---Fajar Prasudi
Dalam seminar kecil yang diselenggarakan oleh koordinatoriat WI mungkin masih menyisakan pertanyaan, keraguan, optimisme, harapan, atau bahkan sinisme, yang berkecamuk dalam pemikiran masing-masing peserta.
STEM dipahami sebagai pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah dunia nyata melalui integrasi Science, Technology, Engineering dan Mathematics. Sedangkan STEAM menambahkan kata Art dalam komponen pemecahan masalah tersebut. Tidak ada yang salah diantara kedua istilah pendekatan tersebut apabila akan diterapkan di Indonesia. Dalam UU Sisdiknas sudah dicantumkan pada pasal 36, bahwa penyusunan kurikulum kita memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni atau lazim disingkat dengan IPTEKS. Dengan demikian seni menjadi aspek penting dalam pendidikan untuk menyiapkan peserta didik menghadapi perubahan dan tuntutan zaman ke depan.
Apakah STEAM bisa diterapkan di Pendidikan kita? Sangat tergantung dari guru yang mengajar. Pendekatan apapun bisa dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Masalahnya generasi tua kita, dan guru pada umumnya masih menganut adanya satu kebenaran, bahkan sering menjadi absolut dan tak boleh dibantah. Karenanya dalam proses pembelajaran harus ditanamkan prinsip tidak ada satu kebenaran tunggal, dan tidak takut salah karena proses alami ini memang harus dilalui untuk meningkatkan nilai manusia.
Tidak ada hal yang spektakuler dan telak dalam model STEM ataupun STEAM apabila model ini akan digunakan dan disosialisasikan kepada guru-guru karena pendekatan tersebut pernah kita kenyam dalam nuansa atau kemasan yang berbeda. Artinya memang tidak ada yang terlalu istimewa dalam pendekatan tersebut. Para ahli dan perumus telah menuliskan bahwa konsep pendekatan tersebut diprediksikan cocok untuk menyongsong dan menyiapkan keterampilan yang dibutuhkan untuk manusia-manusia generasi mendatang. Tentu saja ada model-model lain yang juga cocok selain STEM dan STEAM. Oleh karena itu tuliskan dan sebarkanlah konsep tersebut kepada guru-guru, karena tidak ada satu kebenaran tunggal yang mutlak
Terimakasih, mas Fajar untuk tulisannya.
ReplyDeleteSenada dengan yang dituliskan mas Fajar, saya melihat munculnya STE(A)M sebagai pendekatan (?) pembelajaran adalah fenomena atau proses natural atau alami sebagai reaksi dari pendekatan, model, metode, strategi (atau apapun istilahnya) yang sebelumnya diterapkan, yang bahkan menjadi kebijakan di tingkat kementerian pendidikan dan kebudayaan. Setiap gerakan, tindakan, kebijakan, treatment, dll pasti memiliki kelebihan, keunggulan, tetapi sekaligus juga kelemahan dan kekurangan. Inilah yang mendorong manusia untuk selalu mencari yang baru atau yang lain sebagai penyempurna, pengganti, atau revisi dari yang sebelumnya. Pada proses penemuan yang baru ini, nantinya kita juga akan selalu dihadapkan pada keinginan untuk melihat persamaan dan perbedaannya dengan yang sebelumnya. Begini terus.... dan banyaknya temuan-temuan ini justru menjadi kita semakin smart dan merdeka dalam menentukan, mana yang sesuai untuk konteks murid-murid saya? Ini yang bagi saya lebih penting, bukan masalah apakah itu STE(A)M atau problem-based learning, inquiry, project-based learning, pakem, dst, dst. Mengapa? Because there is no one best single method in this world!