Tuesday, July 16, 2019

Liyan


---Eko Santosa

“Liyan” merupakan kata serapan dari Bahasa Jawa untuk mengartikan - secara manasuka- frasa, “The Other”. Sejarah liyan tidak bisa lepas dari peperangan. Jauh sebelum ilmu pengetahuan dan teknologi maju pesat, pertempuran gegera liyan ini sudah sering terjadi dalam skala kecil atau besar baik untuk urusan kekuasaan atau hanya eksistensi semata. Penyebab utamanya cukup sederhana yaitu, perbedaan. Memang, liyan menandakan perbedaan. Dalam banyak cerita sejarah dijumpai peperangan antara suku satu dengan suku lain karena perbedaan tata cara, nilai sosial, simbol yang digunakan, batas wilayah yang tak jelas, dan lain sebagainya. Namun perang juga melahirkan budaya persatuan yang disebut dengan perdamaian (dengan prasyarat tertentu) dan itu juga tercatat dalam sejarah. Artinya, secara umum, liyan mengisyaratkan peperangan sekaligus perdamaian. Isyarat itu ternyatakan sepanjang sejarah manusia.


Pada masa awal kebangkitan teknologi, penjelajahan dunia dilakukan melalui pelayaran. Pengalaman ini membawa para penjelajah bertemu liyan di daerah-daerah baru. Perjumpaan ini pada akhirnya melahirkan sejarah pendudukan, penguasaan, dan penjajahan dengan mempertebal konsep liyan. Artinya, para penjajah menganggap penduduk jajahan sebagai liyan oleh karena itu berbeda dengan mereka dan karena berbeda maka pantas untuk dikuasai. Pada masa ini, konsepsi liyan masih berkutat pada perbedaan yang mesti ditanggapi secara berbeda pula. Liyan dengan demikian memiliki makna negatif.



Makna ini tidak pernah bisa hilang hingga sekarang meskipun konsep-konsep penghargaan atas keberbedaan senantiasa digaungkan. Meskipun konsep tentang multi-kultural atau konsep lain tentang tidak perlunya garis tegas yang membedakan antara manusia satu dengan manusia lain menjadi wacana besar kehidupan, namun seseorang atau segolongan orang tetap saja meliyankan orang atau golongan lain untuk kepentingan tertentu. Lihat saja dalam perkara politik, orang dengan mudah meliyankan orang lain karena perbedaan pilihan dan karena ia liyan maka menjadi wajar untuk dibully, dan lain sebagainya. Dalam perkara kecukupan ekonomi pun tradisi liyan ini ajeg terjaga di mana masih ada garis tegas antara orang yang miskin dan tak miskin tanpa adanya kewajiban sosial yang termaktub dalam hukum penyelenggaraan hidup untuk saling membantu. Bahkan konsep liyan telah lama memagari pendidikan dengan klasifikasi sekolah dan muatan akademik tertentu. Seolah sekolah A lebih baik dari sekolah B meskipun jenjangnya setara, seolah muatan akademik A lebih baik dari muatan akademik B meskipun dalam satu sekolah, dan seterusnya.


Sementara dari sudut pandang lain, konsepsi liyan dalam kehidupan modern menandakan kedewasaan orang tersebut dalam memandang perbedaan. Orang dapat dianalogikan sebagai entitas, ras, bangsa, bahkan negara. Kedewasaan ini bukan kemudian diartikan sebagai sikap yang mesti menerima liyan apa adanya melainkan bagaimana mensikapi liyan dalam ruang, waktu, dan peristiwa tertentu dengan cara tertentu. Pada taraf ini, kelindan makna negatif dan positif liyan diberadakan tanpa mencita-citakan kekusutan.


Eko Santosa, studio teater, 160719

2 comments:

  1. Bahkan dalam lingkup yang sangat sempit pun di mana perbedaan itu hampir tidak ada, menyikapi liyan dengan cara tertentu masih tetap bisa dirasakan.

    ReplyDelete