Friday, January 25, 2019

Mari Bahagia

---Eko Ompong

Satu hari di masa lalu, teman saya bercerita tentang temannya, seorang pemilik bengkel sepeda motor yang merasa tak lagi bisa sungguh-sungguh berbahagia. Bukan soal bengkelnya sepi sementara kebutuhan hidup semakin kompleks, atau soal hutang yang terus menggunung sementara anak-anaknya mulai banyak membutuhkan biaya. Ia tak lagi merasa bahagia justru ketika usaha bengkelnya sukses. Ia sudah mampu membeli rumah dan memenuhi kebutuhan tersiernya. Semua yang ia dan anggota keluarganya inginkan dapat terpenuhi. Justru karena itu ia merasa sepi sendiri.

Setiap pulang kerja, ia sering tak mendapati istrinya di rumah karena sedang berada di mall atau ada urusan lain dengan teman-temannya. Pun demikian dengan anak-anaknya. Makan malam sering terselenggara dalam kesendirian dengan menu dingin yang mesti dipanaskan sendiri dulu. Bahkan ketika hari Minggu atau hari libur, tidak jarang kebersamaan itu hilang begitu saja karena masing-masing asyik dengan kesibukannya. Saat benar-benar bisa duduk bersama pun kehangatan ruang bicara keluarga menjadi dingin karena istri dan anak-anaknya lebih suka membicarakan kegiatannya bersama teman-temannya. Sementara, temannya teman saya berusaha keras tidak membawa soal pekerjaan ke dalam ruang bicara keluarga.

Sampai satu waktu, temannya teman saya itu pernah melontarkan perkataan bahwa kalau boleh ia ingin Tuhan mengembalikan hidupnya seperti ketika masih merangkak membuka usaha bengkel sepeda motor. Kehidupan di mana semesta kebahagiaan menaungi di sela segala kekurangan. Ia merindukan kegembiraan yang membuncah di tengah ruang sempit di kontrakan tempat mereka tinggal ketika istri dan anak-anak mengetahui ayahnya mendapat rejeki, meskipun tak seberapa. Ia merindukan keceriaan anak-anak ketika ayahnya dapat membelikan sepatu atau baju baru meski harganya murah. Ia merindukan senyum dan sambutan bahagia istri dan anak-anaknya ketika sore sepulang kerja ia membawakan bungkusan nasi dan lauk sederhana untuk dimakan bersama. Ia merindukan wajah cerah istrinya ketika membagi-bagi nasi dan lauk itu dengan bersahaja. Ia merindukan hening doa bersama yang terucap sepenuh sungguh sesaat sebelum mereka makan bersama. Temannya teman saya merasa bahwa kebahagiaan nan sederhana di antara segala kekurangan itu justru sekarang sirna.

Teman saya menceritakan kisah temannya dengan menitikkan air mata sambil bersyukur dan sekaligus tersadarkan untuk senantiasa berbahagia. Dirinya merasa terharu atas cerita temannya meski saya tahu bukan hanya itu sebabnya. Sebelum air matanya mengalir kemana-mana , saya merogoh saku celana dan mengeluarkan 2 lembar uang seribuan hasil pinjam tetangga, “kalau begitu, mari kita bahagia!!”, kata saya kepadanya. Teman saya tersenyum segera, “ya, mari bahagia!”, katanya. Segera saja kami berdua berboncengan sepeda menuju angkringan karena sesungguhnya hari itu saya dan teman saya sama sekali belum makan dan “nasi kucing” pasti akan membuat kami bahagia. Ya, mari bahagia !!



Eko Ompong

12 comments: