---Rohmat Sulistya
Saya duduk dibelakang stir mobil. Mesin saya hidupkan, dan bersamaan dengan bunyi halus mesin, terdengarlah lagu girlband Korea mengalun. Yes, Blackpink…Dduu…dduuu…Dduuu. Judulnya aneh, tapi inilah lagu yang sangat hits, lebih hits dari lagu-lagu boyband Korea pendahulunya. Sebenarnya tidak hanya Blackpink yang ada dalam piringan disk saya. Disitu juga ada BTS, Ikon, EXO, Wanna One dan lain-lain.
Sesungguhnya saya nggak ngerti mereka-mereka itu siapa dan tentu saja tidak peduli. Tapi anak-anak saya beranjak remaja dan “memaksa” saya mengenalnya. Dan dengan dengan terpaksa saya mengenalnya dan diam-diam menyukainya.
Saya nggak terlalu enjoy juga mendengarkan lagu mereka; kok bukan Via Valen, Ebiet G Ade, Rhoma Irama, Iwan Fals, atau Love Songs di tahun 80-an. Bukan itu, bahkan saya kurang tertarik dengan lagu mereka (paling tidak untuk saat ini). Sebenarnya kaset ceramah-ceramah saya sudah nggores, dan belum diganti. Astaghfirullah….K-Pop menggantikannya…
K-Pop adalah wajah Korea (Selatan) saat ini. K-Pop adalah simbol kreativitas dan industri. Cuma sayangnya, penyanyi-penyanyinya adalah pekerja, bukan orang yang bebas berkreativitas. Mereka terikat kontrak dan kalau sudah selesai kontrak, bubar. Tapi terlepas dari itu semua, Korea mampu menampilkan diri sebagai negara yang maju dibidang industri manufaktur maupun industri kreativitas.
Bloomberg Innovation Index, pada tahun 2017 menobatkan Korea Selatan sebagai negara paling inovatif di dunia (Kompas.com). Index ini berisi 50 negara inovatif di dunia. Capaian ini mengalahkan seluruh negara-negara maju di dunia seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Finlandia, dan lain-lain. Dua negara tetangga yang masuk dalam index ini adalah Malaysia dan Thailand; sedangkan Indonesia tidak masuk.
Indonesia dan Korea adalah dua negara yang memulai start pembangunan yang sama. Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, sedangkan Korea Selatan dua hari sebelumnya yakni 15 Agustus 1945. Ya, hanya selisih 2 hari saja! Tetapi berdasarkan beberapa laporan, tingkat literasi Indonesia adalah 36 tahun dibelakang Korsel. Lho kok bisa? Ya, itulah faktanya.
Literasi menjadi kunci.
Korsel dan Finlandia adalah 2 negara dengan tingkat literasi 100%. Artinya seluruh penduduk literate. Semuanya bisa mengakses informasi dan memanfaatkannya dengan benar. Bahkan saat ini, siswa di Korsel adalah terpintar di dunia menggantikan siswa Finlandia (hipwee.com). Maka tidak heran kalau Samsung dengan percaya diri bersaing dengan iPhone; industri music dan drama mereka mendunia. Konon ini sudah dipersiapkan sejak lama. Kalau ini benar, berarti desain mereka berpuluh-puluh tahun sebelumnya berhasil. Kurikulum Pendidikan mereka juga berhasil memajukan penduduknya.
Bagaimana dengan kita dan Indonesia. Indonesia adalah negara hebat dalam benak saya. Dan memang hebat. Dengan keberagaman dan perbedaan disegala hal, kita tetap bersatu dan tidak bubar adalah prestasi yang luar biasa. Modal kebersatuan, kebersamaan, kesatuhatian sesama anak bangsa adalah sesuatu yang mahal. Bersatu secara hati…bukan pura-pura.
Kalau literasi adalah kunci, maka kita tinggal belajar sebagai tugas utama untuk mengejar ketertinggalan. Rakyat belajar, pejabat belajar. Siswa belajar, guru belajar. Guru belajar, widyaiswara lebih belajar lagi. Belajar segala hal.
Kalau Indonesia lebih cerdas,maju, dan bermoral, maka Blackpink tak penting lagi. Boleh dicampakkan.
Banyak orang pandai bilang kalau kegagalan literasi kita adalah pada tingkat fungsional di mana banyak orang bisa membaca sebenarnya tetapi tidak mau membaca.
ReplyDeleteLiterasi verbal dilanjutkan literasi amaliyah..he he
DeleteTulisan menarik. Seperti biasa, perhatian pertama saya selalu saja pada jalinan ide-ide atau gagasan yang terdapat pada keseluruhan tulisan, yang merangkai pesan yang ingin disampaikan. Dibuka dengan menarik, lalu pembuka ini digunakan sebagai penuntun untuk membawa pesan utamanya, jadi tidak lepas: dalam istilah saya, bagian pembuka tidak "membohongi" pembaca dengan menyodorkan dulu teori terkenal supaya terlihat serem dan berbobot di awal (hehehe...), tapi kemudian tidak dibahas di bagian tubuh tulisannya. Di bagian pembuka tulisan ini, pembaca justru disuguhi sebuah fenomena atau realita. Menarik. Lalu pada tubuh tulisan, gagasan utama penulis diulas, di sinilah muncul referensi2 yang mendukung pesan penulis, juga hasil produksi pemikirannya. Sederhana, tidak masalah, yang lalu dikerucutkan pada bagian penutupnya. Benang merah pun tercipta dalam jalinan ide yang terangkai. Saya sukaaa, mas Rohmat!
ReplyDeleteSaya ingin belajar lebih dalam dari Bu Rin tentang tulis menulis, krn konsepnya kuat dan nulisnya dari hati
DeleteSebaliknya, saya justru merasa belajar dari tulisan-tulisan orang lain, mas Rohmat. Ketika saya membaca tulisan orang lain, saya biasanya mengamati mana yang bisa jadi contoh dalam pengungkapan gagasan, mana yang sebaiknya tidak saya lakukan atau hindari ketika saya sendiri menulis. Dari sampel-sampel tulisan atau artikel yang saya baca, saya belajar bagaimana menulis. Cara induktif ini saya tempuh, meskipun saya juga belajar teorinya dari pendidikan formal...
ReplyDeleteJadi, kita sama-sama belajar, mas Rohmat.
Sepakat Bu; saya juga suka membaca opini di kompas -walaupun saat ini agak jarang-. Dan dari beberapa artikel yang membahas isu terkini, rubric komps itu paling bagus.
Delete