Suatu malam pada minggu ketiga bulan Januari 2019, aku mendengarkan nurani berbicara sendirian sampai aku jatuh tertidur. Keesokan harinya, apa yang semalam dikatakan oleh nurani itu seperti berdiam dalam pikiranku, tak hendak beranjak. Aku gelisah, dan kegelisahan ini sungguh mengganggu waktu-waktuku sepanjang hari itu dan hari-hari selanjutnya, terutama sekali ketika semestinya pikiranku aku istirahatkan, atau pikiranku itu aku bawa ke sebuah studio musik, mengajaknya bermain ke masa-masa lalu yang menyenangkan…. Oh terbayang alangkah bahagia dan syahdunya pikiranku ketika aku menyanyikan A Whiter Shade of Pale, Autumn Leaves, Crazy, The Way It Used to Be, Strangers in the Night, dan masih banyak lagi….
Jadi, apa betul pikiranku menjadi tidak bahagia karena munculnya rasa gelisah sebagai akibat dari apa yang telah dikatakan oleh nurani? Aku jadi teringat percakapan dengan Eko temanku beberapa hari terakhir ini dan tulisannya di blog tentang pikiran dan kegelisahan. Katanya, seseorang yang sedang memiliki kegelisahan akan selalu cemas dan berada dalam situasi tak menentu. Jika begitu, apa yang aku cemaskan?
Aku jadi mengingat apa yang dikatakan oleh nurani beberapa malam lalu: aku ingin sekali mengajak teman-teman pengajar memerdekakan diri dari harap-harap cemas tentang proyek atau program yang direncanakan oleh lembaga pada tahun 2019 ini. Misalnya, oh…widyaiswara hanya mengajar sedikit tahun ini, oh… banyak program yang dirancang bukan untuk widyaiswara, dst. Belenggu-belenggu semacam ini jelas menempatkan diri kita sebagai seorang pekerja yang menunggu turunnya surat tugas dari atasan, atau menanti untuk diperintahkan mengerjakan sesuatu dengan imbalan upah tertentu, atau menerima saja tugas yang sesungguhnya tidak pas atau tidak sesuai untuk kita tapi berjasa dalam menggemukkan dompet kita, atau mengerjakan perintah dengan keterpaksaan yang menyiksa, dsb. Jika itu semua menjadi sumber kecemasanku, apakah itu terjadi karena secara de facto, hal itu memang sudah menjadi warisan pikiran widyaiswara di tempatku bekerja selama 27 tahun ini? Inilah kecemasan atau kegelisahanku yang pertama.
Lalu, menurut nurani, aku juga selalu dilanda gelisah ketika mengamati sebuah tulisan yang maunya dikelaskan sebagai tulisan “ilmiah”, tapi dituliskan bukan karena dorongan aktualisasi diri penulisnya melalui sebuah proses untuk meningkatkan kemampuannya, melainkan karena dorongan personal yang diwarnai oleh semacam beban, keterikatan, belenggu, dan ambisi pencapaian secara kuantitatif, kaitannya dengan misalnya berakrobat dalam pencapaian angka kredit, kecepatan dalam meraih kepangkatan dan golongan, upaya pembuktian kemampuan dan kapasitas diri yang melebihi orang-orang yang posisinya setara atau di atasnya secara formal, dan sebagainya. Hasil tulisannya secara kuantitas kuat, cepat dikerjakan, tetapi secara kualitas lemah, misalnya tidak ada kesinambungan dan benang merah antara kalimat-kalimat bagian pembuka (yang notabene bukan pikiran penulis, tapi kutipan) dengan inti atau isi tulisannya sendiri. Isi tulisan lepas dari bagian pembuka, terlihat mencari-cari, mencocok-cocokkan, tidak punya pesan dan nyawa, menggunakan istilah-istilah sulit yang dipaksakan. Ah, mudah-mudahan ini bukan warisan pikiran seperti kegelisahanku yang pertama di atas.
Kegelisahanku yang ketiga, adalah sepinya respon atau tanggapan ketika masalah yang masuk di grup media sosial adalah masalah yang mengajak “membongkar” atau “memproduksi pikiran” (meminjam istilah Eko, temanku berdiskusi dalam banyak hal). Panggung mendadak sepi ditinggalkan penontonnya. Tapi jika masalah itu adalah masalah renyah, maka riuh rendahlah respon penonton. Jadi, ternyata masalah-masalah yang mengajak memproduksi pikiran adalah masalah yang salah masuk di forum itu. Promosi pemikiran tidak akan pernah memperoleh tempatnya di sana. Ya, aku harus menerima fakta kegelisahanku yang ini.
Terganggunya pikiranku --karena kegelisahan-kegelisahan berdiam di dalamnya—pupus oleh pernyataan Eko dalam blog-nya, bahwa di balik kegelisahan itu ada keinginan. Lalu, menurutnya, kegelisahan menjadi keniscayaan bagi insan berilmu pengetahuan. Wow, ini menggelembungkan hatiku. Berarti nuraniku berjasa terhadap produksi kegelisahan pikiranku.
“Kita sebenarnya bisa bikin blog untuk menampung tulisan teman-teman,” tulis Eko.
Soalnya, apa banyak ya yang punya niat menulis?
“Kita akomodasi golongan teman-teman yang ingin berproses, yang bukan instan atau lewat jalan pintas. Lambat tidak masalah. Format bisa apa saja, yang penting adalah adanya “pesan” yang ingin disampaikan, itu dituliskan.”
Pikiranku tiba-tiba berpendar. Ini keinginanku! Rasa senang itu ternyata sederhana munculnya.
“Kita seringkali terkungkung oleh format penulisan. Belum-belum format ini yang lebih dulu kita cemaskan. Pikiran jadi blocking. Lalu, jadi malu dan takut mencoba menulis…”
Merdekakan diri dari belenggu-belenggu itu. Kemerdekaan pikiran memicu produktivitas.
Jadi kita akan punya blog sebagai forum tempat berproses?
Well, ini menarik! (bagi yang tertarik).
“Kita punya widyaiswara yang bisa bikin blog sekaligus mengelolanya, mas Rohmat.”
Dalam perjalanannya, ini media untuk saling belajar dan sharing. Bukankah begitu?
“Sangat bisa. Intinya buat belajar bersama. Siapa saja boleh menulis apa saja. Bahkan, yang merasa tidak bisa menulis, juga bisa menuliskan tentang ketidakbisaannya itu. Berapa kalimat pun, boleh. Silakan saja.”
Sehari kemudian….
Nurani kembali menggelitik pikiranku: Kalau kita punya jatidiri melalui kemampuan kita sebagai widyaiswara, aku pikir kita tidak perlu cemas tidak mendapat pekerjaan, tidak bisa dapat angka kredit, tidak ada pemasukan, tidak dapat surat tugas, proyek, atau apalah seputar ini…
“Tadi ada respon, intinya widyaiswara harus upgrade diri (kompetensi), yang dimulai dari produksi pikiran dalam bentuk tulisan (konsep). Kuantitas dan kualitas baca harus tinggi untuk membongkar pikiran dari status pekerja menuju konseptor (orang yang menghasilkan pemikiran). “
Ah, betapa aku punya keinginan untuk beramai-ramai memproduksi pikiran dalam bentuk tulisan sebagai korps widyaiswara.
“Tulisan tentunya dihasilkan bukan dengan cara mencuri punya orang lain lalu menggabungkan curian satu dengan curian lainnya dan merasa itu cukup berkualitas dan layak diangka-kreditkan atau dipublikasikan. Ketika terbayang harus memproduksi pikiran sendiri, tiba-tiba lupa di mana pikirannya selama ini diletakkan….”
Haha. Aku terbahak-bahak sendiri dan suka sekali dengan lelucon pada kalimat terakhir di atas. Rasa senang itu ternyata sederhana munculnya.
“Syarat untuk membaca dan menulis itu harus ikhlas merasa diri tidak tahu, sehingga otak memproduksi pertanyaan dan ini menggerakkan semua indera untuk mencari tahu.”
Definitely!
Teman-teman widyaiswara, besok hari Kamis pukul 09.00 di studio teater, kami mengajak teman-teman yang berminat, bisa, ikhlas, dan mau, untuk diskusi dan sharing, bertema “membongkar pikiran dari pekerja menjadi penulis (konseptor)” sebagai langkah latihan kita dalam memproduksi pikran sendiri.
Kelihatannya “gaya” dan agak ambisius, berlebihan. Tapi, tak apalah. Bebaskan diri dari anti kritik. Semua persoalan pasti ada pro dan kontra. Kita tak bisa meminta semua orang untuk senada dengan kita. Silakan jika tidak suka.
Dan terjadilah pertemuan kami itu, 13 orang widyaiswara, dalam suasana merdeka dan ikhlas. Ikhlas memberi dan menerima. Eko yang memandu. Teman-teman widyaiswara yang datang tercatat mbak Widarwati, mas Fajar, mas Rohmat sebagai pengelola blog yang direncanakan, mas Aristono, mas Bambang, mas Heru, mbak Tri Suerni, mbak Wiwin, mbak Herlina, pak Marsudi yang kebetulan berulangtahun, mbak Ratmi, dan aku.
Dari diskusi dan berbagi pada pertemuan ini, aku merasakan tiga kegelisahanku di awal tulisan ini setidaknya terjawab. Kami mau saling belajar dan berproses untuk menulis secara alami dan mandiri untuk memproduksi dan membongkar pikiran sendiri tanpa terbelenggu oleh beban surat tugas atau status sebagai pekerja. Angka kredit dan lain-lain adalah dampak. Diharapkan, dengan kemerdekaan yang diciptakan bersama melalui media blog, kami akan riuh rendah memberi respon atau tanggapan tulisan teman lain, dengan tujuan utama saling belajar. Tiba-tiba saja rasa senang yang sederhana itu kembali memenuhi pikiranku. Dan aku yakin, kegelisahan baru akan terus muncul lagi selama aku tahu persis di mana pikiranku aku letakkan. Ayo, siapa gabung lagi?
Yogyakarta, 25 Januari 2019.
Sangat memotivasi..mantaap.
ReplyDelete.
Terimakasih banyak.
Deletemenuliskan pengalaman sendiri selalu menarik, karena di dalam setiap pengalaman, jika kita mau memaknainya pasti ada pesan/hikmah menyertai
ReplyDeleteBener 😊
DeleteBener 😊
DeleteSetidaknya menarik buat diri kita sendiri, lalu itu menjadi pendorong utama untuk membaginya ke orang lain.
DeleteTerimakasih mb Rin, tulisan ini menghilangkan kegelisahan yang ada padaku...siip.
ReplyDeleteTapi jangan biarkan kegelisahan itu hilang, ganti dengan kegelisahan berikutnya mbak... (Ini mbak Erni ya??
DeleteSaya sangat berterimakasih khususnya pada mb Rin dan m Eko yang telah menggugah pikiran dan sedikit memberi harapan terhadap rasa was was saya dalam mengisi kegiatan yang manfaat di sisa waktu saya yang tinggal sebentar lagi bekerja di lembaga tercinta ini. Pertemuan kemarin memotivasi saya untuk menulis. sekali lagi mtr nwn.
ReplyDeleteIni siapa ya...nadanya seperti mbak Wiwin ya? Saya juga terimakasih, semangat teman2 di ruang teater kemarin sudah mendorong kami untuk mewujudkan blog ini, blog kita bersama untuk belajar dan berbagi. Kami tunggu tulisannya ya mbak...
DeleteHai, mbak Un. Terimakasih.
ReplyDeleteI'll visit your storage then...
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSaya sedang berpikir tetapi belum tahu apa yang saya pikirkan.
ReplyDeleteTuliskan saja ketidaktahuan itu dan mengapa tidak tahu, kapan pernah tahu dan apa yang pernah diketahui pada saat itu dan mengapa sekarang tidak tahu. Tulis saja, maka kita akan segera tahu apa yang tidak kita ketahui itu.
DeleteCoba komen, semoga kali ini identitas saya ada.
ReplyDeleteCoba lagi
ReplyDelete