Tuesday, March 31, 2020
WfH Komik: Serba-serbi WfH
---Irene Nusanti
===============
Disclaimer:
Konten ini hanya untuk bercanda semata. Tulisan dalam bubble tidak mencerminkan pernyataan atau pikiran tokoh komik yang sebenarnya. Tidak perlu tersinggung apalagi ngambek trus masuk kantor.
========================
WfH Series: Persediaan Makanan
--Eko Santosa
Hunt for The
Wilderpeople
adalah film petualangan komedi produksi tahun 2016 yang disutradarai oleh Taika
Waititi. Film ini berkisah tentang Ricky Baker, seorang anak yang ditinggalkan
orang tuanya sejak kecil dan dititipkan di panti asuhan. Ricky dianggap sebagai
anak nakal – selalu pergi dan berkeliaran di jalan - sehingga sering berganti
orang tua asuh. Pada bagian permulaan cerita, Ricky akhirnya menjadi anak asuh
sepasang suami istri yang hidup di pinggir hutan. Di keluarga ini, ia menemukan
kecocokan – terutama pada ibu angkatnya - karena petualangan yang ia inginkan
dapat terlaksana. Namun naas, Ibu angkatnya meninggal tiba-tiba sementara Ayah
angkatnya tidak bisa memberikan jaminan pengasuhan. Aturan panti asuhan
mengharuskan Ricky kembali ke panti karena penjaminnya adalah Ibu angkat yang
telah meninggal itu. Di dalam kekacauan perasaan karena tak mau kembali ke
panti, Ricky nekat pergi ke hutan.
Dengan rencana matang, ia menyiapkan
segala perbekalan, utamanya adalah perbekalan makan. Tas punggungnya dipenuhi
makanan yang menurut perkiraannya bisa untuk bertahan beberapa hari sampai ia
bisa mandiri hidup di hutan. Tidak lupa ia membawa senjata untuk berburu. Namun
perkiraan Rikcy meleset jauh. Bukan persoalan kerasnya medan di hutan serta
sulitnya berburu, melainkan perbekalan makan yang ia bawa satu tas penuh itu
ternyata habis dalam beberapa jam saja. Menyadari kondisi ini Ricky mulai bingung,
resah, dan cenderung panik. Ia tidak tahu lagi apa yang mesti diperbuat karena
persediaan makan habis begitu cepat. Petualangan yang ia harapkan menjadi buyar
seketika dan berubah menjadi keadaan baru tak terduga.
Persediaan makanan seperti yang
dipersiapkan oleh Ricky menjadi penting sekarang ini sehubungan dengan adanya
pandemi Covid-19 sehingga setiap orang mesti berdiam diri di rumah dalam kurun
waktu tertentu. Namun apa yang terjadi dengan Ricky juga bisa menimpa banyak
orang di mana jumlah persediaan makan yang diperkirakan cukup ternyata habis
hanya dalam sehari dua hari. Mungkin orang akan mengira bahwa hal itu terjadi
karena salah perkiraan jumlah persediaan. Namun sejatinya bukan soal jumlah dan
jenis makanan tersedia melainkan kebiasaan mengelola makanan.
Persis seperti Ricky, akibat pengelolaan
yang tak baik, maka persediaan makanan habis dengan cepat. Soal pengelolaan
persediaan makan ini memang bukan perkara mudah karena menyangkut budaya seseorang
atau keluarga. Banyak keluarga di Indonesia memiliki budaya belanja hari ini
untuk dimasak hari ini, dan habis hari ini juga. Selain itu ada banyak keluarga
yang mengandalkan kebutuhan makan sehari-hari melalui warung makan, jajan atau
di bawa pulang. Mungkin hanya keluarga yang hidup di kota besar atau kalangan
tertentu yang memiliki budaya belanja mingguan bahkan bulanan. Bisa dibayangkan
betapa repotnya mengelola persediaan makanan yang banyak dalam satu kali waktu
sementara kemampuan untuk mengelola tidak dimiliki. Bisa jadi apa yang dialami
Ricky Baker ini akan terjadi.
Oleh karena itu, pengelolaan persediaan
makanan juga memerlukan kebijakan terutama kesadaran untuk tertib diri. Tidak
kemudian makan apa saja yang tersedia mumpung ada atau kewalahan mengolah semua
yang ada. Kesadaran tertib diri ini mesti dimiliki dengan pemahaman bahwa
jumlah persediaan yang ada diperuntukkan dalam kurun waktu tertentu. Bagi yang
biasa memasak harian atau memiliki budaya jajan akan sangat sulit. Akan tetapi
tertib diri ini sifatnya harus karena sedang berada dalam situasi bencana di
mana tidak semua penyedia bahan makan atau makanan jadi buka seperti biasanya.
Belum lagi ketika nanti pada akhinrya semua warung, pasar, toko dan semua lapak
penyedia makanan dan bahan makan tutup. Oleh karena itu, pengelolaan persediaan
makanan juga menjadi bagian pokok dari penanganan bencana. Karena tanpa
tersedianya makanan dalam situasi bencana adalah bencana tersendiri. (**)
Rumah, 300320
WfH Series: LOCKDOWN OH LOCKDOWN
--Yustinus Aristono
---Minggu pagi tanggal 29 Maret 2020 seperti biasanya saya bersepeda pagi sekedar mencari keringat setelah Jum’at kemarin tidak melakukan olahraga sepeti biasa yaitu pingpong . lumayan ada sedikit keringat yang keluar walaupun tidak sambil berha-ha hi-hi dengan teman lazimnya kalau pingpong ria di kantor.----
Kira-kira pukul 06,30 WIB Meski jalan sedikit lengang, namun di mulut-mulut gang atau jalan kampung orang sudah ramai dan sibuk memasang palang-palang bambu sebagai penghalang (portal) menutup akses jalan agar tidak dilewati orang maupun kendaraan. Disamping memasang portal/penghalang jalan, mereka juga sibuk membuat tulisan ‘Lockdown; bahkan ada yang memasang peringatan lebih keras ‘Lockdown po Smackdown’. Semua itu merupakan dampak dari merebaknya virus corona (COVID-19) yang mengerikan itu. Ujung-ujung gang atau jalan kampung semua ditutup dengan portal dan tulisan sejenis. Keadaan ini membuat kita miris. Betapa tidak, sampai saat ini korban akibat virus corona semakin bertambah baik yang positif, ODP maupun PDP. Indonesia untuk kasus positif Corona (COVID-19) sudah melebihi angka seribu, sedangkan yang meninggal sudah lebih dari 100 orang. Akan itu terus bertambah? Kondisi yang sangat mengkhawatirkan apabila kita tidak mengambil langkah pencegahan. Langkah pencegahan itu yang paling sederhana adalah menjaga kesehatan dan membatasi diri untuk tidak keluar rumah.
Sampai saat ini pemerintah belum mengambil langkah lockdown tetapi hanya melakukan pembatasan wilayah secara parsial. Langkah lockdown tidak diambil karena menurut Machfud MD karena tidak ada dasar hukumnya di Indonesia. Sementara kebijakan lockdown tentunya membawa konsekuensi yang besar bagi negara.
Sebagai contoh negara Italia, korban tewas akibat wabah virus Corona di Italia bertambah 812 orang dengan 100 ribu orang diduga terinfeksi. Karena itu, Pemerintah Italia akhirnya memutuskan untuk menambah masa lockdown negaranya hingga 12 April 2020.
Seperti dilansir AFP, Selasa (31/3/2020), Italia memperpanjang masa lockdown yang melumpuhkan perekonomian hingga setidaknya pertengahan April. Upaya ini dilakukan untuk menekan virus Corona yang telah merenggut 11.591 nyawa di Italia.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil langkah lebih lanjut guna menekan penyebaran virus corona. Bukan dengan karantina wilayah atau lockdown, melainkan pembatasan sosial berskala besar.
Pembatasan sosial berskala besar adalah pembatasan kegiatan tertentu dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit. Kebijakan ini meliputi sejumlah poin, di antaranya peliburan sekolah dan tempat kerja hingga pembatasan kegiatan di tempat umum.
Lantas, sampai kapan kondisi seperti ini terus berlangsung ? perasaan bulan kemarin di kantor kita yang pensiun hanya Bu Tri Suerni dan pak Bambang Setya Cipta, tetapi kok semua ikut ‘dirumahkan?’. Kebijakan WfH membawa dampak positif dan negatif. Sederhana saja, dampak positifnya kita mempunyai kesempatan besar untuk berkumpul bersama keluarga, tetapi negatifnya dirumah terlalu lama ternyata jenuh juga. (“dan BOROS “, kata istri saya).
Ditengah kecemasan merebaknya virus corona (COVID-19) barbagai usaha dilakukan seperti: social distancing, phisikal distancing, #dirumahaja, gerakan cuci tangan 6 langkah, jaga kebersihan dan masih banyak lagi, tentunya kita harus tetap selalu menyelipkan permohonan dalam setiap doa kita semoga wabah ini segera berlalu sehingga bisa beraktivitas kembali dengan nyaman.
(Dari kegelisahan diri dan didukung beberapa sumber)
Seturan, 31 Maret 2020
WfH Series: Ragu
--Digna Sjamsiar
“Papa ta’ tako’ ye ka virus
corona?” papaku menjawab “enje’,
arapa ma’ tako’a? mon la pajet depa’ omorra ye la mole, se penting daddi
manossa ruwa la ikhtiar, ta’ osa akaju, pa biasa.” Percakapan antara aku dan papaku itu terjadi 5 hari yang lalu
ketika beliau bersikeras tetap ingin pulang ke Situbondo, padahal berita
tentang virus corona membuat nyaliku ciut.….sengaja kutulis dalam bahasa Madura
karena pertanyaan itu sebagai pengingat agar aku harus selalu tawakkal, yang jika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia “papa gak takut ya sama virus corona?” jawaban papaku
“enggak, kenapa harus takut? Kalau memang sudah sampai umurnya ya pulang, yang
penting kita sebagai manusia itu sudah iktiar/berusaha, tidak perlu jumawa, biasa saja.”
Berita-berita yang bersiliweran
di media massa membuatku galau, hampir setiap hari orang membicarakan/menulis
jumlah korban yang sakit dan meninggal karena terinfeksi virus corona. Ada
perasaan bersalah mengiyakan kedua
orang tuaku pulang, ada perasaan khawatir bagaimana kalau di sana virus itu
merebak? Berbagai pikiran buruk menggelayuti pikiranku. Tetapi…aku kemudian sedikit merasa tenang dan bersyukur
karena aku masih memiliki ayah yang pembawaannya tenang, tidak kemerungsung dan ikhlas. Mendapatkan jawaban yang bijak itu, aku
kemudian merasa memperoleh tambahan amunisi.
Amunisi sebelumnya aku peroleh
ketika salah satu temanku di grup whatsapp
dengan tegas mengatakan bahwa dia membatasi membaca atau mendengarkan berita-berita
tentang korban virus corona, karena hal itu justru membuatnya resah dan tidak
bisa fokus pada pekerjaannya.
Aku harus berusaha dan berjanji pada diriku sendiri, mulai sekarang
aku tidak akan lagi membaca atau mendengarkan berita-berita yang pesannya negatif tentang virus yang
mematikan itu, jika ada yang mengunggahnya di grup whatsapp, aku tidak tidak akan membacanya atau bahkan langsung
kuhapus. Hal itu sudah kulakukan setelah obrolan santaiku dengan ayahku. It works! Damai kurasakan saat
ini..keraguan perlahan mulai menghilang..semoga musibah ini banyak memberikan
makna bagi kehidupanku, sebagai refleksi diri, karena memang banyak hal yang
kurasakan dan kualami dengan aku harus stay
at home and work from home.
Salam damai untuk semuanya….
Catatan rinduku pada papa
dan ibu….
Digna Sjamsiar
Monday, March 30, 2020
WfH Series: NALIKA SING WFH NYAMBI NDAMPINGI LFH
--Sito Mardowo
===== Mohon maaf teman-teman WI terkasih, saya menulis menggunakan bahasa Jawa Ngoko Alus Populer dan saya campur aduk dengan sedikit bahasa Indonesia.
=======
Nalika virus Corona wis handerba jroning tanah
Nuswantara, donyane kaya-kaya mandheg.
Pemerintah kanthi waskitha aweh paugeran tumrap kabeh warga ing saindenging
bangsa Indonesia. Tlatah kulon ing Sabang nganti tumekeng tlatah wetan Merauke
kaajab bisaa anut lan nyengkuyung mungguhing paugeran kuwi mau. Salah
sawijining kawicaksanan pemerintah sing paling ‘populer’ yaiku WFH utawa Work From Home kang andharane nyambut
gawe saka ngomah lan LFH Learning From
Home kang andharane sinau sakan ngomah. WFH katujokake marang para pegawai
utawa karyawan, menawa LFH katujokake marang para siswa sing sinau jroning
pawiyatan.
Magepokan karo irah-irahan
kasebut, aku mung pengin ngudarasa pengalamanku babagan WFH lan LFH kuwi mau
nalika nglakoni ing ngomah. Nalika kawicaksanan WFH lan LFH lumadi, sak banjure
aku lan anakku murwani pakaryane dewe-dewe. Sajroning nandangi gaweyanku tak
sambi uga mbiyantu anakku anggone sinau online
menawa ana babagan kang durung ngerti. Sajroning mbiyantu anakku kuwi, banjur
tuwuh pamikirku menawa ana saperanganing bab sing dadi pepapalang nalika siswa
sinau, saengga sing sinau ora bisa jangkep utawa optimal. Nalika ora bisa
jangkep mesthine dadi ora kompeten. Mbok menawa iki dadi bahan penggalihan kita
kabeh. Babagan pepalang siswa sinau dewe (online)
ana ing ngomah yaiku:
1. Tugas-tugas sing diwenehake kanthi online ora bisa nggambarake tuntasing
kompetensi sing kudu dikuwasani siswa. Contone, nalika pelajaran bahasa Inggris
babagan tenses. Siswa diparingi tugas
nggawe kalimat utawa ukara sing migunakake paugeran tenses. Kamangka kanggo gawe kalimat kuwi, sakdurunge kudu
diterangake kanthi gamblang luwih dhisik carane nggawe kalimat nganggo paugeran
tenses. Nanging sanyatane, siswa didawuhi maca babagan tenses banjur didawuhi
gawe kalimat. Mesthi wae tugas sing digawe ora bisa dirampungake kanthi
sampurna, amarga beblesing pemahaman durung kacakup, namung sak gadhuke anggone
sinau wae.
2. Pendamping durung mesthi bisa ngrampungake
masalah sing diaepi para siswa. Mbok menawa anakku luwih mujur karana bapakke
uga prei saengga bisa diajak rembugan menawa ana tugas kang angel. Sawetara
embuh para siswa sing bapak-ibune tetep kudu kerja kantoran, tuladhane bapak
ibune sing ngasta ana ing rumah sakit. Nanging pranyata nalika ana pendamping
wae durung mesthi bisa ngrampungake tugase putrane. Contone aku. Nalika anakku
takon soal-soal pelajaran Matematika babagan ‘persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel’ wae aku ora
bisa nuduhke (wong karawitan ditakoni matematika…. Duuuhh). Sawetara anakku tak
cek cendhek-dhuwure sing dimangerteni isa nerangke kanthi gamblang. Nanging
nalika di cak’ake ana ing soal, diwolak-walik dadi bingung. Sawetara aku ora
bisa nuduhke cara nggarap soal sing bener. Pungkasane rembug anakku takon karo
kangmase sing ana semarang kanthi online uga, nanging babagan iki tetep wae ora
ndadekake anakku mudheng kanthi jangkep.
3. Wektu nggarap tugas ora ana wektu kang
gumathok. Nalika bapak-ibu guru gawe RPP, saben materi wis dirancang wektu kang
kudu digunaake kanggo ngrampungke salah sawijining kompetensi. Ukuran iku
kanggo nodi pikiran siswa utawa ‘pembiasaan’ siswa anggone nguwasani kompetensi
kanthi bebles. Sawetara iki, tugas-tugas sing diparingake kanggo siswa mbok
menawa bapak-ibu guru ana sing lali babagan iki. Tugas ana sing nganggo pathokan
jam pelajaran, tuladhane ‘kerjakan tugas ini sesuai JP ke 4-5, setelah selesai
dikirim melalui emal: bla..bla…bla. Email Ibu tunggu sampai pukul 10.15.’ Nanging
ana uga sing maringi tugas nganggo pathokan dina “ kerjakan tugas berikut,
nanti diemail paling lambat pukul 24.00’. Ana maneh ana sing nganggo pathokan
mlebu sekolah.” Kerjakan tugas berikut ini. Tugas ditulis pada kertas HVS dan
dikumpulkan pada saat masuk sekolah’. Ngematke pratelan-pratelan kuwi mau, mbok
menawa perlu kawigaten-kawigaten sing underane ngenani babagan beblesing
kompetensi sing dironce karo babagan suwene anggone nguwasani kompetensi.
Saksuwene awake dewe dadi WI
lan saksuwene awake dewe ndampingi guru, durung nate kepikiran babagan
formulasi guru nalika ndampingi siswane nalika sinau sacara online kaya kahanan
saiki. Formulasi kaya apa sing bisa
ditrepake, nanging kompetensi siswa sing wis karancang tetep bisa dilakoni
kanthi bebles.
Babagan WFH lan LFH iki amung mampir ana ing pikiranku, trus tak
iling ana tulisan iki. Babar blas aku ora nggunakake referensi apa-apa,…. Kaya
sing tak aturke ing ngarep. Aku mung ngudarasa. Matur nuwun kersa maos.
WfH Series: Perihal Ekonomi
--Eko Santosa
Umum menganggap bahwa ekonomi
sama dengan pasar. Negara atau masyarakat dikatakan miskin karena tidak
memiliki sesuatu untuk dijual. Arena jual-beli itu disebut pasar. Padahal jauh
sebelum pasar diciptakan, manusia telah menyelenggarakan ekonominya. Sejarah
ekonomi manusia dimulai dari 2 lompatan besar. Pertama adalah digunakannya
bahasa dalam berkomunikasi dan yang kedua adalah kemampuan mengelola tanah
dengan budaya tanam-menanam (agrikultur). Dalam lompatan kedua ini manusia
berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya untuk terus bertahan dan berkembang.
Budaya tanam-menanam ini menemukan kemajuan berati seiring berkembangnya
pengetahuan dan peralatan yang digunakan. Pada akhirnya, masyarakat
tanam-menanam ini tidak hanya mampu mencukupi kebutuhannya sendiri namun juga
menghasilkan bahan makanan yang berlebih. Dari sinilah akar dasar ekonomi itu
muncul yaitu surplus.
Surplus atau kelebihan bahan
makanan dari budaya agrikultur ini pertama kali hanya disimpan sebagai cadangan
jika musim kering (masa sulit tanam) tiba. Namun perkembangan pengetahuan yang
semakin baik membuat panenan melimpah sehingga bahkan melebihi kuota cadangan
yang diperlukan. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya ketika manusia hidup
sepenuhnya mengandalkan alam. Sehebat apapun pemburu, pemancing, dan pemetik
buah serta sayuran di alam tidak akan pernah bisa mengalami kelebihan produksi
di luar cadangan. Keadaan ini mengakibatkan lahirnya budaya baru termasuk di
dalamnya tulisan, hutang, uang, wilayah kekuasan, birokrasi, tentara,
rohaniwan, teknologi, dan bahkan model pertama perang biokimia dilahirkan.
Keberadaan surplus membuka
kemungkinan untuk tukar menukar dengan anggota masyarakat lainnya. Proses tukar
menukar ini mesti tercatat karena surplus yang dipertukarkan itu disimpan dalam
lumbung bersama sehingga siapa titip berapa dan ditukar oleh apa ada
rekamannya. Kecerahan masa depan agrikultur sebagai basis budaya tukar menukar
ini akhirnya melahirkan hutang, uang, dan wilayah kekuasaan. Ketika seseorang mempekerjakan
orang lain pada masa tanam dan akan memberikan upah pada saat panen, maka orang
tersebut telah berhutang kepada pekerja. Hutang ini perlu dicatat agar upah
yang diberikan pada saat panen setara dengan tenaga yang dikeluarkan.
Catatan-catatan hutang ini dengan sendirinya menjadi alat tukar. Penggunaan
catatan sebagai alat tukar itu kemudian berkembang menjadi uang dan uang ini
hanya dipergunakan di dalam satu wilayah di mana orang-orang tersebut tinggal.
Untuk menjaga kepastian dan keamanan wilayah itu sehingga segala jenis tukar
menukar terselenggara, maka diperlukan pemimpin, keamanan (tentara), dan
rohaniwan yang memberikan kepastian psikologis sekaligus pertimbangan hukum
kepada para pelaku pertukaran atas barang atau catatan yang dipertukarkan
(birokrasi). Ketiga komponen ini merupakan penguasa (birokrat) pada masa itu.
Sejarah seperti ini terus berlanjut hingga sampai pada tataran teknolgi
penghasil bahan makanan dan penjamin surplus termasuk akibat jeleknya yaitu
bakteri dan virus yang berkembang karena penumpukan bahan makanan dalam jumlah
banyak dan waktu lama di satu tempat.
Jadi, kata kunci
(keberlangsungan) ekonomi itu adalah surplus, bukan pasar. Banyak orang
berbicara mengenai pasar tempat perdagangan tapi seringkali lupa tentang surplus.
Secara gamblang, orang bisa berdagang hanya ketika kebutuhan dasar hidupnya
tercukupi sehingga ia bisa menjual kelebihan yang dimiliki. Konsep dasar ini
mesti dipahami sebab jika tidak, maka banyak yang akan terjebak dalam area
perdagangan (jual-beli) yang sama sekali tidak akan menguntungkan. Yang banyak
ini tidak hanya menyangkut orang tetapi juga negara. Rangkaiannya adalah keadaan
surplus akan melahirkan pasar, dan mekanisme pasar (nilai tukar-menukar serta
caranya) dapat berjalan melalui birokrasi di mana maknanya adalah kekuasaan.
Dan sejarah kapitalisme di mana kita hidup di dalamnya, dibangun dari penguasaan
atas rangkaian ini, selamat berbahagia.
Rumah,
290320
Dipantik dari bab pertama buku:
Yanis
Varoufakis. 2017. Talking to My Daughter,
A Brief History of Capitalism. London: Vintage.
WfH Series: “Bersama atau Sepi”: Sebuah Pilihan
--Rin Surtantini
Itu adalah judul sebuah
puisi yang khusus dituliskan oleh Eko Santosa pada sebuah peristiwa pertemuan
kelompok widyaiswara PPPPTK Seni dan Budaya, sebuah peristiwa yang oleh mbak
Irene Nusanti beberapa hari lalu disebut sebagai CoVID 19+1 (Care of Very Impressive & Dear-friend in the year of
2019+1) --- (baca tulisannya di WfH Series: “Intentional COVID 19+1 di
P4TKSB” yang dimuat di Vidyasana, hari Jumat 27 Maret 2020).

Pertemuan CoVID 19+1 ini terjadi pada awal tahun
2020, tepatnya pada hari Selasa, tanggal 14 Januari 2020. Oleh mbak Irene yang menjadi
program designer-nya, pertemuan ini diberi tema “Heart Integration in Arts: Berpisah
dalam Kebersamaan”. Semua acara pun dibuat dengan menggamit tema ini. Kata
“kebersamaan” dalam konteks ini menjadi benang merah yang dapat dimaknai secara
bebas oleh setiap yang hadir, tergantung dari nilai-nilai atau prinsip yang dianut.
Secara personal, “kebersamaan”
saya maknai sebagai sebuah payung lebar yang menaungi orang-orang yang ada di
bawahnya. Bersama, orang-orang ini memegang erat tangkainya ketika mereka berdiri,
berjalan bersama menuju suatu arah, atau ketika berhenti. Di kiri kanan, depan
belakang mereka, terhampar luas panorama yang membebaskan mereka bertukar pandang
dan mendiskusikannya dalam keragaman perspektif mereka. Alangkah indahnya jika
payung lebar yang teduh itu benar-benar ada dalam lingkungan kerja kita.
Puisi Eko Santosa berikut
ini merepresentasikan bagaimana “kebersamaan” dimaknai olehnya:
Bersama
atau Sepi
Bagi yang beriman, keberbedaan adalah keindahan.
Semesta akan kehilangan gelora ketika semua warna adalah sama.
Bagi yang beriman, kebersamaan niscaya terjalin karena keberbedaan.
Semesta akan kehilangan cahaya ketika kebersamaan tak bisa lahir dari rahim
keberbedaan.
Sebagai bagian semesta, kita mesti berteguh pada kebersamaan,
karena persendirian sesungguhnya adalah sepi.
Ia bebas namun terasing, ia melayang tinggi hanya di langit sunyi, ia
hebat namun berada dalam kekosongan sejati, ia seolah nyata meski semua orang
tahu semu adanya.
Berteguh pada kebersamaan adalah kesucian iman,
sebagaimana Tuhan memberikan bentangan tangan yang tak cukup panjang
namun meminta kita untuk merangkul dunia.
Hanya kebersamaan di atas segala indah perbedaan yang dapat menyatukan
tangan-tangan
dalam gandengan cinta dan kasih melingkup semesta.
Jika hidup adalah pilihan, maka mari tentukan, kita akan bergandeng
tangan
atau mencapai kehebatan diri sendiri dalam kesepian.
(Eko Santosa – 12 Januari 2020)
Puisi di atas dibacakan dengan
penghayatan makna dan intonasi yang syahdu oleh mas Yustinus Aristono dengan iringan
manis alunan instrumental lagu “Bahana Perdamaian” yang dimainkan pada keyboard
oleh mas Dhanang Guritno, dan alunan gesekan biola oleh mbak Diah Uswatun. Pada
pembacaan di ujung bait terakhir puisi, Aristono menjembatani puisi itu dengan sebuah
kalimat perangkai, “Mari, kita eratkan tangan dalam bahana perdamaian….”, yang
disambung dengan intro musik untuk lagu “Bahana Perdamaian” yang lalu (saya) nyanyikan
liriknya. Sekedar catatan, lagu “Bahana Perdamaian” adalah lagu karya Tedjo
Baskoro yang pada tahun 1978 berhasil menjadi salah satu dari 10 (sepuluh)
besar lagu pada Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors dan juga menjadi finalis dari
Festival Lagu Populer 1978. Saya sangat suka dengan liriknya yang meaningful dan nadanya yang indah. (Silakan
dengar lagu orisinilnya oleh Fifi Kabul di Youtube).
Saya
beruntung menemukan lagu ini karena makna liriknya membantu saya untuk mengoneksikan
maknanya dengan puisi di atas. Simak
lirik dari lagu “Bahana Perdamaian” yang dinyanyikan oleh Fifi Kabul pada masa
itu:
Temaram seakan menelan alam
Temaramnya surya serasa impian
Serana nestapa t'lah meraja buana
Kar'na daya yudha di atas angkara
Memuncak kesumat kau manusia
Menyalakan bencana buat sesama
Berpacu menggandakan senjata
Berkuasa ‘tuk bertahta
‘Tuk mengumbar nafsu durjana angkara
Bahanakan gita perdamaian
Gemakan demi kebahagiaan
Enyahkan nafsu hewani
Semaikan manusiawi
Bersama kita dalam irama
Bernada kita rangkai bahagia
Cintailah dunia
Sayangilah umat-Nya
Damailah selama-lamanya
Temaramnya surya serasa impian
Serana nestapa t'lah meraja buana
Kar'na daya yudha di atas angkara
Memuncak kesumat kau manusia
Menyalakan bencana buat sesama
Berpacu menggandakan senjata
Berkuasa ‘tuk bertahta
‘Tuk mengumbar nafsu durjana angkara
Bahanakan gita perdamaian
Gemakan demi kebahagiaan
Enyahkan nafsu hewani
Semaikan manusiawi
Bersama kita dalam irama
Bernada kita rangkai bahagia
Cintailah dunia
Sayangilah umat-Nya
Damailah selama-lamanya
Persinggungan makna puisi Eko
Santosa “Bersama atau Sepi” dengan lirik dari lagu “Bahana Perdamaian” terletak
pada nilai-nilai atau values dari fakta bahwa perbedaan di muka bumi ini adalah
sebuah keniscayaan.
Perbedaan yang dihadirkan oleh Yang Maha Kuasa di muka bumi ini dimaksudkan
agar manusia dapat saling mengenal satu sama lain, saling belajar satu sama lain,
untuk kemudian tumbuh dan berkembang bersama-sama secara sehat, damai, dan harmonis,
bukan berkembang, hebat, melesat, dan mencuat ke angkasa sendirian, lalu
tertawa bahagia (sendiri) karena berhasil menjadi “lebih” atau “paling” di
antara yang lainnya.
Maka, perbedaan dalam
banyak aspek kehidupan tak perlu di-“perangi” atau
dipersoalkan. Perbedaan sejatinya
mendorong manusia untuk mau saling berhubungan antara satu dengan yang lain agar
dapat saling melengkapi. Mencapai kehebatan diri sendiri di atas yang
lainnya memang hebat, tetapi mencapai kehebatan bersama-sama pun menjadi sebuah
pilihan hebat yang meluruhkan egoisme dan nafsu durjana individu. Pilihannya? Mau
bersama, atau sepi…
Yogyakarta, ditulis pada masa WfH, penghujung Maret 2020.
Subscribe to:
Posts (Atom)