---Wiwin Suhastari
Saya dilahirkan dari keluarga biasa – biasa saja. Saya anak pertama dari 7 bersaudara yang terdiri dari 6 perempuan dan satu laki-laki.
Di usia pendidikan yaitu sejak SD sampe SLTA saya tinggal dengan kedua ortu beserta ke-6 adik-adik saya. Saya tinggal di sebuah desa namanya Kweni, Panggung Harjo, Sewon Bantul.
Sebetulnya orang tua tidak punya latar belakang seni sama sekali. Ayah bekerja dibidang pendidikan sebagai PNS di Dinas Pendidikan Propinsi DIY, sedangkan ibuku bekerja di bidang medis yang bekerja sebagai perawat di RS Sarjito.
Untuk pendidikan karena alasan biaya, orang tua selalu mengarahkan agar saya dan adik-adik bisa bersekolah di sekolah negeri yang notabennya biaya pendidikannya masih relatif murah.
Meski begitu harapan orang tua tidak bisa terpenuhi sepenuhnya karena dua dari keenam adikku harus sekolah diluar negeri alias di sekolah swasta.
Meski orang tuaku tidak berlatar belakang seni, tapi ayah ibu tidak pernah melarangku mengikuti kegiatan-kegiatan yang dinilai positif yang ada di sekitarku.
Saat itu aku masih duduk di kelas 3 Sekolah dasar, dan kebetulan di lokasi yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku ada gedung pertemuan yang oleh pemiliknya gedung tersebut sering disewakan untuk Pernikahan, Pentas Seni ( ludruk, kethoprak, wayang orang, wayang kulit dll) sehingga saya sering diajak oleh Om atau nenek untuk menonton pentas Seni tersebut.
Meski saya tidak punya darah seni, tapi karena sering melihat pentas-pentas seni di gedung itu, tanpa kusadari saya mulai tertarik dengan gerakan-gerakan penari saat pentas.
Bahkan saya sering menari sendiri mencoba menirukan gerakan tarian yang saya lihat di depan kaca. Lucu memang kalau ingat masa itu........he he he. Dan setelah Om ku mengetahui bahwa aku ternyata seneng menari, akhirnya di kelas 4 SD saya diikutkan les di Pendopo TejoKusuman. Mulai kelas 4 SD saya belajar menari gaya Jogja di pendopo Tejakusuman. Selama mengikuti kursus yang saya ingat dan paling berkesan, temen2 yang menari itu ternyata anak-anak dan remaja-remaja yang semuanya rata-rata cuantiik-cuantiik, badannya bagus, kulitnya mulus-mulus. Dan yang lakipun juga cakep-cakep. Setelah saya tahu, ternyata memang mereka sebagian besar adalah putra putri bendoro – bendoro yang masih kerabat keraton Ngayogyokarto atau ptra-putri para abdi dalem......
Tidak lama hanya kurang lebih 1 tahun saya belajar menari di pendopo Tejokusuman karena Om yang biasa mengantar saya melangsungkan pernikahan, jadi masih satu tarian yang saya bisa (hanya sebatas bisa) yaitu baru bisa menari Tari Sari Tunggal.
Beberapa minggu setelah saya berhenti latihan di pendopo Tejokusuman, gedung pertemuan yang biasa dipakai pentas seni setiap hari rabu dan minggu sore digunakan sebagai sanggar tari. Akhirnya saya ikut bergabung di sanggar tari tersebut. Setelah beberapa waktu saya bergabung di sanggar tari tersebut akhirnya saya bisa menari beberapa jenis tarian gaya SOLO antara lain : tari Golek, tari gambyong, tari Gamberanom, tari Klono Topeng, tari Bondan, tari Menak Jinggo dayun dan beberapa jenis tari kreasi baru. Bahkan saya sempat dijadikan asisten oleh guru tari dan diajak pentas kemana-mana bahkan sampe luar kota.
Dengan berdasarkan pengalaman yang saya ceritakan, saya bisa ambil kesimpulan bahwa meski saya tidak punya bakat seni ( seni tari) karena sering menyaksikan pentas-pentas di lingkungan saya, akhirnya secara tidak sadar muncul rasa SENANG dan TERTARIK untuk menjadi BISA (meskipun hanya sekedar bisa).
Sekarang kegiatan berseni tari itu tidak berkembang bahkan mati karena memang lingkungan saya (keluarga/suami) tidak mendukung, akhirnya kegiatan menaripun berhenti sampe sekarang.
Dari pengalaman saya diatas, saya juga berusaha untuk masuk dan bergabung di lingkungan temen-temen yang piawai dalam menulis. Sehingga harapan saya dengan masuk dalam lingkungan pakar dalam hal menulis, muncul rasa SENANG dan TERTARIK untuk berupaya belajar untuk bisa MENULIS dan terus MENULIS. Apapun bentuk dan materi tulisannya.
Wednesday, January 30, 2019
Hubungan Warung Makanan dan STEM+A
---Eko Santosa
Sito, Heru, dan saya berencana pergi makan siang selepas seminar tentang “STEM” dengan pemateri Agung Handoko hari ini. Dari beberapa usul yang ada, kami sepakat untuk makan di Spesial Sambal (SS) jalan Kaliurang. Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai dan beruntung karena siang itu pelanggan belum banyak berdatangan. Dari sodoran menu yang ada kami memilih lauk dan sambal kesukaan masing-masing. Di tengah makan, Sito bercerita bahwa di daerahnya terdapat juga SS tapi rasanya kurang enak – tentu saja ini penilaian subjektif. Ia bingung mengapa bisa seperti itu. Saya mencoba menjawab kebingungannya berdasar cerita teman yang juga punya usaha warung makan franchise.
Menurut penuturan teman saya itu, setiap cabang yang dibuka selalu mendapatkan pelatihan dari pemilik franchise. Pelatihan mulai dari pengelolaan sampai tata cara memasak dan menyajikan. Setelah itu, dalam masa ujicoba selalu mendapat pendampingan. Intinya, kualitas rasa makanan tetap terjaga dan sama rasanya dari semua warung yang ada. Setelah dirasa semuanya sesuai standar yang ditentukan, barulah warung cabang itu dapat mengelola usahanya secara mandiri. Pendampingan bisa diberikan ketika memang diperlukan. Nah, mungkin pada saat pengelolaan mandiri, kualitas rasanya kurang bisa dijaga.
Kualitas kurang terjaga mungkin karena model pelatihan yang dilakukan tidak menerapkan STEM. Artinya pelatih tidak memberikan materi secara rinci yang dapat menggamit science, technology, engineering, dan mathematics. Pemilik franchise hanya memberikan panduan dan praktika kepada peserta dengan fokus utama pada produksi makanan saja. Jika saja seandainya pemilik franchise menggununakan model STEM bahkan plus A (arts) mungkin kualitasnya akan tetap sesuai standar.
Misalnya saja untuk jenis masakan “Sambal Bawang” seperti yang dipesan Heru pada saat itu dibuat lesson plan semacam ini:
Science: menjelaskan bahan, bumbu, alat dan tahapan membuat sambal bawang
Technology: menggunanakan peralatan membuat sambal sesuai teknik
Engineering: merancang sambal bawang dengan tingkat kepedasan berdasar skala konsumsi
Mathematic: mengukur kepedasan sambal berdasar jenis, karakter, dan jumlah cabai yang digunakan serta tingkat kemungkinan konsumsinya
+ Arts: menyajikan sambal bawang secara artistik sehingga memikat selera
Dengan rencana pembelajaran seperti itu pelatih tidak hanya sekedar memberikan contoh cara membuat sambal bawang yang benar secara intuitif atau berdasar kebiasaan. Akan tetapi ia juga akan mengukur tingkat kelezatan dan kepedasan tertentu berdasarkan jenis, karakter, dan jumlah cabai sampai tingkat yang paling mungkin untuk dikonsumsi manusia. Perancangan tingkat kepedasan tidak hanya berdasar kebiasaan tetapi benar-benar memperhatikan kualitas bahan dan kualitas itu terukur. Misalnya saja, 5 cabai rawit warna merah kekuningan yang dipanen pada pagi hari dan didiamkan selama 2 jam sebelum diproses itu akan menghasilkan tingkat kepedasan yang sama dengan 8 cabai rawit warna kuning kehijauan yang dipanen siang hari dan didiamkan selama 3 jam sebelum diproses. Cabai rawit yang diulek secara manual dengan cobek dari tembikar tingkat kepedasannya 2 kali lipat dibandingkan cabai rawit yang digiling. Dalam satu sajian, porsi satu orang, bawang yang digunakan antara 1-1,5 siung jika ukuran sedang, 1 siung jika ukuran besar, dan 2,5 siung jika ukurannya kecil. Penyajian sambal bawang dengan menggunakan cawan tembikar, sambal ditata pas di tengah cawan secara merata, serta diberi garnis 3 helai daun kemangi akan membangkitkan selera makan.
STEM+A yang diterapkan akan memberikan catatan lengkap dari berbagai sisi sehingga kualitas sambal bawang itu akan sama meski jumlah dan warna cabainya berbeda. Sekilas hal ini terbaca lucu tetapi itulah yang dilakukan oleh KFC, McD, Burger King, dan Pizza Hut. Di setiap gerai jualan yang mereka buka kualitas rasanya sama, berat makanan sama, dan kemasan penyajian sama. Itulah mengapa hampir semua pembeli meyakini kualitas rasa dari produk mereka. Jadi, apa yang perlu dilakukan oleh pemilik franchise hanyalah mencatat tata cara atau proses pembuatan secara rinci dipandang dari berbagai unsur/bidang disertai ukuran dan kemungkinan hasilnya. Bukan sekedar panduan yang hanya berisi langkah semata sehingga prosesnya benar namun rasanya kurang memuaskan. Di sinilah letak pentingnya STEM+A. Jadi, marilah kita membuat sambel bawang. He he... (**)
Sito, Heru, dan saya berencana pergi makan siang selepas seminar tentang “STEM” dengan pemateri Agung Handoko hari ini. Dari beberapa usul yang ada, kami sepakat untuk makan di Spesial Sambal (SS) jalan Kaliurang. Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai dan beruntung karena siang itu pelanggan belum banyak berdatangan. Dari sodoran menu yang ada kami memilih lauk dan sambal kesukaan masing-masing. Di tengah makan, Sito bercerita bahwa di daerahnya terdapat juga SS tapi rasanya kurang enak – tentu saja ini penilaian subjektif. Ia bingung mengapa bisa seperti itu. Saya mencoba menjawab kebingungannya berdasar cerita teman yang juga punya usaha warung makan franchise.
Menurut penuturan teman saya itu, setiap cabang yang dibuka selalu mendapatkan pelatihan dari pemilik franchise. Pelatihan mulai dari pengelolaan sampai tata cara memasak dan menyajikan. Setelah itu, dalam masa ujicoba selalu mendapat pendampingan. Intinya, kualitas rasa makanan tetap terjaga dan sama rasanya dari semua warung yang ada. Setelah dirasa semuanya sesuai standar yang ditentukan, barulah warung cabang itu dapat mengelola usahanya secara mandiri. Pendampingan bisa diberikan ketika memang diperlukan. Nah, mungkin pada saat pengelolaan mandiri, kualitas rasanya kurang bisa dijaga.
Kualitas kurang terjaga mungkin karena model pelatihan yang dilakukan tidak menerapkan STEM. Artinya pelatih tidak memberikan materi secara rinci yang dapat menggamit science, technology, engineering, dan mathematics. Pemilik franchise hanya memberikan panduan dan praktika kepada peserta dengan fokus utama pada produksi makanan saja. Jika saja seandainya pemilik franchise menggununakan model STEM bahkan plus A (arts) mungkin kualitasnya akan tetap sesuai standar.
Misalnya saja untuk jenis masakan “Sambal Bawang” seperti yang dipesan Heru pada saat itu dibuat lesson plan semacam ini:
Science: menjelaskan bahan, bumbu, alat dan tahapan membuat sambal bawang
Technology: menggunanakan peralatan membuat sambal sesuai teknik
Engineering: merancang sambal bawang dengan tingkat kepedasan berdasar skala konsumsi
Mathematic: mengukur kepedasan sambal berdasar jenis, karakter, dan jumlah cabai yang digunakan serta tingkat kemungkinan konsumsinya
+ Arts: menyajikan sambal bawang secara artistik sehingga memikat selera
Dengan rencana pembelajaran seperti itu pelatih tidak hanya sekedar memberikan contoh cara membuat sambal bawang yang benar secara intuitif atau berdasar kebiasaan. Akan tetapi ia juga akan mengukur tingkat kelezatan dan kepedasan tertentu berdasarkan jenis, karakter, dan jumlah cabai sampai tingkat yang paling mungkin untuk dikonsumsi manusia. Perancangan tingkat kepedasan tidak hanya berdasar kebiasaan tetapi benar-benar memperhatikan kualitas bahan dan kualitas itu terukur. Misalnya saja, 5 cabai rawit warna merah kekuningan yang dipanen pada pagi hari dan didiamkan selama 2 jam sebelum diproses itu akan menghasilkan tingkat kepedasan yang sama dengan 8 cabai rawit warna kuning kehijauan yang dipanen siang hari dan didiamkan selama 3 jam sebelum diproses. Cabai rawit yang diulek secara manual dengan cobek dari tembikar tingkat kepedasannya 2 kali lipat dibandingkan cabai rawit yang digiling. Dalam satu sajian, porsi satu orang, bawang yang digunakan antara 1-1,5 siung jika ukuran sedang, 1 siung jika ukuran besar, dan 2,5 siung jika ukurannya kecil. Penyajian sambal bawang dengan menggunakan cawan tembikar, sambal ditata pas di tengah cawan secara merata, serta diberi garnis 3 helai daun kemangi akan membangkitkan selera makan.
STEM+A yang diterapkan akan memberikan catatan lengkap dari berbagai sisi sehingga kualitas sambal bawang itu akan sama meski jumlah dan warna cabainya berbeda. Sekilas hal ini terbaca lucu tetapi itulah yang dilakukan oleh KFC, McD, Burger King, dan Pizza Hut. Di setiap gerai jualan yang mereka buka kualitas rasanya sama, berat makanan sama, dan kemasan penyajian sama. Itulah mengapa hampir semua pembeli meyakini kualitas rasa dari produk mereka. Jadi, apa yang perlu dilakukan oleh pemilik franchise hanyalah mencatat tata cara atau proses pembuatan secara rinci dipandang dari berbagai unsur/bidang disertai ukuran dan kemungkinan hasilnya. Bukan sekedar panduan yang hanya berisi langkah semata sehingga prosesnya benar namun rasanya kurang memuaskan. Di sinilah letak pentingnya STEM+A. Jadi, marilah kita membuat sambel bawang. He he... (**)
Tuesday, January 29, 2019
Publikasi ilmiah milik publik?
---Rohmat Sulistya
Ketika saya kuliah S1 dan berkewajiban menghasilkan karya tulis berupa skripsi, pihak jurusan mewajibkan data awal yang akan dijadikan bahan tulisan harus berasal dari jurnal ilmiah, bukan dari buku. Dan saya baru mengerti bahwa jurnal ilmiah sebenarnya adalah hasil pelaporan riset yang merupakan pengembangan atau penerapan sebuah ilmu/teori dari buku. Jurnal ilmiah adalah rangkaian panjang dari laporan-laporan penelitian tentang sesuatu obyek yang diteliti. Sehingga semestinya, jurnal ilmiah pada tahun yang baru akan melaporkan temuan terbaru dari sebuah masalah atau obyek yang diteliti. Dan hal-hal yang dilaporkan ini tentunya tidak berulang-ulang, tetapi menampilkan sebuah progres penelitian dari banyak peneliti terhadap sebuah obyek penelitian.
Pada saat itu, akses jurnal ilmiah masih mahal dan terasa prestise. Sehingga dengan bersusah payah berburu jurnal cetak di perpustakaan, saya mendapatkan data sesuai karya tulis yang akan saya buat. Dan saya mendapatkan data dari jurnal tahun 1940-an. Apakah ini data ini up to date untuk skripsi saya? Saya kurang paham. Tapi memang untuk disiplin ilmu saya, jurnal-jurnal lama malah sering dijadikan referensi data. Karena di tahun-tahun tersebut kemungkinan fundamen ilmu untuk bidang tersebut sedang dibangun.
Delapan tahun kemudian, ketika saya kuliah S2; kewajiban untuk merujuk tulisan/tesis ke jurnal-jurnal ilmiah semakin ketat. Bahkan beberapa perguruan tinggi, mewajibkan jumlah jurnal minimal yang harus dirujuk. Pada tahun itu -sekira 2004/2005- akses jurnal terasa lebih mudah, bundle-bundle jurnal tersedia cukup banyak di perpustakaan. Sebagai seorang mahasiswa yang butuh referensi jurnal, maka kondisi ini sangat-sangat membahagiakan.
Tetapi untuk mengakses jurnal online, masih menjadi sesuatu yang istimewa dan mahal. Untuk mendapatkan full text sebuah jurnal kita harus membayar sekitar 300 ribu. Cara membayarnya pun saya tidak paham, karena menggunakan kartu kredit atau paypal. Untungnya ada dosen yang punya hak akses terhadap sebuah website, sehingga mahasiswa dapat memanfaatkan kemudahan ini. Dan katanya beberapa universitas melanggan secara legal jurnal-jurnal berbayar ini.
Ada dua website cukup prestisius sebagai penyedia jurnal yang saya butuhkan yaitu: Elsevier dan Sciencedirect. Oleh karena saya merasa untuk mengakses jurnal dari pihak lain tidak praktis, maka saya memilih berburu jurnal gratisan yang biasanya memublikasikan penelitian dari negara-negara seperti Brazil, India, dan pecahan Uni Soviet. Bagi saya hal ini cukup memuaskan, karena mereka sering memublikasikan penelitian tentang ilmu keramik berbasis silikat, obyek penelitian saya kala itu.
***
Jaman telah berubah. Yang dulu sangat sulit, sekarang untuk mengakses jurnal bermutu sangat mudah bahkan gratis, meskipun secara resmi jurnal-jurnal bermutu tersebut sebenarnya berbayar. Mengapa bisa demikian?. Hal ini tak lepas dari paradigma berbagi/sharing yang berkembang di dunia digital pada saat ini.
Software komputer, game, aplikasi gadget, email, cloud storage/tempat penyimpanan awan sebagian besar menyediakan skema gratis/free. Saya tidak sedang membahas skema ini, karena saya kurang paham bagaimana provider menyediakan skema gratis sebagai strategi bisnis. Tetapi paradigma berbagi ini terkadang tidak hanya muncul sebagai sebuah strategi bisnis. Ada muatan politis didalamnya.
Adalah Sci-hub sebuah website yang dibangun untuk meruntuhkan dinding berbayar (paywall) sebuah jurnal ilmiah. Dengan memasukkan DOI (Digital Object Identifier) sebuah artikel ke laman Sci-hub, kita dapat salinan full text sebuah artikel jurnal. Kehadiran Sci-hub tentu sangat membahagiakan pegiat penelitian yang menginginkan rujukan dari jurnal bereputasi. Tapi disaat yang sama, ini menjadi mimpi buruk bagi perusahaan penyedia jurnal dan pegiat perlindungan terhadap hak cipta. Hal ini memang sebuah fakta yang dilematis mengingat ada dua isu yang melekat dalam kasus ini: hak asasi dan hak cipta.
Alexandra Elbaykan sebagai pendiri Sci-hub, dengan semangat kebebasan dan jiwa mudanya memprotes betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk sebuah artike jurnal bereputasi terbitan Elsivier yang berkisar 30-40 US$. Sebuah harga yang tidak masuk akal. Padahal dia berpendapat deklarasi PBB tentang hak asasi manusia tahun 1948 jelas menyatakan setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan (geotimes.co.id). Dan capaian-capaian ilmu pengetahuan yang diwartakan dalam jurnal adalah bagian dari kemajuan ilmu pengetahuan yang berhak diketahuan setiap orang.
Kehadiran Sci-hub sebagai ‘dewa penolong’ mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat akademik dunia. Tidak hanya peneliti dan mahasiswa dari negara-negara berkembang -negara yang tak mampu membayar sebuah jurnal- tetapi ternyata juga disambut dengan baik oleh pengakses dari negara-negara maju seperti Amerika dan China. Yang lebih mengherankan lagi kota pengakses Sci-hub ternyata dari Silicon Valey, sebuah kawasan/kota dimana perusahaan-perusahan IT ternama berada.
Fakta ini membuktikan bahwa sebenarnya masyarakat akademik secara diam-diam atau terbuka menyetujui tentang hak akses yang luas akan jurnal-jurnal bereputasi ini. Walaupun fakta ini juga belum dapat dijadikan klaim bahwa jurnal seharusnya murah atau gratis.
Berdasarkan peringkat negara-negara pengkases Sci-hub, Indonesia masuk dalam 10 besar (geotimes.co.id). Jika kualitas kesadaran akses kemajuan IPTEK diukur dari kuantitas pengakses Sci-hub ini, maka posisi Indonesia cukup menggembirakan sebagai negara pengakses peringkat 9. Tetapi jika dihubungkan dengan masyarakat Indonesia -yang katanya- suka sesuatu yang gratis, maka itu masalah yang lain. Tetapi, fakta ini cukup menunjukkan bahwa sebenarnya peneliti dan mahasiswa di Indonesia membutuhkan akses terhadap jurnal-jurnal bereputasi. Semakin banyak publikasi ditulis, semakin banyak pula rujukan dibutuhkan untuk menguatkan tulisan ilmiah tersebut. Tapi memang harus diverifikasi lagi, bagaimana jurnal-jurnal itu disitasi/dikutip. Apakah dikutip dengan relevansi yang tinggi atau dikutip sekedarnya untuk mengayakan daftar pustaka.
Kembali ke pertanyaan, apakah publikasi ilmiah milik publik? Ya mungkin…
Ketika saya kuliah S1 dan berkewajiban menghasilkan karya tulis berupa skripsi, pihak jurusan mewajibkan data awal yang akan dijadikan bahan tulisan harus berasal dari jurnal ilmiah, bukan dari buku. Dan saya baru mengerti bahwa jurnal ilmiah sebenarnya adalah hasil pelaporan riset yang merupakan pengembangan atau penerapan sebuah ilmu/teori dari buku. Jurnal ilmiah adalah rangkaian panjang dari laporan-laporan penelitian tentang sesuatu obyek yang diteliti. Sehingga semestinya, jurnal ilmiah pada tahun yang baru akan melaporkan temuan terbaru dari sebuah masalah atau obyek yang diteliti. Dan hal-hal yang dilaporkan ini tentunya tidak berulang-ulang, tetapi menampilkan sebuah progres penelitian dari banyak peneliti terhadap sebuah obyek penelitian.
Pada saat itu, akses jurnal ilmiah masih mahal dan terasa prestise. Sehingga dengan bersusah payah berburu jurnal cetak di perpustakaan, saya mendapatkan data sesuai karya tulis yang akan saya buat. Dan saya mendapatkan data dari jurnal tahun 1940-an. Apakah ini data ini up to date untuk skripsi saya? Saya kurang paham. Tapi memang untuk disiplin ilmu saya, jurnal-jurnal lama malah sering dijadikan referensi data. Karena di tahun-tahun tersebut kemungkinan fundamen ilmu untuk bidang tersebut sedang dibangun.
Delapan tahun kemudian, ketika saya kuliah S2; kewajiban untuk merujuk tulisan/tesis ke jurnal-jurnal ilmiah semakin ketat. Bahkan beberapa perguruan tinggi, mewajibkan jumlah jurnal minimal yang harus dirujuk. Pada tahun itu -sekira 2004/2005- akses jurnal terasa lebih mudah, bundle-bundle jurnal tersedia cukup banyak di perpustakaan. Sebagai seorang mahasiswa yang butuh referensi jurnal, maka kondisi ini sangat-sangat membahagiakan.
Tetapi untuk mengakses jurnal online, masih menjadi sesuatu yang istimewa dan mahal. Untuk mendapatkan full text sebuah jurnal kita harus membayar sekitar 300 ribu. Cara membayarnya pun saya tidak paham, karena menggunakan kartu kredit atau paypal. Untungnya ada dosen yang punya hak akses terhadap sebuah website, sehingga mahasiswa dapat memanfaatkan kemudahan ini. Dan katanya beberapa universitas melanggan secara legal jurnal-jurnal berbayar ini.
Ada dua website cukup prestisius sebagai penyedia jurnal yang saya butuhkan yaitu: Elsevier dan Sciencedirect. Oleh karena saya merasa untuk mengakses jurnal dari pihak lain tidak praktis, maka saya memilih berburu jurnal gratisan yang biasanya memublikasikan penelitian dari negara-negara seperti Brazil, India, dan pecahan Uni Soviet. Bagi saya hal ini cukup memuaskan, karena mereka sering memublikasikan penelitian tentang ilmu keramik berbasis silikat, obyek penelitian saya kala itu.
***
Jaman telah berubah. Yang dulu sangat sulit, sekarang untuk mengakses jurnal bermutu sangat mudah bahkan gratis, meskipun secara resmi jurnal-jurnal bermutu tersebut sebenarnya berbayar. Mengapa bisa demikian?. Hal ini tak lepas dari paradigma berbagi/sharing yang berkembang di dunia digital pada saat ini.
Software komputer, game, aplikasi gadget, email, cloud storage/tempat penyimpanan awan sebagian besar menyediakan skema gratis/free. Saya tidak sedang membahas skema ini, karena saya kurang paham bagaimana provider menyediakan skema gratis sebagai strategi bisnis. Tetapi paradigma berbagi ini terkadang tidak hanya muncul sebagai sebuah strategi bisnis. Ada muatan politis didalamnya.
Adalah Sci-hub sebuah website yang dibangun untuk meruntuhkan dinding berbayar (paywall) sebuah jurnal ilmiah. Dengan memasukkan DOI (Digital Object Identifier) sebuah artikel ke laman Sci-hub, kita dapat salinan full text sebuah artikel jurnal. Kehadiran Sci-hub tentu sangat membahagiakan pegiat penelitian yang menginginkan rujukan dari jurnal bereputasi. Tapi disaat yang sama, ini menjadi mimpi buruk bagi perusahaan penyedia jurnal dan pegiat perlindungan terhadap hak cipta. Hal ini memang sebuah fakta yang dilematis mengingat ada dua isu yang melekat dalam kasus ini: hak asasi dan hak cipta.
Alexandra Elbaykan sebagai pendiri Sci-hub, dengan semangat kebebasan dan jiwa mudanya memprotes betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk sebuah artike jurnal bereputasi terbitan Elsivier yang berkisar 30-40 US$. Sebuah harga yang tidak masuk akal. Padahal dia berpendapat deklarasi PBB tentang hak asasi manusia tahun 1948 jelas menyatakan setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan (geotimes.co.id). Dan capaian-capaian ilmu pengetahuan yang diwartakan dalam jurnal adalah bagian dari kemajuan ilmu pengetahuan yang berhak diketahuan setiap orang.
Kehadiran Sci-hub sebagai ‘dewa penolong’ mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat akademik dunia. Tidak hanya peneliti dan mahasiswa dari negara-negara berkembang -negara yang tak mampu membayar sebuah jurnal- tetapi ternyata juga disambut dengan baik oleh pengakses dari negara-negara maju seperti Amerika dan China. Yang lebih mengherankan lagi kota pengakses Sci-hub ternyata dari Silicon Valey, sebuah kawasan/kota dimana perusahaan-perusahan IT ternama berada.
Fakta ini membuktikan bahwa sebenarnya masyarakat akademik secara diam-diam atau terbuka menyetujui tentang hak akses yang luas akan jurnal-jurnal bereputasi ini. Walaupun fakta ini juga belum dapat dijadikan klaim bahwa jurnal seharusnya murah atau gratis.
Berdasarkan peringkat negara-negara pengkases Sci-hub, Indonesia masuk dalam 10 besar (geotimes.co.id). Jika kualitas kesadaran akses kemajuan IPTEK diukur dari kuantitas pengakses Sci-hub ini, maka posisi Indonesia cukup menggembirakan sebagai negara pengakses peringkat 9. Tetapi jika dihubungkan dengan masyarakat Indonesia -yang katanya- suka sesuatu yang gratis, maka itu masalah yang lain. Tetapi, fakta ini cukup menunjukkan bahwa sebenarnya peneliti dan mahasiswa di Indonesia membutuhkan akses terhadap jurnal-jurnal bereputasi. Semakin banyak publikasi ditulis, semakin banyak pula rujukan dibutuhkan untuk menguatkan tulisan ilmiah tersebut. Tapi memang harus diverifikasi lagi, bagaimana jurnal-jurnal itu disitasi/dikutip. Apakah dikutip dengan relevansi yang tinggi atau dikutip sekedarnya untuk mengayakan daftar pustaka.
Kembali ke pertanyaan, apakah publikasi ilmiah milik publik? Ya mungkin…
ANTARA STEM DAN STEAM
---Fajar Prasudi
Dalam seminar kecil yang diselenggarakan oleh koordinatoriat WI mungkin masih menyisakan pertanyaan, keraguan, optimisme, harapan, atau bahkan sinisme, yang berkecamuk dalam pemikiran masing-masing peserta.
STEM dipahami sebagai pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah dunia nyata melalui integrasi Science, Technology, Engineering dan Mathematics. Sedangkan STEAM menambahkan kata Art dalam komponen pemecahan masalah tersebut. Tidak ada yang salah diantara kedua istilah pendekatan tersebut apabila akan diterapkan di Indonesia. Dalam UU Sisdiknas sudah dicantumkan pada pasal 36, bahwa penyusunan kurikulum kita memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni atau lazim disingkat dengan IPTEKS. Dengan demikian seni menjadi aspek penting dalam pendidikan untuk menyiapkan peserta didik menghadapi perubahan dan tuntutan zaman ke depan.
Apakah STEAM bisa diterapkan di Pendidikan kita? Sangat tergantung dari guru yang mengajar. Pendekatan apapun bisa dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Masalahnya generasi tua kita, dan guru pada umumnya masih menganut adanya satu kebenaran, bahkan sering menjadi absolut dan tak boleh dibantah. Karenanya dalam proses pembelajaran harus ditanamkan prinsip tidak ada satu kebenaran tunggal, dan tidak takut salah karena proses alami ini memang harus dilalui untuk meningkatkan nilai manusia.
Tidak ada hal yang spektakuler dan telak dalam model STEM ataupun STEAM apabila model ini akan digunakan dan disosialisasikan kepada guru-guru karena pendekatan tersebut pernah kita kenyam dalam nuansa atau kemasan yang berbeda. Artinya memang tidak ada yang terlalu istimewa dalam pendekatan tersebut. Para ahli dan perumus telah menuliskan bahwa konsep pendekatan tersebut diprediksikan cocok untuk menyongsong dan menyiapkan keterampilan yang dibutuhkan untuk manusia-manusia generasi mendatang. Tentu saja ada model-model lain yang juga cocok selain STEM dan STEAM. Oleh karena itu tuliskan dan sebarkanlah konsep tersebut kepada guru-guru, karena tidak ada satu kebenaran tunggal yang mutlak
Dalam seminar kecil yang diselenggarakan oleh koordinatoriat WI mungkin masih menyisakan pertanyaan, keraguan, optimisme, harapan, atau bahkan sinisme, yang berkecamuk dalam pemikiran masing-masing peserta.
STEM dipahami sebagai pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah dunia nyata melalui integrasi Science, Technology, Engineering dan Mathematics. Sedangkan STEAM menambahkan kata Art dalam komponen pemecahan masalah tersebut. Tidak ada yang salah diantara kedua istilah pendekatan tersebut apabila akan diterapkan di Indonesia. Dalam UU Sisdiknas sudah dicantumkan pada pasal 36, bahwa penyusunan kurikulum kita memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni atau lazim disingkat dengan IPTEKS. Dengan demikian seni menjadi aspek penting dalam pendidikan untuk menyiapkan peserta didik menghadapi perubahan dan tuntutan zaman ke depan.
Apakah STEAM bisa diterapkan di Pendidikan kita? Sangat tergantung dari guru yang mengajar. Pendekatan apapun bisa dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Masalahnya generasi tua kita, dan guru pada umumnya masih menganut adanya satu kebenaran, bahkan sering menjadi absolut dan tak boleh dibantah. Karenanya dalam proses pembelajaran harus ditanamkan prinsip tidak ada satu kebenaran tunggal, dan tidak takut salah karena proses alami ini memang harus dilalui untuk meningkatkan nilai manusia.
Tidak ada hal yang spektakuler dan telak dalam model STEM ataupun STEAM apabila model ini akan digunakan dan disosialisasikan kepada guru-guru karena pendekatan tersebut pernah kita kenyam dalam nuansa atau kemasan yang berbeda. Artinya memang tidak ada yang terlalu istimewa dalam pendekatan tersebut. Para ahli dan perumus telah menuliskan bahwa konsep pendekatan tersebut diprediksikan cocok untuk menyongsong dan menyiapkan keterampilan yang dibutuhkan untuk manusia-manusia generasi mendatang. Tentu saja ada model-model lain yang juga cocok selain STEM dan STEAM. Oleh karena itu tuliskan dan sebarkanlah konsep tersebut kepada guru-guru, karena tidak ada satu kebenaran tunggal yang mutlak
MENABRAK KETERBATASAN (RENUNGAN TENGAH MALAM)
---Cahya Yuana
Sebuah pesan masuk melalui aplikasi WhatsApp. Saya lihat pesan tersebut dari my Bidadari.
"Mas saya punya daging Menthog, nanti mau dimasakan apa".
Bagi saya pesan ini sangat surprise, bukan masalah pertanyaan mau dimasakan apa. Kalau untuk hal itu sudah biasa istri bertanya pada saya kira-kira mau makan apa. Rasa heran saya terletak pada kalimat saya punya daging menthog. Saya tahu istri saya kalau beli daging pasti daging ayam atau sapi. Kalau inisiatif bukan dari saya tidak pernah dia beli daging yang tidak biasa dimasak.
"Lha kamu dapat dari mana daging menthog nya " tanya saya.
" Ya nanti saya ceritakan kalau sampai rumah. Yang penting mau dimasakan apa"
"Ya terserah Dinda (sambil nyengir tentunya) karena baru kali ini saya menyapa istri saya dengan kata Dinda.
Sore hari tibalah saya sampai rumah. Opor menthog dan sambal daging terlihat sudah diatas meja, siap menemani buka saya pada sore itu.
Setelah mandi dan sambil menunggu tibanya waktu buka, istri saya cerita enthog itu ia dapatkan dari temannya bernama Bu Warjiyem. Bu Warjiyem memberikan daging menthog secara cuma-cuma. Istri saya bilang Bu Warjiyem tidak mau dibayar untuk satu ekor enthog yang ia berikan. Tertegun saya mendengar cerita itu.
Ok Sobat, saya ceritakan dulu siapa Bu Warjiyem ini. Bu Warjiyem adalah teman istri saya. Kebetulan suaminya juga teman saya. Sehari hari dia bekerja menjaga satu toko, dan menerima jahitan. Suaminya kerja serabutan, kalau ada orang yang meminta bantuan bekerja baru dia mendapat penghasilan. Sore harinya suaminya mengajar baca Al Quran anak-anak di Masjid.
Setiap bulan rata-rata penghasilan nya tidak lebih dari 1.500.000. Bu Warjiyem mempunyai anak empat. Satu kuliah di UGM karena mendapat beasiswa Bidik Misi. Anak kedua masuk di pondok pesantren. Sedangkan anak ketiga dan keempat masih sekolah di SDIT IBNU ABBAS.
Hari itu Bu Warjiyem menjual menthog yang dipelihara suaminya untuk biaya rumah tangganya. Akan tetapi dia menyisakan satu Menthog untuk istri saya. Gratis katanya. Istri saya sudah memaksa untuk membayar tapi tetap tidak mau.
Apa yang bisa kita dapatkan dari kisah Bu Warjiyem. Sebuah keterbatasan yang kita miliki jangan sampai membatasi kita untuk melakukan sebuah pekerjaan besar. Sebuah pekerjaan besar itu tidak berarti sebuah pekerjaan yang berbiaya tinggi dan dilaksanakan di satu tempat mewah. Pekerjaan besar adalah ketika kita bisa memberi manfaat kepada lingkungan kita. Setiap orang pasti punya keterbatasan, akan tetapi ditengah keterbatasan itu pasti ada sesuatu yang bisa kita lakukan.
Sebagai pendidik kita tentu mempunyai keterbatasan. Akan tetapi ditengah keterbatasan yang kita miliki semangat memberi harus selalu kita pupuk. Memberi tidak harus dalam bentuk materi. Berbagi pengetahuan adalah juga bentuk saling memberi.
Relasi sosial untuk saling berbagi harus dipupuk dalam organisasi pendidikan seperti kita. Dalam berbagi ini harus ada kesadaran untuk saling menghargai. Meski bisa jadi yang kita terima sudah pernah kita dapatkan.
Suatu hari seorang wartawan mendatangi kediaman Muhammad Natsir, Perdana Menteri pada saat orde lama dan juga ketua Masyumi. Saat sang wartawan tiba dikediaman Natsir ternyata di Rumah Natsir sedang diadakan Diskusi dengan pemateri murid Natsir sendiri. Tampak Natsir mengikuti diskusi tersebut dengan serius. Setelah acara diskusi selesai sang Wartawan mendatangi Natsir dan menanyakan sesuatu yang tadinya belum ia rencanakan ia tanyakan. Pertanyaannya adalah mengapa Natsir sangat antusias mendengarkan materi yang disampaikan pemateri yang adalah murid Natsir Sendiri. Natsir kemudian menjawab, memang dia murid saya, memang yang ia sampaikan pernah saya sampaikan, tapi saya tetap berkepentingan mendengar apa yang disampaikan oleh murid saya tersebut, siapa tahu ada yang pernah saya tahu belum saya pahami, ada yang saya pahami lupa belum saya lakukan.
Ok Sobat mari kita jaga tradisi terhormat untuk saling berdiskusi dan memberi. Setiap kita bisa jadi mempunyai pengalaman berbeda, punya sesuatu yang berbeda. Kerag bhaman adalah anugerah. Keragaman ini akan memberikan manfaat saat kita mau saling memberi dan menerima.
Sebuah pesan masuk melalui aplikasi WhatsApp. Saya lihat pesan tersebut dari my Bidadari.
"Mas saya punya daging Menthog, nanti mau dimasakan apa".
Bagi saya pesan ini sangat surprise, bukan masalah pertanyaan mau dimasakan apa. Kalau untuk hal itu sudah biasa istri bertanya pada saya kira-kira mau makan apa. Rasa heran saya terletak pada kalimat saya punya daging menthog. Saya tahu istri saya kalau beli daging pasti daging ayam atau sapi. Kalau inisiatif bukan dari saya tidak pernah dia beli daging yang tidak biasa dimasak.
"Lha kamu dapat dari mana daging menthog nya " tanya saya.
" Ya nanti saya ceritakan kalau sampai rumah. Yang penting mau dimasakan apa"
"Ya terserah Dinda (sambil nyengir tentunya) karena baru kali ini saya menyapa istri saya dengan kata Dinda.
Sore hari tibalah saya sampai rumah. Opor menthog dan sambal daging terlihat sudah diatas meja, siap menemani buka saya pada sore itu.
Setelah mandi dan sambil menunggu tibanya waktu buka, istri saya cerita enthog itu ia dapatkan dari temannya bernama Bu Warjiyem. Bu Warjiyem memberikan daging menthog secara cuma-cuma. Istri saya bilang Bu Warjiyem tidak mau dibayar untuk satu ekor enthog yang ia berikan. Tertegun saya mendengar cerita itu.
Ok Sobat, saya ceritakan dulu siapa Bu Warjiyem ini. Bu Warjiyem adalah teman istri saya. Kebetulan suaminya juga teman saya. Sehari hari dia bekerja menjaga satu toko, dan menerima jahitan. Suaminya kerja serabutan, kalau ada orang yang meminta bantuan bekerja baru dia mendapat penghasilan. Sore harinya suaminya mengajar baca Al Quran anak-anak di Masjid.
Setiap bulan rata-rata penghasilan nya tidak lebih dari 1.500.000. Bu Warjiyem mempunyai anak empat. Satu kuliah di UGM karena mendapat beasiswa Bidik Misi. Anak kedua masuk di pondok pesantren. Sedangkan anak ketiga dan keempat masih sekolah di SDIT IBNU ABBAS.
Hari itu Bu Warjiyem menjual menthog yang dipelihara suaminya untuk biaya rumah tangganya. Akan tetapi dia menyisakan satu Menthog untuk istri saya. Gratis katanya. Istri saya sudah memaksa untuk membayar tapi tetap tidak mau.
Apa yang bisa kita dapatkan dari kisah Bu Warjiyem. Sebuah keterbatasan yang kita miliki jangan sampai membatasi kita untuk melakukan sebuah pekerjaan besar. Sebuah pekerjaan besar itu tidak berarti sebuah pekerjaan yang berbiaya tinggi dan dilaksanakan di satu tempat mewah. Pekerjaan besar adalah ketika kita bisa memberi manfaat kepada lingkungan kita. Setiap orang pasti punya keterbatasan, akan tetapi ditengah keterbatasan itu pasti ada sesuatu yang bisa kita lakukan.
Sebagai pendidik kita tentu mempunyai keterbatasan. Akan tetapi ditengah keterbatasan yang kita miliki semangat memberi harus selalu kita pupuk. Memberi tidak harus dalam bentuk materi. Berbagi pengetahuan adalah juga bentuk saling memberi.
Relasi sosial untuk saling berbagi harus dipupuk dalam organisasi pendidikan seperti kita. Dalam berbagi ini harus ada kesadaran untuk saling menghargai. Meski bisa jadi yang kita terima sudah pernah kita dapatkan.
Suatu hari seorang wartawan mendatangi kediaman Muhammad Natsir, Perdana Menteri pada saat orde lama dan juga ketua Masyumi. Saat sang wartawan tiba dikediaman Natsir ternyata di Rumah Natsir sedang diadakan Diskusi dengan pemateri murid Natsir sendiri. Tampak Natsir mengikuti diskusi tersebut dengan serius. Setelah acara diskusi selesai sang Wartawan mendatangi Natsir dan menanyakan sesuatu yang tadinya belum ia rencanakan ia tanyakan. Pertanyaannya adalah mengapa Natsir sangat antusias mendengarkan materi yang disampaikan pemateri yang adalah murid Natsir Sendiri. Natsir kemudian menjawab, memang dia murid saya, memang yang ia sampaikan pernah saya sampaikan, tapi saya tetap berkepentingan mendengar apa yang disampaikan oleh murid saya tersebut, siapa tahu ada yang pernah saya tahu belum saya pahami, ada yang saya pahami lupa belum saya lakukan.
Ok Sobat mari kita jaga tradisi terhormat untuk saling berdiskusi dan memberi. Setiap kita bisa jadi mempunyai pengalaman berbeda, punya sesuatu yang berbeda. Kerag bhaman adalah anugerah. Keragaman ini akan memberikan manfaat saat kita mau saling memberi dan menerima.
Friday, January 25, 2019
Optimis vs Realistis
----Widayati Indarsih
Dua istilah itu sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Sebenarnya, apa perbedaan makna antara keduanya? Sebelum mendeskripsikan perbedaannya,sebaiknya terlebih dahulu kita pahami persamaannya.
Kedua kata di atas memiliki persamaan dalam hal: keduanya bermakna pada cara pandang seseorang terhadap sesuatu hal dalam kehidupan ini.
Orang yg optimis selalu memandang positif pada sesuatu hal. Orang jenis ini umumnya pekerja keras, dan menginginkan hasil kerjanya ideal, sesuai harapan/target yg telah dietapkan, bahkan jika memungkinkan melampauinya. Orang optimis kadangkala dikatakan naif, karena harapannya terlalu besar tanpa memandang kondisi/kekuatan yg dimiliki.
Pada orang realistis, umumnya memaknai hidup dengan sesuai kondisi, harapannya tidak sebesar orang optimistis. Mereka cenderung bekerja untuk tujuan2 dalam jangka waktu pendek. Orang realistis tidak terlalu memusingkan diri dengan target2 yg belum dapat tercapai, yg penting bekerja keras apapun hasilnya.
Nah, setelah memahami makna kedua kata tersebut, mari kita refleksi ke diri kita masing2, kira2 kita tergolong pada jenis yg mana.
Untuk memudahkan diri dalam refleksi, ayo kita gunakan objek/ konten yg akan kita coba maknai.
Tahun ini, kegiatan yg ada (baca: melibatkan WI) dlm DIPA kita hanya satu.Padahal sesuai dengan jabatan kita sebagai WI, kita dituntut untuk dapat memenuhi skp yang setara dengan angka kredit minimal ...(baca: sekian koma sekian) dalam kurun waktu 1 tahun, tergantung golongan WI nya.
Perlu dan wajib kita pahami , SKP merupakan tanggung jwb dan kewajiban setiap pegawai, termasuk WI di dalamnya. Output SKP seorang WI diejawantahkan dlm bentuk capaian angka kredit. Outcome dari angka kredit seorang WI berupa tunjangan kinerja. Artinya, agar tukin kita "sah"/ "halal" maka angka kredit yg sekian nilainya itu wajib kita penuhi.
Pertanyaannya: dg alokasi kegiatan th 2019 yg teramat sgt sedikit tersebut, dapatkah kita memenuhi target SKP kita?
Untuk Bp/Ibu yg sangat yakin dapat memenuhi target tersebut, silahkan beri masukan atau argumen.... Anda kemungkinan termasuk golongan orang yg optimistis.
Utk Bp/Ibu yg masih bimbang bagaimana memenuhi perolehan angka kredit tersebut, mungkin Anda masih termasuk org yg pesimistis. Bacalah dan belajarlah dari teman2 yg optimis dapat memenuhi perolehan kredit tsb beserta rencana2 nya.
Dalam perjalanan pulang, 25 Jan 2019.
Dua istilah itu sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Sebenarnya, apa perbedaan makna antara keduanya? Sebelum mendeskripsikan perbedaannya,sebaiknya terlebih dahulu kita pahami persamaannya.
Kedua kata di atas memiliki persamaan dalam hal: keduanya bermakna pada cara pandang seseorang terhadap sesuatu hal dalam kehidupan ini.
Orang yg optimis selalu memandang positif pada sesuatu hal. Orang jenis ini umumnya pekerja keras, dan menginginkan hasil kerjanya ideal, sesuai harapan/target yg telah dietapkan, bahkan jika memungkinkan melampauinya. Orang optimis kadangkala dikatakan naif, karena harapannya terlalu besar tanpa memandang kondisi/kekuatan yg dimiliki.
Pada orang realistis, umumnya memaknai hidup dengan sesuai kondisi, harapannya tidak sebesar orang optimistis. Mereka cenderung bekerja untuk tujuan2 dalam jangka waktu pendek. Orang realistis tidak terlalu memusingkan diri dengan target2 yg belum dapat tercapai, yg penting bekerja keras apapun hasilnya.
Nah, setelah memahami makna kedua kata tersebut, mari kita refleksi ke diri kita masing2, kira2 kita tergolong pada jenis yg mana.
Untuk memudahkan diri dalam refleksi, ayo kita gunakan objek/ konten yg akan kita coba maknai.
Tahun ini, kegiatan yg ada (baca: melibatkan WI) dlm DIPA kita hanya satu.Padahal sesuai dengan jabatan kita sebagai WI, kita dituntut untuk dapat memenuhi skp yang setara dengan angka kredit minimal ...(baca: sekian koma sekian) dalam kurun waktu 1 tahun, tergantung golongan WI nya.
Perlu dan wajib kita pahami , SKP merupakan tanggung jwb dan kewajiban setiap pegawai, termasuk WI di dalamnya. Output SKP seorang WI diejawantahkan dlm bentuk capaian angka kredit. Outcome dari angka kredit seorang WI berupa tunjangan kinerja. Artinya, agar tukin kita "sah"/ "halal" maka angka kredit yg sekian nilainya itu wajib kita penuhi.
Pertanyaannya: dg alokasi kegiatan th 2019 yg teramat sgt sedikit tersebut, dapatkah kita memenuhi target SKP kita?
Untuk Bp/Ibu yg sangat yakin dapat memenuhi target tersebut, silahkan beri masukan atau argumen.... Anda kemungkinan termasuk golongan orang yg optimistis.
Utk Bp/Ibu yg masih bimbang bagaimana memenuhi perolehan angka kredit tersebut, mungkin Anda masih termasuk org yg pesimistis. Bacalah dan belajarlah dari teman2 yg optimis dapat memenuhi perolehan kredit tsb beserta rencana2 nya.
Dalam perjalanan pulang, 25 Jan 2019.
Janji Tuhan
----Yustinus Aristono
Janji Tuhan itu pasti
Seperti janji matahari pada siang
Yang tetap terbit
Sekalipun mendung menutup awan
Tapi dia tetap bersinar
Karena yakin mendung pasti akan berlalu
Janji Tuhan itu pasti
Seperti janji bulan pada malam
Yang tetap menerangi
Sekalipun kabut menghalangi
Tapi dia tetap muncul
Walau disisi lain dari bumi ini
Karena yakin
Waktunya akan tiba di bumi yang sama kembali bersinar
Dan indah pada waktunya.
Janji Tuhan itu pasti
Seperti janji matahari pada siang
Yang tetap terbit
Sekalipun mendung menutup awan
Tapi dia tetap bersinar
Karena yakin mendung pasti akan berlalu
Janji Tuhan itu pasti
Seperti janji bulan pada malam
Yang tetap menerangi
Sekalipun kabut menghalangi
Tapi dia tetap muncul
Walau disisi lain dari bumi ini
Karena yakin
Waktunya akan tiba di bumi yang sama kembali bersinar
Dan indah pada waktunya.
Blackpink, Sudut Pandang 1
---Rohmat Sulistya
Saya duduk dibelakang stir mobil. Mesin saya hidupkan, dan bersamaan dengan bunyi halus mesin, terdengarlah lagu girlband Korea mengalun. Yes, Blackpink…Dduu…dduuu…Dduuu. Judulnya aneh, tapi inilah lagu yang sangat hits, lebih hits dari lagu-lagu boyband Korea pendahulunya. Sebenarnya tidak hanya Blackpink yang ada dalam piringan disk saya. Disitu juga ada BTS, Ikon, EXO, Wanna One dan lain-lain.
Sesungguhnya saya nggak ngerti mereka-mereka itu siapa dan tentu saja tidak peduli. Tapi anak-anak saya beranjak remaja dan “memaksa” saya mengenalnya. Dan dengan dengan terpaksa saya mengenalnya dan diam-diam menyukainya.
Saya nggak terlalu enjoy juga mendengarkan lagu mereka; kok bukan Via Valen, Ebiet G Ade, Rhoma Irama, Iwan Fals, atau Love Songs di tahun 80-an. Bukan itu, bahkan saya kurang tertarik dengan lagu mereka (paling tidak untuk saat ini). Sebenarnya kaset ceramah-ceramah saya sudah nggores, dan belum diganti. Astaghfirullah….K-Pop menggantikannya…
K-Pop adalah wajah Korea (Selatan) saat ini. K-Pop adalah simbol kreativitas dan industri. Cuma sayangnya, penyanyi-penyanyinya adalah pekerja, bukan orang yang bebas berkreativitas. Mereka terikat kontrak dan kalau sudah selesai kontrak, bubar. Tapi terlepas dari itu semua, Korea mampu menampilkan diri sebagai negara yang maju dibidang industri manufaktur maupun industri kreativitas.
Bloomberg Innovation Index, pada tahun 2017 menobatkan Korea Selatan sebagai negara paling inovatif di dunia (Kompas.com). Index ini berisi 50 negara inovatif di dunia. Capaian ini mengalahkan seluruh negara-negara maju di dunia seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Finlandia, dan lain-lain. Dua negara tetangga yang masuk dalam index ini adalah Malaysia dan Thailand; sedangkan Indonesia tidak masuk.
Indonesia dan Korea adalah dua negara yang memulai start pembangunan yang sama. Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, sedangkan Korea Selatan dua hari sebelumnya yakni 15 Agustus 1945. Ya, hanya selisih 2 hari saja! Tetapi berdasarkan beberapa laporan, tingkat literasi Indonesia adalah 36 tahun dibelakang Korsel. Lho kok bisa? Ya, itulah faktanya.
Literasi menjadi kunci.
Korsel dan Finlandia adalah 2 negara dengan tingkat literasi 100%. Artinya seluruh penduduk literate. Semuanya bisa mengakses informasi dan memanfaatkannya dengan benar. Bahkan saat ini, siswa di Korsel adalah terpintar di dunia menggantikan siswa Finlandia (hipwee.com). Maka tidak heran kalau Samsung dengan percaya diri bersaing dengan iPhone; industri music dan drama mereka mendunia. Konon ini sudah dipersiapkan sejak lama. Kalau ini benar, berarti desain mereka berpuluh-puluh tahun sebelumnya berhasil. Kurikulum Pendidikan mereka juga berhasil memajukan penduduknya.
Bagaimana dengan kita dan Indonesia. Indonesia adalah negara hebat dalam benak saya. Dan memang hebat. Dengan keberagaman dan perbedaan disegala hal, kita tetap bersatu dan tidak bubar adalah prestasi yang luar biasa. Modal kebersatuan, kebersamaan, kesatuhatian sesama anak bangsa adalah sesuatu yang mahal. Bersatu secara hati…bukan pura-pura.
Kalau literasi adalah kunci, maka kita tinggal belajar sebagai tugas utama untuk mengejar ketertinggalan. Rakyat belajar, pejabat belajar. Siswa belajar, guru belajar. Guru belajar, widyaiswara lebih belajar lagi. Belajar segala hal.
Kalau Indonesia lebih cerdas,maju, dan bermoral, maka Blackpink tak penting lagi. Boleh dicampakkan.
Saya duduk dibelakang stir mobil. Mesin saya hidupkan, dan bersamaan dengan bunyi halus mesin, terdengarlah lagu girlband Korea mengalun. Yes, Blackpink…Dduu…dduuu…Dduuu. Judulnya aneh, tapi inilah lagu yang sangat hits, lebih hits dari lagu-lagu boyband Korea pendahulunya. Sebenarnya tidak hanya Blackpink yang ada dalam piringan disk saya. Disitu juga ada BTS, Ikon, EXO, Wanna One dan lain-lain.
Sesungguhnya saya nggak ngerti mereka-mereka itu siapa dan tentu saja tidak peduli. Tapi anak-anak saya beranjak remaja dan “memaksa” saya mengenalnya. Dan dengan dengan terpaksa saya mengenalnya dan diam-diam menyukainya.
Saya nggak terlalu enjoy juga mendengarkan lagu mereka; kok bukan Via Valen, Ebiet G Ade, Rhoma Irama, Iwan Fals, atau Love Songs di tahun 80-an. Bukan itu, bahkan saya kurang tertarik dengan lagu mereka (paling tidak untuk saat ini). Sebenarnya kaset ceramah-ceramah saya sudah nggores, dan belum diganti. Astaghfirullah….K-Pop menggantikannya…
K-Pop adalah wajah Korea (Selatan) saat ini. K-Pop adalah simbol kreativitas dan industri. Cuma sayangnya, penyanyi-penyanyinya adalah pekerja, bukan orang yang bebas berkreativitas. Mereka terikat kontrak dan kalau sudah selesai kontrak, bubar. Tapi terlepas dari itu semua, Korea mampu menampilkan diri sebagai negara yang maju dibidang industri manufaktur maupun industri kreativitas.
Bloomberg Innovation Index, pada tahun 2017 menobatkan Korea Selatan sebagai negara paling inovatif di dunia (Kompas.com). Index ini berisi 50 negara inovatif di dunia. Capaian ini mengalahkan seluruh negara-negara maju di dunia seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Finlandia, dan lain-lain. Dua negara tetangga yang masuk dalam index ini adalah Malaysia dan Thailand; sedangkan Indonesia tidak masuk.
Indonesia dan Korea adalah dua negara yang memulai start pembangunan yang sama. Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, sedangkan Korea Selatan dua hari sebelumnya yakni 15 Agustus 1945. Ya, hanya selisih 2 hari saja! Tetapi berdasarkan beberapa laporan, tingkat literasi Indonesia adalah 36 tahun dibelakang Korsel. Lho kok bisa? Ya, itulah faktanya.
Literasi menjadi kunci.
Korsel dan Finlandia adalah 2 negara dengan tingkat literasi 100%. Artinya seluruh penduduk literate. Semuanya bisa mengakses informasi dan memanfaatkannya dengan benar. Bahkan saat ini, siswa di Korsel adalah terpintar di dunia menggantikan siswa Finlandia (hipwee.com). Maka tidak heran kalau Samsung dengan percaya diri bersaing dengan iPhone; industri music dan drama mereka mendunia. Konon ini sudah dipersiapkan sejak lama. Kalau ini benar, berarti desain mereka berpuluh-puluh tahun sebelumnya berhasil. Kurikulum Pendidikan mereka juga berhasil memajukan penduduknya.
Bagaimana dengan kita dan Indonesia. Indonesia adalah negara hebat dalam benak saya. Dan memang hebat. Dengan keberagaman dan perbedaan disegala hal, kita tetap bersatu dan tidak bubar adalah prestasi yang luar biasa. Modal kebersatuan, kebersamaan, kesatuhatian sesama anak bangsa adalah sesuatu yang mahal. Bersatu secara hati…bukan pura-pura.
Kalau literasi adalah kunci, maka kita tinggal belajar sebagai tugas utama untuk mengejar ketertinggalan. Rakyat belajar, pejabat belajar. Siswa belajar, guru belajar. Guru belajar, widyaiswara lebih belajar lagi. Belajar segala hal.
Kalau Indonesia lebih cerdas,maju, dan bermoral, maka Blackpink tak penting lagi. Boleh dicampakkan.
Mari Bahagia
---Eko Ompong
Satu hari di masa lalu, teman saya bercerita tentang temannya, seorang pemilik bengkel sepeda motor yang merasa tak lagi bisa sungguh-sungguh berbahagia. Bukan soal bengkelnya sepi sementara kebutuhan hidup semakin kompleks, atau soal hutang yang terus menggunung sementara anak-anaknya mulai banyak membutuhkan biaya. Ia tak lagi merasa bahagia justru ketika usaha bengkelnya sukses. Ia sudah mampu membeli rumah dan memenuhi kebutuhan tersiernya. Semua yang ia dan anggota keluarganya inginkan dapat terpenuhi. Justru karena itu ia merasa sepi sendiri.
Setiap pulang kerja, ia sering tak mendapati istrinya di rumah karena sedang berada di mall atau ada urusan lain dengan teman-temannya. Pun demikian dengan anak-anaknya. Makan malam sering terselenggara dalam kesendirian dengan menu dingin yang mesti dipanaskan sendiri dulu. Bahkan ketika hari Minggu atau hari libur, tidak jarang kebersamaan itu hilang begitu saja karena masing-masing asyik dengan kesibukannya. Saat benar-benar bisa duduk bersama pun kehangatan ruang bicara keluarga menjadi dingin karena istri dan anak-anaknya lebih suka membicarakan kegiatannya bersama teman-temannya. Sementara, temannya teman saya berusaha keras tidak membawa soal pekerjaan ke dalam ruang bicara keluarga.
Sampai satu waktu, temannya teman saya itu pernah melontarkan perkataan bahwa kalau boleh ia ingin Tuhan mengembalikan hidupnya seperti ketika masih merangkak membuka usaha bengkel sepeda motor. Kehidupan di mana semesta kebahagiaan menaungi di sela segala kekurangan. Ia merindukan kegembiraan yang membuncah di tengah ruang sempit di kontrakan tempat mereka tinggal ketika istri dan anak-anak mengetahui ayahnya mendapat rejeki, meskipun tak seberapa. Ia merindukan keceriaan anak-anak ketika ayahnya dapat membelikan sepatu atau baju baru meski harganya murah. Ia merindukan senyum dan sambutan bahagia istri dan anak-anaknya ketika sore sepulang kerja ia membawakan bungkusan nasi dan lauk sederhana untuk dimakan bersama. Ia merindukan wajah cerah istrinya ketika membagi-bagi nasi dan lauk itu dengan bersahaja. Ia merindukan hening doa bersama yang terucap sepenuh sungguh sesaat sebelum mereka makan bersama. Temannya teman saya merasa bahwa kebahagiaan nan sederhana di antara segala kekurangan itu justru sekarang sirna.
Teman saya menceritakan kisah temannya dengan menitikkan air mata sambil bersyukur dan sekaligus tersadarkan untuk senantiasa berbahagia. Dirinya merasa terharu atas cerita temannya meski saya tahu bukan hanya itu sebabnya. Sebelum air matanya mengalir kemana-mana , saya merogoh saku celana dan mengeluarkan 2 lembar uang seribuan hasil pinjam tetangga, “kalau begitu, mari kita bahagia!!”, kata saya kepadanya. Teman saya tersenyum segera, “ya, mari bahagia!”, katanya. Segera saja kami berdua berboncengan sepeda menuju angkringan karena sesungguhnya hari itu saya dan teman saya sama sekali belum makan dan “nasi kucing” pasti akan membuat kami bahagia. Ya, mari bahagia !!
Eko Ompong
Satu hari di masa lalu, teman saya bercerita tentang temannya, seorang pemilik bengkel sepeda motor yang merasa tak lagi bisa sungguh-sungguh berbahagia. Bukan soal bengkelnya sepi sementara kebutuhan hidup semakin kompleks, atau soal hutang yang terus menggunung sementara anak-anaknya mulai banyak membutuhkan biaya. Ia tak lagi merasa bahagia justru ketika usaha bengkelnya sukses. Ia sudah mampu membeli rumah dan memenuhi kebutuhan tersiernya. Semua yang ia dan anggota keluarganya inginkan dapat terpenuhi. Justru karena itu ia merasa sepi sendiri.
Setiap pulang kerja, ia sering tak mendapati istrinya di rumah karena sedang berada di mall atau ada urusan lain dengan teman-temannya. Pun demikian dengan anak-anaknya. Makan malam sering terselenggara dalam kesendirian dengan menu dingin yang mesti dipanaskan sendiri dulu. Bahkan ketika hari Minggu atau hari libur, tidak jarang kebersamaan itu hilang begitu saja karena masing-masing asyik dengan kesibukannya. Saat benar-benar bisa duduk bersama pun kehangatan ruang bicara keluarga menjadi dingin karena istri dan anak-anaknya lebih suka membicarakan kegiatannya bersama teman-temannya. Sementara, temannya teman saya berusaha keras tidak membawa soal pekerjaan ke dalam ruang bicara keluarga.
Sampai satu waktu, temannya teman saya itu pernah melontarkan perkataan bahwa kalau boleh ia ingin Tuhan mengembalikan hidupnya seperti ketika masih merangkak membuka usaha bengkel sepeda motor. Kehidupan di mana semesta kebahagiaan menaungi di sela segala kekurangan. Ia merindukan kegembiraan yang membuncah di tengah ruang sempit di kontrakan tempat mereka tinggal ketika istri dan anak-anak mengetahui ayahnya mendapat rejeki, meskipun tak seberapa. Ia merindukan keceriaan anak-anak ketika ayahnya dapat membelikan sepatu atau baju baru meski harganya murah. Ia merindukan senyum dan sambutan bahagia istri dan anak-anaknya ketika sore sepulang kerja ia membawakan bungkusan nasi dan lauk sederhana untuk dimakan bersama. Ia merindukan wajah cerah istrinya ketika membagi-bagi nasi dan lauk itu dengan bersahaja. Ia merindukan hening doa bersama yang terucap sepenuh sungguh sesaat sebelum mereka makan bersama. Temannya teman saya merasa bahwa kebahagiaan nan sederhana di antara segala kekurangan itu justru sekarang sirna.
Teman saya menceritakan kisah temannya dengan menitikkan air mata sambil bersyukur dan sekaligus tersadarkan untuk senantiasa berbahagia. Dirinya merasa terharu atas cerita temannya meski saya tahu bukan hanya itu sebabnya. Sebelum air matanya mengalir kemana-mana , saya merogoh saku celana dan mengeluarkan 2 lembar uang seribuan hasil pinjam tetangga, “kalau begitu, mari kita bahagia!!”, kata saya kepadanya. Teman saya tersenyum segera, “ya, mari bahagia!”, katanya. Segera saja kami berdua berboncengan sepeda menuju angkringan karena sesungguhnya hari itu saya dan teman saya sama sekali belum makan dan “nasi kucing” pasti akan membuat kami bahagia. Ya, mari bahagia !!
Eko Ompong
“BERPIKIR” AKTIVITAS MANUSIA DARI DULU HINGGA SEKARANG
---Cahya Yuana
Saat pagi hari gegerlah setiap orang, melihat banyak berhala yang hancur. Siapa gerangan yang berani menghancurkan tuhan-tuhan mereka. Saat semua pada bingung munculah Ibrahim dan berseru bahwa yang menghancurkan berhala-berhala itu adalah berhala terbesar yang pagi itu masih utuh. Mendengar penjelasan Ibrahim semua pada teriak, “mana mungkin sebuah berhala yang tidak bisa apa-apa bisa menghancurkan. Mendengar itu Ibrahim berkata “kalau berhala itu tidak bisa berbuat apa-apa mengapa engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan yang bisa memberikan apapun yang engkau berikan”. Peristiwa penghancuran berhala-hala ini menjadi awal perubahan di kaum Nabi Ibrahim
Cerita nabi Ibrahim tersebut bukan dalam rangka mengajak kita berdiskusi teologis maupun sosiologis dari cerita tersebut. Saya memulai dengan cerita tersebut untuk memberikan penekanan sebuah perubahan besar itu dimulai dari sebuah pikiran. Manusia lahir tidak dalam ruang hampa. Beragam budaya, idiologi, kepercayaam sistem sosial telah ada sebelum kita lahir. Tanpa kita sadari budaya, sistem sosial, idiologi yang mengelilingi kita berkontribusi terhadap kepribadian dan cara pikir kita. Akan tetapi seiring dengan kedewasaan kita baik kedewasaan dalam sisi psikologis maupun kedewasaan berpikir wajib bagi kita untuk merekonstruksi ulang apakah yang kita lakukan adalah sesuatu yang benar. Dunia terus berubah maka sesuatu yang dulu kita yakini sebagai kebenaran bisa jadi berubah seiring dengan perubahan tersebut.
Salah satu keistimewaan manusia dibanding makhluk yang lain adalah kebredaan akal. Secara teologis beberapa agama akalah yang menjadikan tuhan meminta Iblis tunduk kepada Adam. Iblis menolak untuk tunduk kepada Adam, karena merasa lebih tinggi derajatnya dibanding manusia. Tapi tuhan memiliki cara untuk memperlihatkan bahwa manusia lebih tinggi derajatnya dibanding Iblis. Tuhan memperlihatkan benda-benda kepada Iblis dan Adam yang belum pernah tuhan perlihatkan kepada semua makhluknya. Iblis tidak bisa menyebut benda itu apa dan untuk apa, akan tetapi Adam dengan kemampuan akalnya bisa berpikir apa yang dimaksud dengan benda-benda tersebut.
Kalau kita baca sejarah, orang besar lahir karena proses berpikir. Cerita Newton dan buah apel merupakan bukti orang besar lahir dari proses berpikir. Meski cerita ini masih menjadi kontoiversi, tapi sebagai pembelajaran masih layak untuk disampaikan. Saat Newton sedang berada di kebun buah apel. Sebiji buah apel jatuh mengenai kepala Newton. Persitiwa yang biasa tapi tidak biasa bagi Newton. Newton kemudian berpikir kenapa buah apel saat jatuh tidak ke atas atau tidak melayang-layang. Jatuhnya buah apel ini yang menjadikan Newton berpikir keras sehingga memunculkan teori gravitasi sebagaiamana yang kita tahu.
Berpikir itu juga harus terus dilakukan tanpa lelah, karena bisa jadi hasil berpikir kita akan terwujud saat proses berpikir itu dilakiukan kesekian ribu kali. Kisah Thomas Alva Edison bisa menjadi pelajaran. Thomas Alva Edison adalah ilmuwan yang menciptakan lampu listrik pijar. Lampu pijar itu berhasil diciptakan oleh Thomas Alva Edison setelah dia berpikir dan mencoba ratusan kali. Percobaan yang ke 999 kali juga tidak berhasil. Thomas Alva Edison merasa frustasi dan ingin menghentikan percobaan membuat lampu pijar. Akan tetapi Thomas Alva Edison akhirnya memutuskan untuk tetap terus melanjutkan percobaan membuat lampu pijar. Sejarah akhirnya mencatat pada percobaan yang ke 1000, Thomas Alva Edison berhasil membuat lampu pijar. Bisa dibayangkan kalau Thomas Alva Edison menghentikan proses berpikirnya pada saat yang ke 999. Bisa jadi manusia sampai sekarang tidak akan bisa menikmati terangnya lampu.
Apa kesimpulan dari semua cerita diatas. Manusia dicipta salah tugasnya adalah untuk berpikir. Manuisia diangkat derajatnya lebih tinggi dari makhluk yang lain juga berpikir. Peradaban manusia begitu indah. Berpikir itu investasi masa depan. Apa yang kita pikirkan sekarang bisa jadi baru terwujud pada masa depan. Bisa jadi bukan kita yang menikmati hasil berpikir kita. Meski begitu saat kita mau berpikir kita sedang menggunakan kelebihan yang diberikan tuhan kepada kita. Karena itu teruslah berpikir kalau kita masih ingin mau dikatakan sebagai Manusia yang mempunyai derajat.
Cepaaat...
---Fajar Prasudi
Zaman sekarang ini rasanya semua cepat berubah dan
meninggalkan jejak keusangan.
Perputaran hidup suatu produk menjadi lebih singkat.
Sepatu kulit yang dulu keren, kini telah jadi butut
tergusur model baru.
Kain batik tradisional makin tenggelam di ditengah produksi
printing yang membanjiri pasaran.
Senam SKJ yang cukup ritmis menghasilkan keringat, kini
tergusur senam aerobik yang lebih kenceng dan membuat ngos-ngosan.
Berbagai moda angkutan dituntut cepat sampai tujuan dan
bebas hambatan.
Pelayanan publik yang lambat akan dicaci maki pengunanya.
Para petinggi lembaga menekan anak buahnya untuk kerja
cepat.
Para kontraktor dituntut cepat menyelesaikan proyek.
Para pimpro berlari mengejar waktu dan target.
Apakah waktu jadi satu-satunya penentu?
Haruskah semuanya berproses cepat?
Nyatanya...
·
Para
manula dan pensiunan masih bisa kongkow dengan komunitasnya
·
‘Kolektor
barang antik’ masih berburu barang antik
·
Pengumpul
barang bekas masih bisa hidup dengan barang bekasnya;
·
Kaum
difabel tetap eksis dalam ruang dan caranya sendiri;
·
Orang-orang
lambat masih terus terlahir dan mewarnai perubahan dunia;
·
Siput
dan keong masih tetap hidup dan menikmati makanannya....
Ada banyak sekali pilihan dalam hidup yang dapat dipilih,
dan semuanya menawarkan suka dukanya sendiri.
Maka tentukan pilihanmu
sendiri.....
Pertemuan di ruang teater, 24 Januari 2019
---Bambang Setyacipta
Merunut dari
guyonan, memancing dengan kata halus sampai dengan pertemuan kemarin menurut
saya adalah sesuatu yang menarik untuk dicermati. Penggagas ide menulis apapun
adalah sesuatu yang baik bisa dimulai kapan saja, dimana saja dan tidak usah
tergantung menunggu mood. Mas Eko Ompong bolak-balik memberikan signal-signal
itu, entah ada yang tanggap atau sekedar tau saja. Karena sudah beberapa kali
itu dilakukan tidak ada salahnya kita mencoba memulai dengan tulisan bebas
untuk terbiasa mengungkapkan baik itu pengalaman pribadi, atau yang lain yang
penting adalah mengemukakan tulisan/ide/gagasan bukan hanya cerita yang
nantinya tidak akan membekas di benak kita. Menurut beberapa ahli menunjukkan
bahwa tulisan itu dapat terakam di benak pikiran kita dalam waktu yang lama
bahkan jika di recall pun akan dengan
mudah kita dapatkan informasi tersebut meski sudah lama tidak kita perhatikan.
Tulisan juga dapat
digunakan untuk merefleksi diri kita siapakah kita ini, apa yang sudah
dilakukan kita selama ini, bagaimana hasil yang selama ini diperoleh dan masih
banyak untuk diceritakan.
Sebagai langkah
pertama adalah menuliskan apa saja agar kita terlatih untuk membaca (melihat,
mendengar, mencicip, meraba, merasa dll) untuk diungkapkan kembali dalam bentuk
tulisan. Kebiasaan ini merupaka emrio untuk terus diusahakan tiada hari tanpa
menulis, karena dengan menulis kita akan terasah menelurkan gagasan dari yang
sekedar asal hingga tulisan yang menarik untuk disimak, dibaca sokor-sokor
memberikan pencerahan bagi siapapun pembacanya.
Semoga tulisan
sebagai awal untuk menulis apapun di kemudian hari, siapa tau ini bagian dari
persiapan pensiun di tahin 2020. Semangat terus dan jangan cepat dan berhenti
menyerah.
Salam – Gedung WI lantai
2 (25 Januari 2019) – Kang BS
Panggung
Rin Surtantini
berkatalah, karena kau ingin mereka percaya kepadamu
berceritalah, karena kau ingin mereka tahu siapa dirimu
berujarlah, karena kau ingin mereka mau menerimamu
berkisahlah, karena kau ingin mereka memahamimu
bertuturlah, karena kau ingin mereka menghormatimu
berbicaralah, karena kau ingin mereka menurutimu
berucaplah, karena kau ingin mereka mengagumimu
berserulah, karena kau ingin mereka tunduk kepadamu
berteriaklah, karena kau ingin mereka dengar suaramu
bergayalah, karena kau ingin mereka memujimu
bercerminlah, sebelum layar panggung terbuka.
Gelisah dan Rasa Senang: Seputar Blog Kita Bersama
--- Rin Surtantini
Suatu malam pada minggu ketiga bulan Januari 2019, aku mendengarkan nurani berbicara sendirian sampai aku jatuh tertidur. Keesokan harinya, apa yang semalam dikatakan oleh nurani itu seperti berdiam dalam pikiranku, tak hendak beranjak. Aku gelisah, dan kegelisahan ini sungguh mengganggu waktu-waktuku sepanjang hari itu dan hari-hari selanjutnya, terutama sekali ketika semestinya pikiranku aku istirahatkan, atau pikiranku itu aku bawa ke sebuah studio musik, mengajaknya bermain ke masa-masa lalu yang menyenangkan…. Oh terbayang alangkah bahagia dan syahdunya pikiranku ketika aku menyanyikan A Whiter Shade of Pale, Autumn Leaves, Crazy, The Way It Used to Be, Strangers in the Night, dan masih banyak lagi….
Jadi, apa betul pikiranku menjadi tidak bahagia karena munculnya rasa gelisah sebagai akibat dari apa yang telah dikatakan oleh nurani? Aku jadi teringat percakapan dengan Eko temanku beberapa hari terakhir ini dan tulisannya di blog tentang pikiran dan kegelisahan. Katanya, seseorang yang sedang memiliki kegelisahan akan selalu cemas dan berada dalam situasi tak menentu. Jika begitu, apa yang aku cemaskan?
Aku jadi mengingat apa yang dikatakan oleh nurani beberapa malam lalu: aku ingin sekali mengajak teman-teman pengajar memerdekakan diri dari harap-harap cemas tentang proyek atau program yang direncanakan oleh lembaga pada tahun 2019 ini. Misalnya, oh…widyaiswara hanya mengajar sedikit tahun ini, oh… banyak program yang dirancang bukan untuk widyaiswara, dst. Belenggu-belenggu semacam ini jelas menempatkan diri kita sebagai seorang pekerja yang menunggu turunnya surat tugas dari atasan, atau menanti untuk diperintahkan mengerjakan sesuatu dengan imbalan upah tertentu, atau menerima saja tugas yang sesungguhnya tidak pas atau tidak sesuai untuk kita tapi berjasa dalam menggemukkan dompet kita, atau mengerjakan perintah dengan keterpaksaan yang menyiksa, dsb. Jika itu semua menjadi sumber kecemasanku, apakah itu terjadi karena secara de facto, hal itu memang sudah menjadi warisan pikiran widyaiswara di tempatku bekerja selama 27 tahun ini? Inilah kecemasan atau kegelisahanku yang pertama.
Lalu, menurut nurani, aku juga selalu dilanda gelisah ketika mengamati sebuah tulisan yang maunya dikelaskan sebagai tulisan “ilmiah”, tapi dituliskan bukan karena dorongan aktualisasi diri penulisnya melalui sebuah proses untuk meningkatkan kemampuannya, melainkan karena dorongan personal yang diwarnai oleh semacam beban, keterikatan, belenggu, dan ambisi pencapaian secara kuantitatif, kaitannya dengan misalnya berakrobat dalam pencapaian angka kredit, kecepatan dalam meraih kepangkatan dan golongan, upaya pembuktian kemampuan dan kapasitas diri yang melebihi orang-orang yang posisinya setara atau di atasnya secara formal, dan sebagainya. Hasil tulisannya secara kuantitas kuat, cepat dikerjakan, tetapi secara kualitas lemah, misalnya tidak ada kesinambungan dan benang merah antara kalimat-kalimat bagian pembuka (yang notabene bukan pikiran penulis, tapi kutipan) dengan inti atau isi tulisannya sendiri. Isi tulisan lepas dari bagian pembuka, terlihat mencari-cari, mencocok-cocokkan, tidak punya pesan dan nyawa, menggunakan istilah-istilah sulit yang dipaksakan. Ah, mudah-mudahan ini bukan warisan pikiran seperti kegelisahanku yang pertama di atas.
Kegelisahanku yang ketiga, adalah sepinya respon atau tanggapan ketika masalah yang masuk di grup media sosial adalah masalah yang mengajak “membongkar” atau “memproduksi pikiran” (meminjam istilah Eko, temanku berdiskusi dalam banyak hal). Panggung mendadak sepi ditinggalkan penontonnya. Tapi jika masalah itu adalah masalah renyah, maka riuh rendahlah respon penonton. Jadi, ternyata masalah-masalah yang mengajak memproduksi pikiran adalah masalah yang salah masuk di forum itu. Promosi pemikiran tidak akan pernah memperoleh tempatnya di sana. Ya, aku harus menerima fakta kegelisahanku yang ini.
Terganggunya pikiranku --karena kegelisahan-kegelisahan berdiam di dalamnya—pupus oleh pernyataan Eko dalam blog-nya, bahwa di balik kegelisahan itu ada keinginan. Lalu, menurutnya, kegelisahan menjadi keniscayaan bagi insan berilmu pengetahuan. Wow, ini menggelembungkan hatiku. Berarti nuraniku berjasa terhadap produksi kegelisahan pikiranku.
“Kita sebenarnya bisa bikin blog untuk menampung tulisan teman-teman,” tulis Eko.
“Kita akomodasi golongan teman-teman yang ingin berproses, yang bukan instan atau lewat jalan pintas. Lambat tidak masalah. Format bisa apa saja, yang penting adalah adanya “pesan” yang ingin disampaikan, itu dituliskan.”
Pikiranku tiba-tiba berpendar. Ini keinginanku! Rasa senang itu ternyata sederhana munculnya.
“Kita seringkali terkungkung oleh format penulisan. Belum-belum format ini yang lebih dulu kita cemaskan. Pikiran jadi blocking. Lalu, jadi malu dan takut mencoba menulis…”
“Tulisan-tulisan teman-teman kita unggah di blog milik kita bersama. Dari blog ini kita bisa lihat dan periksa sendiri kekurangan-kekurangan tulisan kita, baik lewat komentar pembacanya, atau self-assessment. Kita benahi untuk jadi tulisan yang layak diunggah di jurnal, majalah, atau web terstandar. Jadi blog kita ini digunakan untuk latihan menyalurkan gagasan kita melalui tulisan. Bebas saja. Menulis apa saja. Belajar dengan praktik langsung.”
Nurani kembali menggelitik pikiranku: Kalau kita punya jatidiri melalui kemampuan kita sebagai widyaiswara, aku pikir kita tidak perlu cemas tidak mendapat pekerjaan, tidak bisa dapat angka kredit, tidak ada pemasukan, tidak dapat surat tugas, proyek, atau apalah seputar ini…
“Tadi ada respon, intinya widyaiswara harus upgrade diri (kompetensi), yang dimulai dari produksi pikiran dalam bentuk tulisan (konsep). Kuantitas dan kualitas baca harus tinggi untuk membongkar pikiran dari status pekerja menuju konseptor (orang yang menghasilkan pemikiran). “
Ah, betapa aku punya keinginan untuk beramai-ramai memproduksi pikiran dalam bentuk tulisan sebagai korps widyaiswara.
Dari sini kegelisahanku meleleh mengalir ke seluruh nadi. Aku mengajak Eko agar acara “Kemisan” dimulai lagi, dan dibuka untuk teman-teman widyaiswara semua. (Biasanya, acara ini kami lakukan secara terbatas saja). Kali ini, ayo kita lihat animo teman-teman. Tidak perlu menunggu hasil rapat anggaran proyek atau kegiatan lembaga tahun ini, karena bukankah kita bukan pekerja, tapi pemroduksi pikiran? Maka, jadilah ini:
Kelihatannya “gaya” dan agak ambisius, berlebihan. Tapi, tak apalah. Bebaskan diri dari anti kritik. Semua persoalan pasti ada pro dan kontra. Kita tak bisa meminta semua orang untuk senada dengan kita. Silakan jika tidak suka.
Dan terjadilah pertemuan kami itu, 13 orang widyaiswara, dalam suasana merdeka dan ikhlas. Ikhlas memberi dan menerima. Eko yang memandu. Teman-teman widyaiswara yang datang tercatat mbak Widarwati, mas Fajar, mas Rohmat sebagai pengelola blog yang direncanakan, mas Aristono, mas Bambang, mas Heru, mbak Tri Suerni, mbak Wiwin, mbak Herlina, pak Marsudi yang kebetulan berulangtahun, mbak Ratmi, dan aku.
Dari diskusi dan berbagi pada pertemuan ini, aku merasakan tiga kegelisahanku di awal tulisan ini setidaknya terjawab. Kami mau saling belajar dan berproses untuk menulis secara alami dan mandiri untuk memproduksi dan membongkar pikiran sendiri tanpa terbelenggu oleh beban surat tugas atau status sebagai pekerja. Angka kredit dan lain-lain adalah dampak. Diharapkan, dengan kemerdekaan yang diciptakan bersama melalui media blog, kami akan riuh rendah memberi respon atau tanggapan tulisan teman lain, dengan tujuan utama saling belajar. Tiba-tiba saja rasa senang yang sederhana itu kembali memenuhi pikiranku. Dan aku yakin, kegelisahan baru akan terus muncul lagi selama aku tahu persis di mana pikiranku aku letakkan. Ayo, siapa gabung lagi?
Yogyakarta, 25 Januari 2019.
Suatu malam pada minggu ketiga bulan Januari 2019, aku mendengarkan nurani berbicara sendirian sampai aku jatuh tertidur. Keesokan harinya, apa yang semalam dikatakan oleh nurani itu seperti berdiam dalam pikiranku, tak hendak beranjak. Aku gelisah, dan kegelisahan ini sungguh mengganggu waktu-waktuku sepanjang hari itu dan hari-hari selanjutnya, terutama sekali ketika semestinya pikiranku aku istirahatkan, atau pikiranku itu aku bawa ke sebuah studio musik, mengajaknya bermain ke masa-masa lalu yang menyenangkan…. Oh terbayang alangkah bahagia dan syahdunya pikiranku ketika aku menyanyikan A Whiter Shade of Pale, Autumn Leaves, Crazy, The Way It Used to Be, Strangers in the Night, dan masih banyak lagi….
Jadi, apa betul pikiranku menjadi tidak bahagia karena munculnya rasa gelisah sebagai akibat dari apa yang telah dikatakan oleh nurani? Aku jadi teringat percakapan dengan Eko temanku beberapa hari terakhir ini dan tulisannya di blog tentang pikiran dan kegelisahan. Katanya, seseorang yang sedang memiliki kegelisahan akan selalu cemas dan berada dalam situasi tak menentu. Jika begitu, apa yang aku cemaskan?
Aku jadi mengingat apa yang dikatakan oleh nurani beberapa malam lalu: aku ingin sekali mengajak teman-teman pengajar memerdekakan diri dari harap-harap cemas tentang proyek atau program yang direncanakan oleh lembaga pada tahun 2019 ini. Misalnya, oh…widyaiswara hanya mengajar sedikit tahun ini, oh… banyak program yang dirancang bukan untuk widyaiswara, dst. Belenggu-belenggu semacam ini jelas menempatkan diri kita sebagai seorang pekerja yang menunggu turunnya surat tugas dari atasan, atau menanti untuk diperintahkan mengerjakan sesuatu dengan imbalan upah tertentu, atau menerima saja tugas yang sesungguhnya tidak pas atau tidak sesuai untuk kita tapi berjasa dalam menggemukkan dompet kita, atau mengerjakan perintah dengan keterpaksaan yang menyiksa, dsb. Jika itu semua menjadi sumber kecemasanku, apakah itu terjadi karena secara de facto, hal itu memang sudah menjadi warisan pikiran widyaiswara di tempatku bekerja selama 27 tahun ini? Inilah kecemasan atau kegelisahanku yang pertama.
Lalu, menurut nurani, aku juga selalu dilanda gelisah ketika mengamati sebuah tulisan yang maunya dikelaskan sebagai tulisan “ilmiah”, tapi dituliskan bukan karena dorongan aktualisasi diri penulisnya melalui sebuah proses untuk meningkatkan kemampuannya, melainkan karena dorongan personal yang diwarnai oleh semacam beban, keterikatan, belenggu, dan ambisi pencapaian secara kuantitatif, kaitannya dengan misalnya berakrobat dalam pencapaian angka kredit, kecepatan dalam meraih kepangkatan dan golongan, upaya pembuktian kemampuan dan kapasitas diri yang melebihi orang-orang yang posisinya setara atau di atasnya secara formal, dan sebagainya. Hasil tulisannya secara kuantitas kuat, cepat dikerjakan, tetapi secara kualitas lemah, misalnya tidak ada kesinambungan dan benang merah antara kalimat-kalimat bagian pembuka (yang notabene bukan pikiran penulis, tapi kutipan) dengan inti atau isi tulisannya sendiri. Isi tulisan lepas dari bagian pembuka, terlihat mencari-cari, mencocok-cocokkan, tidak punya pesan dan nyawa, menggunakan istilah-istilah sulit yang dipaksakan. Ah, mudah-mudahan ini bukan warisan pikiran seperti kegelisahanku yang pertama di atas.
Kegelisahanku yang ketiga, adalah sepinya respon atau tanggapan ketika masalah yang masuk di grup media sosial adalah masalah yang mengajak “membongkar” atau “memproduksi pikiran” (meminjam istilah Eko, temanku berdiskusi dalam banyak hal). Panggung mendadak sepi ditinggalkan penontonnya. Tapi jika masalah itu adalah masalah renyah, maka riuh rendahlah respon penonton. Jadi, ternyata masalah-masalah yang mengajak memproduksi pikiran adalah masalah yang salah masuk di forum itu. Promosi pemikiran tidak akan pernah memperoleh tempatnya di sana. Ya, aku harus menerima fakta kegelisahanku yang ini.
Terganggunya pikiranku --karena kegelisahan-kegelisahan berdiam di dalamnya—pupus oleh pernyataan Eko dalam blog-nya, bahwa di balik kegelisahan itu ada keinginan. Lalu, menurutnya, kegelisahan menjadi keniscayaan bagi insan berilmu pengetahuan. Wow, ini menggelembungkan hatiku. Berarti nuraniku berjasa terhadap produksi kegelisahan pikiranku.
“Kita sebenarnya bisa bikin blog untuk menampung tulisan teman-teman,” tulis Eko.
Soalnya, apa banyak ya yang punya niat menulis?
“Kita akomodasi golongan teman-teman yang ingin berproses, yang bukan instan atau lewat jalan pintas. Lambat tidak masalah. Format bisa apa saja, yang penting adalah adanya “pesan” yang ingin disampaikan, itu dituliskan.”
Pikiranku tiba-tiba berpendar. Ini keinginanku! Rasa senang itu ternyata sederhana munculnya.
“Kita seringkali terkungkung oleh format penulisan. Belum-belum format ini yang lebih dulu kita cemaskan. Pikiran jadi blocking. Lalu, jadi malu dan takut mencoba menulis…”
Merdekakan diri dari belenggu-belenggu itu. Kemerdekaan pikiran memicu produktivitas.
Jadi kita akan punya blog sebagai forum tempat berproses?
Well, ini menarik! (bagi yang tertarik).
“Kita punya widyaiswara yang bisa bikin blog sekaligus mengelolanya, mas Rohmat.”
Dalam perjalanannya, ini media untuk saling belajar dan sharing. Bukankah begitu?
“Sangat bisa. Intinya buat belajar bersama. Siapa saja boleh menulis apa saja. Bahkan, yang merasa tidak bisa menulis, juga bisa menuliskan tentang ketidakbisaannya itu. Berapa kalimat pun, boleh. Silakan saja.”
Sehari kemudian….
Nurani kembali menggelitik pikiranku: Kalau kita punya jatidiri melalui kemampuan kita sebagai widyaiswara, aku pikir kita tidak perlu cemas tidak mendapat pekerjaan, tidak bisa dapat angka kredit, tidak ada pemasukan, tidak dapat surat tugas, proyek, atau apalah seputar ini…
“Tadi ada respon, intinya widyaiswara harus upgrade diri (kompetensi), yang dimulai dari produksi pikiran dalam bentuk tulisan (konsep). Kuantitas dan kualitas baca harus tinggi untuk membongkar pikiran dari status pekerja menuju konseptor (orang yang menghasilkan pemikiran). “
Ah, betapa aku punya keinginan untuk beramai-ramai memproduksi pikiran dalam bentuk tulisan sebagai korps widyaiswara.
“Tulisan tentunya dihasilkan bukan dengan cara mencuri punya orang lain lalu menggabungkan curian satu dengan curian lainnya dan merasa itu cukup berkualitas dan layak diangka-kreditkan atau dipublikasikan. Ketika terbayang harus memproduksi pikiran sendiri, tiba-tiba lupa di mana pikirannya selama ini diletakkan….”
Haha. Aku terbahak-bahak sendiri dan suka sekali dengan lelucon pada kalimat terakhir di atas. Rasa senang itu ternyata sederhana munculnya.
“Syarat untuk membaca dan menulis itu harus ikhlas merasa diri tidak tahu, sehingga otak memproduksi pertanyaan dan ini menggerakkan semua indera untuk mencari tahu.”
Definitely!
Teman-teman widyaiswara, besok hari Kamis pukul 09.00 di studio teater, kami mengajak teman-teman yang berminat, bisa, ikhlas, dan mau, untuk diskusi dan sharing, bertema “membongkar pikiran dari pekerja menjadi penulis (konseptor)” sebagai langkah latihan kita dalam memproduksi pikran sendiri.
Kelihatannya “gaya” dan agak ambisius, berlebihan. Tapi, tak apalah. Bebaskan diri dari anti kritik. Semua persoalan pasti ada pro dan kontra. Kita tak bisa meminta semua orang untuk senada dengan kita. Silakan jika tidak suka.
Dan terjadilah pertemuan kami itu, 13 orang widyaiswara, dalam suasana merdeka dan ikhlas. Ikhlas memberi dan menerima. Eko yang memandu. Teman-teman widyaiswara yang datang tercatat mbak Widarwati, mas Fajar, mas Rohmat sebagai pengelola blog yang direncanakan, mas Aristono, mas Bambang, mas Heru, mbak Tri Suerni, mbak Wiwin, mbak Herlina, pak Marsudi yang kebetulan berulangtahun, mbak Ratmi, dan aku.
Dari diskusi dan berbagi pada pertemuan ini, aku merasakan tiga kegelisahanku di awal tulisan ini setidaknya terjawab. Kami mau saling belajar dan berproses untuk menulis secara alami dan mandiri untuk memproduksi dan membongkar pikiran sendiri tanpa terbelenggu oleh beban surat tugas atau status sebagai pekerja. Angka kredit dan lain-lain adalah dampak. Diharapkan, dengan kemerdekaan yang diciptakan bersama melalui media blog, kami akan riuh rendah memberi respon atau tanggapan tulisan teman lain, dengan tujuan utama saling belajar. Tiba-tiba saja rasa senang yang sederhana itu kembali memenuhi pikiranku. Dan aku yakin, kegelisahan baru akan terus muncul lagi selama aku tahu persis di mana pikiranku aku letakkan. Ayo, siapa gabung lagi?
Yogyakarta, 25 Januari 2019.
Thursday, January 24, 2019
Subscribe to:
Posts (Atom)