Covid-19 memang luar biasa. Tidak hanya penularannya, tapi juga menciptakan budaya kerja baru. Saat pemerintah menyampaikan kebijakan kerja dan belajar dirumah banyak orang yang menyambut gembira. Para emak-emak baik yang masih langsing ataupun tumbuh subur juga tidak lepas dari rasa gembira. Tapi rasa gembira ini ternyata hanya sebentar. Tidak sampai 14 hari di media sosial atau WAG bermuncul respon para emak ini. Ada yang menulis tugas kantor gak bisa dikerjakan karena harus mendampingi anak belajar, tempe gosong karena dipanggil anak yang kesulitan menggunakan google class room, sampai komentar yang religius, Ya Allah Segera singkirkan Corona ini karena anakku tahu aku bukan guru yang baik.
Kadang saya berkerut membaca tulisan para emak
ini. Beberapa buku tentang parenting yang pernah saya baca memberikan informasi
tugas mendidik itu utamanya tetap pada orang tua. Apa buku parenting yang saya
baca salah, atau para para emak itu yang sudah mengalami perubahan. Tapi
tulisan ini tidak akan masuk membahas hal tersebut. Karena saya tahu kalau saya
bahas terlampau dalam maka saat nanti saya masuk kantor tubuh saya akan
ditaburi garam, brambang, kecap, tumbar, dari para emak yang membaca tulisan
ini.
Program belajar dirumah ini mengingatkan saya kepada seorang anak, yang tidak pernah
mengenyam pendidikan formal tingkat SD s.d. SMA, tapi mampu lolos masuk
perguruan tinggi. Tidak tanggung-tanggung anak itu diterima di Institut
Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia. Musa Izzanardi Wijanarko seorang
anak dari Bandung yang oleh orang tuanya tidak pernah dimasukan ke Sekolah
Formal. Yanti Herawati sang ibu memilih mendidik anak tersebut dirumah. Dengan
bekal Ijazah Paket C Izzan mendatar di ITB dan UI dan mendapat nilai yang baik
sehingga diterima di Fakultas MIPA ITB dan Fakultas Elektro Universitas
Indonesia. Kisah Izzan dimuat oleh Harian Kompas pada tahun 2017.
Bisa jadi Izzan adalah pengecualian, atau
bahkan ada yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh orang tua Izzan,
karena seorang anak tidak hanya butuh pengetahuan akan tetapi juga butuh
belajar bersosialisasi menjadi manusia utuh. Tapi apa yang terjadi pada Izzan
memberikan gambaran bahwa ketika sekolah hanya menekankan kepada penyerapan pengetahuan maka pada zaman
pengetahuan yang sangat terbuka keberadaanya bisa digantikan oleh institusi
lain. Bahkan keberadaan sekolah juga bisa digantikan oleh institusi virtual
seperti internet. Ketika sekolah tidak bisa memberikan nilai tambah
keberadaanya akan segera ditinggalkan. Sekolah itu candu sebuah buku yang
ditulis oleh Roem Topatimasang cermin dari kegalauan beberapa orang terhadap
institusi sekolah. Roem Topatimasang menulis buku ini sebagai rasa kecewa
setelah sekolah menjadi ketergantunngan, Sekolah yang tinggi itu keren dan
baik, meski belum tentu lulusannya menjadi orang pintar dan baik. Roem juga
kecewa ketika orang tua merasa sudah selesai menjalankan kewajibannya setelah
mereka memasukan sang anak di sekolah.
Pada tahun 2016 saya mengikuti sebuah
pelatihan tentang Speed Reading. Bukan materinya yang menarik, bahkan
saya tidak mengikuti acara itu sampai selesai karena saya kecewa materi yang
disampaikan, meski saya mengeluarkan uang pribadi untuk mengikuti acara
tersebut. Tapi yang membuat saya terngiang adalah perkataan sang trainer yang
mengatakan dia tidak pernah menyekolahkan anak di sekolah formal, bahkan sampai
nanti di perguruan tinggi. Sang trainer menyatakan bahwa saat ini dunia lebih
butuh orang yang bisa bukan orang berijazah. Sang trainer kemudian menceritakan
beberapa perusahaan besar sperti google yang sudah mencari karyawan bukan
berdasar ijazah tapi apa yang kamu bisa. Perkataan ini mirip dengan perkataan
teman saya yang mempunyai anak tujuh padahal saat itu dia hanya berprofesi sebagai
penambal ban sepeda montor. Dia cerita karena keterbatasan ekonomi anaknya
hanya sampai SMA tapi dia akan memberikan bekal Life Skills. Dia
bercerita kalau punya keterampilan kan ya bisa hidup dan bahkan bisa menjadi
bos orang berijazah.
So bagaimana dengan belajar dirumah. Belajar di rumah
itu sudah banyak dilakukan oleh para orang tua. Mari kita nikmati Bekerja dan
Belajar di Rumah dengan kita mendampingi anak belajar. Repot pasti apalagi
kalau anak paling besar juga masih minta-minta terus karena stres dirumah
terus. Tapi emak militan tidak akan menyerah. Saatnya kita menjadi emak yang teladan bukan
emak telatan.
Sinau neng sekolah nggo urip ning ngelmune akeh sing ra kena nggo urip. Apameneh urip malah nyambutgawe neng P4TK.
ReplyDeleteHahaha... perlu ditelaah ini, mengapa demikian...
DeleteInstitusi sekolah sering lupa, bahwa belajar itu untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya.
ReplyDeleteok..sip..
ReplyDelete