Sunday, July 28, 2019

STEAM

---Eko Santosa 

STEAM merupakan pendekatan dalam pembelajaran yang menggunakan sains (Science), teknologi (Technology), rekayasa (Engineering), seni (Arts), dan matematika (Mathematics) sebagai pintu masuk bagi siswa untuk melakukan penyelidikan, dialog (diskusi), dan berpikir kritis - Susan Riley, Arts Integration Specialist

Pembelajaran berbasis STEAM mengambil pendekatan integrasi untuk belajar dan mengajar dengan syarat adanya koneksi intensif antara tujuan kurikulum pembelajaran, standar, penilaian, serta perancangan dan implementasi pembelajaran. Pembelajaran berbasis STEAM menerapkan pemaknaan atas matematika, sains, dan konten teknologi untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam dunia nyata melalui desain kreatif dan aktivitas belajar nyata (hands-on learning).

STEAM lebih dari sekedar pembelajaran tradisional dalam bidang sains, teknologi, rekayasa, seni, dan matematika karena merupakan perpaduan antarsubyek dalam bidang-bidang tersebut untuk membentuk subyek pembelajaran baru yang menarik untuk dipelajari semisal bio-engineering dan bioteknologi - John Durant, MIT Adjunct Professor

Perlunya Menambahkan Seni
Seni merupakan bagian alami dalam pembelajaran berbasis STEAM. Produk dan struktur dibangun berdasarkan desain kreatif. Perkembangan sains selalu dijelaskan melalui seni komunikasi yang baik. Para pendidik dengan demikian dapat merancang program pembelajaran lebih holistik dengan melibatkan seni.

Mengintegrasikan aktivitas seni dapat menghidupkan muatan kurikulum, membuat hasil pembelajaran lebih baik dengan proses yang menarik bagi guru dan siswa, dan sekaligus memperkenalkan kekuatan dan inspirasi dari pikiran kreatif ke dalam proses pembelajaran. -  Sousa dan Pilecki, From STEM to STEAM: Using Brain-Compatible Strategies to Integrate the Arts, 2013

Mengapa STEAM Penting?
Kelemahan kecakapan global dalam bidang-bidang pembelajaran yang terkait dengan STEAM adalah perihal usaha redefinsinya ke dalam lingkup pendidikan tidak menjadi prioritas. Sekolah memulai program pembelajaran berbasis STEAM untuk membekali siswa dengan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan pada Abad 21. Pembelajaran berbasis STEAM tidak hanya memproduksi desainer dan perekayasa masa depan namun juga akan mengembangkan pola pikir inovatif dan kemampuan memecahkan masalah, mendorong siswa untuk menjadi kreator teknologi, tidak hanya sebagai konsumer pasif.

Keuntungan Pembelajaran STEAM
Siswa yang terlibat dalam pembelajaran berbasis STEAM akan belajar:
·         Berpikir alternatif
·         Merasa nyaman dan aman untuk menyampaikan gagasan yang kreatif dan inovatif
·         Merasa nyaman dengan aktivitas pembelajaran nyata (hands-on learning)
·         Bertanggung jawab atas apa yang dipelajari dan selama proses belajar
·         Bekerja secara kolaborasi dengan siswa/orang lain
·         Memahami bahwa kerja bersama antara sains, matematika, seni, dan teknologi dapat meningkatkan keingintahuan akan dunia sekeliling di mana mereka hidup dan merasa terberdayakan untuk mengubahnya menjadi lebih baik.

Pembelajaran STEAM adalah penyelidikan (inquiry)
Dalam pembelajaran autentik berbasis STEAM, jalan menuju pengetahuan adalah mana saja (mana suka) namun yang terpenting jalan-jalan tersebut harus mengalir (padu antara satu dengan yang lain). Pertanyaan-pertanyaan muncul dari diri siswa sendiri dan setiap kesalahan dianggap sebagai bagian dari proses pembelajaran. Tujuan, keputusan, dan solusi dihasilkan oleh para siswa yang dibatasi hanya oleh konteks pembelajaran (misalnya, ketersediaan sarana dan prasarana atau standar kurikulumnya). Mereka mengelola dan mengendalikan investigasi secara mandiri. Selama hasil penyelidikan berupa produk yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan nyata, maka penyelidikan yang dilakukan tersebut telah menerapkan atau disebut sebagai pembelajaran berbasis STEAM.

Pembelajaran STEAM adalah autentik dan fokus pada persoalan nyata
Karir di dalam bidang pekerjaan yang berelasi dengan STEAM semuanya menyangkut soal penyelesaian masalah dalam kehidupan nyata. Mengapa kelas pembelajaran STEAM begitu berbeda? Jika siswa dapat menunjukkan problem nyata dalam konteks sosial dan lingkungan mereka, maka mereka memiliki kemungkinan untuk mengkaitkan antara pengetahuan STEAM dengan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran STEAM menerapkan matematika dan sains
Pembelajaran autentik STEAM sengaja dirancang untuk mengintegrasikan konten pembelajaran matematika dan sains. Ketika siswa menerapkan pengukuran, penghitungan, pengujian, pengumpulan dan analisis data dalam memecahkan masalah, maka mereka dengan sendirinya telah/sedang menerapkan matematika dan sains.

Pembelajaran STEAM adalah aktivitas nyata dan artistik
Kelas pembelajaran STEAM akan semarak ketika guru mencoba memberi tantangan dengan menguji (mengkiritisi) desain dan purwarupa yang dihasilkan oleh siswa. Tantangan dalam STEAM mensyaratkan siswa untuk mencipta, bongkar-pasang, dan membangun. Menyertakan metode dari seni dan desain ke dalam proyek STEAM dapat membangkitkan dan meningkatkan potensi kreatif siswa secara optimal.

Pembelajaran STEAM membina kolaborasi antara senior dan yunior
Hampir semua penyelesaian masalah di dunia nyata dalam proyek STEAM dapat dicapai dengan kerja kolaborasi antarindividu. Di dalam kelas pembelajaran STEAM, proyek kolaboratif merupakan kesempatan bagi siswa untuk berbagi gagasan (ide), memperoleh tanggapan (feed back) dari siswa lain, dan meningkatkan soft skill. (**)

Diterjemahkan secara bebas oleh Eko Santosa dari: http://elearning.tki.org.nz/Teaching/Future-focused-learning/STEM-STEAM

Wednesday, July 24, 2019

Platform

--Rohmat Sulistya

Habis nonton ultah ruangguru_. 

Keren... 
Ada Via Valen dan Tulus. Panggungnya juga megah. Tata lampu dan tata suara juga mewah. Inilah pesta ulang tahun sebuah bimbel yang sangat mewah. Membeli slot 1 jam siaran di 5 stasiun TV. Mirip-mirip launching produk baru telpon pintar OPPO. Berapa biayanya? Mbuh ya. Tapi pasti mahal. Pak Jokowi dan Bu Sri Mulyani pun diminta kasih statement ucapan ultah. Keren banget. Sebuah branding perusahaan yang all out. Konon ruangguru_ saat ini sudah memiliki 15 jt user. Itu pasti termasuk saya yang minggu lalu mengunduh ruang guru versi desktop. Karena saya mengunduh, maka saya terdaftar sebagai pengguna. Pasif tentunya, karena saya hanya ingin tahu seberapa berkembang ruangguru_ dari 2 tahun lalu ketika anak saya juga belajar dari app ini untuk menghadapi ujian nasional. Dan memang luar biasa. Kalau Rumah Belajarnya Pustekkom dibandingkan apple to apple dengan ruangguru_ pasti belumlah sebanding dan masih kalah jauh. Mungkin kapitalisasi ruangguru_ sudah hampir 1 miliar dollar AS; karena katanya tahun depan ruangguru_ potensial jadi unicorn

Dan selamat datang di dunia platform...

Paltform, kalo diterjemahkan bebas adalah semacam ekosistem. Ketika SD saya belajar IPA, saya mengenal ekosistem kolam. Ada apa di ekosistem kolam? Ada air, ada ikan nila, ikan mujaher, ikan cethul, kodok, kepiting, udang, cebong, pohon yang melintang diatas kolam, dan kampret yang bergelatungan di pohon yang melintang. Sehingga di ekosistem itu semua hal yang dibutuhkan tersedia, mereka saling terkait, dan ada relasi ‘hidup’ yang terus ada. Itu definisi rekaan saya yang mungkin ngawur dan kurang pas. Tapi, kurang lebih seperti itu. Apple, saat membuat komputer PC/Macbook belumlah sebuah perusahaan besar. Tapi dia bertransformasi menjadi platform ketika merilis iTunes Music Store untuk ‘menghidupkan’ iPod. Keterikatan untuk selalu berinteraksi diciptakan.

Dalam dunia bisnis, platform ini sering dilawankan dengan produk. Ada perusahaan yang hanya menghasilkan produk, ada juga perusahaan yang selain menghasilkan produk, dia menciptakan platform. Ada juga perusahaan yang begitu terbentuk sudah berupa platform semacam Gojek, Bukalapak, Traveloka, dan teman-temannya.

Konon, perusahaan yang tidak mengantisipasi jaman dan tetap bermindset ‘produk’ akan tergilas era digital. Yang paling sering dicontohkan untuk menggambarkan keadaan ini adalah Kodak dan Nokia. Mereka kalah oleh Instagram dan Android, dan tetap bersikukuh pada produk kamera dan handset. Padahal mindset baru adalah bagaimana mereka eksis dengan hasil jepretan, dan bagaimana mereka ‘hidup’ dengan handset yang mereka genggam.

Kembali ke ruangguru_. Dalam pidatonya, pendiri ruangguru_mengatakan, bahkan saat ini ruangguru sudah bisa mendeteksi karakter user. Begitu mereka menggunakan/berinteraksi di ruangguru, maka dapat diketahui pada materi bagian mana si pengguna itu lemah. Tanpa analisis bertele-tele. Inilah salah satu karakter platform: menggunakan data real time dan menggunakan data superbesar/big data. Dengan dua hal itu, analisis tidak lagi secara manual, apalagi memakai angket lembaran.

***

Setelah menonton (baca: mengamati) pertunjukan tersebut, mulailah timbul pertanyaan. Bisakah institusi birokrasi bertransformasi menjadi platform? Beberapa perusahaan BUMN -yang tentu punya budaya korporasi tertentu- sudah mulai bertransformasi ke platform. Bank-bank plat merah, BUMN transportasi sudah mengarah ke platform. Mungkin mereka diuntungkan dengan atmosfer kompetisi dengan sektor swasta. Lalu bagaimana dengan institusi birokrasi yang budaya kompetisinya rendah?

---

Saya sendiri juga tidak tahu bagaimana memulai mengubah hal itu. Tapi saya berpendapat pikiran radikal yang out of the box dan gaya berpikir generasi milenials sangat perlu didalami secara baik. Platform-platform besar baik diluar negeri dan di dalam negeri hampir semuanya dihasilkan oleh orang muda. Kaum milyarder tua tetap berpikiran investasi itu seputar bursa efek dan semacamnya. Tetapi milyarder muda berpikiran tentang start up. Dalam bukunya Rhenald Kasali (Shifting) dinyatakan sektor pendidikan adalah salah sector yang potensial berbentuk platform; karena pendidikan syarat dengan asupan informasi. Informasi adalah hal terpenting dalam skema platform.

Dan satu hal lagi, semua platform berbasis aplikasi. Karena semua aktivitas manusia nantinya akan dilakukan everytime, everywhere, everyone, everything dll. Kalau belajar masih menggunakan laptop, mungkin suatu saat akan kuno. Kalau diklat harus tatap muka, juga pasti kuno. Trus bagaimana? Inilah, inovasi memang sangat penting.

__

Tapi ngomong-ngomong di Australia saat ini sangat dianjurkan pembelajaran luar ruang dengan bermain-main lumpur dan berjalan menyusuri sungai lho.

Tuesday, July 23, 2019

Prestasi

--Eko Santosa

Beberapa waktu lalu selama dalam masa penerimaan peserta didik baru yang menerapkan sistem zonasi terdapat banyak kasus. Ada yang diterima karena rumahnya dekat “sekolah favorit” meski nilai sangat minim. Ada yang tidak diterima karena selisih umur dalam hitungan hari atau selisih jarak rumah ke sekolah dalam hitungan meter. Ada yang memiliki Surat Keterangan Miskin meskipun kenyataannya tidak bisa disebut miskin. Dari semua itu ada beberapa yang khas dan menyedot perhatian. Salah satunya adalah seorang anak yang membakar ijazah atau sertifikat tanda prestasi yang banyak ia miliki namun hal itu tidak membuatnya diterima di sekolah dimaksud. Banyak orang merasa iba dengan anak tersebut karena capaian prestasinya seolah tidak dihargai.

Dari seluruh faktor pembuat iba, hal yang paling mengibakan justru akibat psikologis dari sertifikat penanda prestasi itu sendiri. Anak tersebut menganggap bahwa dirinya benar-benar berprestasi karena telah memiliki sertifikat tanda prestasi. Sementara sertifikat adalat kertas dan prestasi adalah perbuatan. Kertas itu benda mati dan pasti berhenti, sementara perbuatan itu tidak pernah bisa berhenti sepanjang anak itu hidup. Anak ini telah terjebak dalam penilaian orang dewasa bahwa sertifikat sama dengan perbuatan. Orang dewasa di lingkungan tempat anak itu hidup lah yang telah terlanjur menganggap sertifikat prestasi adalah hal yang sangat penting. Mereka terlanjur mempercayai (untuk tidak menyebut memitoskan) bahwa orang yang mendapat sertifikat terbaik seolah-olah selamanya adalah (akan menjadi) orang terbaik (pula). Jika demikian prinsipnya, maka juara dunia bidang apapun tidak akan pernah bisa berganti. Kenyataannya, dalam bidang apapun, sertifikat juara selalu akan diberikan kepada orang yang tidak tetap.

Kepemilikan sertifikat prestasi bahkan menumbuhkan sifat kompetisi yang seringkali salah tempat dan tak perlu. Memang untuk mendapatkan sertifikat tersebut perlu berkompetisi, namun setelah kompetisi selesai semestinya si penerima setifikat mengalirkan kecakapannya (memberi semangat) yang lain untuk dapat meraih prestasi yang sama. Hal ini lah yang luput ditumbuhkan dari segala ajang perebutan sertifikat prestasi itu. Seolah-olah si penerima sertifikat prestasi tak perlu memlihara moral bekerja sama. Anehnya, hal semacam ini justru terjadi marak di sekolah, tempat di mana pendidikan kemanusiaan itu ditumbuhkan.

Secara lebih mendalam, prestasi itu sebenarnya tidak memaknakan apapun jika tidak mampu memberikan perubahan kualitatif bagi pemiliknya. Artinya, orang yang berprestasi mesti mengalirkan prestasinya ke dalam tindakan nyata sehingga orang-orang merasakan manfaat dari prestasi yang telah ia peroleh. Ia mesti membagikan kebisaannya pada orang lain. Pada taraf inilah prestasi itu bermakna dan penting artinya. Hanya dalam makna kualitatif ini lah orang berprestasi tidak akan pernah menganggap dirinya superior. Dalam konteks pendidikan, siswa peraih ranking 1 namun tidak mau bekerja dan belajar bersama dalam kelompok kalah berprestasi dengan siswa yang tidak menduduki ranking 1 namun selalu mau membagikan kemampuan yang ia miliki kepada siswa lain. Dalam diri siswa kedua inilah makna pendidikan sejati itu tumbuh dan sekolah semestinya menumbuhkan sikap semacam ini. (**)

Eko Santosa, Java Villas, 230719

Monday, July 22, 2019

Eksakta

--Eko Santosa

Mata pelajaran yang tergolong ke dalam ilmu eksakta semacam Matematika atau IPA menjadi primadona di sekolah dasar dan menengah sekaligus dianggap sebagai penanda kecerdasan siswa. Seolah masa depan baik para siswa itu terletak pada capaian nilai pada setiap mata pelajaran eksakta. Keseolahan itu menjadi pasti seperti halnya “eksakta” yang dimaknai sebagai satu hal yang “pasti”. Sementara jauh dalam perjalanan kajian ilmu pengetahuan, apa yang dikatakan “pasti” tidak sepenuhnya pasti. Persis seperti apa yang disampaikan oleh Hawking bahwa, “Lubang hitam tidak sepenuhnya hitam”.

Fisika Atomik dan Biologi Molekuler menghadapi kegalauan luar biasa untuk menduduki singgasana ilmu pasti serupa halnya dengan Fisika Alam Raya yang penuh dengan perkiraan. Adalah Fritjof Capra yang mengungkapkan hal ini, di mana para ilmuwan sedikit bingung menentukan kebenaran universal (satu prasyarat dalam ilmu pasti) dalam 2 cabang ilmu pasti tersebut. Banyak terdapat mikroorganisme yang dapat berkembang biak namun sulit ditentukan apakah itu sejenis binatang atau tumbuhan. Dalam perihal atom, sulit ditemukan kebenaran pasti karena pergerakan ion-ion dalam atom sangat tergantung dari sisi di mana pengamat melakukan pengamatan. Artinya, jelas tidak bisa dipastikan - dalam konteks kebenaran universal - hasil dari pengamatan tersebut.

Di bidang Matematika, Minkosvki menyampaikan bahwa jika bumi itu bulat dan jagad raya melengkung, maka tidak akan pernah ada garis lurus di dunia ini. Pernyataan ini mengandung konsekuensi bahwasanya jarak satu meter bukanlah satu meter karena jarak dengan demikian juga melengkung. Setiap garis yang diukur di muka bumi ini dengan demikian tidak akan pernah menemukan ukuran pasti karena selalu bersifat melengkung.

Dari para ilmuwan itu dapat ditemukan simpulan bahwa pemaknaan dasar “eksakta” sebagai hal yang pasti jika ditelaah mendalam ternyata juga menyimpan “ketidakpastian”. Pemaknaan eksakta sebagai penentu masa depan baik pun dengan demikian juga mengandung ketidakpastian. Artinya, pemilik nilai baik dalam mata pelajaran eksakta belum tentu memiliki masa depan yang lebih baik. Jadi masa depan manusia tidak pernah bisa ditentukan dari hasil nilai baik dalam mata pelajaran eksakta. Yang perlu diingat adalah Fisika sebagai salah satu bidang pengetahuan eksak menyatakan dengan pasti bahwa jagad raya itu melengkung. Faktanya manusia hidup di dalam lengkungan itu. Bukan meniti garis yang lurus. (**)

Eko Santosa, Merapi Online, 200719

Tuesday, July 16, 2019

Liyan


---Eko Santosa

“Liyan” merupakan kata serapan dari Bahasa Jawa untuk mengartikan - secara manasuka- frasa, “The Other”. Sejarah liyan tidak bisa lepas dari peperangan. Jauh sebelum ilmu pengetahuan dan teknologi maju pesat, pertempuran gegera liyan ini sudah sering terjadi dalam skala kecil atau besar baik untuk urusan kekuasaan atau hanya eksistensi semata. Penyebab utamanya cukup sederhana yaitu, perbedaan. Memang, liyan menandakan perbedaan. Dalam banyak cerita sejarah dijumpai peperangan antara suku satu dengan suku lain karena perbedaan tata cara, nilai sosial, simbol yang digunakan, batas wilayah yang tak jelas, dan lain sebagainya. Namun perang juga melahirkan budaya persatuan yang disebut dengan perdamaian (dengan prasyarat tertentu) dan itu juga tercatat dalam sejarah. Artinya, secara umum, liyan mengisyaratkan peperangan sekaligus perdamaian. Isyarat itu ternyatakan sepanjang sejarah manusia.


Pada masa awal kebangkitan teknologi, penjelajahan dunia dilakukan melalui pelayaran. Pengalaman ini membawa para penjelajah bertemu liyan di daerah-daerah baru. Perjumpaan ini pada akhirnya melahirkan sejarah pendudukan, penguasaan, dan penjajahan dengan mempertebal konsep liyan. Artinya, para penjajah menganggap penduduk jajahan sebagai liyan oleh karena itu berbeda dengan mereka dan karena berbeda maka pantas untuk dikuasai. Pada masa ini, konsepsi liyan masih berkutat pada perbedaan yang mesti ditanggapi secara berbeda pula. Liyan dengan demikian memiliki makna negatif.



Makna ini tidak pernah bisa hilang hingga sekarang meskipun konsep-konsep penghargaan atas keberbedaan senantiasa digaungkan. Meskipun konsep tentang multi-kultural atau konsep lain tentang tidak perlunya garis tegas yang membedakan antara manusia satu dengan manusia lain menjadi wacana besar kehidupan, namun seseorang atau segolongan orang tetap saja meliyankan orang atau golongan lain untuk kepentingan tertentu. Lihat saja dalam perkara politik, orang dengan mudah meliyankan orang lain karena perbedaan pilihan dan karena ia liyan maka menjadi wajar untuk dibully, dan lain sebagainya. Dalam perkara kecukupan ekonomi pun tradisi liyan ini ajeg terjaga di mana masih ada garis tegas antara orang yang miskin dan tak miskin tanpa adanya kewajiban sosial yang termaktub dalam hukum penyelenggaraan hidup untuk saling membantu. Bahkan konsep liyan telah lama memagari pendidikan dengan klasifikasi sekolah dan muatan akademik tertentu. Seolah sekolah A lebih baik dari sekolah B meskipun jenjangnya setara, seolah muatan akademik A lebih baik dari muatan akademik B meskipun dalam satu sekolah, dan seterusnya.


Sementara dari sudut pandang lain, konsepsi liyan dalam kehidupan modern menandakan kedewasaan orang tersebut dalam memandang perbedaan. Orang dapat dianalogikan sebagai entitas, ras, bangsa, bahkan negara. Kedewasaan ini bukan kemudian diartikan sebagai sikap yang mesti menerima liyan apa adanya melainkan bagaimana mensikapi liyan dalam ruang, waktu, dan peristiwa tertentu dengan cara tertentu. Pada taraf ini, kelindan makna negatif dan positif liyan diberadakan tanpa mencita-citakan kekusutan.


Eko Santosa, studio teater, 160719

Monday, July 15, 2019

Pelajaran Agama


---Eko Santosa

Beberapa waktu lalu, melalui media, dikabarkan bahwa Perdana Menteri Malaysia bekehendak ingin mengurangi kurikulum agama di sekolah. Langsung saja berita ini mendapatkan tanggapan heboh, terutama di kalangan netizen. Ada yang pro dan ada yang kontra, lumrah. Tak lama berselang seorang tokoh dari Indonesia bahkan memiliki usulan lebih ekstrim yaitu menghapuskan pelajaran agama dari sekolah. Langsung saja usulan ini mendapatkan banyak sekali sanggahan, khas netizen. Namun ada juga yang mencoba memberikan pandangan lain melalui twit tentang pelaksanaan pelajaran agama di Inggris. Netizen tersebut menuturkan bahwa mata pelajaran agama di Inggris diajarkan dari sudut pandang sains sehingga pelajaran Agama Zoroaster misalnya tidak harus diajarkan oleh penganut Zoroaster, melainkan oleh seorang ahli Zoroaster. Demikan pula dengan mata pelajaran agama lainnya.


Tentu saja jika sudut pandangnya adalah sains maka bisa berlaku seperti itu. Yang menjadi masalah adalah, agama selalu dilihat atau dipahami dari sisi keyakinan para pemeluknya. Oleh karena itu di Indonesia agama belum pernah memiliki pengalaman pembelajaran dari sudut pandang sains. Hanya jurusan teologi di perguruan tinggi yang mungkin mempelajarinya. Namun, penempatan kata “pelajaran” sebelum kata “agama” juga memiliki konsekuensi logis bahwa ia (seolah) tidak berbeda secara sudut pandang dengan pelajaran matematika, pelajaran fisika, dan pelajaran lainnya. Sementara itu penyelenggaraan sekolah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kata pendidikan yang memiliki makna didik, ajar, dan latih (dikjartih). Ajar sebagai kata dasar pelajaran memang dimaksudkan untuk memberikan kemampuan dalam hal pengetahuan (sains). Sementara itu latih (pelatihan) menitikberatkan pada keterampilan psikomotorik, dan didik (pendidikan) mengutamakan sikap. Namun di sekolah tidak pernah ada yang namanya mata pelatihan dan mata pendidikan. Semuanya disebut sebagai “mata pelajaran”. Sebutan ini juga didukung dengan cara menguji capaian dari setiap mata pelajaran yang sampai hari ini adalah tes kognitif. Jadi memang mata pelajaran itu dimaknai sebagai sains, mau tidak mau.


Atas pertimbangan itu maka menjadi mungkin jika mata pelajaran agama diajarkan oleh bukan pemeluknya melainkan orang yang ahli mengenai sains agama tersebut. Lain halnya jika agama adalah mata pendidikan dan bukan mata pelajaran. Konsekuensi pendidikan yang mengutamakan sikap (ditindakkan dalam keseharian) harus dialirkan oleh orang yang bersikap sama (sesama pemeluk), tidak bisa tidak. Karena sikap ini bersifat lakuan (tindakan, penerapan, aplikasi, amalan) maka jelas tidak bisa diujikan secara kogntiif sebab orang yang tahu belum tentu mau melakukan. Jika pemikiran ini diterapkan, maka agama tidak bisa dimasukkan ke dalam mata pelajaran melainkan mata pendidikan. Konsekuensinya, kurikulum mata pelajaran dan mata pendidikan mesti dibedakan sejak dari perencanaan, proses hingga penilaian pembelajaran. Pun demikian dengan bidang-bidang lain yang termasuk keterampilan psikomotorik dimasukkan ke dalam mata pelatihan.


Mungkin hal ini akan disanggah bahwasanya konsep pendidikan di Indonesia adalah memberikan pengetahuan (ajar), keterampilan (latih), dan sikap (didik) sekaligus. Jika memang demikian, mengapa tes akhirnya selalu kognitif? Mengapa tidak pernah ada rumusan nasional tentang uji psikomotor konkret dan sikap? Atau mengapa tidak pernah ada rumusan penilaian yang sekaligus bisa menguji aspek dikjartih tersebut. Jika pun memang ada atau diusahakan untuk ada tentang penilaian-peniliaian tersebut, apakah agama bisa diuji dari sisi keterampilan? Peribadatan selalu dinilai berdasar kesungguhan bukan keterampilan dan orang yang bersungguh-sungguh dalam menjalankan agamanya dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah disebut sebagai orang yang terampil.


Hal-hal semacam ini menarik untuk dibicarakan dalam konteks pendidikan di Indonesia. Dikjartih yang dibenamkan sebagai konsep dasar pendidikan hanya muncul sebagai aspek dalam proses pembelajaran dan menguap (karena hanya tersisa kognitif) ketika diujikan. Rumusan penilaian apapun yang dilakukan selama proses pembelajaran tidak berarti ketika standar nilai yang digunakan pada akhir sekolah adalah kognitif saja. Secara mendasar, memang bidang-bidang yang mesti dipelajari di sekolah tidak semuanya bersifat sains. Oleh karena itu perlu dirumuskan bidang apakah yang masuk dalam kategori sains (pelajaran), keterampilan (pelatihan), dan sikap (pendidikan). Jadi di sekolah tidak menutup kemungkinan adanya mata pelajaran (sains), mata pelatihan (keterampilan), dan mata pendidikan (sikap, norma, perilaku). Masing-masing mestinya memiliki kurikulum berupa rencana, proses, dan penilaian yang khas dan tidak bisa dipersamakan. (**)


Seturan, 130719, sambil nunggu cucian istriku kering.