---F. Dhanang Guritno
Tanggal 27 Mei 2006 pukul 05.55 tepat 14 tahun yang lalu masyarakat
Yogyakarta dan sekitarnya dikejutkan dengan peristiwa yang sangat menggemparkan
yakni gempa bumi. Gempa tersebut berpusat di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Beberapa sumber menyatakan gempa itu berkekuatan 5,9 skala richter
dengan pusat gempa di daratan. Korban meninggal tercatat 6.234 orang. Ribuan
rumah luluh lantak rata dengan tanah. Betapa menyedihkan jika kita ingat
peristiwa itu. Tulisan ini bukan ingin megajak para pembaca bersedih ataupun
menakut-nakuti tetapi penulis mengajak kita semua selalu waspada dan menyadari
sepenuhnya bahwa kita hidup di daerah bencana yang mungkin suatu ketika akan
terjadi lagi.
Setelah peristiwa itu terjadi, masyarakat Yogyakarta bangkit kembali
membangun tempat tinggalnya secara berhati-hati dengan memenuhi anjuran
pemerintah untuk membuat bangunan tahan gempa. Rumah yang dibangun kembali
harus memenuhi standar yakni tahan gempa. Barangkali masyarakat sebelum
peristiwa gempa memang tidak memperhitungkan bangunannya jika suatu saat
diguncang gempa berkekuatan besar. Kalaupun sudah diperhitungkan mungkin ada
beberapa hal yang diabaikan sehingga Ketika benar-benar terjadi gempa kuat
bangunan tersebut tidak kuat menahan goncangan.
Tulisan ini mengangkat cerita sisi lain dari ribuan rumah roboh diguncang
gempa, yakni rumah tinggal saya. Pada saat peristiwa itu tempat tinggal kami sekeluarga
tidak luput pula rusak parah, dan tidak mungkin untuk ditinggali lagi. Bagi
kami sekeluarga kisah itu amat membekas dan tidak akan pernah terlupakan
sepanjang hidup. Namun kami tetap bersyukur selamat dari maut, karena peristiwa
terjadi pagi hari dimana kami sekeluarga sudah bangun tidur dan sedang
mempersiapkan diri menjalankan aktivitas sehari-hari.
Rumah 1000
hari
Pada tahun 2003 kami membeli rumah baru yang tentu saja sesuai kemampuan
dibeli dengan cara dicicil alias KPR (kredit kepemilikan rumah). Rumah yang
kami beli berada di komplek perumahan baru dan rumah itupun dibangun karena
kami pesan. Dengan demikian rumah yang
kami beli adalah bangunan baru. Kami sekeluarga sangat bahagia karena akan segera
menempati rumah baru kami. Tetapi pada saat akan menempati rumah baru tersebut
kami harus menerima kenyataan kehilangan orang tua terkasih, yakni ayah dari
istri atau ayah mertua dipanggil Tuhan, karena sakit yang memang sudah diderita
sejak lama. Beberapa hari setelah pemakaman barulah kami sekeluarga bisa pindah
menempati rumah baru kami. Oleh karena peristiwa meninggalnya orang tua sangat
kami kenang, maka kami tidak pernah lupa juga kapan kami mulai menempati rumah
baru kami.
Dalam tradisi budaya masyarakat Jawa, dikenal istilah memule atau peringatan
bagi orang meninggal dunia dengan menggelar doa. Peringatan itu diadakan pada 7
hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari setelah meninggal. Demikian
juga kami sekeluarga besar selalu mengadakan acara memule tersebut.
Mulai dari 7 hari, 40 hari, hingga puncaknya 1000 harinya. Dari serangkaian
peringatan-peringatan tersebut tidak ada yang kami ingat tanggal maupun
harinya, namun yang sangat kami ingat adalah saat memule 1000 harinya.
Acara tersebut terselenggara pada tanggal 26 Mei 2006 malam.
Setelah selesai acara memule tersebut kami pun sekeluarga pulang
ke rumah. Segera beristirahat seperti biasa karena esok harinya anak-anak harus
sekolah seperti biasa. Pagi harinya ketika seiisi rumah sedang bersiap-siap
untuk menjalankan aktivitasnya masing-masing tiba-tiba terjadilah peristiwa
yang tidak kami duga sebelumnya yakni gempa bumi yang cukup besar. Cukup lama
kami merasakan goyangan itu hampir satu menit. Dengan paniknya kami sekeluarga
berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Puji syukur pada Tuhan satu
persatu kami bisa keluar rumah dengan selamat. Setelah di luar rumah
tersadarlah kami bahwa rumah kami hancur sedemikian rupa dan tidak mungkin kami
tempati kembali. Namun kami tetap bersyukur karena seisi rumah selamat tidak
ada yang menjadi korban. Karena rusaknya terlalu parah akhirnya rumah itu kami
putuskan untuk dirobohkan saja. Demi keamanan serta keselamatan untuk
ditinggali dikemudian hari.
Kondisi
rumah sesaat setelah gempa foto diambil pukul 6.23, tanggal 27 Mei 2006
Foto:
Dokumen pribadi
Kini peristiwa itu sudah berlalu 14 tahun lamanya. Kami sekeluarga tidak akan
pernah lupa peristiwa itu sampai kapanpun. Kami memaknai rumah kami yang hancur
diguncang gempa itu sebagai “kisah rumah seribu hari”. Karena secara kebetulan
dari pertama menempati hingga rumah itu hancur, bersamaan dengan peristiwa meninggalnya
ayah mertua hingga peringatan 1000 harinya.
Itulah sekelumit kenangan keluarga kami pada peristiwa gempa tahun 2006.
Tidak ada maksud untuk kembali mengajak bersedih karena peristiwa itu, tetapi
cerita ini perlu dibuat sebagai peringatan untuk waspada dan menyadari bahwa kita tinggal di
daerah rawan bencana alam antara lain gempa bumi. Belum lagi bencana non alam seperti
pandemi virus corona yang kini sedang berlangsung. Semoga tulisan ini
bermanfaat untuk kita renungkan dalam masa WFH.
Terimakasih
Bantul, 27 Mei 2020
F. Dhanang
Guritno
DOKUMENTASI
GAMBAR
Solidaritas
teman-teman P4TK SB beberapa hari setelah gempa
Foto Dokumen pribadi sekitar Juni
2006
Rumah
kami kini setelah 14 tahun berlalu…
Foto Dokumen pribadi 27 Mei 2020
Wah pancen kedadeyan sing ora gampang dilalekake... Nggone mbahku rata lemah... Untunge simbah isuk-isuk wus nyapu latar...
ReplyDeleteMula digawe cerita ben pada eling lan waspada...hehe...
DeleteSedih untuk dikenang, tapi benar mas Dhanang, peristiwa duka akibat bencana apa pun menggugah hati kita untuk selalu berhati-hati, waspada, bersiap, sekaligus bersyukur dan mengingat-Nya.
ReplyDeleteBetul mbak Rin kita tetap harus waspada....kami sekeluarga bersyukur masih diberi keselamatan dan terhindar dari bencana gempa saat itu...
DeleteIt's incredible how resilient people can be after facing such a devastating event.
ReplyDelete