--Rin Surtantini
Pada
suatu hari pada tahun 2014, seorang teman yang menjadi pengurus komite sekolah
pada sebuah sekolah dasar tempat anaknya bersekolah, meminta kepada saya untuk
membantunya menuliskan sebuah puisi. Dia ingin membacakannya pada acara
perpisahan murid-murid kelas enam di sekolah itu, yang dihadiri tidak hanya
oleh murid-murid, tetapi juga oleh para orangtua atau wali murid. Bagi saya ini
sebuah permintaan khusus, karena saya tidak tahu mengapa hal ini menjadi penting
baginya. Lagipula, saya tidak atau belum pernah menulis puisi karena permintaan
orang lain yang ingin menyampaikan sebuah pesan atau sesuatu, sesuai dengan
gagasan atau maksud darinya. Bukankah apa yang ada di benak setiap orang
berbeda-beda dalam hal memberi dan mencipta makna? Maka, ini menjadi permintaan
yang agak sulit bagi saya saat itu.
Saya
harus bertemu dengan teman ini. Percakapan melalui pertemuan singkat dengannya
membantu saya untuk memahami mengapa ia ingin membacakan pesan melalui puisi
itu pada acara perpisahan murid-murid di sekolah anaknya, dan apa pesan yang ingin
dimunculkannya pada puisi itu. Menulis puisi tidaklah mudah bagi saya, meski
saya sangat menyukai kegiatan ini sebagai dorongan hati. Akan tetapi, rasa
ingin membantu teman ini pun tak bisa dipungkiri. Saya perlu sejenak berdiam
untuk dapat menuliskannya.
Alhasil,
tulisan itu berwujud, entah itu puisi atau bukan, saya harus segera mengirimkannya
kepada teman ini, dengan catatan saya tidak yakin apakah betul itu isi yang
diinginkannya. Saya tak begitu peduli apakah puisi itu jadi dibacakan olehnya
pada acara perpisahan itu atau tidak. Yang paling utama adalah akhirnya isi
puisi itu malah mewakili pikiran saya dan beberapa fenomena yang saya rasa dan
alami. Karena dituliskan pada tujuh tahun yang lalu, mungkin ada yang tidak
relevan dengan konteks sekarang, misalnya pada istilah atau frasa “dinding
sekolah” sehingga pada masa ini harus dimaknai sebagai makna metaforis.
Setelah
tahun 2014 itu, pada beberapa kesempatan semisal pelatihan kepala sekolah,
pengawas, atau guru-guru, puisi itu menjadi bagian dari kegiatan refleksi yang saya
lakukan pada akhir pelatihan. Saya membacakannya. Melalui puisi itu, saya
bermaksud mengajak para pendidik yang sekaligus juga para orangtua, kita semua,
untuk melakukan “redefinisi” terhadap makna dari pencapaian murid-murid yang
sekaligus juga anak-anak kita melalui pendidikan. Baru-baru ini, puisi itu kembali
saya bacakan sebagai closing statement pada acara Kolase Inovasi dengan topik "Pendekatan Pembelajaran Arts Integration", yang disiarkan secara live streaming melalui channel Youtube milik Radio Edukasi pada hari Kamis, 11 Maret 2021 lalu.
Atas ijin dari Radio Edukasi, bagian akhir dari video yang berisi pembacaan puisi ini diedit dan diunggah ulang oleh saya, sehingga dapat dilihat pada Youtube channel pada link https://youtu.be/JAJhx42vvg0.
Banyak terima kasih saya sampaikan kepada mas Dhanang, yang telah membuatkan backsound dalam bentuk piano cover lagu "The Way We were" atas permintaan khusus saya, sehingga menambah warna untuk pembacaan puisi ini pada video Youtube yang saya edit. Puisi ini ditulis dan dibacakan untuk kita semua, untuk pendidik, untuk para orangtua.
Di Balik Dinding Sekolah
(Juli 2014)
Ruang kelas
adalah dunia yang diciptakan bersama
oleh guru dan
murid-muridnya
melalui
hari-hari yang terbentang panjang
dengan aneka
goresan dan coretan yang penuh warna.
Di dalam
dunia itu kepada guru
kita titipkan
anak-anak kita
dengan sejuta
pesan dan kata
yang mewakili
gundukan keinginan dan tujuan kita.
Kepada guru kita mintakan anak-anak kita
menjadi
pandai dengan angka yang cemerlang,
menjadi maju
dengan langkah yang panjang,
menjadi hebat
dengan prestasi yang gemilang,
menjadi
cerdas dengan pengetahuan yang luas,
menjadi
terampil dengan kemampuan yang tangkas,
menjadi juara
dengan piala di almari kaca yang menghias,
menjadi
terkenal karena aneka kesuksesannya.
Di dalam
dunia yang bernama sekolah itu
kita tak
segan meminta para guru
mendengarkan
semua pesan dan permintaan kita
yang kita
bukukan dan jilid dengan seksama
dengan judul
“Cinta Kami kepada Anak-Anak Kami”.
Kita sangat
mengingat judul buku itu,
karena kita
tulis dengan semangat cinta kepada anak-anak kita,
tetapi kita
lupa dan mungkin abaikan isinya:
Jika kita
minta anak kita pandai dengan angka yang cemerlang,
mungkin ia
tidak peduli bahwa setiap angka memiliki makna.
Jika kita
minta anak kita maju dengan langkah yang panjang,
mungkin ia
tak sadar telah menginjak kaki temannya.
Jika kita
minta anak kita menjadi hebat dengan prestasi yang gemilang,
mungkin ia
akan lupa bagaimana memperolehnya.
Jika kita
minta anak kita menjadi cerdas dengan pengetahuan yang luas,
mungkin ia
lupa untuk berbagi dengan temannya.
Jika kita
minta anak kita menjadi terampil dengan kemampuan yang tangkas,
mungkin ia
abai untuk membantu temannya.
Jika kita
minta anak kita menjadi juara dengan berbagai piala di
almari kaca,
mungkin ia
tak peduli sekitar dan ingin untuk selalu berada di atas.
Jika kita
minta anak kita menjadi terkenal karena kesuksesannya,
mungkin ia
akan tumbuh dengan rasa bangga yang berlebih.
Banyak
catatan yang kita titip dan mintakan
kepada guru
bagi anak-anak kita
atas nama
"cinta" kepada mereka.
Tetapi kita
terkadang lupa
untuk
menitipkan “nilai-nilai” dan bukan
sekedar “angka”:
bahwa
anak-anak kita harus tumbuh dan belajar
menjadi
anak-anak yang berempati, menghargai,
menghormati,
jujur, rendah hati, adil, dan toleran;
bahwa kita
terkadang abai
jika anak-anak
kita tumbuhkan hanya dengan angka-angka,
maka
nilai-nilai menjadi tak lagi bermakna,
dan cinta
tidaklah lagi dapat berbicara.
Terima kasih telah membaca catatan ini, atau telah melihat pembacaannya melalui Youtube channel.
Salam sukacita untuk semua!
Yogyakarta, 15 Maret 2021.