--Eko Santosa
Umum menganggap bahwa ekonomi
sama dengan pasar. Negara atau masyarakat dikatakan miskin karena tidak
memiliki sesuatu untuk dijual. Arena jual-beli itu disebut pasar. Padahal jauh
sebelum pasar diciptakan, manusia telah menyelenggarakan ekonominya. Sejarah
ekonomi manusia dimulai dari 2 lompatan besar. Pertama adalah digunakannya
bahasa dalam berkomunikasi dan yang kedua adalah kemampuan mengelola tanah
dengan budaya tanam-menanam (agrikultur). Dalam lompatan kedua ini manusia
berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya untuk terus bertahan dan berkembang.
Budaya tanam-menanam ini menemukan kemajuan berati seiring berkembangnya
pengetahuan dan peralatan yang digunakan. Pada akhirnya, masyarakat
tanam-menanam ini tidak hanya mampu mencukupi kebutuhannya sendiri namun juga
menghasilkan bahan makanan yang berlebih. Dari sinilah akar dasar ekonomi itu
muncul yaitu surplus.
Surplus atau kelebihan bahan
makanan dari budaya agrikultur ini pertama kali hanya disimpan sebagai cadangan
jika musim kering (masa sulit tanam) tiba. Namun perkembangan pengetahuan yang
semakin baik membuat panenan melimpah sehingga bahkan melebihi kuota cadangan
yang diperlukan. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya ketika manusia hidup
sepenuhnya mengandalkan alam. Sehebat apapun pemburu, pemancing, dan pemetik
buah serta sayuran di alam tidak akan pernah bisa mengalami kelebihan produksi
di luar cadangan. Keadaan ini mengakibatkan lahirnya budaya baru termasuk di
dalamnya tulisan, hutang, uang, wilayah kekuasan, birokrasi, tentara,
rohaniwan, teknologi, dan bahkan model pertama perang biokimia dilahirkan.
Keberadaan surplus membuka
kemungkinan untuk tukar menukar dengan anggota masyarakat lainnya. Proses tukar
menukar ini mesti tercatat karena surplus yang dipertukarkan itu disimpan dalam
lumbung bersama sehingga siapa titip berapa dan ditukar oleh apa ada
rekamannya. Kecerahan masa depan agrikultur sebagai basis budaya tukar menukar
ini akhirnya melahirkan hutang, uang, dan wilayah kekuasaan. Ketika seseorang mempekerjakan
orang lain pada masa tanam dan akan memberikan upah pada saat panen, maka orang
tersebut telah berhutang kepada pekerja. Hutang ini perlu dicatat agar upah
yang diberikan pada saat panen setara dengan tenaga yang dikeluarkan.
Catatan-catatan hutang ini dengan sendirinya menjadi alat tukar. Penggunaan
catatan sebagai alat tukar itu kemudian berkembang menjadi uang dan uang ini
hanya dipergunakan di dalam satu wilayah di mana orang-orang tersebut tinggal.
Untuk menjaga kepastian dan keamanan wilayah itu sehingga segala jenis tukar
menukar terselenggara, maka diperlukan pemimpin, keamanan (tentara), dan
rohaniwan yang memberikan kepastian psikologis sekaligus pertimbangan hukum
kepada para pelaku pertukaran atas barang atau catatan yang dipertukarkan
(birokrasi). Ketiga komponen ini merupakan penguasa (birokrat) pada masa itu.
Sejarah seperti ini terus berlanjut hingga sampai pada tataran teknolgi
penghasil bahan makanan dan penjamin surplus termasuk akibat jeleknya yaitu
bakteri dan virus yang berkembang karena penumpukan bahan makanan dalam jumlah
banyak dan waktu lama di satu tempat.
Jadi, kata kunci
(keberlangsungan) ekonomi itu adalah surplus, bukan pasar. Banyak orang
berbicara mengenai pasar tempat perdagangan tapi seringkali lupa tentang surplus.
Secara gamblang, orang bisa berdagang hanya ketika kebutuhan dasar hidupnya
tercukupi sehingga ia bisa menjual kelebihan yang dimiliki. Konsep dasar ini
mesti dipahami sebab jika tidak, maka banyak yang akan terjebak dalam area
perdagangan (jual-beli) yang sama sekali tidak akan menguntungkan. Yang banyak
ini tidak hanya menyangkut orang tetapi juga negara. Rangkaiannya adalah keadaan
surplus akan melahirkan pasar, dan mekanisme pasar (nilai tukar-menukar serta
caranya) dapat berjalan melalui birokrasi di mana maknanya adalah kekuasaan.
Dan sejarah kapitalisme di mana kita hidup di dalamnya, dibangun dari penguasaan
atas rangkaian ini, selamat berbahagia.
Rumah,
290320
Dipantik dari bab pertama buku:
Yanis
Varoufakis. 2017. Talking to My Daughter,
A Brief History of Capitalism. London: Vintage.
Saat ini di pasar banyak penjual yang tutup. Warung warung juga tutup. Bakul janganan tutup. Mulai tidak surplus po ya?
ReplyDeleteMalah ngentekne surplus, akhire surmin
DeleteTenan lho... Angkringan cerakku yo tutup, jare sing dodol mentahan tutup, terus rabisa olah-olah sing arep didol
ReplyDeleteIya, berita corona marai wedi akhire sing metu berita sing positif tapi sing luwih medeni ya kanyatan ngene iki... Dampake...sing duwe bayaran tetep sasen isa tentrem uripe, lha sing uripe mbendinan sapa sing mikirke?
DeleteBetul... Tanggaku sing bayarane ora sasen ngomong: suket pinggir dalan iki yen dioseng-oseng enak ora yo? Kiro kiro mendemi ora yo?
DeleteNah kui, dadi ora kok ming perkara ati tentrem kanggo awake dhewe nanging uga kanggo liyan. Wus sakmestine yen ana pambiyantu saka pamong praja kanggo masyarakat sing uripe mbendinan ngene iki. Kudu ana tandang kang nyata dimen supaya ati tentrem ki rata dirasakake. Mengkono.
DeleteMenarik. Tak terpikirkan olehku sebelumnya rangkaian ini... surplus-pasar-mekanisme pasar-kekuasaan...
ReplyDeleteRangkaian itu tidak dimiliki negara berkembang, meskipun punya surplus alhirnya jadi surmin.
DeleteMembayangkan gimana yg akhirnya terjadi malah surmin...
Deletesiip..sukses Mas Eko..
ReplyDeletePak Marsudi ditunggu tulisane
Delete