Tuesday, January 29, 2019

Publikasi ilmiah milik publik?

---Rohmat Sulistya

Ketika saya kuliah S1 dan berkewajiban menghasilkan karya tulis berupa skripsi, pihak jurusan mewajibkan data awal yang akan dijadikan bahan tulisan harus berasal dari jurnal ilmiah, bukan dari buku. Dan saya baru mengerti bahwa jurnal ilmiah sebenarnya adalah hasil pelaporan riset yang merupakan pengembangan atau penerapan sebuah ilmu/teori dari buku. Jurnal ilmiah adalah rangkaian panjang dari laporan-laporan penelitian tentang sesuatu obyek yang diteliti. Sehingga semestinya, jurnal ilmiah pada tahun yang baru akan melaporkan temuan terbaru dari sebuah masalah atau obyek yang diteliti. Dan hal-hal yang dilaporkan ini tentunya tidak berulang-ulang, tetapi menampilkan sebuah progres penelitian dari banyak peneliti terhadap sebuah obyek penelitian.

Pada saat itu, akses jurnal ilmiah masih mahal dan terasa prestise. Sehingga dengan bersusah payah berburu jurnal cetak di perpustakaan, saya mendapatkan data sesuai karya tulis yang akan saya buat. Dan saya mendapatkan data dari jurnal tahun 1940-an. Apakah ini data ini up to date untuk skripsi saya? Saya kurang paham. Tapi memang untuk disiplin ilmu saya, jurnal-jurnal lama malah sering dijadikan referensi data. Karena di tahun-tahun tersebut kemungkinan fundamen ilmu untuk bidang tersebut sedang dibangun.

Delapan tahun kemudian, ketika saya kuliah S2; kewajiban untuk merujuk tulisan/tesis ke jurnal-jurnal ilmiah semakin ketat. Bahkan beberapa perguruan tinggi, mewajibkan jumlah jurnal minimal yang harus dirujuk. Pada tahun itu -sekira 2004/2005- akses jurnal terasa lebih mudah, bundle-bundle jurnal tersedia cukup banyak di perpustakaan. Sebagai seorang mahasiswa yang butuh referensi jurnal, maka kondisi ini sangat-sangat membahagiakan.

Tetapi untuk mengakses jurnal online, masih menjadi sesuatu yang istimewa dan mahal. Untuk mendapatkan full text sebuah jurnal kita harus membayar sekitar 300 ribu. Cara membayarnya pun saya tidak paham, karena menggunakan kartu kredit atau paypal. Untungnya ada dosen yang punya hak akses terhadap sebuah website, sehingga mahasiswa dapat memanfaatkan kemudahan ini. Dan katanya beberapa universitas melanggan secara legal jurnal-jurnal berbayar ini.

Ada dua website cukup prestisius sebagai penyedia jurnal yang saya butuhkan yaitu: Elsevier dan Sciencedirect. Oleh karena saya merasa untuk mengakses jurnal dari pihak lain tidak praktis, maka saya memilih berburu jurnal gratisan yang biasanya memublikasikan penelitian dari negara-negara seperti Brazil, India, dan pecahan Uni Soviet. Bagi saya hal ini cukup memuaskan, karena mereka sering memublikasikan penelitian tentang ilmu keramik berbasis silikat, obyek penelitian saya kala itu.

***

Jaman telah berubah. Yang dulu sangat sulit, sekarang untuk mengakses jurnal bermutu sangat mudah bahkan gratis, meskipun secara resmi jurnal-jurnal bermutu tersebut sebenarnya berbayar. Mengapa bisa demikian?. Hal ini tak lepas dari paradigma berbagi/sharing yang berkembang di dunia digital pada saat ini.

Software komputer, game, aplikasi gadget, email, cloud storage/tempat penyimpanan awan sebagian besar menyediakan skema gratis/free. Saya tidak sedang membahas skema ini, karena saya kurang paham bagaimana provider menyediakan skema gratis sebagai strategi bisnis. Tetapi paradigma berbagi ini terkadang tidak hanya muncul sebagai sebuah strategi bisnis. Ada muatan politis didalamnya.

Adalah Sci-hub sebuah website yang dibangun untuk meruntuhkan dinding berbayar (paywall) sebuah jurnal ilmiah. Dengan memasukkan DOI (Digital Object Identifier) sebuah artikel ke laman Sci-hub, kita dapat salinan full text sebuah artikel jurnal. Kehadiran Sci-hub tentu sangat membahagiakan pegiat penelitian yang menginginkan rujukan dari jurnal bereputasi. Tapi disaat yang sama, ini menjadi mimpi buruk bagi perusahaan penyedia jurnal dan pegiat perlindungan terhadap hak cipta. Hal ini memang sebuah fakta yang dilematis mengingat ada dua isu yang melekat dalam kasus ini: hak asasi dan hak cipta.

Alexandra Elbaykan sebagai pendiri Sci-hub, dengan semangat kebebasan dan jiwa mudanya memprotes betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk sebuah artike jurnal bereputasi terbitan Elsivier yang berkisar 30-40 US$. Sebuah harga yang tidak masuk akal. Padahal dia berpendapat deklarasi PBB tentang hak asasi manusia tahun 1948 jelas menyatakan setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan (geotimes.co.id). Dan capaian-capaian ilmu pengetahuan yang diwartakan dalam jurnal adalah bagian dari kemajuan ilmu pengetahuan yang berhak diketahuan setiap orang.

Kehadiran Sci-hub sebagai ‘dewa penolong’ mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat akademik dunia. Tidak hanya peneliti dan mahasiswa dari negara-negara berkembang -negara yang tak mampu membayar sebuah jurnal- tetapi ternyata juga disambut dengan baik oleh pengakses dari negara-negara maju seperti Amerika dan China. Yang lebih mengherankan lagi kota pengakses Sci-hub ternyata dari Silicon Valey, sebuah kawasan/kota dimana perusahaan-perusahan IT ternama berada.

Fakta ini membuktikan bahwa sebenarnya masyarakat akademik secara diam-diam atau terbuka menyetujui tentang hak akses yang luas akan jurnal-jurnal bereputasi ini. Walaupun fakta ini juga belum dapat dijadikan klaim bahwa jurnal seharusnya murah atau gratis.

Berdasarkan peringkat negara-negara pengkases Sci-hub, Indonesia masuk dalam 10 besar (geotimes.co.id). Jika kualitas kesadaran akses kemajuan IPTEK diukur dari kuantitas pengakses Sci-hub ini, maka posisi Indonesia cukup menggembirakan sebagai negara pengakses peringkat 9. Tetapi jika dihubungkan dengan masyarakat Indonesia -yang katanya- suka sesuatu yang gratis, maka itu masalah yang lain. Tetapi, fakta ini cukup menunjukkan bahwa sebenarnya peneliti dan mahasiswa di Indonesia membutuhkan akses terhadap jurnal-jurnal bereputasi. Semakin banyak publikasi ditulis, semakin banyak pula rujukan dibutuhkan untuk menguatkan tulisan ilmiah tersebut. Tapi memang harus diverifikasi lagi, bagaimana jurnal-jurnal itu disitasi/dikutip. Apakah dikutip dengan relevansi yang tinggi atau dikutip sekedarnya untuk mengayakan daftar pustaka.

Kembali ke pertanyaan, apakah publikasi ilmiah milik publik? Ya mungkin…

2 comments:

  1. Ada yang menarik mengenai jurnal atau publikasi ilmiah itu tentang "hoax Sokal". Benar-benar mencengangkan dan menghentak nalar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tulisan menarik tentang publikasi ilmiah.
      Betul, kita bisa belajar dari kasus Sokal hoax yang menarik, yang mendiskusikan peran hoax dari sudut pandang lain, bagaimana hoax dilakukan justru untuk menguji keilmiahan dan sifat akademik suatu naskah atau artikel ilmiah di dunia yang banjir informasi seperti sekarang ini.

      Delete