--Eko Santosa
Beberapa waktu lalu selama dalam masa penerimaan peserta didik baru yang menerapkan sistem zonasi terdapat banyak kasus. Ada yang diterima karena rumahnya dekat “sekolah favorit” meski nilai sangat minim. Ada yang tidak diterima karena selisih umur dalam hitungan hari atau selisih jarak rumah ke sekolah dalam hitungan meter. Ada yang memiliki Surat Keterangan Miskin meskipun kenyataannya tidak bisa disebut miskin. Dari semua itu ada beberapa yang khas dan menyedot perhatian. Salah satunya adalah seorang anak yang membakar ijazah atau sertifikat tanda prestasi yang banyak ia miliki namun hal itu tidak membuatnya diterima di sekolah dimaksud. Banyak orang merasa iba dengan anak tersebut karena capaian prestasinya seolah tidak dihargai.
Dari seluruh faktor pembuat iba, hal yang paling mengibakan justru akibat psikologis dari sertifikat penanda prestasi itu sendiri. Anak tersebut menganggap bahwa dirinya benar-benar berprestasi karena telah memiliki sertifikat tanda prestasi. Sementara sertifikat adalat kertas dan prestasi adalah perbuatan. Kertas itu benda mati dan pasti berhenti, sementara perbuatan itu tidak pernah bisa berhenti sepanjang anak itu hidup. Anak ini telah terjebak dalam penilaian orang dewasa bahwa sertifikat sama dengan perbuatan. Orang dewasa di lingkungan tempat anak itu hidup lah yang telah terlanjur menganggap sertifikat prestasi adalah hal yang sangat penting. Mereka terlanjur mempercayai (untuk tidak menyebut memitoskan) bahwa orang yang mendapat sertifikat terbaik seolah-olah selamanya adalah (akan menjadi) orang terbaik (pula). Jika demikian prinsipnya, maka juara dunia bidang apapun tidak akan pernah bisa berganti. Kenyataannya, dalam bidang apapun, sertifikat juara selalu akan diberikan kepada orang yang tidak tetap.
Kepemilikan sertifikat prestasi bahkan menumbuhkan sifat kompetisi yang seringkali salah tempat dan tak perlu. Memang untuk mendapatkan sertifikat tersebut perlu berkompetisi, namun setelah kompetisi selesai semestinya si penerima setifikat mengalirkan kecakapannya (memberi semangat) yang lain untuk dapat meraih prestasi yang sama. Hal ini lah yang luput ditumbuhkan dari segala ajang perebutan sertifikat prestasi itu. Seolah-olah si penerima sertifikat prestasi tak perlu memlihara moral bekerja sama. Anehnya, hal semacam ini justru terjadi marak di sekolah, tempat di mana pendidikan kemanusiaan itu ditumbuhkan.
Secara lebih mendalam, prestasi itu sebenarnya tidak memaknakan apapun jika tidak mampu memberikan perubahan kualitatif bagi pemiliknya. Artinya, orang yang berprestasi mesti mengalirkan prestasinya ke dalam tindakan nyata sehingga orang-orang merasakan manfaat dari prestasi yang telah ia peroleh. Ia mesti membagikan kebisaannya pada orang lain. Pada taraf inilah prestasi itu bermakna dan penting artinya. Hanya dalam makna kualitatif ini lah orang berprestasi tidak akan pernah menganggap dirinya superior. Dalam konteks pendidikan, siswa peraih ranking 1 namun tidak mau bekerja dan belajar bersama dalam kelompok kalah berprestasi dengan siswa yang tidak menduduki ranking 1 namun selalu mau membagikan kemampuan yang ia miliki kepada siswa lain. Dalam diri siswa kedua inilah makna pendidikan sejati itu tumbuh dan sekolah semestinya menumbuhkan sikap semacam ini. (**)
Eko Santosa, Java Villas, 230719
Betul kecakapan hidup lebih penting, empati terhadap teman, saling menolong, membantu pekerjaan rumah tangga ibu... Tugas sekolah membentuk karakter, memintarkan secara akademis tugas ruangguru_ hehe
ReplyDeletepinter nggo dhewe saiki dianggep prestasi, nek mbiyen cah ngene iki ra akeh kancane...
ReplyDeleteTulisan bagus: bagi saya mengingatkan bahwa segala capaian kuantitatif, fisik, numerik, tidak selalu merupakan prestasi dalam pekerjaan apa pun, jika niat mencapainya adalah untuk kepuasan, kebanggaan, gengsi, kehebatan, dan kemegahan diri sendiri saja .... "Do your best in all your work" tidak selalu harus "be the best among others" ....
ReplyDelete