes, atau untuk tujuan menjadi the best, mengalahkan yang lain dengan cara-cara yang tidak jujur.

 

Yang seyogyanya menjadi kepedulian peserta ketika mengikuti pelatihan adalah ilmu, pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai (values) apa yang diperolehnya dari pelatihan tersebut, yang dapat diterapkannya pada tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga ketika ia dinyatakan “certified”, ia memang memenuhi kompetensi yang menjadi target dari pelatihan tersebut. Ketika target kompetensi pelatihan dirumuskan dengan jelas, disiapkan dengan baik secara konten maupun teknis, dan dilatihkan secara profesional oleh pengajar atau pelatihnya, serta dijalani oleh pesertanya dengan penuh komitmen, maka sudah selayaknya jika dikatakan pelatihan itu memiliki nilai-nilai positif yang berarti.

 

6.    Komunikasi dan pola pembelajaran yang membangun hubungan dan iklim kelas

Tanpa disadari dan tanpa terasa, lima hari berlalu, dilewati. Konsentrasi dan fokus peserta terbangun, semua permasalahan teknis yang dialami peserta selalu dengan sigap dapat dibantu diatasi oleh staf administrasi yang merangkap IT, semangat peserta terjaga, esensi pelatihan tersampaikan … yes, I’ve got the points!  Tidak ada beban LK-LK yang berjubel, monoton, membosankan, dikerjakan secara lembur, ditagih-tagih sebagai syarat penilaian dan kelulusan, dikerjakan secara copy-paste, dikerjakan dengan berat hati tanpa tahu esensi dan kontennya, dilakukan peserta untuk mengurangi beban pengajar dan bukan untuk memenuhi kebutuhan peserta. Tidak pula ada pre-post test yang item tesnya tidak semuanya dibuat untuk mengukur ketercapaian kompetensi peserta.

 

Lima hari pun menjadi waktu yang singkat tetapi full of essence and values. Kemampuan pengajar dalam strategi berkomunikasi dengan peserta menjadi salah satu aspek penting yang mendukung iklim kelas yang positif. Dalam pelatihan kelas virtual full video conference ini, kondisi iklim kelas positif ini terjadi dan terjaga.  Seorang pengajar yang terpanggil, seyogyanya selalu bertanya kepada dirinya melalui refleksi, “Apakah saya telah memberikan sesuatu yang meaningful kepada peserta pelatihan?”  “Apakah mereka memeroleh sesuatu dari saya?”  “Apakah mereka memeroleh yang mereka butuhkan?” dan berbagai pertanyaan serupa yang akan terus membelajarkannya.

 

***

Ketika pelatihan ini berakhir, satu persatu peserta dipanggil oleh master trainer ke breakout room, untuk memeroleh feedback dari master trainer dan co-trainer berupa area kekuatan yang dimiliki individu serta area pengembangan yang masih perlu diperbaiki atau ditingkatkan. Feedback lisan ini dikrimkan juga ke setiap email individu dalam bentuk laporan tertulis. Bagi saya, ini sebuah pengalaman mengikuti pelatihan secara online dengan full video conference, yang mengungkap sisi lain bahwa pelatihan online semacam ini meski tidak terdapat fleksibilitas dalam jadwal atau waktu pelaksanaannya, dapat tetap memberikan rasa senang, termotivasi, nyaman, dan fulfilled bagi pesertanya. Ini dapat tercapai jika terdapat atau dipenuhinya semua aspek yang menggugurkan asumsi-asumsi awal yang diuraikan di atas.

 

 

Yogyakarta, 7 Juli 2020.

 


WfH Series: Sayang Jogyaku


---Dwi Yunanto


Yogyakarta memang istimewa, semoga tetep istimewa dan aman nyaman terutama saat pandemi begini.

Jogya saat pandemi covid 19 ini saya lihat termasuk tertib penduduknya, di jalanan baik pejalan kaki maupun berkendara semua memakai masker. Apalagi di tempat publik seperti mall dan pasar. Jika ada yang tidak memakai sedikit sekali dibandingkan yang memakai berarti protokol kesehatan tetap diindahkan. Cuci tangan, kenakan masker, dan jaga jarak diberlakukan.

Pasar-pasar dan mall pun walau tetap buka tetapi pengunjungnya masih relatif sangat sedikit. Mereka hanya akan keluar jika perlu saja seperti untuk bekerja, belanja, ibadah, dan olahraga.

Karantina kampung menurut saya juga merupakan salah satu faktor keberhasilan DIY menurunkan jumlah positif karena dengan dikarantina, penduduk akan mengurangi mobilitasnya sehingga hanya akan keluar jika penting saja dan orang luarpun akan sedikit kesulitan untuk mengunjungi kampung yang dikarantina.

Beberapa hari ini Jogya meningkat lagi kasus positif covidnya, hampir semua merupakan imported case, orang luar DIY masuk ke Jogja atau orang DIY berhubungan dengan positif di luar DIY.

Sedih rasanya beberapa teman saudara dari luar kota yang menyepelekan hal ini. Terutama tentang protokol kesehatan pencegahan korona. Masih ada juga teman dari luar kota yang berkunjung ke rumah tanpa menggunakan masker. Malahan kemudian bercerita tentang teori konspirasi tentang covid yang sebenarnya bukan ahlinya.

Padahal kami di Jogja ini mungkin juga daerah lain berpendapat ini wabah yang harus dihindari oleh siapapun dengan disiplin tinggi.

Jadi agak gimana gitu dengan penjelasan mereka yang bla bla...dan terkesan tidak menghargai kami sebagai tuan rumah yang menerima tamu dengan jaga jarak dan bermasker.

Hidup memang pilihan, masing-masing orang bisa hidup dengan cara masing-masing sesuai keyakinannya, tetapi tolong hargai kami yang berusaha menjaga diri dan menjaga sesama.

Suasana jalanan di kota Yogya dan di Pasar Beringharjo. Di Pasar Beringharjo terlihat tertib, semua pedagang dan pembeli bermasker termasuk mbok-mbok yang menawarkan jasa pembawa barang. Hebat ya.. Jalan lorong lorong di Beringharjo sekarang tidak boleh untuk berjualan jika ada yang ngeyel kata teman pedagang disana., barang barangnya akan digaruk atau ambil paksa oleh petugas pasar. Selain lorong yang sudah bersih dan lengang, sekarang diatur juga arah jalannya...ada petunjuk panah arah jalannya dan petunjuk protokol kesehatannya. Mantap pokoknya....Insya Alloh siap untuk new normal dengan disiplin yang tinggi.




Kita berkeinginan untuk dapat menciptakan kondisi jogya yang aman, nyaman dan bersahabat tetap menerapkan protokol kesehatan.


Catatan di pasar Beringharjo, 5 Juli 2020

Saturday, July 4, 2020

WfH Series: Sistem Operasi dan Aplikasi Gratis



--Eko Santosa



Windows adalah raksasa sistem operasi komputer selain macOS. Untuk dapat menggunakannya, seseorang harus membeli perangkat yang di dalamnya sudah tertanam sistem operasi tersebut. Pilihan lainnya ialah membeli secara terpisah sistem operasi itu untuk ditanam (install) di komputer yang dimiliki. Meski tidak bisa didapatkan dengan gratis, kepopuleran Windows dan macOS tidak dapat disangkal. Bahkan banyak orang mau menggunakannya meski dengan cara ilegal (bajakan). Untuk macOS mungkin sudah terkenal istilah hackintosh di mana sistem operasi mac dapat ditanam – dengan proses hack tentunya - di komputer atau laptop umum. Sementara untuk Windows tidak perlu dipertanyakan lagi karena penggunaan sistem operasi ini secara bajakan sudah menjadi rahasia umum.

Kedigdayaan namun sekaligus ekslusif dan mahal dari Windows dan macOS ini menantang komunitas pengembang untuk menciptakan sistem operasi gratis yang dapat digunakan oleh siapapun. Dari projek ini lahirlah Linux yang diprakarsai Linus Torvalds. Linux adalah satu sistem operasi terbuka yang bebas untuk dikembangkan oleh setiap komunitas pengembang dan di-share secara gratis atau berbasis donasi suka rela. Karena sifatnya yang bebas dan terbuka, Linux memiliki ratusan versi distribusi (distro) dari para pengembang di seluruh dunia. Kabar gembira ini seolah menjadi solusi besar bagi kebutuhan sistem operasi komputer di dunia yang dapat digunakan siapa saja secara resmi dan gratis. Pada mulanya memang begitu namun dalam perkembangannya ternyata tidaklah begitu.

Linux tidak serta-merta menjadi idola dan pilihan banyak orang meskipun gratis. Posisi untuk menggeser sistem operasi yang sudah ada sangat berat. Persoalan besar pertama adalah keramahan atau kebiasaan penggunaan. Berikutnya soal penyebaran informasi serta edukasi penggunaan. Selanjutnya, dan ini masih menjadi masalah pokok adalah kemudahan koneksi dengan perangkat pendukung lain semacam printer, scanner, kamera, dan lain sebagainya.

Para pengembang Linux sudah berusaha sangat keras menjawab persoalan yang ada. Instalasi dan pengoperasian saat ini sudah sangat mudah, ketersediaan aplikasi yang banyak, gratis serta mudah untuk ditanam atau dihapuskan, termasuk kemenarikan antarmuka pengguna sudah dilakukan. Bahkan ada versi distribusi yang dibangun mirip sekali dengan Windows seperti Makulu Lindoz dan ada yang mirip macOS seperti Elementary OS. Penyebaran informasi dan edukasi melalui pelatihan-pelatihan sudah pula dilakukan termasuk terbentuknya komunitas pengguna di kota-kota besar. Kemudahan koneksi antarperangkat juga semakin nyata bahkan jika terjadi kesulitan, forum komunitas di web dapat dijadikan ajang komunikasi untuk mengatasi persoalan. Dalam konteks ini, sudah banyak hal yang dilakukan oleh komunitas pengembang Linux.

Namun demikian, di dalam kenyataan, pengguna macOS dan Windows belum mau beralih. Meskpun aplikasi di dalamnya banyak yang berbayar seperti office suite, pengolah grafis, suara, video dan lain sebagainya - sementara di Linux semua aplikasi itu bisa diunduh gratis - tetap saja sebagian besar orang belum mau menjadikan Linux pilihan. Pengguna Linux paling banyak ditengarai adalah orang yang memiliki komputer personal atau laptop yang sudah uzur karena banyak distro Linux menyediakan sistem operasi untuk perangkat cukup umur dan spesifikasi rendah. Itupun tidak berlaku untuk semua orang karena masih banyak yang tetap bertahan menggunakan Windows dan macOS versi lama meskipun sudah tidak mendapatkan lagi dukungan dari vendornya.

Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak semua yang bersifat gratis itu akan menarik minat banyak orang. Dalam konteks ini, penggunaan sistem operasi dan aplikasi tanpa lisensi justru lebih marak dan menarik minat dibanding yang disediakan resmi dan tak berbayar. Mungkin faktor masif, familiar serta menterengnya sistem operasi dan aplikasi lebih menjadi pilihan daripada faktor kegunaan dan keresmiannya. Kebanyakan orang akan memilih MS Office dibandingkan Libre Office selain karena keumuman juga siapa yang kenal dengan Libre Office? Kebanyakan orang akan memilih Photosop dibanding Gimp, lebih memilih Outlook dibanding Thunderbird, lebih memilih Adobe Reader dibanding Evince, lebih memilih MS Pad daripada Leafpad, lebih memilih CorelDraw daripada Inkscape, lebih memilih Adobe Premiere daripada Kdenlive, dan masih banyak lagi. Pada akhirnya banyak orang – apapun dan bagaimanapun caranya – lebih memilih macOS dan Windows daripada Linux. Oleh karena itu, jalan panjang serta usaha keras untuk penggunaan masif sistem operasi dan aplikasi gratis mesti harus ditempuh dan tentu saja tanpa henti. (*)




Ekoompong
Domas, 25 Juni 20


WfH Series: Buku Elektronik



--Eko Santosa



Buku elektronik atau e-book beberapa tahun belakangan sangat populer. Hal ini mungkin dipicu karena kemudahannya untuk disebar dan diakses, serta tidak perlunya pencetakan. Dengan demikian produksi buku eletronik bagi sebuah lembaga bisa dikatakan lebih murah.  Bahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyediakan buku elektronik gratis unduh untuk setiap mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan. Di toko-toko buku online, ketersediaan buku elektronik pun menjadi pilihan jualan. Umumnya format yang digunakan adalah PDF.

Memang PDF adalah format umum yang paling mudah digunakan karena dalam setiap perangkat berbasis sistem operasi telah tersedia aplikasi pembacanya (pdf reader). Namun sesungguhnya banyak format buku elektronik yang ditawarkan. Semenjak PDF diinisiasi, maka format-format lain pun bermunculan baik terbundel dengan perangkat bacanya atau menjadi aplikasi lepas. DJVU merupakan format buku hasil pindai yang biasanya diperuntukkan bagi penggemar komik/manga. BbeB secara khusus digunakan  Sony untuk perangkat pembaca buku (ebook reader) mereka dengan format LRX dan LRF yang kemudian bertransformasi ke dalam format EPUB. Sewaktu Palm OS terkenal dan menjual perangkat genggamnya (handheld), mereka menyematkan pembaca buku dengan format PDB. Tidak mau kalah, PDA berbasis Windows juga mengadopsi Mobi Pocket Reader yang mampu membaca, menyimpan, dan mengelola format PDB, PRC, dan MOBI. Microsoft sendiri mengeluarkan aplikasi baca khusus dengan format buku LIT. Padahal sebelumnya sudah ada format CHM (umumnya digunakan untuk membuat panduan kegunaan yang disertakan dalam apilkasi) yang bisa dibaca di perangkat Windows tanpa perlu install aplikasi tambahan. Di sistem Android lama dikenal buku dengan format FB2. Amazon mengeluarkan perangkat baca khusus yang diberi nama Kindle untuk buku berformat AZW.

Selain itu masih ada buku elektronik yang berkarakter mirip dengan buku manual yang disebut flipbook di mana pembaca bisa membuka lembar demi lembar persis seperti membuka buku biasa. Format yang digunakan umumnya adalah EXE dan HTML. Di dalam buku model ini, beragam media bisa disertakan; teks, gambar, animasi, suara, dan audio-video. Belum lagi hadirnya audio book (buku dengar) yang juga bisa dicetak melalui file berformat DAISY. Intinya, buku elektronik banyak tersedia di pasaran beserta perangkat bacanya. Perusahan-perusahaan penerbitan buku besar tidak jarang ikut memproduksi alat pembaca buku yang mana di dalamnya sekaligus menawarkan buku-buku yang bisa diunduh dengan harga tertentu yang jauh lebih murah daripada buku biasa. Hal ini membuat buku elektronik semakin populer karena selain handy juga mungkin dianggap sebagai salah satu penanda modernitas.

Kepopuleran buku elektronik ini bagi sementara kalangan dikhawatirkan akan menggeser ekstistensi buku biasa. Namun ternyata dalam perkembangannya kelihatannya tidaklah demikian. Masih banyak orang yang menggemari buku biasa karena karakternya yang khas dan belum sepenuhnya tergantikan. Memang satu buku biasa bisa tebal dan terasa berat, namun pengalaman bolak-balik dari halaman satu ke halaman lain sangat tidak mungkin bisa diwakili oleh perangkat pembaca buku elektronik. Meskipun di dalam satu perangkat baca buku elektronik bisa menampung ribuan buku dan aktivitas pilih buku serta pencarian halaman juga mudah namun tetap belum bisa mengambilalih kenikmatan pindah atau buka-tutup halaman di buku biasa.

Bahkan di dalam perangkat baca buku elektronik terbaru berlayar sentuh, disediakan pena stylus yang mampu menambahkan catatan pada buku, menebalkan kata untuk dicari artinya dalam kamus yang sudah tertanam plus koneksi wifi yang memungkinkan untuk tersambung ke website, keasyikan baca buku biasa belum tergeser. Termasuk ketika CALIBRE hadir sebagai aplikasi (freeware) pengelola dan pembaca buku elektronik format apapun dan bisa tersambung langsung dengan perangkat baca untuk konversi dan tukar menukar file, keberadaan buku biasa masih belum tergantikan.

Ada hal tertentu yang memang tidak bisa dipindahkan dari buku biasa ke dalam buku elektronik beserta perangkat bacanya, yaitu kenikmatan baca. Mungkin perangkat baca buku elektronik mangkus dan sangkil untuk digunakan dalam waktu atau kesempatan tertentu misalnya untuk mencari referensi tertentu atau digunakan ketika dalam perjalanan sehingga tidak perlu membawa banyak buku. Namun meskipun begitu mungkin ada sebagian orang yang lebih memilih buku elektronik daripada buku biasa dengan segala pertimbangan. Akan tetapi pilihan ini tidak kemudian menandakan sebagian orang tersebut lebih modern dari yang lain, karena yang menjadi penting dalam hal ini adalah aktivitas membaca buku itu sendiri bukan perangkat atau wujud bendanya. (*)

ekoompong
Domas, 24 Juni 20