Friday, March 27, 2020

WfH Series: Emak Militan di Tengah Wabah Covid-19

---Cahya Yuana




Covid-19 memang luar biasa. Tidak hanya penularannya, tapi juga menciptakan budaya kerja baru. Saat pemerintah menyampaikan kebijakan  kerja dan belajar dirumah banyak orang yang menyambut gembira. Para emak-emak baik yang masih langsing ataupun tumbuh subur juga tidak lepas dari rasa gembira. Tapi rasa gembira ini ternyata hanya sebentar. Tidak sampai 14 hari di media sosial atau WAG bermuncul respon  para emak ini. Ada yang menulis tugas kantor gak bisa dikerjakan karena harus mendampingi anak belajar, tempe gosong karena dipanggil anak yang kesulitan menggunakan google class room, sampai komentar yang religius, Ya Allah Segera singkirkan Corona ini karena anakku tahu aku bukan guru yang baik.

Kadang saya berkerut membaca tulisan para emak ini. Beberapa buku tentang parenting yang pernah saya baca memberikan informasi tugas mendidik itu utamanya tetap pada orang tua. Apa buku parenting yang saya baca salah, atau para para emak itu yang sudah mengalami perubahan. Tapi tulisan ini tidak akan masuk membahas hal tersebut. Karena saya tahu kalau saya bahas terlampau dalam maka saat nanti saya masuk kantor tubuh saya akan ditaburi garam, brambang, kecap, tumbar, dari para emak yang membaca tulisan ini.

Program belajar dirumah ini mengingatkan  saya kepada seorang anak, yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal tingkat SD s.d. SMA, tapi mampu lolos masuk perguruan tinggi. Tidak tanggung-tanggung anak itu diterima di Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia. Musa Izzanardi Wijanarko seorang anak dari Bandung yang oleh orang tuanya tidak pernah dimasukan ke Sekolah Formal. Yanti Herawati sang ibu memilih mendidik anak tersebut dirumah. Dengan bekal Ijazah Paket C Izzan mendatar di ITB dan UI dan mendapat nilai yang baik sehingga diterima di Fakultas MIPA ITB dan Fakultas Elektro Universitas Indonesia. Kisah Izzan dimuat oleh Harian Kompas pada tahun 2017.

Bisa jadi Izzan adalah pengecualian, atau bahkan ada yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh orang tua Izzan, karena seorang anak tidak hanya butuh pengetahuan akan tetapi juga butuh belajar bersosialisasi menjadi manusia utuh. Tapi apa yang terjadi pada Izzan memberikan gambaran bahwa ketika sekolah hanya menekankan kepada  penyerapan pengetahuan maka pada zaman pengetahuan yang sangat terbuka keberadaanya bisa digantikan oleh institusi lain. Bahkan keberadaan sekolah juga bisa digantikan oleh institusi virtual seperti internet. Ketika sekolah tidak bisa memberikan nilai tambah keberadaanya akan segera ditinggalkan. Sekolah itu candu sebuah buku yang ditulis oleh Roem Topatimasang cermin dari kegalauan beberapa orang terhadap institusi sekolah. Roem Topatimasang menulis buku ini sebagai rasa kecewa setelah sekolah menjadi ketergantunngan, Sekolah yang tinggi itu keren dan baik, meski belum tentu lulusannya menjadi orang pintar dan baik. Roem juga kecewa ketika orang tua merasa sudah selesai menjalankan kewajibannya setelah mereka memasukan sang anak di sekolah.

Pada tahun 2016 saya mengikuti sebuah pelatihan tentang Speed Reading. Bukan materinya yang menarik, bahkan saya tidak mengikuti acara itu sampai selesai karena saya kecewa materi yang disampaikan, meski saya mengeluarkan uang pribadi untuk mengikuti acara tersebut. Tapi yang membuat saya terngiang adalah perkataan sang trainer yang mengatakan dia tidak pernah menyekolahkan anak di sekolah formal, bahkan sampai nanti di perguruan tinggi. Sang trainer menyatakan bahwa saat ini dunia lebih butuh orang yang bisa bukan orang berijazah. Sang trainer kemudian menceritakan beberapa perusahaan besar sperti google yang sudah mencari karyawan bukan berdasar ijazah tapi apa yang kamu bisa. Perkataan ini mirip dengan perkataan teman saya yang mempunyai anak tujuh padahal saat itu dia hanya berprofesi sebagai penambal ban sepeda montor. Dia cerita karena keterbatasan ekonomi anaknya hanya sampai SMA tapi dia akan memberikan bekal Life Skills. Dia bercerita kalau punya keterampilan kan ya bisa hidup dan bahkan bisa menjadi bos orang berijazah. 

So bagaimana dengan belajar dirumah. Belajar di rumah itu sudah banyak dilakukan oleh para orang tua. Mari kita nikmati Bekerja dan Belajar di Rumah dengan kita mendampingi anak belajar. Repot pasti apalagi kalau anak paling besar juga masih minta-minta terus karena stres dirumah terus. Tapi emak militan tidak akan menyerah.  Saatnya kita menjadi emak yang teladan bukan emak telatan. 

4 comments:

  1. Sinau neng sekolah nggo urip ning ngelmune akeh sing ra kena nggo urip. Apameneh urip malah nyambutgawe neng P4TK.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha... perlu ditelaah ini, mengapa demikian...

      Delete
  2. Institusi sekolah sering lupa, bahwa belajar itu untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya.

    ReplyDelete