Tuesday, July 7, 2020

Catatan Pengalaman dari Balik Ruang Kelas Zoom: Mengikuti “Online Training”


--Rin Surtantini

 



Pembelajaran secara online dipahami sebagai sebuah proses belajar yang dijalani oleh seseorang sesuai dengan waktu yang dimilikinya dan dari lokasi tempatnya berada. Kelas yang diikuti bukan kelas yang secara fisik ada, karena pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka langsung atau secara fisik. Pada moda pembelajaran online terdapat fleksibilitas, sehingga seseorang dapat belajar tentang sesuatu sesuai dengan kebutuhannya, kapanpun dan dari manapun ia berada dengan menggunakan jaringan internet.

***

Seminggu setelah mendaftar pada sebuah program tim seleksi yang ditawarkan oleh Kemendikud, saya menerima undangan untuk mengikuti pelatihan. Pelatihan ini merupakan bagian dari program tim seleksi nasional, yang mensyaratkan bahwa seorang asesor dalam tim seleksi harus dinyatakan “certified” atau disertifikasi. “Certified” ini diberikan apabila calon tim seleksi mengikuti pelatihan secara penuh, sehingga selama proses pelatihan, peserta diharapkan dapat mencapai penguasaan kompetensi-kompetensi sebagai tim seleksi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh lembaga penyedia pelatihan dan Kemendikbud. Kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai tersebut dilatihkan kepada peserta pelatihan melalui konsep-konsep seleksi dan skills practice untuk setiap kompetensi.

Tulisan ini merupakan refleksi yang berupa catatan pengalaman belajar saya melalui pelatihan online yang saya ikuti selama lima hari pada minggu lalu melalui aplikasi Zoom.

 ***

Asumsi personal terhadap pembelajaran “online”

Tiga hari sebelum pelaksanaan pelatihan “Targeted Selection Interview” –demikian judul pelatihan yang saya ikuti ini— semua peserta mengikuti briefing yang diadakan oleh Kemendikbud bekerjasama dengan sebuah lembaga profesional pada bidang pengembangan sumber daya manusia yang akan menjadi pelaksana pelatihan. Lembaga pelaksana pelatihan ini merupakan perwakilan resmi dari pusatnya yang berada di Amerika Serikat. Artinya, materi pelatihan dan standar-standar yang ditetapkan pada pelatihan ini memiliki copyright sebagai properti intelektual.

 Dalam briefing diberikan gambaran awal bahwa pelatihan ini akan dilakukan secara online sinkronous (full video conference) menggunakan aplikasi Zoom (yang tentu versi berbayar), non-stop selama lima hari dari pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 14, atau pukul 15, 16, dan pukul 18 pada hari terakhir. Apa yang harus disiapkan oleh peserta? Tentu saja jaringan internet yang stabil dan kuota internet yang cukup setiap hari selama mengikuti pelatihan, perangkat laptop yang memadai, tidak adanya gangguan atau hambatan yang dapat membuyarkan konsentrasi, mental dan fisik yang tangguh, ketahanan dalam menggunakan headset sepanjang mengikuti pelatihan dengan video yang harus on terus,  tidak melakukan multi-tasks atau banyak pekerjaan lain di luar pelatihan, serta amunisi berupa makanan, makan siang, dan minuman yang cukup dan siap tersedia di dekat peserta agar tetap fit dan ada ketika dibutuhkan.

 Semua yang harus disiapkan ini menimbulkan kecemasan tersendiri yang muncul karena asumsi-asumsi berdasarkan pengalaman, seperti misalnya: jaringan internet melalui wifi sewaktu-waktu tidak stabil, dan akan sangat merepotkan jika listrik juga tiba-tiba mati; atau ada kejadian-kejadian yang tiba-tiba mengganggu konsentrasi; atau kondisi mental dan tubuh yang kadang tidak fit; atau telinga yang akan sakit jika menggunakan headset terus menerus; atau gerakan dan sikap tubuh yang harus selalu ditata karena master trainer (pelatih) dan peserta lain akan bisa mengawasi atau melihat semua gerak-gerik melalui video yang harus dihidupkan terus; adanya pekerjaan lain di luar pelatihan yang harus diselesaikan dan tidak bisa dihindari; pelatihan ini akan sangat melelahkan dengan tugas-tugas (LK yang banyak) sesuai dengan kebutuhan pengajar (bukan kebutuhan peserta), sehingga ilmu, pengetahuan, atau keterampilan yang diperoleh tidak jelas; dan sebagainya.

 Stereotip yang gugur

Semua asumsi berdasarkan stereotip di atas karena beberapa pengalaman masa lalu memenuhi pikiran dan perasaan saya, sebelum akhirnya gugur ketika hari pelatihan itu datang, dan berjalan selama lima hari. Apa yang saya rasakan dan alami? Model pembelajaran yang dilakukan mengingatkan saya akan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti di luar negeri, di negara-negara maju, atau ketika di dalam negeri dengan pengajar atau pelatih yang berasal dari negara-negara maju tersebut. Catatan hasil refleksi berikut ini menggugurkan asumsi-asumsi personal berdasarkan stereotip yang terbangun dalam pikiran dan perasaan saya sebelumnya.

 

1.    Pelatihan berbasis kompetensi

Target kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta jelas dan terukur, sehingga kompetensi-kompetensi itulah yang dikenalkan dan dilatihkan melalui konsep-konsep pada sesi pemberian materi, dan dipraktikkan melalui skills practice selama pelatihan berlangsung. Pelatihan fokus pada apa yang peserta harus dapat tunjukkan dan lakukan melalui skills practice pada situasi tertentu (what an individual can really do in a given situation) untuk kompetensi-kompetensi yang harus dicapai. Ketercapaian kompetensi-kompetensi ini dilihat melalui evidence atau bukti-bukti, sehingga seseorang dinyatakan “certified” apabila ia memenuhi pencapaian penguasaan kompetensi-kompetensi tersebut. Seseorang juga dapat diberikan status “deferred” atau sertifikasinya ditunda karena harus mengulang, menambah jam pelatihannya, atau mengikuti lagi pelatihan untuk mencapai status “certified”. Seseorang juga dapat berstatus “not certified” apabila tidak memenuhi pencapaian kompetensi yang distandarkan. Semua evidence ini diperoleh dari unjuk kerja peserta pada skills practice yang dicatat secara cermat melalui observasi, dan diberikan sebagai laporan kepada peserta setelah pelatihan berakhir.

 

2.    Penilaian berdasarkan kriteria (criterion-referenced assessment)

Penilaian dilakukan selama proses berlangsung, terutama pada saat peserta melakukan skills practice secara kelompok. Karena tujuan dari praktik keterampilan ini adalah untuk menerapkan konsep dan pengetahuan yang telah diberikan, peserta tidak menyadari bahwa pada saat itu penilaian per-individu sesungguhnya dilakukan oleh co-trainer. Berbeda dengan penilaian berdasarkan norma (“norm-referenced assessment”), pelatihan ini menerapkan penilaian berdasarkan kriteria (“criterion-referenced assessment”), yang tidak membandingkan pencapaian atau skor satu peserta dengan peserta lain, tapi melihat bagaimana pencapaian individu terhadap semua kompetensi yang harus dikuasainya.  Jadi setiap individu tidak bersaing terhadap individu lainnya, melainkan berupaya bagaimana dirinya sendiri dapat mencapai target kompetensi yang ditetapkan sebagai tim seleksi. Maka, hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip dari pelatihan berbasis kompetensi yang pernah saya pelajari dan alami ketika berkesempatan belajar mengenai technical and vocational education selama setahun di negeri kanguru beberapa puluh tahun silam.

 

3.    Belajar dalam kelas kecil

Kelebihan yang dialami dengan kelas yang kecil adalah terpeliharanya perhatian yang intense dari master trainer (pelatih utama) terhadap pesertanya. Master trainer pada satu jam pertama pada hari pertama sudah hapal dengan nama-nama peserta (meskipun ini juga terbantu oleh nama yang tertulis pada setiap layar video peserta). Jadi nama pada layar video peserta itu sebenarnya name tag pada kelas virtual.

 

Kelas kecil juga memberi kemudahan pada pelatih dalam mengelola kelas. Fokus tercipta. Hanya ada 12 (duabelas) peserta pada setiap kelas pada ruang Zoom itu, yang diampu oleh seorang master trainer dan dibantu oleh empat co-trainers, dan seorang staf yang menangani administrasi virtual serta masalah teknis pada bidang IT. Masing-masing bertanggung jawab sesuai dengan tugasnya dan melakukannya secara profesional, penuh perhatian, dan dengan keramahan, senang hati, sehingga semua kebutuhan dan permasalahan peserta terpenuhi dan dapat dikelola dengan cermat dan cepat.

 

Belajar dalam kelas kecil ini juga membuat terciptanya suasana hangat, akrab, dan nyaman antarpeserta dan pelatih serta staf yang terlibat, meskipun pertemuan secara fisik tidak terjadi. Ini artinya, suasana kelas fisik dapat diciptakan pada kelas virtual. Dengan suasana seperti ini, belajar dan berbagi di kelas virtual seperti pada kelas fisik pun menjadi menyenangkan. Peserta dalam satu kelas terdiri dari enam orang widyaiswara dari tiga PPPPTK yang berbeda, dan enam orang guru yang berasal dan mengajar di sekolah-sekolah internasional di beberapa kota, yang merupakan sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan JIS (Jakarta Intercultural School). Kombinasi peserta dalam kelas kecil seperti ini memungkinkan terjadinya saling belajar atas dasar perbedaan pengalaman dan tugas masing-masing.

 

 

4.    Adopsi kelas fisik ke dalam kelas virtual yang well-prepared

Aplikasi Zoom yang digunakan sepanjang hari dari pagi sampai sore selama lima hari melalui video conference adalah ibarat sebuah upaya mengadopsi kelas fisik tatap muka langsung ke dalam kelas virtual. Itulah sebabnya, saya menduga, mengapa pelatihan ini tidak menggunakan atau memanfaatkan LMS (Learning Management System), seperti misalnya Google Classroom, Moodle, ATutor, Schoology, Edmodo, dan sebagainya. Meskipun ada keterbatasan di mana kelas virtual tidak dapat menyerupai persis seperti kelas fisik, pelatihan yang saya ikuti ini mencoba untuk menciptakan beberapa kegiatan seperti terjadi dalam kelas fisik.

 

Ketika master trainer memberikan materi berupa konsep dan contoh-contoh penerapannya, keduabelas peserta berada bersama di main room dari Zoom. Ketika peserta berlatih mempraktikkan kompetensi-kompetensinya, mereka akan dipecah menjadi grup-grup yang lebih kecil, terdiri dari tiga orang per-grup, dengan seorang co-trainer untuk setiap grup kecil ini, yang akan menjadi pembimbing dan sekaligus pengamat bagi setiap individu. Empat grup kecil ini dikirim dan bergabung ke breakout room masing-masing yang berbeda. Praktik, diskusi, argumentasi yang lebih intensif terjadi di sini pada waktu yang ditentukan secara ketat, sebelum akhirnya semua kembali lagi ke main room untuk melaporkan dan membahas hasil praktik dan diskusi kelompok. Grouping semacam ini akan selalu berubah anggotanya, sehingga peserta berkesempatan untuk saling bertemu, mengenal, dan bekerja dengan peserta lain yang berbeda.

 

Agar apa yang dilakukan dalam kelas fisik juga teradopsi di kelas virtual ini, setiap peserta harus paham dan menggunakan fitur-fitur, atau fasilitas dan fungsi dari Zoom, misalnya ketika ia ingin bertanya atau mengemukakan pendapat, ketika ia harus pindah ke breakout room, ketika menggunakan papan tulis sewaktu mencatat hasil diskusi, ketika memberikan respon, ketika ijin keluar dalam beberapa menit, dan sebagainya, yang sebetulnya mudah untuk dilakukan, hanya perlu pembiasaan saja.

 

Sebagaimana halnya dengan kelas fisik, master trainer menggunakan bahan tayang atau resource book yang dibagi di layar pada saat menjelaskan. Dua hari sebelum pelatihan, peserta juga sudah mendapatkan resource book dan practice book dalam bentuk elektronik. Semua peserta atas inisiatif sendiri mencetak kedua buku tersebut untuk memudahkan dalam membaca dibandingkan membuka dalam bentuk e-book. Semua materi, baik konsep maupun praktik disampaikan oleh master trainer dengan sangat efektif, detil, dan jelas, meskipun padat. Efektivitas penyampaian materi yang padat sangat terbantu dengan pemutaran video yang memang dirancang untuk tatap muka virtual, bukan untuk ditonton secara mandiri oleh peserta. Video itu menayangkan bagaimana keterampilan dan kompetensi tertentu dinilai secara detil melalui pemeranan aktual dari tim seleksi dan pelamar dalam sebuah seleksi. Pada setiap bagian video sudah dirancang kapan master trainer menghentikan video, dan menggunakan waktu untuk mendiskusikannya dengan peserta.

 

Pada setiap pagi di awal sesi, master trainer selalu membawa peserta untuk memecah kebekuan atau mengawali hari dengan semangat yang terpelihara, sebagaimana terjadi di kelas-kelas fisik. Contoh yang dilakukan adalah, setiap peserta secara bergiliran mengatakan pengalaman apa yang pernah dilakukannya yang mirip dengan tugas sebagai tim seleksi, setiap peserta diminta untuk menyebutkan perasaannya pada pagi itu, setiap peserta menceritakan secara singkat apa yang membuatnya merasa berhasil pada pagi hari itu, atau setiap peserta diminta untuk mengatakan apa kekuatan atau kelebihan yang dimilikinya yang membuatnya layak menjadi tim seleksi.

 

Demikian juga pada akhir kelas, master trainer meminta setiap peserta misalnya menyebutkan kesannya dalam satu kata tentang pelatihan pada hari itu, atau seperti layaknya orang beli makan di restoran, maka apa take-away pengalaman yang bisa dibawa oleh peserta pada sore itu, atau peserta menyebutkan tiga kata yang mewakili gambaran mengenai pelatihan pada hari itu. Peserta serius mengikuti, tetapi tetap bisa relaks dan tidak tegang.  Terlihat juga bahwa pengajar atau pelatih memiliki tanggung jawab besar dan berkomitmen untuk dapat membuat setiap pesertanya paham dan dapat menguasai kompetensi yang ditetapkan.

 

 

5.    Properti intelektual dan profesionalisme

Copyright sebagai properti intelektual pada resource book dan practice book menjadi hal yang harus dihormati. Sejak briefing sampai selama pelatihan, peserta diingatkan untuk hal ini, artinya semua itu hanya digunakan untuk personal use peserta yang mengikuti pelatihan.  Poin atau nilai-nilai penting yang diajarkan secara tidak langsung kepada peserta adalah bahwa siapapun dalam bidang akademis harus melakukan kegiatan akademisnya secara jujur, dan dapat dipertanggung jawabkan secara pribadi. Seseorang yang ingin berada pada level sukses harus mencapainya dengan cara-cara yang benar, bukan cara-cara short cut yang palsu, misalnya praktik-praktik mendapatkan bocoran soal untuk tujuan lulus suatu tes, atau untuk tujuan menjadi the best, mengalahkan yang lain dengan cara-cara yang tidak jujur.

 

Yang seyogyanya menjadi kepedulian peserta ketika mengikuti pelatihan adalah ilmu, pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai (values) apa yang diperolehnya dari pelatihan tersebut, yang dapat diterapkannya pada tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga ketika ia dinyatakan “certified”, ia memang memenuhi kompetensi yang menjadi target dari pelatihan tersebut. Ketika target kompetensi pelatihan dirumuskan dengan jelas, disiapkan dengan baik secara konten maupun teknis, dan dilatihkan secara profesional oleh pengajar atau pelatihnya, serta dijalani oleh pesertanya dengan penuh komitmen, maka sudah selayaknya jika dikatakan pelatihan itu memiliki nilai-nilai positif yang berarti.

 

6.    Komunikasi dan pola pembelajaran yang membangun hubungan dan iklim kelas

Tanpa disadari dan tanpa terasa, lima hari berlalu, dilewati. Konsentrasi dan fokus peserta terbangun, semua permasalahan teknis yang dialami peserta selalu dengan sigap dapat dibantu diatasi oleh staf administrasi yang merangkap IT, semangat peserta terjaga, esensi pelatihan tersampaikan … yes, I’ve got the points!  Tidak ada beban LK-LK yang berjubel, monoton, membosankan, dikerjakan secara lembur, ditagih-tagih sebagai syarat penilaian dan kelulusan, dikerjakan secara copy-paste, dikerjakan dengan berat hati tanpa tahu esensi dan kontennya, dilakukan peserta untuk mengurangi beban pengajar dan bukan untuk memenuhi kebutuhan peserta. Tidak pula ada pre-post test yang item tesnya tidak semuanya dibuat untuk mengukur ketercapaian kompetensi peserta.

 

Lima hari pun menjadi waktu yang singkat tetapi full of essence and values. Kemampuan pengajar dalam strategi berkomunikasi dengan peserta menjadi salah satu aspek penting yang mendukung iklim kelas yang positif. Dalam pelatihan kelas virtual full video conference ini, kondisi iklim kelas positif ini terjadi dan terjaga.  Seorang pengajar yang terpanggil, seyogyanya selalu bertanya kepada dirinya melalui refleksi, “Apakah saya telah memberikan sesuatu yang meaningful kepada peserta pelatihan?”  “Apakah mereka memeroleh sesuatu dari saya?”  “Apakah mereka memeroleh yang mereka butuhkan?” dan berbagai pertanyaan serupa yang akan terus membelajarkannya.

 

***

Ketika pelatihan ini berakhir, satu persatu peserta dipanggil oleh master trainer ke breakout room, untuk memeroleh feedback dari master trainer dan co-trainer berupa area kekuatan yang dimiliki individu serta area pengembangan yang masih perlu diperbaiki atau ditingkatkan. Feedback lisan ini dikrimkan juga ke setiap email individu dalam bentuk laporan tertulis. Bagi saya, ini sebuah pengalaman mengikuti pelatihan secara online dengan full video conference, yang mengungkap sisi lain bahwa pelatihan online semacam ini meski tidak terdapat fleksibilitas dalam jadwal atau waktu pelaksanaannya, dapat tetap memberikan rasa senang, termotivasi, nyaman, dan fulfilled bagi pesertanya. Ini dapat tercapai jika terdapat atau dipenuhinya semua aspek yang menggugurkan asumsi-asumsi awal yang diuraikan di atas.

 

 

Yogyakarta, 7 Juli 2020.

 


11 comments:

  1. Sippp mbak rien...
    Makasiy dibagi pengalamannya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama2, mas Sito. Pengalaman ini menjadi alternatif yg mungkin bisa kita pikirkan bersama oe depannya...

      Delete
  2. Wah.. bisa dicobakan itu.. Sip!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya... Sudah saatnya kita open-minded terhadap berbagai alternatif pembelajaran online.

      Delete
  3. Kl nanti waktu senggang, bisa diadakan sharing ttg metode pelatihan kayak gini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, mas Rohmat... kita bisa diskusikan bersama lebih lanjut...

      Delete
  4. Terima kasih mbak Rin untuk sharing pengalamannya. Besar harapan kita untuk mengembangkan hal2 positif dalam pelatihan tersebut dalam institusi kita.
    Nampaknya Zoom telah menjadi alternatif yg baik dalam memfasilitasi pelatihan online yg ideal ketika harus memindahkan kelas fisik ke kelas virtual secara soft dan mengena....
    Selamat dan Sukses mbak Rin.

    ReplyDelete
  5. Terima kasih kembali, mas Fajar. Banyak yang dapat kita kembangkan karena kita bukanlah robot2 yang diinstruksikan untuk melakukan sesuatu... kita dapat memikirkan berbagai alternatif transformasi kelas fisik ke kelas virtual secara open-minded, dan take action then...

    ReplyDelete
  6. Bagus dan detil penjelasannya mbk Rin..terimakasih..saya hrs membacanya lagi dan lagi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, mbak Digna... karena detil jadinya panjang nulisnya, hehehe...
      Yang terutama aku pelajari adalah bagaimana menjadikan belajar di kelas virtual bisa hampir mirip dengan pengalaman belajar di kelas fisik ...

      Delete