Thursday, January 28, 2021

“Entropi”: Menelisik Realitanya di Tempat Kerja

 --Rin Surtantini

  


Tulisan tentang “entropi” pada Vidyasana, Jumat, 22 Januari 2021 lalu oleh seorang teman, mas Rohmat Sulistya yang latar belakang pendidikannya adalah teknik kimia, cukup menarik. Membahasnya dari definisi dan pemahaman kata “entropi” sebagai hukum kedua termodinamika ini, penulisnya kemudian mengoneksikannya dengan bagaimana makna dari kata “entropi” ini berkorespondensi dengan realitas dalam kehidupan umat manusia, makhluk hidup dan benda-benda, bumi, alam semesta, dan jagad kehidupan. Inilah yang menarik untuk dibahas.

 Memahami hukum termodinamika kedua dalam kehidupan sehari-hari, segala sesuatu di jagad semesta akan mengalami dan merasakan hadirnya “waktu” yang bergerak menuju satu arah, yaitu ke depan. Kecenderungan yang selalu terjadi dengan hadirnya waktu adalah bahwa segala sesuatu itu akan menuju kepada ketidakteraturan. Buah-buahan dan sayur-sayuran akan membusuk, lalu lama kelamaan akan menghilang dari pandangan kita. Lima tahun yang lalu rumah kita masih baru, tetapi saat ini pintunya mungkin rusak, atapnya bocor, pemanas air panasnya tak berfungsi lagi, temboknya retak, dan sebagainya. Bangunan-bangunan tempat kita bekerja mulai rusak di sana-sini, kendaraan yang dimiliki mulai rewel, manusia menua dengan bertambah umurnya. Semua yang tadinya utuh dan teratur akan berubah pasti seiring berjalannya jarum waktu.

 Peristiwa-peristiwa di atas merupakan bagian dari apa yang dinamakan “entropi”. Entropi menyadarkan manusia bahwa waktu terus berjalan maju. Entropi mengacu kepada kondisi ketika sebuah sistem dalam kondisi normal cenderung berproses menjadi tidak teratur, rusak, hancur. Jika sebuah sistem semakin tidak teratur, maka entropinya meningkat, atau menjadi tinggi.

 Di luar konteks termodinamika, kata “entropy” dalam kamus-kamus Bahasa Inggris memiliki arti chaos, randomness, disorganization, lack of order, gradual decline into disorder, confusion, lack of pattern. Jadi entropi mengacu kepada kondisi kekacauan, kondisi acak, tidak terorganisir, kurangnya tatanan, penurunan secara perlahan menjadi ketidakteraturan, kebingungan, kurangnya pola-pola, dan kondisi-kondisi serupa atau semacam ini. Entropi dalam aspek kehidupan akan terus meningkat dan itu dapat diamati setiap saat di dalam jagad raya semesta ini.

 John Demma (2012) menjelaskan, ketika sebutir telur jatuh dari atas meja dan pecahan telur itu mengotori lantai, kita tidak pernah dapat melihat lagi bahwa pecahan telur itu secara spontan akan membentuk sebutir telur yang utuh lagi seperti semula. Kondisi telur sebelumnya di atas meja utuh; tetapi ketika jatuh, telur itu di atas lantai berubah menjadi kepingan-kepingan pecahan kulit dan tumpahan isinya. Jika pecahan, tumpahan, dan kepingan kulit telur itu dikumpulkan, maka partikel-partikel itu tak mungkin dapat membentuk kembali telur utuh seperti semula. Logika yang diperoleh adalah, semakin banyak kepingan pecahan telur, semakin tinggi nilai entropinya.

***

Entropi dalam perbincangan budaya kerja sesungguhnya juga mengadopsi dari entropi dalam hukum termodinamika. Sebuah mesin menghasilkan energi yang jumlahnya sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Tetapi jika di dalam mesin tersebut terjadi kerusakan pada salah satu komponennya, maka sebagian energi yang dimiliki oleh mesin akan digunakan untuk mengatasi kerusakan komponen ini. Dengan begitu, mesin itu tidak akan berfungsi optimal dalam menghasilkan energi seperti yang diharapkan, karena sebagian energi yang seharusnya mengoptimalkan fungsi mesin sudah terambil untuk mengatasi kerusakan komponen yang terjadi pada mesin. Dalam kondisi ini, entropi pun terjadi.

 Di dalam lingkup kerja, entropi dapat setiap saat terjadi jika orang-orang yang bekerja di dalamnya mengalami misalnya konflik, rasa tidak percaya, kecewa, putus asa, persaingan tidak sehat, friksi, kecurigaan, kebencian, ketidakadilan, dan emosi-emosi serupa ini. Beranalogi dengan kerja mesin yang menurun karena ada kerusakan pada salah satu komponen di dalamnya, maka energi yang dimiliki oleh para karyawan di suatu lingkup kerja yang seharusnya digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang produktif, akan beralih dan digunakan oleh mereka untuk mengatasi berbagai emosi, sikap, dan rasa negatif yang muncul di lingkungan kerja mereka. Akibatnya, jumlah energi mereka menjadi minimum, mereka tidak menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang produktif. Mengapa? Karena energi yang dilibatkan karyawan untuk mengatasi entropi di lingkungan kerja mereka adalah energi yang seharusnya tersedia untuk pekerjaan produktif mereka, namun energi itu sudah terambil.

 Apabila dilakukan pengukuran secara valid dan sahih terhadap kondisi di atas, maka skor dari entropi budaya kerja akan menunjukkan berapa banyak energi yang dikonsumsi oleh para karyawan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sama sekali tidak produktif dan tidak perlu, bahkan yang sama sekali tidak mendukung nilai positif lembaga tempatnya bekerja! Skor yang dilakukan melalui pengukuran atau alat ukur yang benar juga akan memperlihatkan tingkat dari disfungsi yang terjadi di dalam lembaga. Bukan hanya itu saja, disfungsi dan penyebab entropi di dalam lingkup kerja pun akan dapat ditelisik, dan dijadikan pijakan untuk evaluasi (jika sadar dan mau!).

 Ketika skor entropi meningkat, energi karyawan menjadi minimum; maka produktivitas dan nilai positif lembaga pun otomatis menurun (kecuali ada usaha-usaha rekayasa untuk menyelubunginya). Waktu bekerja dirasa menjadi panjang, membosankan, dan ini harus dibunuh oleh karyawan dengan membuatnya cepat berlalu. Apa yang dilakukan oleh mereka? Tak perlu jawaban, karena mungkin, atau jangan-jangan kita juga sudah berada dalam entropi di tempat kita bekerja! Mari periksa bersama…

 Maka tulisan ini juga mungkin pertanda bahwa entropi sudah melilitkan akar-akarnya di tubuh suatu entitas tempat kita selalu mengatakan bahwa kita berintegritas.

 

 Masa WfH -- Yogyakarta, 28 Januari 2021.

10 comments:

  1. Saya malah lebih terjelaskan setelah membaca tulisan ini...ha ha. Terima kasih... analogi dan pemaparannya bagus...

    ReplyDelete
  2. Di sisi lain, yang men-trigger tulisan ini justru juga tulisan mas Rohmat sebelumnya, hehehe... krn membuka ingatan saya lagi tentang diskusi2 jaman dulu pada kuliah2 kebudayaan dan transformasinya... salah satunya adl pemaknaan entropi dalam konteks ilmu2 humaniora...

    ReplyDelete
  3. Tq mbak.... Tambah pengetahuan mbak, yg sebelumnya nggak tahu sama sekali.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sip, mas Sito. Kalo mas Rohmat sebelumnya gak nulis ttg entropi ini, saya juga gak tergerak untuk menuliskannya dari point of view ilmu2 humaniora...

      Delete
  4. Mungkin pula entropi itu justru diberadakan dan dirayakan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali, entropi kerap terjadi justru karena ada perayaan terhadapnya sbg wujud2 eksistensi, pengalihan, atau kompensasi dari ketidakberdayaan atau ketidakmampuan...

      Delete
  5. Pencerahan untuk pribadi saya tentang entropi. Terima kasih mbak Rin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sip, pak Gede. Ini sebuah pemaknaan thd istilah yang sesungguhnya merupakan realitas dalam kehidupan kita...

      Delete
  6. Jangan2 entropi juga jadi keniscayaan yg ada dalam suatu tatanan he he he... Makasih mbak Rin untuk tulisannya...Siip.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, mas Fajar. Entropi menjadi keniscayaan yg selalu terjadi seirama jalannya waktu ke depan. Entropi yang satu akan diikuti oleh entropi berikutnya...

      Delete