Thursday, March 26, 2020

WfH Series: Mengupas makna kata-kata seputar COVID-19



Pada senyapnya hari “Bekerja dari Rumah”:
Mengupas makna kata-kata seputar COVID-19

--Rin Surtantini

Kesunyian semoga menyembuhkan kita.
Keheningan pun semoga mendamaikan negeri.
Dalam hening ada cahaya.
Dalam senyap ada Yang Kuasa.
Semoga segera kita temukan harmoni itu.


Pada senyapnya hari
Telah seminggu saya bekerja dari rumah. Ya, bekerja dari rumah menjadi keputusan terbaik yang dalam kondisi saat ini wajib saya patuhi, sebagaimana semua orang yang masih aktif bekerja di sektor formal melakukan hal yang sama juga. Akan ada deretan hari ke depan yang tak pasti menyangkut kapan bekerja dari rumah ini akan terus dilakukan. Maka, berbagai kegiatan pun harus menjadi deretan rencana yang dituliskan --selain kewajiban utama untuk melakukan presensi online sebagai tanda masuk bekerja, proses pelaksanaan tugas, dan pulang bekerja. Bekerja dari rumah atau di kantor, keduanya bagi saya bernilai sama, karena baik di kantor maupun di rumah, yang paling utama bagi saya adalah bahwa saya menyukai senyapnya hari dalam menjalaninya …

Di luar pekerjaan kantor, deretan rencana saat bekerja dari rumah pastilah menyangkut beberapa hobi dan aktualisasi diri… yang acap nyaris tak dilakukan selama ini karena sedikitnya waktu pada siang hari untuk berada di rumah…  Apa sajakah deretan rencana saya itu? Satu, memasak untuk keluarga; dua, beramah-tamah dengan tanaman-tanaman di halaman belakang dan depan rumah; tiga, menelaah kembali puluhan puisi yang pernah saya tuliskan; empat, mengatur perabot, dekorasi, yang ada di dalam rumah; lima, menangkap obyek apapun yang menarik hati pada kamera dan mengolahnya; enam, membaca artikel-artikel pada koran Kompas langganan saya; tujuh, menata kembali buku-buku pada ruang perpustakaan pribadi; delapan, menggambar; sembilan, menyanyi; sepuluh, mengorganisasikan file-file di laptop dan mobile phone. Alangkah banyak dan menyenangkan nampaknya semua rencana itu bagi saya!  


Gagasan yang tumbuh pada kesunyian hari
Betul, saya sangat menyukai senyapnya hari-hari bekerja dari rumah, entah itu siang atau malam hari. Pada suatu malam yang hujan, saya tuliskan ini di sebuah status whatsapp, “on such a quiet rainy evening, work has its own luxury…”.  Mengapa? Karena saya mempelajari dan mengerjakan sesuatu yang menyenangkan, walau mungkin itu remeh-temeh dan tak menarik bagi orang lain. Apa itu? Dari salah satu rencana saya untuk selalu menyempatkan membaca artikel-artikel pada koran Kompas setiap hari selama masa bekerja dari rumah, saya mendapati bahwa salah satu wilayah yang merupakan interest saya sejak dahulu, yaitu pragmatics, atau language in use, menemukan jendelanya pada koran yang saya baca.  Dan dalam wilayah inilah saya mengamati dan mempelajari sesuatu, seiring dengan keyakinan saya bahwa bahasa adalah sebuah organisme yang hidup.

Pada hampir setiap lembar koran yang saya baca setiap hari, terdapat sejumlah kata yang berulang muncul berkaitan dengan isu seputar COVID-19. Tiba-tiba saja, muncul gagasan bahwa koran menyediakan sumber data alami yang kaya terhadap interest saya, yaitu data language in use. Ia merupakan corpus, koleksi dari teks tulis atau bahasa verbal, mengenai berbagai bidang yang kita pikirkan dan geluti dalam kehidupan kita. Dari perspektif kognitif, bahasa membentuk cara kita berpikir, dan menentukan apa yang dapat kita pikirkan.

Saya lalu memutuskan untuk membuat brainstorming melalui mindmap, apa saja yang bisa dilakukan dengan tersedianya data language in use yang sangat banyak itu. Saya harus memproduksi pikiran. Ini akan sangat membuat hari-hari senyap yang saya sukai pada masa bekerja dari rumah itu akan menjadi semakin meaningful dan menarik. Dari sekian alternatif yang disediakan oleh hasil brainstorming itu, salah satunya adalah “mengupas makna kata-kata”, dan isu yang saya pilih adalah seputar COVID-19.


Mengupas makna kata seputar COVID-19
Media massa merekam dan mempopulerkan sejumlah kata seputar COVID-19 dalam bahasa Inggris yang langsung digunakan dalam teks-teks tulis maupun lisan oleh orang-orang di Indonesia. Dalam Kompas hari Selasa, 24 Maret 2020, pada kolom Bahasa halaman 5, Simanungkalit menuliskan bahwa peristiwa COVID-19 merasuk bahasa juga. Katanya, meskipun tak sekalang-kabut pemerintah dan penatalaksana kesehatan, aktivis bahasa (Indonesia) pun buncah dibuatnya. Ditambahkannya, istilah Inggris berkenaan dengan COVID-19 hampir sama dengan kecepatan masuk virus itu ke berbagai negara, yang disambut tanpa hambatan oleh media konvensional maupun media sosial.

Saya mungkin termasuk yang membuncah pikirannya dengan istilah-istilah ini. Bukan karena tidak setuju dengan penggunaan istilah-istilah Inggris tersebut, tapi saya lebih tertarik untuk mengelupasnya, memaknainya dengan bagaimana cara saya memahami dan menjalaninya. Dalam hal ini, bahasa memang organisme yang hidup. Ia bisa membongkar pikiran kita dan memaksa kita untuk memberi makna kepadanya dan memeroleh pengetahuan darinya. Tiga istilah yang akan saya maknai kali ini hanya tiga saja, yaitu Work from Home (WfH), social distancing vs. physical distancing, dan… covidiot, istilah baru yang diluncurkan baru-baru ini oleh Urban Dictionary pada laman https://www.urbandictionary.com/

(1)
Work from Home (WfH), bahasa Indonesianya adalah “bekerja dari rumah”, jadi bukan “bekerja di rumah”. Jika bekerja di rumah, maka apa yang kita kerjakan bukan atau belum tentu merupakan pekerjaan kantor kita yang dialihkan ke rumah untuk dilakukan di rumah. Bukankah demikian? Padahal, ketika “bekerja dari rumah” tentu yang dimaksudkan adalah kita bekerja untuk kepentingan, urusan, atau tugas kantor dari rumah kita. Sedangkan jika “bekerja di rumah”, kita bisa melakukan hal-hal lain atau apa saja yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, urusan, tugas, atau kepentingan kantor (seperti contohnya adalah sepuluh daftar rencana kegiatan di rumah yang saya buat di awal tulisan ini). Singkatnya, meskipun sama-sama merupakan kata depan, “di” dan “dari” akan memberi makna yang berbeda dalam penggunaannya, dan yang tak kalah penting, tentu berbeda dalam praktiknya.

WfH dalam pemaknaan saya pribadi, selain Work from Home, adalah juga Work from Heart, “bekerja dari hati”.  Bagi saya, work from heart terjadi ketika saya mencintai pekerjaan yang saya lakukan. Maka, apa yang saya pilih untuk saya lakukan adalah karena saya menyukainya, mencintainya, membuat saya dapat melakukan suatu aktualisasi diri, sehingga dengan pekerjaan itu saya bahagia, dan ada orang lain yang dapat ikut merasakan rasa positif melalui manfaat yang tercipta, betapa pun kecilnya. Dengan demikian, work from home and work from heart yang saya lakukan harus memiliki nilai-nilai tersebut.

(2)
Social distancing, memberi makna sebagai “praktik menjaga jarak” yang konteksnya adalah di ruang publik selama terjadi wabah penyakit menular untuk meminimalkan paparan virus atau transmisi dari infeksi virus atau kuman tersebut. Pada peristiwa COVID-19 saat ini, praktik ini harus dilakukan. Seiring dengan pemaknaan ini, kata physical distancing saat ini menjadi pilihan baru yang tepat untuk digunakan dalam konteks membantu masyarakat memahami apa yang perlu mereka lakukan dalam mencegah transmisi virus corona. Mengapa? Karena yang dimaksud dengan praktik menjaga jarak itu sebetulnya memang menjaga jarak secara fisik, sedangkan secara sosial kita tetap dapat dekat melalui cara-cara virtual. Kita tetap dapat memelihara hubungan sosial, dan hubungan sosial ini tetap penting pada saat-saat ini, tetapi dapat dilakukan melalui cara virtual, misalnya dengan program Skype, Zoom, Whatsapp video call, dan banyak lagi, yang membantu keluarga, sahabat, dan handai taulan tetap terkoneksi satu sama lain dan saling mendukung.

WHO merekomendasikan frasa physical distancing untuk digunakan sebagai pengganti istilah social distancing, sebagaimana dikutip dari laman https://www.sciencealert.com/. Idenya adalah untuk mengklarifikasi bahwa instruksi untuk tinggal di rumah selama wabah virus corona adalah bukan berarti memutuskan hubungan dengan teman-teman dan keluarga, tetapi lebih kepada menjaga jarak fisik untuk memastikan penyakit itu tidak menyebar. Dalam bahasa Indonesia, ada “calon” istilah yang dibumikan untuk menjaga jarak ini, salah satunya adalah “pen-jarak-an badan”, sebagaimana dituliskan oleh Simanungkalit pada kolom Bahasa (Kompas hari Selasa, 24 Maret 2020). Istilah “pen-jarak-an” pada “penjarakan badan” dalam hal ini memiliki kata dasar “jarak”. Harap diingat, jangan disalahartikan dengan “penjara-kan badan” yang berasal dari kata dasar “penjara”, yang berarti memenjarakan badan.

(3)
Covidiot, istilah yang baru saja dimunculkan oleh Urban Dictionary berkaitan dengan kelakuan, sikap, atau perbuatan seseorang yang tidak baik dalam peristiwa COVID-19. Istilah baru ini belum muncul di media massa Indonesia, akan tetapi tidak ada salahnya kita tahu artinya. Covidiot adalah orang yang mengabaikan peringatan-peringatan yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan dari COVID-19. Secara spesifik, covidiot adalah orang bodoh yang keras kepala mengabaikan protokol dari social distancing, sehingga ia kemudian menyebarkan COVID-19. Covidiot juga mengacu kepada orang bodoh yang menimbun barang-barang dengan membelinya dalam jumlah banyak.
Istilah covidiot mengingatkan kita akan adanya kelompok orang yang seperti ini di sekitar kita dalam persitiwa COVID-19 saat ini, yang bisa jadi kita pun melakukannya (?).


Pada akhirnya
Tulisan ini merupakan kegiatan memproduksi pikiran yang awalnya merupakan rencana kegiatan non-kantor, yaitu menyempatkan diri membaca koran Kompas yang setiap hari diantar oleh loper koran langganan. Akan tetapi, saya pikir juga bisa menjadi isian dalam rencana SKP saya setiap bulan, yaitu menulis, yang dilakukan juga bersama dengan proses membaca dan memaknainya. Maka, work from home juga menjadi work from heart.

Akhirnya, seiring dengan work from home and work from heart, semoga saya dapat ikut membantu meredakan penyebaran COVID-19 dengan mematuhi praktik physical distancing namun tetap menjaga hubungan sosial secara virtual, dan tidak menjadi salah satu dari para covidiots.


Yogyakarta, diselesaikan pada hari Nyepi, 25/03/2020.







6 comments:

  1. Dituntut kejujuran hati untuk mensyahkan aktivitas WfH agar tidak makan gaji buta.

    ReplyDelete
  2. Setuju, mas Aris. Maka, menulislah, untuk berbagi...

    ReplyDelete
  3. bekerja dari rumah merupakan momen yang tepat utk menghasilkan sesuatu yang bermakna. Karena target istitusioanal tdk dideklarasikan dengan kaku.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, saya harus membuatnya meaningful dan punya target. Bahkan saya merasa bisa lebih produktif dengan lebih banyak hal yang bisa saya selesaikan atau hasilkan ...

      Delete