Pada
senyapnya hari “Bekerja dari Rumah”:
Mengupas makna kata-kata seputar COVID-19
--Rin Surtantini
Kesunyian semoga
menyembuhkan kita.
Keheningan pun semoga
mendamaikan negeri.
Dalam hening ada
cahaya.
Dalam senyap ada Yang
Kuasa.
Semoga segera kita
temukan harmoni itu.
Pada senyapnya hari
Telah seminggu saya
bekerja dari rumah. Ya, bekerja dari rumah menjadi keputusan terbaik yang dalam
kondisi saat ini wajib saya patuhi, sebagaimana semua orang yang masih aktif
bekerja di sektor formal melakukan hal yang sama juga. Akan ada deretan hari ke
depan yang tak pasti menyangkut kapan bekerja dari rumah ini akan terus dilakukan.
Maka, berbagai kegiatan pun harus menjadi deretan rencana yang dituliskan
--selain kewajiban utama untuk melakukan presensi online sebagai tanda masuk bekerja, proses pelaksanaan tugas, dan
pulang bekerja. Bekerja dari rumah atau di kantor, keduanya bagi saya bernilai sama,
karena baik di kantor maupun di rumah, yang paling utama bagi saya adalah bahwa
saya menyukai senyapnya hari dalam menjalaninya …
Di luar pekerjaan kantor,
deretan rencana saat bekerja dari rumah pastilah menyangkut beberapa hobi dan
aktualisasi diri… yang acap nyaris tak dilakukan selama ini karena sedikitnya
waktu pada siang hari untuk berada di rumah… Apa sajakah deretan rencana saya itu? Satu,
memasak untuk keluarga; dua, beramah-tamah dengan
tanaman-tanaman di halaman belakang dan depan rumah; tiga, menelaah kembali puluhan
puisi yang pernah saya tuliskan; empat, mengatur perabot, dekorasi,
yang ada di dalam rumah; lima, menangkap obyek apapun yang
menarik hati pada kamera dan mengolahnya; enam, membaca artikel-artikel pada
koran Kompas langganan saya; tujuh, menata kembali buku-buku pada
ruang perpustakaan pribadi; delapan, menggambar; sembilan, menyanyi; sepuluh, mengorganisasikan
file-file di laptop dan mobile phone.
Alangkah banyak dan menyenangkan nampaknya semua rencana itu bagi saya!
Gagasan yang tumbuh pada kesunyian hari
Betul, saya sangat
menyukai senyapnya hari-hari bekerja dari rumah, entah itu siang atau malam
hari. Pada suatu malam yang hujan, saya tuliskan ini di sebuah status whatsapp, “on such a quiet rainy evening,
work has its own luxury…”. Mengapa?
Karena saya mempelajari dan mengerjakan sesuatu yang menyenangkan, walau mungkin
itu remeh-temeh dan tak menarik bagi orang lain. Apa itu? Dari salah satu
rencana saya untuk selalu menyempatkan membaca artikel-artikel pada koran
Kompas setiap hari selama masa bekerja dari rumah, saya mendapati bahwa salah
satu wilayah yang merupakan interest saya
sejak dahulu, yaitu pragmatics, atau language in use, menemukan jendelanya
pada koran yang saya baca. Dan dalam
wilayah inilah saya mengamati dan mempelajari sesuatu, seiring dengan keyakinan
saya bahwa bahasa adalah sebuah organisme yang hidup.
Pada hampir setiap lembar
koran yang saya baca setiap hari, terdapat sejumlah kata yang berulang muncul
berkaitan dengan isu seputar COVID-19.
Tiba-tiba saja, muncul gagasan bahwa koran menyediakan sumber data alami yang
kaya terhadap interest saya, yaitu
data language in use. Ia merupakan corpus, koleksi dari teks tulis atau
bahasa verbal, mengenai berbagai bidang yang kita pikirkan dan geluti dalam
kehidupan kita. Dari perspektif kognitif, bahasa membentuk cara kita berpikir,
dan menentukan apa yang dapat kita pikirkan.
Saya lalu memutuskan
untuk membuat brainstorming melalui mindmap, apa saja yang bisa dilakukan
dengan tersedianya data language in use yang
sangat banyak itu. Saya harus memproduksi pikiran. Ini akan sangat membuat
hari-hari senyap yang saya sukai pada masa bekerja dari rumah itu akan menjadi
semakin meaningful dan menarik. Dari
sekian alternatif yang disediakan oleh hasil brainstorming itu, salah satunya adalah “mengupas makna kata-kata”,
dan isu yang saya pilih adalah seputar COVID-19.
Mengupas makna kata seputar COVID-19
Media massa merekam dan
mempopulerkan sejumlah kata seputar COVID-19
dalam bahasa Inggris yang langsung digunakan dalam teks-teks tulis maupun
lisan oleh orang-orang di Indonesia. Dalam Kompas hari Selasa, 24 Maret 2020,
pada kolom Bahasa halaman 5, Simanungkalit menuliskan bahwa peristiwa COVID-19 merasuk bahasa juga. Katanya, meskipun tak sekalang-kabut
pemerintah dan penatalaksana kesehatan, aktivis bahasa (Indonesia) pun buncah
dibuatnya. Ditambahkannya, istilah Inggris berkenaan dengan COVID-19 hampir sama dengan kecepatan
masuk virus itu ke berbagai negara, yang disambut tanpa hambatan oleh media
konvensional maupun media sosial.
Saya mungkin termasuk
yang membuncah pikirannya dengan istilah-istilah ini. Bukan karena tidak setuju
dengan penggunaan istilah-istilah Inggris tersebut, tapi saya lebih tertarik untuk
mengelupasnya, memaknainya dengan bagaimana cara saya memahami dan
menjalaninya. Dalam hal ini, bahasa memang organisme yang hidup. Ia bisa
membongkar pikiran kita dan memaksa kita untuk memberi makna kepadanya dan
memeroleh pengetahuan darinya. Tiga istilah yang akan saya maknai kali ini
hanya tiga saja, yaitu Work from Home (WfH), social distancing vs. physical
distancing, dan… covidiot, istilah baru yang diluncurkan baru-baru ini oleh Urban Dictionary pada
laman https://www.urbandictionary.com/
(1)
Work from Home (WfH), bahasa Indonesianya adalah “bekerja dari rumah”, jadi bukan “bekerja di rumah”. Jika bekerja di rumah, maka apa yang kita kerjakan bukan
atau belum tentu merupakan pekerjaan kantor kita yang dialihkan ke rumah untuk
dilakukan di rumah. Bukankah demikian? Padahal, ketika “bekerja dari rumah” tentu yang dimaksudkan adalah
kita bekerja untuk kepentingan, urusan, atau tugas kantor dari rumah kita.
Sedangkan jika “bekerja di rumah”,
kita bisa melakukan hal-hal lain atau apa saja yang sama sekali tidak ada
kaitannya dengan pekerjaan, urusan, tugas, atau kepentingan kantor (seperti contohnya
adalah sepuluh daftar rencana kegiatan di rumah yang saya buat di awal tulisan
ini). Singkatnya, meskipun sama-sama merupakan kata depan, “di” dan “dari” akan
memberi makna yang berbeda dalam penggunaannya, dan yang tak kalah penting, tentu
berbeda dalam praktiknya.
WfH dalam pemaknaan saya pribadi, selain Work from Home, adalah juga Work from Heart, “bekerja
dari hati”. Bagi saya, work
from heart terjadi ketika saya mencintai pekerjaan yang saya lakukan.
Maka, apa yang saya pilih untuk saya lakukan adalah karena saya menyukainya,
mencintainya, membuat saya dapat melakukan suatu aktualisasi diri, sehingga
dengan pekerjaan itu saya bahagia, dan ada orang lain yang dapat ikut merasakan
rasa positif melalui manfaat yang tercipta, betapa pun kecilnya. Dengan demikian,
work
from home and work from heart yang saya lakukan harus memiliki nilai-nilai
tersebut.
(2)
Social distancing, memberi makna sebagai “praktik menjaga
jarak” yang konteksnya adalah di ruang publik selama terjadi wabah penyakit
menular untuk meminimalkan paparan virus atau transmisi dari infeksi virus atau
kuman tersebut. Pada peristiwa COVID-19 saat
ini, praktik ini harus dilakukan. Seiring dengan pemaknaan ini, kata physical
distancing saat ini menjadi
pilihan baru yang tepat untuk digunakan dalam konteks membantu masyarakat
memahami apa yang perlu mereka lakukan dalam mencegah transmisi virus corona. Mengapa? Karena yang dimaksud
dengan praktik menjaga jarak itu sebetulnya memang menjaga jarak secara fisik, sedangkan secara sosial kita
tetap dapat dekat melalui cara-cara virtual.
Kita tetap dapat memelihara hubungan sosial, dan hubungan sosial ini tetap
penting pada saat-saat ini, tetapi dapat dilakukan melalui cara virtual, misalnya dengan program Skype, Zoom, Whatsapp video call, dan banyak lagi, yang membantu keluarga, sahabat, dan
handai taulan tetap terkoneksi satu sama lain dan saling mendukung.
WHO merekomendasikan frasa physical
distancing untuk digunakan sebagai pengganti istilah social
distancing, sebagaimana
dikutip dari laman https://www.sciencealert.com/.
Idenya adalah untuk mengklarifikasi bahwa instruksi untuk tinggal di rumah
selama wabah virus corona adalah
bukan berarti memutuskan hubungan dengan teman-teman dan keluarga, tetapi lebih
kepada menjaga jarak fisik untuk memastikan penyakit itu tidak menyebar. Dalam
bahasa Indonesia, ada “calon” istilah yang dibumikan untuk menjaga jarak ini,
salah satunya adalah “pen-jarak-an badan”, sebagaimana dituliskan oleh
Simanungkalit pada kolom Bahasa (Kompas hari Selasa, 24 Maret 2020). Istilah
“pen-jarak-an” pada “penjarakan badan” dalam hal ini memiliki kata dasar
“jarak”. Harap diingat, jangan disalahartikan dengan “penjara-kan badan” yang
berasal dari kata dasar “penjara”, yang berarti memenjarakan badan.
(3)
Covidiot, istilah
yang baru saja dimunculkan oleh Urban Dictionary berkaitan dengan kelakuan,
sikap, atau perbuatan seseorang yang tidak baik dalam peristiwa COVID-19. Istilah baru ini belum muncul
di media massa Indonesia, akan tetapi tidak ada salahnya kita tahu artinya. Covidiot
adalah orang yang mengabaikan peringatan-peringatan yang berkaitan
dengan kesehatan dan keselamatan dari COVID-19.
Secara spesifik, covidiot adalah orang bodoh yang
keras kepala mengabaikan protokol dari social distancing, sehingga ia
kemudian menyebarkan COVID-19. Covidiot juga mengacu kepada orang
bodoh yang menimbun barang-barang dengan membelinya dalam jumlah banyak.
Istilah covidiot mengingatkan
kita akan adanya kelompok orang yang seperti ini di sekitar kita dalam
persitiwa COVID-19 saat ini, yang
bisa jadi kita pun melakukannya (?).
Pada akhirnya
Tulisan ini merupakan
kegiatan memproduksi pikiran yang awalnya merupakan rencana kegiatan
non-kantor, yaitu menyempatkan diri membaca koran Kompas yang setiap hari
diantar oleh loper koran langganan. Akan tetapi, saya pikir juga bisa menjadi
isian dalam rencana SKP saya setiap bulan, yaitu menulis, yang dilakukan juga
bersama dengan proses membaca dan memaknainya. Maka, work from home juga menjadi work
from heart.
Akhirnya, seiring dengan work
from home and work from heart, semoga saya dapat ikut membantu
meredakan penyebaran COVID-19 dengan
mematuhi praktik physical distancing namun tetap menjaga hubungan sosial secara virtual, dan tidak menjadi salah satu dari
para covidiots.
Yogyakarta, diselesaikan pada hari Nyepi, 25/03/2020.
Dituntut kejujuran hati untuk mensyahkan aktivitas WfH agar tidak makan gaji buta.
ReplyDeleteSetuju, mas Aris. Maka, menulislah, untuk berbagi...
ReplyDeleteWfH, write from home
ReplyDeleteIt is!
Deletebekerja dari rumah merupakan momen yang tepat utk menghasilkan sesuatu yang bermakna. Karena target istitusioanal tdk dideklarasikan dengan kaku.
ReplyDeleteBetul, saya harus membuatnya meaningful dan punya target. Bahkan saya merasa bisa lebih produktif dengan lebih banyak hal yang bisa saya selesaikan atau hasilkan ...
Delete