--Rin Surtantini
Tulisan
tentang “entropi” pada Vidyasana, Jumat, 22 Januari 2021 lalu oleh seorang teman,
mas Rohmat Sulistya yang latar belakang pendidikannya adalah teknik kimia,
cukup menarik. Membahasnya dari definisi dan pemahaman kata “entropi” sebagai
hukum kedua termodinamika ini, penulisnya kemudian mengoneksikannya dengan
bagaimana makna dari kata “entropi” ini berkorespondensi dengan realitas dalam
kehidupan umat manusia, makhluk hidup dan benda-benda, bumi, alam semesta, dan
jagad kehidupan. Inilah yang menarik untuk dibahas.
Memahami
hukum termodinamika kedua dalam kehidupan sehari-hari, segala sesuatu di jagad
semesta akan mengalami dan merasakan hadirnya “waktu” yang bergerak menuju satu
arah, yaitu ke depan. Kecenderungan yang selalu terjadi dengan hadirnya waktu adalah
bahwa segala sesuatu itu akan menuju kepada ketidakteraturan. Buah-buahan dan
sayur-sayuran akan membusuk, lalu lama kelamaan akan menghilang dari pandangan
kita. Lima tahun yang lalu rumah kita masih baru, tetapi saat ini pintunya
mungkin rusak, atapnya bocor, pemanas air panasnya tak berfungsi lagi, temboknya
retak, dan sebagainya. Bangunan-bangunan tempat kita bekerja mulai rusak di
sana-sini, kendaraan yang dimiliki mulai rewel, manusia menua dengan bertambah
umurnya. Semua yang tadinya utuh dan teratur akan berubah pasti seiring
berjalannya jarum waktu.
Peristiwa-peristiwa
di atas merupakan bagian dari apa yang dinamakan “entropi”. Entropi menyadarkan
manusia bahwa waktu terus berjalan maju. Entropi mengacu kepada kondisi ketika
sebuah sistem dalam kondisi normal cenderung berproses menjadi tidak teratur,
rusak, hancur. Jika sebuah sistem semakin tidak teratur, maka entropinya
meningkat, atau menjadi tinggi.
Di luar
konteks termodinamika, kata “entropy” dalam kamus-kamus Bahasa Inggris memiliki
arti chaos, randomness, disorganization,
lack of order, gradual decline into disorder, confusion, lack of pattern. Jadi
entropi mengacu kepada kondisi kekacauan, kondisi acak, tidak terorganisir,
kurangnya tatanan, penurunan secara perlahan menjadi ketidakteraturan,
kebingungan, kurangnya pola-pola, dan kondisi-kondisi serupa atau semacam ini. Entropi
dalam aspek kehidupan akan terus meningkat dan itu dapat diamati setiap saat di
dalam jagad raya semesta ini.
John
Demma (2012) menjelaskan, ketika sebutir telur jatuh dari atas meja dan pecahan
telur itu mengotori lantai, kita tidak pernah dapat melihat lagi bahwa pecahan
telur itu secara spontan akan membentuk sebutir telur yang utuh lagi seperti
semula. Kondisi telur sebelumnya di atas meja utuh; tetapi ketika jatuh, telur
itu di atas lantai berubah menjadi kepingan-kepingan pecahan kulit dan tumpahan
isinya. Jika pecahan, tumpahan, dan kepingan kulit telur itu dikumpulkan, maka
partikel-partikel itu tak mungkin dapat membentuk kembali telur utuh seperti
semula. Logika yang diperoleh adalah, semakin banyak kepingan pecahan telur,
semakin tinggi nilai entropinya.
***
Entropi
dalam perbincangan budaya kerja sesungguhnya juga mengadopsi dari entropi dalam
hukum termodinamika. Sebuah mesin menghasilkan energi yang jumlahnya sama
dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Tetapi jika di dalam mesin
tersebut terjadi kerusakan pada salah satu komponennya, maka sebagian energi
yang dimiliki oleh mesin akan digunakan untuk mengatasi kerusakan komponen ini.
Dengan begitu, mesin itu tidak akan berfungsi optimal dalam menghasilkan energi
seperti yang diharapkan, karena sebagian energi yang seharusnya mengoptimalkan
fungsi mesin sudah terambil untuk mengatasi kerusakan komponen yang terjadi
pada mesin. Dalam kondisi ini, entropi pun terjadi.
Di
dalam lingkup kerja, entropi dapat setiap saat terjadi jika orang-orang yang
bekerja di dalamnya mengalami misalnya konflik, rasa tidak percaya, kecewa,
putus asa, persaingan tidak sehat, friksi, kecurigaan, kebencian,
ketidakadilan, dan emosi-emosi serupa ini. Beranalogi dengan kerja mesin yang
menurun karena ada kerusakan pada salah satu komponen di dalamnya, maka energi
yang dimiliki oleh para karyawan di suatu lingkup kerja yang seharusnya
digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang produktif, akan beralih dan digunakan
oleh mereka untuk mengatasi berbagai emosi, sikap, dan rasa negatif yang muncul
di lingkungan kerja mereka. Akibatnya, jumlah energi mereka menjadi minimum,
mereka tidak menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang produktif. Mengapa? Karena energi
yang dilibatkan karyawan untuk mengatasi entropi di lingkungan kerja mereka adalah
energi yang seharusnya tersedia untuk pekerjaan produktif mereka, namun energi
itu sudah terambil.
Apabila
dilakukan pengukuran secara valid dan sahih terhadap kondisi di atas, maka skor
dari entropi budaya kerja akan menunjukkan berapa banyak energi yang dikonsumsi
oleh para karyawan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sama sekali tidak
produktif dan tidak perlu, bahkan yang sama sekali tidak mendukung nilai
positif lembaga tempatnya bekerja! Skor yang dilakukan melalui pengukuran atau
alat ukur yang benar juga akan memperlihatkan tingkat dari disfungsi yang
terjadi di dalam lembaga. Bukan hanya itu saja, disfungsi dan penyebab entropi
di dalam lingkup kerja pun akan dapat ditelisik, dan dijadikan pijakan untuk
evaluasi (jika sadar dan mau!).
Ketika
skor entropi meningkat, energi karyawan menjadi minimum; maka produktivitas dan
nilai positif lembaga pun otomatis menurun (kecuali ada usaha-usaha rekayasa
untuk menyelubunginya). Waktu bekerja dirasa menjadi panjang, membosankan, dan
ini harus dibunuh oleh karyawan dengan membuatnya cepat berlalu. Apa yang
dilakukan oleh mereka? Tak perlu jawaban, karena mungkin, atau jangan-jangan
kita juga sudah berada dalam entropi di tempat kita bekerja! Mari periksa
bersama…
Maka
tulisan ini juga mungkin pertanda bahwa entropi sudah melilitkan akar-akarnya
di tubuh suatu entitas tempat kita selalu mengatakan bahwa kita berintegritas.
Masa WfH -- Yogyakarta, 28 Januari 2021.
Saya malah lebih terjelaskan setelah membaca tulisan ini...ha ha. Terima kasih... analogi dan pemaparannya bagus...
ReplyDeleteDi sisi lain, yang men-trigger tulisan ini justru juga tulisan mas Rohmat sebelumnya, hehehe... krn membuka ingatan saya lagi tentang diskusi2 jaman dulu pada kuliah2 kebudayaan dan transformasinya... salah satunya adl pemaknaan entropi dalam konteks ilmu2 humaniora...
ReplyDeleteTq mbak.... Tambah pengetahuan mbak, yg sebelumnya nggak tahu sama sekali.
ReplyDeleteSip, mas Sito. Kalo mas Rohmat sebelumnya gak nulis ttg entropi ini, saya juga gak tergerak untuk menuliskannya dari point of view ilmu2 humaniora...
DeleteMungkin pula entropi itu justru diberadakan dan dirayakan
ReplyDeleteBetul sekali, entropi kerap terjadi justru karena ada perayaan terhadapnya sbg wujud2 eksistensi, pengalihan, atau kompensasi dari ketidakberdayaan atau ketidakmampuan...
DeletePencerahan untuk pribadi saya tentang entropi. Terima kasih mbak Rin.
ReplyDeleteSip, pak Gede. Ini sebuah pemaknaan thd istilah yang sesungguhnya merupakan realitas dalam kehidupan kita...
DeleteJangan2 entropi juga jadi keniscayaan yg ada dalam suatu tatanan he he he... Makasih mbak Rin untuk tulisannya...Siip.
ReplyDeleteYa, mas Fajar. Entropi menjadi keniscayaan yg selalu terjadi seirama jalannya waktu ke depan. Entropi yang satu akan diikuti oleh entropi berikutnya...
Delete