Tuesday, December 31, 2019

“FOMO”: Menyelinap dalam kehidupan digital kita?

--Rin Surtantini

Mengenal kata “FOMO”
Baru-baru ini saya terusik oleh tulisan teman saya, Ahmad Munjid, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UGM, yang dikirim ke grup WhatsApp teman-teman jaman sekolah S1 dulu di Sastra Inggris. Ia menulis tentang “Seberapa FOMO-kah kamu?” Saya pun bergegas untuk “memeriksa” diri sendiri dengan pertanyaan itu. Beberapa kamus online berbahasa Inggris saya telusuri untuk meneropong apa itu sebenarnya “FOMO”.

Kata “FOMO” ternyata telah menjadi sebuah kosakata baru dalam banyak kamus berbahasa Inggris sejak tahun 2013. Mari kita kenali kata baru dalam bahasa Inggris ini meskipun kita berbahasa Indonesia. Mengapa? Perkembangan istilah atau kata dalam bahasa apa pun menunjukkan bahwa sebuah istilah atau sebuah kata dapat menjadi kosakata baru dalam sebuah bahasa ketika kata tersebut digunakan manusia untuk menyatakan gagasannya, untuk berperilaku, berproses, dan memunculkan produk atau hasil dari  gagasan, perilaku, dan proses yang dilakukan tersebut. Kata itu pun menjadi bagian dari perilaku dan tindakan atau gaya hidup sehari-hari, meski tidak kita sadari.  Maka, apakah kata “FOMO” juga demikian?

“FOMO” adalah singkatan dari Fear of Missing Out. Apa itu? Definisi atau penjelasan dari makna kata ini saya telusuri dari beberapa kamus online berbahasa Inggris, yang menunjukkan adanya kesamaan dalam mendefinsikan makna kata ini.
  • »        Kamus Merriam-Webster menjelaskan arti kata “FOMO” sebagai sebuah ketakutan akan tidak terlibatnya diri kita di dalam sesuatu hal, seperti misalnya tidak terlibat dalam aktivitas yang menarik atau menyenangkan yang dialami oleh orang lain.
  • »        Kamus lain, Cambridge, menuliskan bahwa kata “FOMO” adalah perasaan khawatir bahwa kita kehilangan kejadian-kejadian menarik yang sedang dilakukan oleh orang lain, yang disebabkan terutama oleh apa yang kita lihat di media sosial.
  • »        Oxford Leaner’s Dictionaries menjelaskan kata “FOMO” sebagai rasa cemas bahwa sebuah kejadian menarik terjadi di sebuah tempat lain; dan karena kita semua terlibat dalam kehidupan internet, maka ketika kita melihat kehidupan orang lain via internet dan merasa bahwa orang-orang lain mengalami atau melakukan hal-hal yang lebih menyenangkan daripada kita, itu pertanda kita mengalami kecemasan dan FOMO.
  • »        Collins Dictionary mencatat kata “FOMO” sebagai kecemasan yang muncul dari keyakinan kita bahwa orang lain sedang menjalani kehidupan yang lebih aktif dan memuaskan daripada diri kita.


Kecemasan atau ketakutan akan ketinggalan atau kehilangan “sesuatu” menjadi pokok persoalan munculnya kata “FOMO”. Rasa cemas ini tak bisa terlepas dari gelombang kehidupan digital yang kita alami, yang menguasai kita, dan tidak bisa kita hindari. FOMO menyelinap perlahan tapi pasti, menyusup diam-diam di bawah kesadaran dan terkadang di luar kendali kesadaran kita. Ia menguasai fokus kesadaran diri kita, dan pada kekuatan tertentu, ia akan mengacaukan makna atau konsep “kebahagiaan”.

FOMO mengacu kepada rasa cemas akan ketinggalan atau kehilangan informasi, berita-berita, atau update-update status, seperti posting-posting yang muncul dari Facebook, tweets dari Twitter, atau bahkan informasi tentang produk-produk belanja dan pelayanan-pelayanan yang muncul gencar secara online (https://www.managementstudyguide.com/). FOMO berkaitan dengan kebutuhan seseorang untuk selalu terkoneksi dengan orang lain secara digital dalam rangka mendapatkan informasi atau berita mengenai apa yang sedang dilakukan oleh orang lain. Hal ini diungkap dalam artikel di https://www.ionos.com/digitalguide/online-marketing/social-media/fomo/. Dengan demikian, FOMO merupakan gejala sosial yang secara erat berkaitan dengan proses digitalisasi dalam kehidupan sehari-hari kita. Semakin banyak saat ini orang terbiasa dengan perasaan cemas, mengalami rasa takut, khawatir semacam ini, yang memiliki potensi untuk berkembang menjadi tekanan psikologis yang mengganggu.


Wajah dan pemicu dari FOMO
Mengutip artikel di https://www.ionos.com/digitalguide/online-marketing/social-media/ di atas, FOMO memiliki wajah dan pemicu yang berbeda-beda, yang antara lain diidentifikasikan berikut ini (diterjemahkan secara bebas dari laman web tersebut).

Kegiatan teman-teman:
FOMO sering berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh teman-teman kita atau kenalan yang kita tidak terlibat di dalamnya. Hal ini memicu rasa khawatir bahwa kita bukan menjadi bagian dari mereka dan merasa bahwa kita tidak disukai oleh orang-orang tersebut yang menurut kita penting bagi kita.

Terlalu banyak pilihan:
Rasa cemas akan kehilangan sebuah momen atau sesuatu juga dapat dipicu bukan oleh karena tidak terlibatnya kita dalam kegiatan dengan teman-teman kita, tetapi dapat juga dipicu oleh justru banyaknya jumlah kemungkinan yang kita miliki pada waktu luang kita, misalnya perasaan “Wah, seharusnya saya pergi ke sana”, “Jangan-jangan sesungguhnya pekerjaan lain itu lebih baik”, “Ah, sepertinya saya salah memilih yang ini,” dan perasaan-perasaan semacam itu karena kita dihadapkan pada berbagai pilihan dan kemungkinan yang membingungkan.

Berada dalam proses yang berulang-ulang:
FOMO juga disebabkan oleh aliran berita yang muncul tanpa akhir, terus-menerus, di telepon genggam kita. Akan sangat tidak mungkin kita selalu bisa up to date terhadap segala hal. Akan tetapi, orang-orang yang menderita FOMO akan merasa bahwa mereka harus dan butuh untuk selalu meng-klik ke depan dan ke belakang setiap atau semua pasokan berita (news feed), atau informasi yang datang atau masuk ke telepon genggamnya, baik itu dari koran online, media sosial, aplikasi-aplikasi pesan, dan sebagainya. Itu akan membuatnya merasa tidak ketinggalan atau tidak kehilangan satu pun info, tren, perkembangan, atau kesempatan yang muncul di sana.


FOMO: fenomena lama setua peradaban manusia
Sebagai sebuah konsep, FOMO muncul seiring dengan lahir dan merebaknya media sosial dalam satu atau dua dekade terakhir ini. Namun demikian, sebagai fenomena psikologis, FOMO sejatinya sudah dialami manusia sejak dahulu kala. Bukankah kecemasan untuk melihat ke belakang dengan rasa menyesal karena telah mengambil jalan yang salah dialami oleh manusia sejak dahulu? Bukankah membiarkan kesempatan baik berlalu juga terjadi pada banyak orang? Bukankah mengambil keputusan yang salah juga telah banyak memengaruhi banyak manusia dalam perjalanan kehidupannya? Jadi, fenomena psikologis ini sangat manusiawi dan alami, terjadi setua peradaban manusia.

FOMO, fear of missing out (rasa takut, khawatir, cemas kehilangan atau ketinggalan sesuatu) yang manusiawi ini berkembang menjadi semakin intensif seiring dengan berkembangnya media sosial. Sejak munculnya Facebook, Instagram, WhatsApp, dan lain-lainnya, kita secara kontinyu tergoda untuk “menginvestigasi” kehidupan orang lain, atau “disuguhi” sesuatu yang di luar kehidupan kita sendiri. Kita melihat teman-teman kita berada dalam kebahagiaan dan kesuksesan mereka, kenalan-kenalan kita yang menjelajah dunia, wirausahawan yang sudah memiliki  milyaran dollar di akun bank mereka pada usia 20 tahunan, dan sebagainya. Aneka digital shop windows ini menggoda kita untuk membandingkan kehidupan kita sendiri dengan kehidupan orang lain yang kita saksikan di media sosial. Di sisi lain, kita pun terdorong untuk ikut menjadi “penyuguh” kehidupan kita di media sosial, menjadi pemain juga di dalam digital shop windows bagi pengguna media sosial.


Manifestasi FOMO pada diri sendiri dan sekitar kita
Manifestasi dari kata “FOMO” dapat terlihat dari perilaku, tindakan, sikap kita, dan juga dari efek atau akibat yang muncul di luar kendali kesadaran kita. Fokus kesadaran diri kita dapat terpecah karena FOMO, dan ini dapat memengaruhi hubungan interpersonal atau hubungan sosial.

Amatilah:
  •        Pernahkah satu dua kali atau sering, rekan kerja kita yang sedang bekerja tim bersama kita di dalam kelas, atau di momen menyeleksi atau menilai beberapa asesi bersama-sama, atau sedang terlibat diskusi dengan kita, tiba-tiba tidak mendengar atau menjawab pertanyaan kita kepadanya, atau tiba-tiba sibuk sendiri dan seperti berada di luar konteks bersama kita, atau tiba-tiba tidak peduli dengan asesi atau trainee yang sedang dihadapinya?
  •         Pernahkah ketika kita cek, ternyata layar laptop yang dihadapi rekan kerja kita ini adalah misalnya web.WhatsApp, bukan materi yang sedang dibahas atau diajarkan bersama-sama dengan kita?
  •        Pernahkah ketika kita sedang berbicara dengannya, telinganya terbuka tetapi tidak mendengar, dan dia lebih peduli kepada telepon genggam yang sedang dihadapinya?
  •        Atau jika ia merespon, respon itu “tidak nyambung”?


Apa yang kita rasakan menghadapi rekan kerja yang begini? Atau, jangan-jangan kitalah yang justru melakukan hal-hal itu dan membuat rekan kerja kita menjadi jengkel karena tindakan atau perilaku kita itu.

Coba periksa juga:
  • ·         Apakah tiap sebentar kita perlu merasa harus mengecek media sosial (Instagram, Facebook, Twitter, WhatsApp, dan lain-lain), karena dilanda rasa khawatir ketinggalan informasi aau berita hangat di dunia sana, khawatir tidak segera tahu update status para teman, saudara, kenalan di dunia maya, takut kehilangan berita adanya peristiwa penting atau kehebohan yang terjadi di tempat lain, bahkan ketika kita sedang liburan?
  • ·         Apakah ada pekerjaan yang lebih penting yang kita tunda karena mengecek ada apa di telepon genggam menjadi lebih penting?
  • ·         Apakah kita harus membuka-buka aplikasi pesan ketika duduk, sementara pengkhotbah agama sedang ceramah, atau ketika kita sedang ikut rapat di kantor, atau ketika sedang makan?
  • ·         Apakah ketika berhenti di perempatan menunggu lampu hijau menyala, meski sebentar, kita wajib segera membuka aplikasi chat?
  • ·         Ada lagi, apakah kita merasa harus meletakkan telepon genggam di tempat tidur, dan segera wajib membuka aplikasi pesan begitu kita terbangun?
  • ·         Atau apakah semua pembicaraan grup chat di semua aplikasi harus kita ikuti? Kita respon?
  • ·         Apakah kita membiarkan diri kita menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk menyelidiki apa yang ada dan terjadi di luar diri kita melalui media sosial?
  • ·         Ketika sedang beraktivitas dengan teman-teman, apakah kita memikirkan apa, bagaimana, dan di media sosial mana kita akan memosting aktivitas kita dengan teman-teman ini?
  • ·         Apakah kita merasa gelisah, sedih, atau tidak nyaman ketika tahu apa yang sedang dilakukan oleh teman kita di tempat lain tanpa ada kita di sana?


Silakan menambahkan daftar pertanyaan ini.

Pertanyaan teman saya, Munjid, di awal tulisan ini, “seberapa FOMO-kah kamu?” saya jawab menggunakan rangkaian pertanyaan di atas. Dan jujur, menurut saya, setiap orang sekarang adalah FOMO! Apa yang membedakan seorang FOMO yang satu dengan FOMO lainnya? Kadarnya! Juga “sikap bijak” yang tumbuh dan dijaga pada diri seseorang untuk memerangi FOMO-nya, untuk membuat FOMO-nya ada di dalam kendali kesadarannya, untuk menjaga agar fokus kesadaran dirinya tidak terpecah karena FOMO-nya, untuk tidak mencederai hubungan sosial dan interpersonalnya, untuk tidak mudah iri dan curiga terhadap kegiatan yang dilakukan oleh orang lain, untuk tidak mudah ingin semua yang ada di dunia ini dilakukan dan diperolehnya, untuk tidak melakukan jalan apa pun demi keinginan yang menghantuinya itu, untuk sadar bahwa tidak mungkin setiap orang harus selalu terlibat dalam semua kegiatan yang dilakukan oleh orang lain, dan sebagainya.


FOMO vs rasa bahagia
FOMO menyelinap, perlahan dan pasti, dalam kehidupan digital kita. Maka, sekarang setiap kita adalah FOMO, yang sebagian kemunculannya dipicu oleh intensitas kita dalam bermedia sosial. Karena intensitas ini, kita terkadang lupa atau tidak menyadari bahwa foto-foto, video, gambar, yang ditampilkan oleh teman-teman, orang-orang, atau kenalan di media sosial cenderung merupakan tampilan dari sisi kehidupan mereka yang terang, menarik dan menyenangkan. Ini dunia maya, bukan dunia nyata. Dalam dunia maya orang cenderung ingin terlihat lebih baik daripada kenyataannya. Dunia modifikasi, dunia polesan, dunia yang direvisi, dunia yang diedit. Dalam level tertentu, dunia semacam ini berpotensi menghasilkan penyandang FOMO yang parah akibat hubungan atau interaksi interpersonal atau sosial yang dijalaninya adalah interaksi semu. Penyandang FOMO yang parah merasa bahwa dunia maya adalah dunia nyata, dan ia akan semakin tenggelam di dalamnya.  Akibatnya, ia semakin tidak bahagia, dan malah akan semakin FOMO.

Dalam posisi begini, saya teringat tulisan Eko Santosa dua bulan silam tentang pencarian kebahagiaan dengan model filsafat Stoa. Memahami tulisannya itu, saya pikir sudah seharusnya kita tak perlu risau atau menjadi sangat FOMO dengan seliweran news feeds di dunia maya, di telepon genggam kita, di berbagai aplikasi media sosial kita, karena semua itu ada di luar kendali kita. Menurut Eko dalam memahami model Stoa, semua hal yang berada atau terjadi di luar kendali diri seorang manusia, bukanlah tempat bersemayamnya kebahagiaan, karena semua itu akan dengan mudahnya hilang, lenyap, jatuh. Kebahagiaan, dengan demikian, harus diciptakan dari dalam kendali kesadaran diri kita, bukan dari news feeds di dunia maya yang membuat kita menjadi penderita-penderita FOMO. Risaulah dengan bagaimana kita harus dapat mengendalikan dan fokus pada kesadaran diri kita. Risaulah terhadap bagaimana mengatasi FOMO!

Jangan biarkan FOMO menyelinap, diam-diam, dalam kehidupan kita.


Yogyakarta, 30 Desember 2019.

Friday, December 20, 2019

"Bisa" dan "Bangkit": Meneropong Makna


---Rin Surtantini

Kegelisahan yang berdiam
Mengingat kembali istilah “memroduksi pikiran” yang dimunculkan oleh salah seorang kolega widyaiswara, membuat tulisan yang sempat tertunda-tunda ini saya selesaikan. Kegelisahan yang berdiam dalam pikiran harus ditanggapi, dengan cara “berpikir” juga, agar pikiran tidak sakit. Kali ini kegelisahan saya berawal dari seputar makna dua kata yang saya dengar berulang-ulang beberapa waktu terakhir ini, bahkan tak luput saya pun harus mengucapkan beramai-ramai, bersama-sama, senada, seirama, di dalam lingkungan kerja, dalam berbagai kesempatan. Kedua kata itu adalah “bangkit” dan “bisa”. Tujuan menyerukan kata-kata itu bersama-sama --dengan diiringi gesture tangan kanan diangkat sambil mengepalkan jari tangan-- tentu adalah untuk menumbuhkan semangat, kesetiaan, kegembiraan, kebersamaan, identitas diri, kebanggaan, kemampuan, dan berbagai nuansa lainnya. Sudah dapat dipastikan, seruan kata-kata itu tentu tidak dimaksudkan untuk menumbuhkan kegelisahan.

Tetapi saya merasakan gelisah, ketika menyerukan kedua kata itu.
Seni Budaya, “bangkit”! Seni Budaya, “bisa”!


Kata adalah simbol, segala sesuatu yang dimaknai
Simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai, sedangkan “kata” yang diucapkan merupakan wujud dari pikiran atau gagasan. Jika “kata” yang diserukan itu adalah untuk mengomunikasikan pikiran atau gagasan, dan terjadi pemaknaan, maka kata adalah simbol. Karena simbol ini dilisankan sebagai salah satu bentuk komunikasi, maka simbol ini ditangkap dalam bentuk bunyi. Jadi, interaksi di antara kita adalah interaksi simbolik. Sebagai simbol, maka kata “bangkit” dan kata “bisa” sejatinya memiliki makna dan diberi makna oleh yang mengucapkannya.

Sebagai makhluk yang memroduksi pikiran, kita tidak bisa terhindar dari tidak memaknai atau tidak memberi makna. Simbol tidak harus konkrit atau berupa material, tetapi juga berupa gagasan. Kembali ke persoalan kata “bangkit” dan “bisa”, maka kedua kata ini adalah simbol yang abstrak, yang berupa gagasan. Ada dimensi makna di sini. Jadi, apa makna dari gagasan yang diusung oleh kedua kata itu?

Pemaknaan dilakukan oleh pencipta simbol, maupun orang lain. Pemaknaan bisa personal (private) ataupun kolektif (shared, public, collective). Adakah makna dari gagasan yang diwujudkan oleh kata “bangkit” dan “bisa” dari ujaran Seni Budaya “bangkit”, Seni Budaya “bisa” itu?


Meneropong makna: hasil kesepakatan?
Ketika simbol berupa kata diserukan bersama-sama oleh sekumpulan orang dalam bentuk bunyi, sejatinya itu adalah hasil kesepakatan dan komitmen bersama. Rupanya ini yang membuat saya gelisah. Saya ikut-ikutan mengangkat tangan dan berseru sebagai wujud aksi dari ego yang saya miliki, yang terjadi karena bekerjanya super ego saya berupa nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam pengelolaan hubungan sosial. Akan tetapi saya merasakan ada dorongan-dorongan lain yang mengganggu dan mempertanyakan aksi saya itu, yang menggelisahkan:

Bisa!
Bisa apa? Bisa menjadi apa?

Bangkit!
Bangkit dari apa? Bangkit dari mana?
Bangkit menuju apa? Bangkit menjadi apa?

Entah dari mana dan siapa yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu dalam pikiran saya. Dan setiap saat saya menyerukan kedua kata itu beramai-ramai dengan gesture yang sama, setiap saat pula pertanyaan-pertanyaan berikutnya memenuhi rongga pikiran saya:

Bukankah itu “unfinished sentence” yang sering kamu gunakan sebagai pancingan agar murid-murid dalam kelas Bahasa Inggris memproduksi kalimat secara kreatif dengan struktur yang benar dan penggunaan bahasa yang sesuai?

I can ……………………..
I move up to ……………….

Lalu, dari pancingan kalimat yang belum selesai itu, murid-muridmu akan melaporkan berbagai kemungkinan kalimat yang diproduksinya. Menarik, dan menyenangkan sekali mendengarkan variasi kalimat-kalimat yang muncul dari mereka.

Dan perhatikan, ketika kamu meminta mereka untuk mengoneksikan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari, maka penyelesaian kalimatmereka yang bervariasi itu mencerminkan perilaku, tindakan, gagasan mereka!

Betul sekali!
Maka ….
jika kita menyerukan “Seni Budaya bisa!” / “Seni Budaya bangkit!”
coba lanjutkan kalimat itu dalam hati: “bisa …………… ” dan “bangkit dari …………….”
Jika kedua kata itu adalah “simbol”, maka keduanya mengusung makna, keduanya memiliki makna, keduanya adalah gagasan yang dimaknai, dan bukan tidak mungkin bahwa kedua kata ini menjadi bagian dari kita sebagai organisme, yang berpikir, bertindak, berperilaku, bersikap, dan bertutur menurut makna personal yang kita berikan kepada kedua kata ini, yang kemudian dalam lingkaran yang lebih luas, menjadi makna kolektif, makna bersama (shared, collective meaning) yang disepakati…..

Dan dalam perjalanan waktu, kedua kata itu pun akan menjadi “wajah” institusi, menjadi work culture. Pikirkan, jika kita tidak tahu bahwa kita “bisa apa”, atau “bisa menjadi apa” dan “bangkit dari apa” atau “bangkit dari mana”…..

Malang, 3 Desember 2019.

Tuesday, December 17, 2019

Sejenak Menikmati “Luka-Luka yang Terluka” (2019)

(Sebuah penerbitan buku lakon drama oleh Dinas Kebudayaan DIY dengan Dana Keistimewaan)

--Rin Surtantini


Merespon spontan
Akhir bulan November 2019 lalu, buku Luka-Luka yang Terluka: Jejak Perkembangan Lakon, saya terima, dengan pesan tertulis di halaman pertama, “Selamat membaca” pada bagian buku yang berbahasa Indonesia, dan “Happy reading, happy learning” pada bagian sebaliknya yang berbahasa Inggris.

I’m so glad, for sure, to get such a good book from such a good friend, yang juga adalah penulis buku ini sendiri, Eko Santosa, bersama dengan Whani Darmawan, yang adalah penulis lakon Luka-Luka yang Terluka (1991). Alasan lain yang membuat saya merasa so glad  adalah “perasaan saya” bahwa tujuan dari penerbitan buku ini sebenarnya sampai ke pembaca potensial. Maka, meskipun free, tentulah pembagiannya perlu selektif. Tidak semua orang bisa memperolehnya, bukan? For me, personally, ini sebuah privilege, of course. And as I consider it as a particular present for me, I’m pleased to read it. Dan itu harus saya ceritakan di sini.

Pertama, tentu wajah buku ini yang saya amati sebelum mencari tahu apa isinya. Keunikan yang saya dapati adalah buku ini memiliki dua wajah: satu wajah sampul (cover depan buku) berjudul bahasa Indonesia, Luka-Luka yang Terluka: Jejak Perkembangan Lakon; dan ketika wajah sampul ini dibalik, ternyata bagian belakang buku ini juga merupakan wajah sampul (cover depan buku) yang menampilkan judulnya dalam bahasa Inggris, The Wounded Cuts: Traces of the Development of the Play. Jadi, buku ini tidak memiliki sampul atau cover belakang buku, tetapi memiliki dua sampul atau cover depan sebagai wajahnya. Tinggal mau mulai membaca atau membuka yang mana, versi bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Apresiasi saya kepada Eko Santosa, sebagai kolega widyaiswara (dengan tidak mengenyampingkan Whani Darmawan sebagai partner dalam menuliskan buku ini): spontan  saya memberitakan di grup widyaiswara, dengan melampirkan foto kedua “wajah” cover depan buku, diiringi caption: Terbit, oleh Dinas Kebudayaan DIY, satu buku dalam dua bahasa. “Happy reading, happy learning” {Eko Santosa}.

Mengapa saya memberitakan di grup tersebut, adalah semata-mata ingin mengungkapkan apresiasi bahwa dorongan seorang Eko Santosa dalam menuliskan buku tersebut (dalam pemahaman saya terhadap Eko) adalah menyebarkan atau menyumbang (ilmu) pengetahuan atas dasar kemampuan dan kompetensi yang ia miliki, pelajari, tekuni, dan juga ia “lakoni” dengan hati. Ini cerminan sebuah bentuk aktualisasi diri sebagai personal achievement sesuai dengan bidang yang digelutinya dengan rasa senang dan serius. Tidak ada sama sekali tujuan “administratif” yang mengikat seorang widyaiswara, yang pada umumnya cenderung menjadi terjebak dalam lunturnya atau pudarnya esensi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Terbitnya buku tersebut dalam dua bahasa adalah persoalan lain; jadi menurut pendapat saya, teman-teman widyaiswara yang kebetulan latar belakang pendidikannya adalah jurusan bahasa atau sastra Inggris, rasanya tidak perlu merasa “isin” atau terhenyak karena merasa belum menulis buku dalam bahasa Inggris. Mengapa? Karena buku ini ‘aslinya’ ditulis oleh Eko Santosa dan Whani Darmawan dalam bahasa Indonesia, lho, bukan dalam bahasa Inggris. Jadi values yang perlu diangkat sebagai pokok persoalannya dengan terbitnya buku ini adalah masalah “konten” atau “esensi” dari apa yang disampaikan oleh penulisnya, yaitu tentang jejak perkembangan lakon dari naskah sandiwara Luka-Luka yang Terluka. Itulah yang ingin disampaikan oleh penulisnya sebagai pengetahuan kepada pembaca potensial. Jadi sama sekali bukan untuk menunjukkan keterampilan atau kepiawaian menulis dalam bahasa Inggris.  Lalu mengapa kemudian diterbitkan juga dalam bahasa Inggris? Karena pementasan lakon ini, baik di dalam maupun di luar negeri, menimbulkan kebutuhan untuk diterbitkannya buku lakon ini dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), untuk memberi ruang yang lebih luas terhadap gagasan-gagasan kreatif dan menemukan dialektikanya dalam percaturan kebudayaan dunia (mengutip Aris Eko Nugroho, Kepala Dinas Kebudayaan DIY dalam kata pengantarnya). Maka, lihatlah, kemudian ada penerjemah lakon dan penerjemah teks dalam buku versi bahasa Inggrisnya untuk memenuhi tujuan yang disebutkan itu.

Happy reading, happy learning
Ada lipatan-lipatan waktu yang harus saya buka untuk membaca buku ini. Sepuluh menit, setengah jam, satu dua jam, tiga jam, lipatan waktu itu saya sempatkan untuk dibuka: saat menunggu di klinik dokter gigi, saat naik go car, saat menunggu cucian digiling di mesin cuci, saat menunggu air mendidih sebelum menyeduh teh, saat di ruang tunggu airport, saat akan tidur, saat istirahat dari mengedit modul menuju deadline, dan saat-saat lainnya. Dan alhasil, seiring dengan lipatan waktu yang saya buka berulang-ulang, buku itu tidak mulus lagi seperti ketika pertama saya terima.

Saat membaca buku Luka-Luka yang Terluka, saya merasakan flashback sekian puluh tahun silam ketika menjadi mahasiswi di jurusan Sastra Inggris di Fakultas Sastra, di kampus biru. Mata kuliah Literary Criticism, Novels, Poetry, Drama, Book Report, menjadi bagian tak terpisahkan dari sekian paper yang selalu harus ditulis dan diselesaikan dari kegiatan membaca sekian teks, naskah, karya-karya sastra berupa novel, puisi, drama, dalam bahasa Inggris. Dua tulisan Eko Santosa dalam buku Luka-Luka yang Terluka, mengingatkan saya akan masa-masa silam itu. Ah, betapa pekerjaan dan tugas saya sebagai widyaiswara saat ini sudah sangat sangat berbeda dan jauh dari masa-masa tersebut. Tiba-tiba saya rindu untuk kembali membaca teks-teks ber-genre sastra, berselancar, menyelam ke kedalaman nilai-nilai dan pesan-pesan yang sarat dengan potret segala sisi kehidupan manusia dalam perjalanan jaman.

“Telisik Lakon Luka-Luka yang Terluka” adalah tulisan pertama Eko Santosa dalam buku ini yang mengingatkan saya pada tugas menelaah naskah-naskah drama pada jaman kuliah di Fakultas Sastra pada masa lalu itu, dan pelibatan critical thinking, analisis, sintesis, evaluasi, dalam melakukan telaah. Eko melakukan dan menuliskan telisiknya terhadap naskah lakon Luka-Luka yang Terluka dengan cermat dan kritis mulai dari sinopsis, penokohan, setting dan spektakel, plot dan dramatika lakon dengan interpretasi dan sub-metode yang dipilihnya. Perhatikan, ia mencantumkan daftar bacaan yang tentu digunakannya sebagai referensi untuk mewujudkan tulisannya ini.

Telisik Eko terhadap lakon yang ditulis oleh Whani Darmawan (1991) ini menurut saya tidak terlepas juga dari sejarah bagaimana naskah lakon ini pertama kali jatuh ke tangan Eko pada tahun 1993. Eko-lah yang melakukan adaptasi terhadap naskah aslinya sesuai kebutuhan tanpa merusak esensi, demikian menurut Whani. Naskah versi Eko inilah yang kemudian beredar jauh dan dimainkan berganti-ganti pemain dalam rentang waktu tertentu (terakhir pada akhir bulan November 2018 di Singapura). Jadi, jika Eko menuliskan dengan cermat telisiknya terhadap naskah lakon ini, tidak diragukan lagi, karena ia juga merupakan orang yang paling banyak mementaskan lakon ini, baik sebagai pemeran maupun sutradaranya.

Apa yang membuat saya mengalami happy reading and happy learning? Persinggungan dan komunikasi Eko yang intens dengan teks lakon Luka-Luka yang Terluka sangat membantu saya untuk mencoba memahami atau menginterpretasi naskah lakon ini melalui telisik yang dituangkan Eko dalam tulisannya tersebut. Dan saya kemudian menuliskan ini dalam status saya di WhatsApp, the more I read, the more I acquire, and the more certain I am that I know nothing… (mengutip kata-kata bijak dari sebuah web). Jadi, saya mendapatkan pengetahuan tentang keberadaan naskah lakon karya Whani Darmawan ini, sebagaimana judul catatan penyunting buku ini: Mengingat Ulang terhadap Lakon yang pernah Ditinggalkan. Saya pun mendapatkan pemahaman mengenai lakon ini, yang bercerita tentang apa…. Saya belajar kembali.

“Perjalanan Artistik Pementasan Luka-Luka yang Terluka” adalah tulisan kedua Eko Santosa dalam buku ini. Tidak seperti tulisan Eko yang pertama, tulisan ini tidak membawa saya ke masa lalu ketika mengikuti kuliah di jurusan Sastra Inggris, karena tulisan kedua ini sudah secara spesifik menjadi keahlian khusus bidang teater, yaitu artistik pementasan yang tidak pernah saya pelajari pada masa lalu. Apresiasi yang saya berikan terhadap tulisan kedua ini adalah bagaimana dokumentasi pementasan lakon Luka-Luka yang Terluka diceritakan secara detil dan lengkap oleh Eko sejak pertama kali dipentaskan pada tahun 1993 sampai dengan tahun 2018. Kurun waktu 25 tahun merupakan bentangan waktu yang cukup panjang untuk mengikuti bagaimana naskah lakon ini menyerupai “organisme yang hidup” dan mengalami perkembangan pada jaman yang berbeda-beda. Setidaknya Eko mencatat ada enam konsep dasar atau pendekatan yang digunakan dalam proses pemeranan yang menandai kehidupan naskah lakon ini. Ia mencatatnya dengan detil termasuk gambar-gambar karyanya sendiri yang disajikannya untuk menyertai setiap babakan konsep dasar yang diuraikan. Sebuah pencapaian yang ulung! Selain itu, melalui tulisan kedua ini, pembaca juga bisa mencatat bagaimana perjalanan seorang Eko Santosa menikmati pergulatannya dengan naskah lakon Luka-Luka yang Terluka dan meraih prestasi di bidang yang ia tekuni melaluinya. Maka benarlah: Naskah ini penting, orang yang terlibat di dalamnya penting untuk naskah ini (mengutip Whani Darmawan dalam Mengapa Menerbitkan Lakon Ini?). 

Maka, saya pun kemudian membaca naskah lakon Luka-Luka yang Terluka, untuk tujuan extensive reading, meski telah “dipengaruhi” oleh kedua tulisan Eko, catatan penyunting, dan tulisan Whani Darmawan pada bagian awal buku. Interpretasi saya yang mandiri terhadap naskah lakon ini, tentu ada, dan itu menjadi bagian dari kegiatan personal reading for fun and, of course, for learning, as always.

Terimakasih, mas Eko.
Best wishes for your next achievement!

Manggarai, Flores, Desember 2019.

Tuesday, October 22, 2019

Estetika: Keindahan dan Kebenaran


--Eko Santosa

Seni adalah karya manusia yang mengutamakan keindahan, kata sebagian orang. Keindahan seringkali diidentikkan dengan estetika sehingga hal-hal yang indah disebut sebagai estetis. Namun soal utamanya adalah apakah estetika itu? Adalah Alexander Gotlieb Baumgarten (1714-1762) yang pertama kali memunculkan istilah “estetika” melalui karyanya Reflections on Certain Matters Relating to Poetry pada tahun 1735 dan berikutnya secara lebih tegas pada tahun 1750 melalui karyanya Aesthetica. Semenjak aktivitas filosfis mengenai keindahan yang disebut estetika ini dibincangkan, problem subyektiftas dan identitas mulai muncul. Artinya, ukuran keindahan karya seni dapat terjebak pada ukuran subyektif dan bergantung pada identitas. Meski begitu, estetika diterima sebagai cabang filsafat yang tak hanya membicarakan perihal keindahan namun juga lingkup alamiah pengalaman manusia dalam konteks persepsi, perasaan, dan renjana. Secara sederhana, pemikiran ini memberikan gambaran bahwa perihal keindahan mesti akan selalu bersangkutan dengan persepsi, perasaan, dan renjana yang mana ketiganya dapat dibentuk melalui pengalaman berbudaya dan pemikiran yang melingkupinya.

Jauh sebelum Baumgarten, pada masa Klasik, soal mengenai keindahan ini juga banyak diperbincangkan (meski tentu saja belum memakai kacamata estetika). Pada masa hidup Socrates, Plato, dan Aristoteles gagasan atas keindahan seni ini banyak dimunculkan dan selalu dikaitkan dengan nilai kebenaran. Mengait dengan budaya pada masa itu di mana kepercayaan akan Dewa-Dewa sangat kuat, keindahan selalu dikaitkan dengan kebenaran secara metafisik. Jagad para Dewa adalah dunia atas nan ideal di mana semua keindahan dan kebenaran berasal dan jagad manusia seisinya adalah dunia imitasi yang pucat menurut Socrates. Plato berpendapat sama dan ia menilai karya seni atas kualitas peniruannya. Pada masa itu arsitektur, musik, dan patung dianggap jauh lebih memiliki keindahan dan kebenaran dibandingkan lukis dan puisi. Lukisan dianggap sebagai peniruan yang jelek dan palsu karena bersifat 2 dimensi sementara puisi dianggap memberikan gambaran tak lengkap atas Jagad Dewa bagi para pendengarnya. Meski demikian, Plato tidak menghujat mereka dengan sangat keras. Melalui karyanya The Sophist (360 SM) ia mengkategorikan mereka ke dalam “simulakrum”, sebuah kategori yang sepenuhnya terpisah dari soal keindahan dan kebenaran (maka dengan demikian, lukis dan puisi belum sepenuhnya dianggap seni).

Aristoteles mengambil sikap yang berbeda. Ia mengajukan gagasan tentang “fiksi” untuk memberikan wadah bagi seni yang dianggap tak tampil sempurna, khususnya teater dan sastra yang pada saat itu sedang gandrung tragedi. Fiksi adalah dunia yang memiliki struktur dan kenyataan tersendiri. Keindahan, dan dengan demikian juga kebenaran, fiksi tidak bisa dipersamakan dengan realitas meskipun ide dasar penciptaannya diambil/dipantik dari sana. Apa yang terjadi di dalam fiksi justru dapat merefleksikan realitas bagi para penikmatnya. Tokoh Pahlawan yang menderita di dalam panggung tragedi bukanlah gambaran sempurna realitas kapahlawanan pada masa itu namun mampu membangkitkan kesadaran akan perlunya pahlawan sejati di tengah masyarakat. Di sinilah, melalui apresiasi penikmat atas karya seni, keindahan dan kebenaran fiksi itu berfungsi (maka dengan demikian, apa yang dipandang sebagai belum seni sebelumnya dapat dikatakan sebagai seni).

Kaitan antara keindahan dan kebenaran ini terus menjadi isu sentral di kemudian hari. Apa yang disebut indah adalah apa yang benar. Ketika agama-agama monoteis masuk, patokan utama keindahan yang tadinya adalah Jagad Para Dewa bergeser ke Kitab Suci dan kepercayaan bahwa Tuhan adalah Maha Sempurna. Bahkan ketika kebangkitan sains memulai pergerakannya dengan beragam penemuan, kaitan antara keindahan dan kebenaran tetap saja kukuh. Namun kebenaran tak lagi berkutat pada kepercayaan semata melainkan bergeser pada pengetahuan. Apa yang dianggap benar menjadi atau merupakan pengetahuan. Model atau rumus pengetahuan agama-agama adalah Kitab Suci X Logika sementara rumusan pengetahuan sains adalah Data Empiris X Matematika (Harari, 2018). Keindahan seni berkelindan di antara 2 rumusan pengetahuan (kebenaran) tersebut. Barulah ketika Humanisme mengajukan rumusan baru di mana Pengetahuan adalah Pengalaman X Sensitivitas (Harari, 2018), karya  seni bisa melepaskan diri dari ikatan kebenaran.  Apa yang indah tidak kemudian selalu sama dengan apa yang benar.

Dengan berdasarkan pada rumusan tersebut, Humanisme menyatakan bahwa keindahan karya seni terletak pada penontonnya/penikmatnya. Jika seseorang melihat karya seni dan atas dasar pengalaman dan sensitivitasnya dalam mengapresiasi karya itu kemudian mengatakan bahwa karya seni itu indah, maka indahlah karya seni itu, demikian juga sebaliknya. Rumusan ini dengan sendirinya menyingkirkan standar tertentu atas keindahan. Mungkin orang akan manasuka berkarya seni karena cairnya rumusan estetika yang diajukan. Namun semua bergantung pada respon penikmat apakah karya seni itu indah atau tidak, apakah keindahan karya seni itu dapat diterima banyak orang atau tidak. Justru melalui rumusan ini, karya seni mendapatkan tantangan sesungguhnya ketika hadir menawarkan keindahan kepada khalayak.

Ketiga rumusan tentang pengetahuan yang mempengaruhi keindahan tersebut masih langgeng hidup sampai hari ini. Ada orang yang mengatakan bahwa karya seni itu indah karena mengandung pesan-pesan surgawi di dalamnya. Ada orang yang menyatakan karya seni itu indah karena bentuk, ukuran penampang dan volume sesuai dengan ruang pajang yang ia miliki di rumah. Ada pula orang yang mengatakan karya seni itu indah karena mampu membangkitkan sensasi dalam diri ketika melihatnya. Penilaian atas keindahan dengan demikian sangat tergantung timbangan-timbangan estetik yang digunakan. Ketika karya seni mesti dikaitkan dengan “benar dan salah”, maka tentu saja mesti ada patokan untuk menyatakan bahwa itu “benar” atau “salah”. Patokan yang semestinya bukan hanya ukuran-ukuran terlihat melainkan konsep filosofis dan etis di sebaliknya. Ketika karya seni dibebaskan dari nalar “benar dan salah”, maka semestinya apresiasi yang dihasilkan berdasarkan pengalaman dan sensitivitas penikmatan itu mesti dihargai dari sudut pandang penikmat. Dengan demikian, penyematan nilai estetika karya seni tidak terjebak, berhenti serta dipertahankan ke dalam satu rumusan saja. (**)

Domas-F8, 201019

Sumber utama tulisan:
Kul-Want, Christopher & Piero. 2012. Introducing Aesthetics, A Graphic Guide. London: Icon Books
Bacaan dampingan:
Harari, Yuval Noah. 2018. Homo Deus, Masa Depan Umat Manusia. Jakarta: PT Pustaka Alvabet

Monday, October 21, 2019

Zeno, Sinisme, Stoa, dan Kebahagiaan


--oleh: Eko Santosa

Zeno dari Citium (334-262 SM) mengalami kemalangan luar biasa karena kapalnya tenggelam bersama barang dagangan berharga yang ia bawa. Lebih parah lagi, Zeno terdampar di Athena yang mana bukan merupakan kota tujuannya. Ketika mengobservasi kota, Zeno menemukan kedai yang menjual buku-buku filsafat. Karena begitu tertarik dengan isinya, ia bertanya pada pemilik kedai apakah bisa dipertemukan atau mengunjungi rumah para penulis buku tersebut. Kebetulan pada saat itu melintaslah Crates salah satu filsuf aliran Sinis (Cynic) yang dikenal oleh pemilik kedai dan segera saja ia memberitahu Zeno. Tanpa berpikir panjang, Zeno mengikuti Crates dan menyatakan diri ingin belajar darinya.

Filsafat Sinis (yang diajarkan Cartes kepada Zeno) dilahirkan oleh Antisthenes yang hidup pada 445-365 SM dan merupakan salah seorang pengikut setia Socrates. Meski tidak dimasukkan ke dalam Mazhab Filsafat Formal, namun gagasan dari Filsafat Sinis ini menarik untuk dibicarakan. Tokoh Sinis yang sangat terkenal adalah Diogenes yang diperkirakan hidup pada 403-324 SM. Diogenes dikenal karena perilaku hidupnya yang unik. Ia tinggal di dalam tong anggur kosong, makan dan minum dengan sangat sederhana, dan menggunakan peralatan seadanya. Satu hari ketika sedang berjemur, Alexander the Great yang termasyhur itu menemuinya dan bertanya apakah ada nasihat yang mesti ia lakukan. Diogenes dengan enteng justru menyuruh Alexander menyingkir (bergeser) karena menghalanginya dari sinar matahari. Laku hidup unik dan sederhana ini selaras dengan doktrin mereka bahwa kebahagaiaan sejati tidak terletak atau bergantung pada sesuatu yang acak dan mengambang. Kekayaan, pamor, kekuasaan, dan kesehatan adalah sesuatu yang acak dan mengambang.

Ajaran semacam ini tepat bagi Zeno yang baru saja mengalami kemalangan kehilangan harta benda. Ia suntuk belajar mengenai filsafat Sinis (juga belajar dari filsuf lain selain Cartes) ini hingga akhirnya mengembangkan dan mengajarkan sendiri filsafatnya. Ia melakukan pengajaran di teras-teras gedung di antara pilar-pilar bangunan (colonnade) di sekitaran Athena sehingga filsafatnya dikatakan sebagai Filsafat Stoa (kata “stoa” secara harfiah berarti “teras”). Di dalam ajarannya Zeno mengembangkan pemahaman Sinisme mengenai pencarian atau pencapaian kebahagiaan. Tujuan utama Kaum Stoa adalah hidup terbebas dari emosi negatif, hidup dengan mengasah kebajikan, keberanian, serta kemampuan menahan diri. Laku penting dari aliran Stoa adalah apa yang disebut dengan dikotomi kendali. Setiap orang memiliki kendali atas dirinya sendiri dan “sesuatu yang acak dan mengambang” merupakan hal yang berada di luar kendali diri seseorang. Oleh karena itu, kebahagiaan bersemayam atau bersumber dari sesutau yang berada di bawah kendali diri. Orang yang menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu yang berada di luar kendalinya pasti akan mengalami ketakbahagiaan seperti kecemasan, kecemburuan, kemarahan, kekecewaan, bahkan depresi.

Hal-hal yang berada di bawah kendali diri seseorang adalah pertimbangan (judgement), keinginan, tujuan, pikiran, dan tindakan diri sendiri. Hal-hal yang berada di luar kendali seseorang adalah tindakan orang lain, opini orang lain, popularitas, kesehatan, kekayaan, kondisi saat lahir, serta segala sesuatu di luar pikiran dan tindakan diri sendiri (cuaca, bencana, saham, nilai tukar uang, dan lain-lain). Hal-hal yang berada di bawah kendali diri itu sesuatu yang bebas, tanpa hambatan, kuat, dan merdeka sementara yang di luar kendali adalah sebaliknya. Oleh karena itulah orang yang marah-marah karena tiba-tiba hujan turun akan mengalami kesia-siaan karena ia tidak memegang remote control alam yang mana bisa ia gunakan untuk memulai dan menghentikan hujan sekehendak hatinya.

Dalam masa sekarang ini, pencarian kebahagiaan model Stoa kembali menjadi salah satu pilihan. Hal ini beralasan karena ia bukan merupakan konsep yang ndakik-ndakik atau gagasan yang abstrak melainkan semacam panduan perilaku hidup. Meski kedengaran klise karena mirip dengan ajaran agama-agama, namun Filsafat Stoa dapat dipraktikkan oleh seseorang dari agama manapun karena pandangannya bersifat universal. Pencarian atau penggalian kebahagian melalui hal yang berada di bawah kendali diri sangatlah logis. Di era  di mana informasi berseliweran tanpa kendali di dunia maya yang mana sebagian besar umat manusia berselancar di dalamnya, mencari kebahagiaan pada sesuatu yang berada di luar kendali diri dapat berubah menjadi penyakit psikologis mematikan. Penyakit gila like sebagai bentuk kepuasan semu atas foto diri yang kita unggah semakin merebak sebagaimana halnya komentar menghujat atas unggahan orang lain. Sementara itu di dalam dunia  nyata, kekayaan bisa saja lenyap dalam sekejap seperti yang dialami Zeno. Kesehatan juga bisa serta-merta terenggut dari diri karena kecelakaan atau sebab lain di luar kendali diri kita. Popularitas juga bisa memudar seketika hanya karena kesalahpahaman kecil atau karena komentar yang terlalu ketus di media sosial. Kekuasaan bisa saja jatuh karena perilaku lawan politik. Intinya, hal-hal yang berada di luar kendali diri seorang manusia bukan merupakan tempat kebahagiaan bersemayam.
Jadi untuk apa mengejar kebahagiaan yang sumbernya berada di luar kendali diri? Atau, untuk apa bersedih, marah, benci, frustrasi karena sesuatu yang terjadi dan berada (eksis) di luar kendali diri? Fokuslah pada apa yang ada di bawah kendali diri kita dan di sanalah kebahagiaan itu bersemayam. Segala hal yang berada di bawah kendali diri kita adalah segala hal yang membuat hidup kita bernalar atau selaras dengan alam. Selamat berbahagia. (**)

Starbucks Amplaz, 191019

Tulisan ini dipantik oleh buku; Henry Manampiring (2019), Filosofi Teras – Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini, terbitan PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Friday, August 9, 2019

Memulai Pembelajaran STEAM

--Eko Santosa

Pembelajaran STEAM secara umum dapat dijelaskan melalui alur kegiatan sebagai berikut.



Proses atau langkah non-linear dapat dilihat dengan jelas di mana satu langkah atau tahapan dapat digunakan sebagai acuan bagi tahapan lain meskipun tidak sekuensial. Penting dipahami bahwa proses pengulangan menjadi kunci utama. Pada rangkaian kegiatan (tahapan) yang mana pengulangan itu terjadi sangat tergantung dari situasi dan kondisi pembelajaran yang sedang berlangsung.

STEAM pada intinya merupakan pendekatan integrasi dalam pembelajaran yang memerlukan hubungan (koneksi) intensif antara tujuan kurikulum, penilaian, serta rencana dan pelaksanaan pembelajaran. Untuk mengembangkan program pembelajaran STEAM yang sukses, sekolah mesti mempertimbangkan berbagai faktor di antaranya:

  1. Perencanaan kolaboratif, termasuk silang-tugas antara para pengajar dalam setiap tim yang dibentuk
  2. Penyesuaian jadwal (pembagian waktu) untuk mengakomodasi cara baru dalam proses belajar mengajar
  3. Pengembangan secara profesional (prinsip dan praktik) semua staf yang terlibat dalam STEAM
  4. Pemetaan kurikulum dan penilaian selaras dengan pembelajaran STEAM
  5. Penyetaraan dan perumusan standar dan penilaian
  6. Keterbukaan terhadap implementasi strategi dan proses pembelajaran

Untuk memulai pembelajaran STEAM di sekolah hal-hal berikut ini perlu dipahami sebelum perencaaan dan pelaksanaan.

a. Menentukan visi dari program STEAM
STEAM lebih dari sekedar menciptakan robot. Lebih dari sekedar beajar koding dan bahkan melampaui eksperimen sains. STEAM merupakan pengeahuan terapan. Ia merupakan penerapan prinsip dari multi bidang untuk memecahkan masalah nyata dalam kehidupan. Untuk mengembangkan program STEAM yang autentik, perlu pemikiran mendalam tentang bagaimana mengintegrasikan matematika, sains, seni, teknologi, dan engineering ke dalam satu kegiatan pembelajaran praktis dan nyata.

b. Membentuk partnership (kemitraan) dengan industri, bisnis, dan komunitas
Program STEAM di sekolah dapat dikuatkan dengan membentuk kemitraan. Universitas, Rumah Sakit, dan bisnis lokal seringkali mau menyumbangkan perangkat atau peralatan yang akan mereka ganti (replace), demikian pula dengan membagi keahlian yang mereka miliki. Program kunjungan ke bisnis atau organisasi yang pekerjaannya terkait dengan bidang dalam STEAM dapat memberikan gambaran kepada siswa tentang industri termasuk membuka kemungkinan untuk saling kontak dalam rangka penyediaan proyek. Koneksi yang terjalin juga membuka kemungkinan karir bagi siswa selepas studi. Dengan cara yang sama, bisa juga mitra tersebut memberikan bimbingan atau sebagai nara sumber di kelas.

c. Terbiasa dengan matematika dan sains
Perlu dipahami dan diyakinkan bahwa dalam setiap proyek yang dirancang di damalnya mengandung komponen pembelajaran matematika dn sains. Jika misalnya, proyek yang dikerjakan menyangkut seni, maka perlu diskusi dengan guru matematika dan sains untuk menemukan relevansi dan koneksi antara proyek seni tersebut dengan matematika dan sains serta sebaliknya.

d. Penilaian
Perlu dipikirkan secara mendalam mengenai kriteria sukses sebagai hasil pembelajaran. Ketika menentukan cara penilaian untuk “sukses”, maka perlu diingat bahwa kegagalan merupakan bagian yang diterima dengan tangan terbuka dalam pembelajaran STEAM. Banyak aspek dalam pembelajaran STEAM yang dapat dinilai atau diukur termasuk di dalamnya konten pengetahuan yang dipelajari, soft skill, atau proses perencanaan. Asesmen yang diberikan berupa formatif dan sumatif; siswa diberikan target untuk dicapai selama proses pengerjaan sembari memberikan masukan dalam setiap progres pekerjaan. Asesmen dilakukan, misalnya dalam hal:

  • Ketekunan siswa
  • Perkembangan dan kemajuan (pekerjaan)
  • Keterkaitan dengan tujuan pencapaian kurikulum
  • Kolaborasi dan kerja tim
  • Konten pengetahuan
  • Konten aplikasi
  • Perencanaan (pekerjaan) untuk mencapai tujuan (sukses)
Ketersediaan fleksibilitas rubrik penilaian untuk mengkalkulasi pembelajaran yang multi dan proyek bervariasi mesti diadakan. (**)

Disarikan dan diterjemahkan oleh Eko Santosa dari: http://elearning.tki.org.nz/Teaching/Future-focused-learning/STEM-STEAM

Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) dan Lainnya Model Pembelajaran Dalam STEAM


--Eko Santosa

Pembelajaran STEAM cocok, selaras, dan padu dengan tujuan Pembelajaran Berbasis Proyek (biasa disingkat PBL – Project Based Learning). Perbedaan di antara keduanya mungkin hanya STEAM memiliki fokus pada engineering (rekayasa). PBL secara autentik membolehkan siswa mengarahkan tantangan pembelajaran kepada diri dan kehidupan mereka sendiri. Agar PBL dapat berjalan dengan baik, guru mesti memahami;
  • Ketertarikan dan keinginan siswa
  • Bagaimana membuat koneksi dengan konteks orang dan dunia nyata
Banyak terdapat perbedaan interaksi dan situasi sehingga memerlukan perencanaan dan fasilitasi yang tepat oleh guru. Pengintegrasian teknologi digital secara inovatif dan intensional ke dalam PBL berpotensi meningkatkan proses PBL dan produk yang dihasilkan. Berikut beberapa elemen penting dalam Pembelajaran Berbasis Proyek.
  • Pengetahuan kunci, pemahaman, dan kemampuan untuk mencapai keberhasilan – proyek difokuskan pada tujuan pembelajaran siswa, termasuk di dalamnya berdasarkan isi kurikulum dan kemampuan yang mesti dicapai dalam hal berpikir kritis (critical thinking), pemecahan masalah (problem solving), kolaborasi (collaboration), dan pengelolaan diri (self-management).
  • Problem atau pertanyaan menantang – proyek yang dikerjakan berupa problem yang mesti dipecahkan atau pertanyaan yang mesti dijawab sesuai dengan tingkat kesulitan (tantangan yang diberikan).
  • Penyelidikan berkelanjutan – penyelidikan merupakan proses berulang, siswa mesti terlibat dalam proses ketat dan berterusan dalam memproduksi pertanyaan, menemukan sumber pengetahuan, dan menerapkan informasi untuk mencapai solusi yang memuaskan.
  • Autentisitas – proyek yang dikerjakan menampilkan kerja, proses, perangkat, dan standar kualitas di dunia nyata. Dengan demikian, proyek yang dikerjakan memiliki dampak bagi orang lain, atau mampu menciptakan sesuatu yang dapat digunakan oleh orang lain. Proyek yang dikerjakan dapat memiliki hubungan autentik dengan pribadi siswa semisal ketertarikan, perhatian, dan isu-isu yang mereka hadapi dalam kehidupan.
  • Siswa bersuara dan memilih – siswa memperoleh masukan (input) dan memegang kendali beberapa bagian dari proyek, termasuk pertanyaan yang diajukan, sumber yang digunakan, bagaimana mereka bekerja, dan apa yang mesti mereka ciptakan.
  • Refleksi – refleksi merupakan bagian dari jurnal proyek, penilaian formatif, diskusi terkait langkah penting dalam proyek, dan presentasi publik karya siswa.
  1. Refleksi pada bagian pengetahuan dan pemahaman membantu memantapkan siswa terkait apa yang telah mereka pelajari dan kemungkinan penerapannya di tempat lain
  2. Refleksi pada bagian keterampilan membantu siswa dalam konteks menentukan tujuan untuk langkah berikutnya
  3. Refleksi dalam hal proyek itu sendiri – bagaimana proyek tersebut didesain dan diimplementasikan – membantu siswa dalam memutuskan bagaimana pendekatan yang akan mereka lakukan dalam proyek berikutnya dan membantu pengajar untuk meningkatkan kualitas PBL dalam pembelajaran.
  • Kritik dan revisi – mengajari siswa bagaimana memberi dan menerima masukan konstruktif untuk meningkatkan proses dan produk yang dihasilkan.
  • Publikasi produk – siswa mempublikasikan hasil kerja proyek mereka dengan memberikan penjelasan, memajang dan atau mempresentasikannya kepada orang lain (siswa, guru, staf) di luar kelas.
Pembelajaran berbasis proyek meskipun menghasilkan produk namun kunci pokoknya ada di dalam proses sehingga perbaikan produk melalui proyek berikutnya kemungkinan dapat dilakukan. Beberapa model pembelajaran lain yang dapat diterapkan dalam STEAM adalah Berpikir Komputasi (Computational Thinking) dan Ruang Cipta (Makerspaces).

Berpikir Komputasi memungkinkan siswa untuk mengekspresikan masalah dan memformulasikan solusi dengan memanfaat komputer (perangkat pemroses informasi) untuk digunakan dalam usaha-usaha memecahkan masalah. Berpikir secara komputasi atau dapat disebut juga dengan berpikir melalui teknologi digital memberikan pemahaman kepada siswa bahwa prinsip-pinsrip sains dalam komputer sepenuhnya berbasis pada teknologi digital. Mereka akan mempelajari dasar membuat program sehingga mereka tidak hanya sekedar menjadi pengguna namun juga kreator. Siswa dengan demikian dapat belajar bagaimana merancang solusi digital sesuai dengan keperluan.

Sementara itu, Ruang Cipta merupakan versi STEAM yang rileks dan menyenangkan. Dalam pembelajaran ini ruang yang ada menjadi tempat bagi siswa untuk memenuhi keinginannya dalam hal membuat, mencipta, berpikir, memrogram dan mendesain. Ruang Cipta merupakan bengkel kerja kolaboratif di mana siswa mengalami praktik dan pengalaman langsung dengan teknologi baru dan secara inovatif melakukan proses desain dan pembuatan proyek. Mereka perlu disediakan lingkungan yang fleksibel di mana proses belajarnya berupa kegiatan menciptakan sesuatu secara fisik dengan menerapkan sains, teknologi, matematika, dan kreatifvitas dalam rangka memecahkan masalah (Maker Media, 2012). Beberapa contoh proses belajar dalam Ruang Cipta adalah; koding, 3D printing, dan rekayasa robot. (*)


Disarikan dan diterjemahkan oleh Eko Santosa dari: http://elearning.tki.org.nz/Teaching/Future-focused-learning/STEM-STEAM

Friday, August 2, 2019

Proses Desain Rekayasa (The Engineering Design Process) Model Pembelajaran Dalam STEAM


---Eko Santosa


Rekayasa dipahami secara berbeda-beda mulai dari rekayasa perihal ruang angkasa hingga sampai perihal hayati. Rekayasa atau engineering merupakan istilah umum untuk para spesialis yang memilii kesamaan dalam hal proses desain rekayasa. Proses Desain Rakayasa (PDR) atau The Engineering Design Process (EDP) merupakan langkah metodologis untuk memecahkan masalah dengan menciptakan sesuatu yang nyata (tangible) dengan fungsi tertentu. Secara lebih populer, PDR dapat dikatakan sebagai, “cara berpikir seperti insinyur”.

PDR terdiri dari beberapa langkah yang berbeda penamaannya untuk setiap kelompok. Terlepas dari penamaan setiap langkah yang ada, instruksi dan konten dari setiap langkah tersebut harus membuat siswa bersemangat untuk menemukan atau mencari solusi. Secara mendalam, proses pembelajaran ini menyediakan beragam metode berpikir (membuka kemungkinan nan tak terhingga dalam berpikir) dan peranti (tools) yang digunakan untuk memecahkan masalah nyata dalam kehidupan. Berikut adalah gambaran singkat proses pembelajaran PDR.

Langkah pertama dalam PDR adalah Identifikasi masalah (identify the problem). Langkah ini sangat krusial yang tidak akan lengkap tanpa adanya pertimbangan/pemikiran menyeluruh dan seksama. Mengidentifikasi masalah termasuk di dalamnya melihat dengan teliti apa yang diperlukan serta kendala dan tata aturan yang mesti diikuti.

Berikutnya adalah diskusi pemecahan masalah (brainstorm). Kreativitas menjadi raja dalam langkah ini, namun juga penting/perlu memandu siswa memahami dari mana atau langkah apa yang diperlukan untuk memunculkan gagasan-gagasan. Guru mesti menumbuhkan keberanian siswa untuk mengamati setiap material yang tersedia dan menuliskan bagaimana setiap material memiliki kemungkinan untuk digunakan dalam pemecahan masalah.

Fase mendesain dimulai dengan memeriksa daftar atau catatan hasil diskusi. Sebuah desain dibuat dengan menyajikan komponen-komponen kunci yang sebelumnya telah diidentifikasi sebagai sebagai sesuatu yang penting. Memberikan label (penamaan/tanda) pada setiap bagian sketsa yang dibuat akan membantu siswa dalam tahap berikutnya termasuk menginventarisasi berapa banyak material yang diperlukan.

Setelah desain selesai, waktunya untuk membuat atau mewujudkan desain tersebut. Dari sketsa rancangan siswa dapat mewujudkan kreasinya. Pada tahap ini, siswa mungkin menemukan bahwa beberapa material tidak bisa digunakan seperti rencananya dan oleh karena itu beberapa perubahan perlu dan boleh dilakukan. Begitu proses pembuatan selesai, masuklah langkah berikutnya yaitu pengujian (test). Langkah ini mungkin akan melahirkan rasa kesal dan frustasi jika seandainya perwujudan desainnya gagal. Kunci utama bagi guru di sini adalah memahamkan kepada siswa bahwa kegagalan atau kekeliruan merupakan bagian pentin dari proses desain rekayasa. Berawal dari kekeliruan yang kemudian diperbaiki kembali (desain ulang) akan membuat desain menjadi optimal. Karena itu kekeliruan semestinya dirayakan sebagai sebuah kesempatan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Pengalaman kekeliruan dan cara memperbaiki serta mengantisipasi dapat dijadikan bahan berbagi solusi. (**)


Disarikan dan diterjemahkan oleh Eko Santosa dari: http://elearning.tki.org.nz/Teaching/Future-focused-learning/STEM-STEAM


Thursday, August 1, 2019

Rancang Pikir (Design Thinking) Model Pembelajaran Dalam STEAM

---Eko Santosa

Rancang Pikir (Design Thinking) merupakan perencanaan metodologis yang menyediakan pendekatan berbasis solusi untuk menyelesaikan sebuah masalah. Rancang Pikir memuat beberapa fase termasuk di dalamnya proses berempati, pendefinisan, pembentukan gagasan, peciptaan purwa rupa, dan pengujian. Dapat dikatakan bahwa model Rancang Pikir merupakan sebuah metodologi pemecahan masalah yang kreatif.

Rancang Pikir merupakan proses berulang dalam memecahkan permasalahan. Siswa mengidentifikasi persoalan, mengumpulkan informasi, mengeneralisasi potensi-potensi solusi, menyaring gagasan-gagasan yang ada, dan menguji solusi yang diputuskan dengan menggunakan kerangka terstruktur. Fokus model Rancang Pikir adalah untuk menumbuhkan kepercayaan siswa dalam hal kreativitas. Rancang Pikir menghubungkan pemecahan masalah dalam kehidupan nyata dengan lingkungan kelas. Guru dan siswa terlibat bersama dalam perancangan langsung tantangan (problem) yang mesti dihadapi dengan berfokus pada;      

  • Penumbuhan empati
  • Meningkatkan aksi (tindakan) 
  • Mendorong lahirnya gagasan-gagasan 
  • Penumbuhan kesadaran metakognitif
  • Menumbuhkan keberanian untuk memecahkan masalah secara aktif

Melalui kegiatan pembelajaran berulang, siswa didorong untuk berani dalam hal; melihat dari sisi pengguna, menantang asumsi-asumsi yang ada, dan mendefinisi ulang permasalahan.

Model pembelajaran Rancang Pikir, seperti yang diterapkan di d.school at Stanford University memiliki 5 tahapan kegiatan berupa mengempati, mendefinisi, memunculkan gagasan, membuat purwarupa, dan menguji.. 

  • Mengempati (Empathise): Siswa melakukan observasi, terlibat, menyaksikan, dan mendengarkan. Tujuan dari kegiatan ini adalah memahami orang lain berkaitan dengan tantangan perancangan yang mereka lakukan. Untuk siapa perancangan itu dibuat dan masalah apa yang sebenarnya memerlukan solusi?
  • Mendefinisi (Define): Siswa mendefinisikan secara eksplisit tantangan yang dihadapi berdasarkan pemahaman baru mereka atas orang lain beserta masalahnya. Siswa menuliskan pernyataan atas masalah tersebut yang dapat dijadikan petunjuk tindakan pada kegiatan berikutnya.
  • Memunculkan gagasan (Ideate): Siswa memunculkan gagasan-gagasan. Setiap gagasan berharga dan diterima terbuka. Tidak ada penghakiman gagasan di sini sehingga semua siswa yang bekerja dalam tim dapat bergerak leluasa menemukan solusi nyata dan gagasan inovatif untuk dieksplor.
  • Membuat purwarupa (Prototype): Siswa mulai membangun atau merancang solusi untuk diberikan kepada pengguna. Tahap ini merupakan proses berulang yang toleran terhadap kekeliruan. Purwarupa tidak memerlukan terlalu banyak komitmen atas waktu dan sumber daya. Artinya waktu yang diperlukan lentur (longgar) dan sumber daya sesuai kebutuhan.
  • Menguji (Test): Siswa mencari umpan balik (feedback) dari pengguna atas purwarupa yang disajikan. Kegiatan ini merupakan kesempatan untuk mendayakan empati kepada orang lain dan memperoleh pemahaman dari pengguna yang dapat digunakan untuk memperbaiki purwarupa dan solusi.
Kunci utama dari Rancang Pikir adalah proses berulang (iteration). Kelima tahap kegiatan tidak harus dilakukan secara berurutan. Beberapa kegiatan dapat dilakukan secara pararel dan berulang-ulang. Siklus yang terjadi selama proses pembelajaran ini bertujuan untuk mencari solusi yang benar-benar diperlukan dan dapat dijalankan. 

Rancang Pikir sebagai sebuah proses tak linier dapat dijelaskan dalam gambar berikut.



















Diterjemahkan dan disarikan secara bebas oleh Eko Santosa dari: http://elearning.tki.org.nz/Teaching/Future-focused-learning/STEM-STEAM

Sunday, July 28, 2019

STEAM

---Eko Santosa 

STEAM merupakan pendekatan dalam pembelajaran yang menggunakan sains (Science), teknologi (Technology), rekayasa (Engineering), seni (Arts), dan matematika (Mathematics) sebagai pintu masuk bagi siswa untuk melakukan penyelidikan, dialog (diskusi), dan berpikir kritis - Susan Riley, Arts Integration Specialist

Pembelajaran berbasis STEAM mengambil pendekatan integrasi untuk belajar dan mengajar dengan syarat adanya koneksi intensif antara tujuan kurikulum pembelajaran, standar, penilaian, serta perancangan dan implementasi pembelajaran. Pembelajaran berbasis STEAM menerapkan pemaknaan atas matematika, sains, dan konten teknologi untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam dunia nyata melalui desain kreatif dan aktivitas belajar nyata (hands-on learning).

STEAM lebih dari sekedar pembelajaran tradisional dalam bidang sains, teknologi, rekayasa, seni, dan matematika karena merupakan perpaduan antarsubyek dalam bidang-bidang tersebut untuk membentuk subyek pembelajaran baru yang menarik untuk dipelajari semisal bio-engineering dan bioteknologi - John Durant, MIT Adjunct Professor

Perlunya Menambahkan Seni
Seni merupakan bagian alami dalam pembelajaran berbasis STEAM. Produk dan struktur dibangun berdasarkan desain kreatif. Perkembangan sains selalu dijelaskan melalui seni komunikasi yang baik. Para pendidik dengan demikian dapat merancang program pembelajaran lebih holistik dengan melibatkan seni.

Mengintegrasikan aktivitas seni dapat menghidupkan muatan kurikulum, membuat hasil pembelajaran lebih baik dengan proses yang menarik bagi guru dan siswa, dan sekaligus memperkenalkan kekuatan dan inspirasi dari pikiran kreatif ke dalam proses pembelajaran. -  Sousa dan Pilecki, From STEM to STEAM: Using Brain-Compatible Strategies to Integrate the Arts, 2013

Mengapa STEAM Penting?
Kelemahan kecakapan global dalam bidang-bidang pembelajaran yang terkait dengan STEAM adalah perihal usaha redefinsinya ke dalam lingkup pendidikan tidak menjadi prioritas. Sekolah memulai program pembelajaran berbasis STEAM untuk membekali siswa dengan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan pada Abad 21. Pembelajaran berbasis STEAM tidak hanya memproduksi desainer dan perekayasa masa depan namun juga akan mengembangkan pola pikir inovatif dan kemampuan memecahkan masalah, mendorong siswa untuk menjadi kreator teknologi, tidak hanya sebagai konsumer pasif.

Keuntungan Pembelajaran STEAM
Siswa yang terlibat dalam pembelajaran berbasis STEAM akan belajar:
·         Berpikir alternatif
·         Merasa nyaman dan aman untuk menyampaikan gagasan yang kreatif dan inovatif
·         Merasa nyaman dengan aktivitas pembelajaran nyata (hands-on learning)
·         Bertanggung jawab atas apa yang dipelajari dan selama proses belajar
·         Bekerja secara kolaborasi dengan siswa/orang lain
·         Memahami bahwa kerja bersama antara sains, matematika, seni, dan teknologi dapat meningkatkan keingintahuan akan dunia sekeliling di mana mereka hidup dan merasa terberdayakan untuk mengubahnya menjadi lebih baik.

Pembelajaran STEAM adalah penyelidikan (inquiry)
Dalam pembelajaran autentik berbasis STEAM, jalan menuju pengetahuan adalah mana saja (mana suka) namun yang terpenting jalan-jalan tersebut harus mengalir (padu antara satu dengan yang lain). Pertanyaan-pertanyaan muncul dari diri siswa sendiri dan setiap kesalahan dianggap sebagai bagian dari proses pembelajaran. Tujuan, keputusan, dan solusi dihasilkan oleh para siswa yang dibatasi hanya oleh konteks pembelajaran (misalnya, ketersediaan sarana dan prasarana atau standar kurikulumnya). Mereka mengelola dan mengendalikan investigasi secara mandiri. Selama hasil penyelidikan berupa produk yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan nyata, maka penyelidikan yang dilakukan tersebut telah menerapkan atau disebut sebagai pembelajaran berbasis STEAM.

Pembelajaran STEAM adalah autentik dan fokus pada persoalan nyata
Karir di dalam bidang pekerjaan yang berelasi dengan STEAM semuanya menyangkut soal penyelesaian masalah dalam kehidupan nyata. Mengapa kelas pembelajaran STEAM begitu berbeda? Jika siswa dapat menunjukkan problem nyata dalam konteks sosial dan lingkungan mereka, maka mereka memiliki kemungkinan untuk mengkaitkan antara pengetahuan STEAM dengan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran STEAM menerapkan matematika dan sains
Pembelajaran autentik STEAM sengaja dirancang untuk mengintegrasikan konten pembelajaran matematika dan sains. Ketika siswa menerapkan pengukuran, penghitungan, pengujian, pengumpulan dan analisis data dalam memecahkan masalah, maka mereka dengan sendirinya telah/sedang menerapkan matematika dan sains.

Pembelajaran STEAM adalah aktivitas nyata dan artistik
Kelas pembelajaran STEAM akan semarak ketika guru mencoba memberi tantangan dengan menguji (mengkiritisi) desain dan purwarupa yang dihasilkan oleh siswa. Tantangan dalam STEAM mensyaratkan siswa untuk mencipta, bongkar-pasang, dan membangun. Menyertakan metode dari seni dan desain ke dalam proyek STEAM dapat membangkitkan dan meningkatkan potensi kreatif siswa secara optimal.

Pembelajaran STEAM membina kolaborasi antara senior dan yunior
Hampir semua penyelesaian masalah di dunia nyata dalam proyek STEAM dapat dicapai dengan kerja kolaborasi antarindividu. Di dalam kelas pembelajaran STEAM, proyek kolaboratif merupakan kesempatan bagi siswa untuk berbagi gagasan (ide), memperoleh tanggapan (feed back) dari siswa lain, dan meningkatkan soft skill. (**)

Diterjemahkan secara bebas oleh Eko Santosa dari: http://elearning.tki.org.nz/Teaching/Future-focused-learning/STEM-STEAM