Sebuah pesan masuk melalui aplikasi WhatsApp. Saya lihat pesan tersebut dari my Bidadari.
"Mas saya punya daging Menthog, nanti mau dimasakan apa".
Bagi saya pesan ini sangat surprise, bukan masalah pertanyaan mau dimasakan apa. Kalau untuk hal itu sudah biasa istri bertanya pada saya kira-kira mau makan apa. Rasa heran saya terletak pada kalimat saya punya daging menthog. Saya tahu istri saya kalau beli daging pasti daging ayam atau sapi. Kalau inisiatif bukan dari saya tidak pernah dia beli daging yang tidak biasa dimasak.
"Lha kamu dapat dari mana daging menthog nya " tanya saya.
" Ya nanti saya ceritakan kalau sampai rumah. Yang penting mau dimasakan apa"
"Ya terserah Dinda (sambil nyengir tentunya) karena baru kali ini saya menyapa istri saya dengan kata Dinda.
Sore hari tibalah saya sampai rumah. Opor menthog dan sambal daging terlihat sudah diatas meja, siap menemani buka saya pada sore itu.
Setelah mandi dan sambil menunggu tibanya waktu buka, istri saya cerita enthog itu ia dapatkan dari temannya bernama Bu Warjiyem. Bu Warjiyem memberikan daging menthog secara cuma-cuma. Istri saya bilang Bu Warjiyem tidak mau dibayar untuk satu ekor enthog yang ia berikan. Tertegun saya mendengar cerita itu.
Ok Sobat, saya ceritakan dulu siapa Bu Warjiyem ini. Bu Warjiyem adalah teman istri saya. Kebetulan suaminya juga teman saya. Sehari hari dia bekerja menjaga satu toko, dan menerima jahitan. Suaminya kerja serabutan, kalau ada orang yang meminta bantuan bekerja baru dia mendapat penghasilan. Sore harinya suaminya mengajar baca Al Quran anak-anak di Masjid.
Setiap bulan rata-rata penghasilan nya tidak lebih dari 1.500.000. Bu Warjiyem mempunyai anak empat. Satu kuliah di UGM karena mendapat beasiswa Bidik Misi. Anak kedua masuk di pondok pesantren. Sedangkan anak ketiga dan keempat masih sekolah di SDIT IBNU ABBAS.
Hari itu Bu Warjiyem menjual menthog yang dipelihara suaminya untuk biaya rumah tangganya. Akan tetapi dia menyisakan satu Menthog untuk istri saya. Gratis katanya. Istri saya sudah memaksa untuk membayar tapi tetap tidak mau.
Apa yang bisa kita dapatkan dari kisah Bu Warjiyem. Sebuah keterbatasan yang kita miliki jangan sampai membatasi kita untuk melakukan sebuah pekerjaan besar. Sebuah pekerjaan besar itu tidak berarti sebuah pekerjaan yang berbiaya tinggi dan dilaksanakan di satu tempat mewah. Pekerjaan besar adalah ketika kita bisa memberi manfaat kepada lingkungan kita. Setiap orang pasti punya keterbatasan, akan tetapi ditengah keterbatasan itu pasti ada sesuatu yang bisa kita lakukan.
Sebagai pendidik kita tentu mempunyai keterbatasan. Akan tetapi ditengah keterbatasan yang kita miliki semangat memberi harus selalu kita pupuk. Memberi tidak harus dalam bentuk materi. Berbagi pengetahuan adalah juga bentuk saling memberi.
Relasi sosial untuk saling berbagi harus dipupuk dalam organisasi pendidikan seperti kita. Dalam berbagi ini harus ada kesadaran untuk saling menghargai. Meski bisa jadi yang kita terima sudah pernah kita dapatkan.
Suatu hari seorang wartawan mendatangi kediaman Muhammad Natsir, Perdana Menteri pada saat orde lama dan juga ketua Masyumi. Saat sang wartawan tiba dikediaman Natsir ternyata di Rumah Natsir sedang diadakan Diskusi dengan pemateri murid Natsir sendiri. Tampak Natsir mengikuti diskusi tersebut dengan serius. Setelah acara diskusi selesai sang Wartawan mendatangi Natsir dan menanyakan sesuatu yang tadinya belum ia rencanakan ia tanyakan. Pertanyaannya adalah mengapa Natsir sangat antusias mendengarkan materi yang disampaikan pemateri yang adalah murid Natsir Sendiri. Natsir kemudian menjawab, memang dia murid saya, memang yang ia sampaikan pernah saya sampaikan, tapi saya tetap berkepentingan mendengar apa yang disampaikan oleh murid saya tersebut, siapa tahu ada yang pernah saya tahu belum saya pahami, ada yang saya pahami lupa belum saya lakukan.
Ok Sobat mari kita jaga tradisi terhormat untuk saling berdiskusi dan memberi. Setiap kita bisa jadi mempunyai pengalaman berbeda, punya sesuatu yang berbeda. Kerag bhaman adalah anugerah. Keragaman ini akan memberikan manfaat saat kita mau saling memberi dan menerima.
Pemikiran besar tidak selalu muncul dari orang besar, dari seorang anak kecil terkadang kita justru bisa belajar sesuatu yg besar.
ReplyDeleteTulisan dengan pesan yang menarik dan mudah untuk dicerna. Persis seperti tujuan utama pendidik yang sewajibnya memberikan kemudahan jalan bagi muridnya untuk menghadapi masa depan. Tugas mulia guru adalah memang membumikan bahasa langit. Catatan kecilnya: "dimasakan" mungkin maksudnya "dimasakkan". "di+keterangan" di pisah penulisannya. Kurang sedikit kalimat penyambung dari kasus bu Warjiyem menuju M.Natsir. Selebihnya sip!!
ReplyDeleteThanks Mas Eko das Pak Aris atas masukannya,
ReplyDeleteAda pesan yang akan disampaikan, itu menjadi modal awal dalam menulis. Saya suka dengan pesannya, mas Cahyo. Jika saya kaitkan dengan profesi pendidik, rasa bahagia pendidik itu tumbuh ketika murid-muridnya merasa mendapatkan sesuatu dari kita sebagai pendidik (they feel they get something from us and use it as a change for the better).
ReplyDeleteSedikit kerisauan saya dari segi keteknisan penulisan adalah pada perbedaan antara penggunaan kata keterangan ("di") dan awalan (di-), yang penulisannya berbeda (misal"di" pada di atas, di tengah, di kediaman akan berbeda dengan "di" pada disampaikan, dimasakkan.
Kerisauan lainnya ada pada kata "dimasakan", dan kasus ini sering sekali kita jumpai pada kata "dikontrakan", padahal maksudnya "dikontrakkan". Berbeda, bukan? Ini masalah spelling (ejaan) yang bisa mengubah makna kata.
Dan...please, alangkah manisnya jika ada "connecting sentence" yang menghubungkan gagasan tentang Natsir dengan ibu yang baik hati itu, untuk memberi kesempatan kepada pembaca menikmati adanya koneksi antara kedua tokoh ini, tidak meloncat.
Keep on writing, mas Cahyo!
Makasih mbak Rin atas masukannya yang sangat berharga, menambah semangat untuk terus menuliskan s
ReplyDeleteMy pleasure, mas Cahyo.
DeleteTerus menulis utk berbagi.