Wednesday, January 30, 2019

Hubungan Warung Makanan dan STEM+A

---Eko Santosa

Sito, Heru, dan saya berencana pergi makan siang selepas seminar tentang “STEM” dengan pemateri Agung Handoko hari ini. Dari beberapa usul yang ada, kami sepakat untuk makan di Spesial Sambal (SS) jalan Kaliurang. Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai dan beruntung karena siang itu pelanggan belum banyak berdatangan. Dari sodoran menu yang ada kami memilih lauk dan sambal kesukaan masing-masing. Di tengah makan, Sito bercerita bahwa di daerahnya terdapat juga SS tapi rasanya kurang enak – tentu saja ini penilaian subjektif. Ia bingung mengapa bisa seperti itu. Saya mencoba menjawab kebingungannya berdasar cerita teman yang juga punya usaha warung makan franchise.

Menurut penuturan teman saya itu, setiap cabang yang dibuka selalu mendapatkan pelatihan dari pemilik franchise. Pelatihan mulai dari pengelolaan sampai tata cara memasak dan menyajikan. Setelah itu, dalam masa ujicoba selalu mendapat pendampingan. Intinya, kualitas rasa makanan tetap terjaga dan sama rasanya dari semua warung yang ada. Setelah dirasa semuanya sesuai standar yang ditentukan, barulah warung cabang itu dapat mengelola usahanya secara mandiri. Pendampingan bisa diberikan ketika memang diperlukan. Nah, mungkin pada saat pengelolaan mandiri, kualitas rasanya kurang bisa dijaga.

Kualitas kurang terjaga mungkin karena model pelatihan yang dilakukan tidak menerapkan STEM. Artinya pelatih tidak memberikan materi secara rinci yang dapat menggamit science, technology, engineering, dan mathematics. Pemilik franchise hanya memberikan panduan dan praktika kepada peserta dengan fokus utama pada produksi makanan saja. Jika saja seandainya pemilik franchise menggununakan model STEM bahkan plus A (arts) mungkin kualitasnya akan tetap sesuai standar.

Misalnya saja untuk jenis masakan “Sambal Bawang” seperti yang dipesan Heru pada saat itu dibuat lesson plan semacam ini:

Science: menjelaskan bahan, bumbu, alat dan tahapan membuat sambal bawang

Technology: menggunanakan peralatan membuat sambal sesuai teknik

Engineering: merancang sambal bawang dengan tingkat kepedasan berdasar skala konsumsi

Mathematic: mengukur kepedasan sambal berdasar jenis, karakter, dan jumlah cabai yang digunakan serta tingkat kemungkinan konsumsinya

+ Arts: menyajikan sambal bawang secara artistik sehingga memikat selera

Dengan rencana pembelajaran seperti itu pelatih tidak hanya sekedar memberikan contoh cara membuat sambal bawang yang benar secara intuitif atau berdasar kebiasaan. Akan tetapi ia juga akan mengukur tingkat kelezatan dan kepedasan tertentu berdasarkan jenis, karakter, dan jumlah cabai sampai tingkat yang paling mungkin untuk dikonsumsi manusia. Perancangan tingkat kepedasan tidak hanya berdasar kebiasaan tetapi benar-benar memperhatikan kualitas bahan dan kualitas itu terukur. Misalnya saja, 5 cabai rawit warna merah kekuningan yang dipanen pada pagi hari dan didiamkan selama 2 jam sebelum diproses itu akan menghasilkan tingkat kepedasan yang sama dengan 8 cabai rawit warna kuning kehijauan yang dipanen siang hari dan didiamkan selama 3 jam sebelum diproses. Cabai rawit yang diulek secara manual dengan cobek dari tembikar tingkat kepedasannya 2 kali lipat dibandingkan cabai rawit yang digiling. Dalam satu sajian, porsi satu orang, bawang yang digunakan antara 1-1,5 siung jika ukuran sedang, 1 siung jika ukuran besar, dan 2,5 siung jika ukurannya kecil. Penyajian sambal bawang dengan menggunakan cawan tembikar, sambal ditata pas di tengah cawan secara merata, serta diberi garnis 3 helai daun kemangi akan membangkitkan selera makan.

STEM+A yang diterapkan akan memberikan catatan lengkap dari berbagai sisi sehingga kualitas sambal bawang itu akan sama meski jumlah dan warna cabainya berbeda. Sekilas hal ini terbaca lucu tetapi itulah yang dilakukan oleh KFC, McD, Burger King, dan Pizza Hut. Di setiap gerai jualan yang mereka buka kualitas rasanya sama, berat makanan sama, dan kemasan penyajian sama. Itulah mengapa hampir semua pembeli meyakini kualitas rasa dari produk mereka. Jadi, apa yang perlu dilakukan oleh pemilik franchise hanyalah mencatat tata cara atau proses pembuatan secara rinci dipandang dari berbagai unsur/bidang disertai ukuran dan kemungkinan hasilnya. Bukan sekedar panduan yang hanya berisi langkah semata sehingga prosesnya benar namun rasanya kurang memuaskan. Di sinilah letak pentingnya STEM+A. Jadi, marilah kita membuat sambel bawang. He he... (**)

6 comments:

  1. Pemilik SS itu juga alumni SMA 3 Yogyakarta kan mas

    ReplyDelete
  2. Wah malah ra ngerti je... SS ming dinggo background story wae..

    ReplyDelete
  3. Tapi kok sy belum menemukan suatu kebaruan di konsep STEM. Karena ini seperti menformulasikan ulang suatu pembelajaran berbasis project dengan konsep yang lain. Sementara di SD, SMP, SMA jarang menerapkan PjBL. Sedang SMK itu sering PjBL, cuma kuat di pelaksanaan; tapi lemah di perencanaan (desain awal) dan presentasi, evaluasi akhir hasil proyek.
    Menurut saya sih, tematik sudah mengarahkan pada keterpaduan dan integrasi antar subjek pelajaran. Dan sepertinya ini merupakan ruh dari konsep2 pembelajaran terkini. Hanya implementasi di kelas itu yang masih sering jauh panggang dari api.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Materi pembelajaran apapun tidak pernah ada yang berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan bidang lain, seperti peristiwa di dalam kehidupan tidak akan pernah bisa ditilik dari satu sisi. Ini saja sebetulanya pikiran dasarnya, mau pakai STEM, STEAM, Tematik, Integrasi, boleh-boleh saja. Hanya masalahnya sejak kecil kita dididik dengan materi pembelajaran tunggal seolah-olah materi itu tidak terkait dengan ilmu lain.

      Delete
  4. Tulisan menarik. Memaknai STE(A)M melalui realita sebuah peristiwa sederhana: makan siang di SS yang berfungsi sebagai trigger dari pemikiran mengenai topik seminar yang baru saja diikuti, yaitu STE(A)M. Apa yang jadi perhatian saya dari tulisan di atas? Bukan SS atau STE(A)M-nya lho, tapi bagaimana proses berpikir manusia dihidupkan atau digerakkan oleh kemampuannya untuk melihat hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi antaraspek (dalam hal ini, bagaimana pemahaman tentang S berkoneksi dengan T, dengan E, dengan M, dan dengan A). Dan untuk menjelaskan koneksi atau hubungan-hubungan ini, contoh data yang digunakan adalah seporsi sajian sambal bawang. Wuih...maka jadilah tulisan yang "menjelaskan" dan "memahamkan" pembacanya dengan cara yang sederhana tapi mendalam. Thank you, mas Eko!!!

    ReplyDelete