Monday, July 15, 2019
Pelajaran Agama
---Eko Santosa
Beberapa waktu lalu, melalui media, dikabarkan bahwa Perdana Menteri Malaysia bekehendak ingin mengurangi kurikulum agama di sekolah. Langsung saja berita ini mendapatkan tanggapan heboh, terutama di kalangan netizen. Ada yang pro dan ada yang kontra, lumrah. Tak lama berselang seorang tokoh dari Indonesia bahkan memiliki usulan lebih ekstrim yaitu menghapuskan pelajaran agama dari sekolah. Langsung saja usulan ini mendapatkan banyak sekali sanggahan, khas netizen. Namun ada juga yang mencoba memberikan pandangan lain melalui twit tentang pelaksanaan pelajaran agama di Inggris. Netizen tersebut menuturkan bahwa mata pelajaran agama di Inggris diajarkan dari sudut pandang sains sehingga pelajaran Agama Zoroaster misalnya tidak harus diajarkan oleh penganut Zoroaster, melainkan oleh seorang ahli Zoroaster. Demikan pula dengan mata pelajaran agama lainnya.
Tentu saja jika sudut pandangnya adalah sains maka bisa berlaku seperti itu. Yang menjadi masalah adalah, agama selalu dilihat atau dipahami dari sisi keyakinan para pemeluknya. Oleh karena itu di Indonesia agama belum pernah memiliki pengalaman pembelajaran dari sudut pandang sains. Hanya jurusan teologi di perguruan tinggi yang mungkin mempelajarinya. Namun, penempatan kata “pelajaran” sebelum kata “agama” juga memiliki konsekuensi logis bahwa ia (seolah) tidak berbeda secara sudut pandang dengan pelajaran matematika, pelajaran fisika, dan pelajaran lainnya. Sementara itu penyelenggaraan sekolah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kata pendidikan yang memiliki makna didik, ajar, dan latih (dikjartih). Ajar sebagai kata dasar pelajaran memang dimaksudkan untuk memberikan kemampuan dalam hal pengetahuan (sains). Sementara itu latih (pelatihan) menitikberatkan pada keterampilan psikomotorik, dan didik (pendidikan) mengutamakan sikap. Namun di sekolah tidak pernah ada yang namanya mata pelatihan dan mata pendidikan. Semuanya disebut sebagai “mata pelajaran”. Sebutan ini juga didukung dengan cara menguji capaian dari setiap mata pelajaran yang sampai hari ini adalah tes kognitif. Jadi memang mata pelajaran itu dimaknai sebagai sains, mau tidak mau.
Atas pertimbangan itu maka menjadi mungkin jika mata pelajaran agama diajarkan oleh bukan pemeluknya melainkan orang yang ahli mengenai sains agama tersebut. Lain halnya jika agama adalah mata pendidikan dan bukan mata pelajaran. Konsekuensi pendidikan yang mengutamakan sikap (ditindakkan dalam keseharian) harus dialirkan oleh orang yang bersikap sama (sesama pemeluk), tidak bisa tidak. Karena sikap ini bersifat lakuan (tindakan, penerapan, aplikasi, amalan) maka jelas tidak bisa diujikan secara kogntiif sebab orang yang tahu belum tentu mau melakukan. Jika pemikiran ini diterapkan, maka agama tidak bisa dimasukkan ke dalam mata pelajaran melainkan mata pendidikan. Konsekuensinya, kurikulum mata pelajaran dan mata pendidikan mesti dibedakan sejak dari perencanaan, proses hingga penilaian pembelajaran. Pun demikian dengan bidang-bidang lain yang termasuk keterampilan psikomotorik dimasukkan ke dalam mata pelatihan.
Mungkin hal ini akan disanggah bahwasanya konsep pendidikan di Indonesia adalah memberikan pengetahuan (ajar), keterampilan (latih), dan sikap (didik) sekaligus. Jika memang demikian, mengapa tes akhirnya selalu kognitif? Mengapa tidak pernah ada rumusan nasional tentang uji psikomotor konkret dan sikap? Atau mengapa tidak pernah ada rumusan penilaian yang sekaligus bisa menguji aspek dikjartih tersebut. Jika pun memang ada atau diusahakan untuk ada tentang penilaian-peniliaian tersebut, apakah agama bisa diuji dari sisi keterampilan? Peribadatan selalu dinilai berdasar kesungguhan bukan keterampilan dan orang yang bersungguh-sungguh dalam menjalankan agamanya dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah disebut sebagai orang yang terampil.
Hal-hal semacam ini menarik untuk dibicarakan dalam konteks pendidikan di Indonesia. Dikjartih yang dibenamkan sebagai konsep dasar pendidikan hanya muncul sebagai aspek dalam proses pembelajaran dan menguap (karena hanya tersisa kognitif) ketika diujikan. Rumusan penilaian apapun yang dilakukan selama proses pembelajaran tidak berarti ketika standar nilai yang digunakan pada akhir sekolah adalah kognitif saja. Secara mendasar, memang bidang-bidang yang mesti dipelajari di sekolah tidak semuanya bersifat sains. Oleh karena itu perlu dirumuskan bidang apakah yang masuk dalam kategori sains (pelajaran), keterampilan (pelatihan), dan sikap (pendidikan). Jadi di sekolah tidak menutup kemungkinan adanya mata pelajaran (sains), mata pelatihan (keterampilan), dan mata pendidikan (sikap, norma, perilaku). Masing-masing mestinya memiliki kurikulum berupa rencana, proses, dan penilaian yang khas dan tidak bisa dipersamakan. (**)
Seturan, 130719, sambil nunggu cucian istriku kering.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Thoughtful!
ReplyDelete