Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Friday, February 15, 2019
BAYANGAN ZAMAN
---Purwadi
[seri Workshop Menulis Bebas]
Anak kecil itu bernama Fadli. Usianya sekitar sepuluh tahun. Kepalanya gundul, tetapi sudah tumbuh tipis rambutnya. Matanya menatap tajam, bibirnya sedikit tersenyum. Raut wajahnya memancarkan kejenuhan, kebingungan, dan kebimbangan di dalam hatinya. Sepertinya ia tidak mempunyai gairah hidup, ia tidak mempunyai semangat untuk bermain, bercanda, dan bergembira dengan teman sebayanya. Yah .... ia kehilangan keinginan untuk sekedar bermain dengan teman-temannya.
Aku jadi teringat masa kecil seusia dia. Kala itu, belum ada listrik, belum ada televisi, belum ada hp, belum banyak motor, apalagi mobil. Namun anak-anak merasa senang. Anak-anak belum mempunyai beban hidup. Dalam hatinya hanya ada kesenangan, keceriaan, dan kebahagiaan. Bermain bersama teman, dengan berkelompok-kelompok. Apalagi saat bulan purnama. Bermain di halaman yang luas di malam hari adalah sangat menyenangkan. Permainan anak waktu itu bermacam-macam. Ada jamuran, jethungan, gobag sodor, engklek, cublak-cublak suweng, gajah-gajah, ngundha layangan, dan masih banyak lagi macamnya. Ada dakon, benthik, sunda-manda, nekeran, umbul gambar, lumpatan, kubuk kecik sawo, bekelan, dan lain sebagainya. Permainan-permainan itu sebenarnya banyak mengajarkan tentang nasihat-nasihat untuk membentuk budi pekerti yang luhur, mengajarkan kekompakan, kegotong-royongan, bantu membantu, kejujuran, dan hal-hal lain yang penuh makna. Sungguh membahagiakan bayangan zaman pada saat itu.
Berbeda dengan anak kecil itu. Anak kecil jaman sekarang. Ia kesulitan mencari teman. Walaupun hidup di lingkungan perumahan yang sangat padat penduduknya, namun ia merasa sebatang kara. Lingkungan yang padat itu ternyata sepi, karena semuanya melakukan kegiatannya masing-masing. Tetangga kanan kiri tidak saling kenal, jika kenal, bukan persahabatan yang diperoleh, namun saingan gaya hidup yang terjadi. Lalu... di manakah anak-anak seusianya?, mengapa mereka tidak bermain bersama?. Mereka tidak saling kenal, tidak berkelompok, karena memang tempatnya sudah tidak ada. Tidak ada halaman luas, tidak ada tempat yang nyaman untuk bermain. Mau bermain di jalanan, jelas tidak bisa, sebab jalanan kampung telah menjadi tempat parkir mobil, karena yang mempunyai mobil tidak mempunyai garasi.
Berkembangnya zaman, sebuah desa menjadi perkotaan, sudah tidak bisa dibendung lagi. Tanah pekarangan yang luas telah menjadi tempat kos-kosan, lapangan-lapangan telah menjadi hotel, hingga tidak ada lagi tempat untuk bermain bagi anak-anak. Fadli hanya menyendiri. Menyendiri dalam kerumunan orang. Hidupnya serasa sunyi. Sunyi dalam keramaian.
Pada Teriknya Siang
---Rin
Surtantini
[seri Workshop Menulis Bebas]
Seorang anak laki-laki berambut lurus
menatapku dengan pandang penuh harap ketika sepeda motor yang aku kendarai
berhenti di sebuah perempatan. Terik matahari kurasakan memperlama lampu
lalulintas yang sedang berwarna merah. Di tangan anak laki-laki itu ada
beberapa lembar koran yang belum terjual. Ia tidak menawarkan korannya
kepadaku. Mungkin ia tahu aku tak berminat sama sekali membeli koran. Dan itu
benar adanya, karena setiap pagi pak Koran selalu mengantarkan “Kompas” yang menjadi
langgananku. Jadi untuk apa aku membeli koran lain?
Hari makin siang, menjelang pukul duabelas.
Anak ini masih saja menatapku. Tiba-tiba aku disergap rasa yang tidak kupahami.
Baiklah, kuisyaratkan kepadanya bahwa aku ingin membeli korannya. Dia berjalan
mendekat. Kukatakan aku ingin membeli “Kedaulatan Rakyat” dan “Tribune Jogja”.
Selembar uang sepuluh ribuan kusodorkan kepadanya. Ia mencari kembaliannya di
antara segenggam uang kertas yang disimpan di saku celananya.
“Ambil saja,” kataku.
Sepasang matanya yang tadi penuh harap
menatapku kembali. Aku tak bertanya apa pun kepadanya. Sebelum ia sempat
mengucapkan terimakasih, lampu hijau menyala. Sempat kulihat ia melangkah
mundur menghindari lajunya kendaraan lain, dan aku pun berlalu. Laju motor
kuperlambat, karena aku disergap rasa haru yang menusuk. Anak laki-laki penjual
koran tadi seusia dengan anakku. Apakah ia bersekolah seperti anakku? Jika ia
bersekolah, apakah ia memang harus menjual koran sepulang dari sekolah? Jika ia
putus sekolah, apakah ia sesungguhnya tidak menginginkan itu terjadi? Apakah ia
bisa jajan dan membeli makanan layak seperti anakku? Oh, mengapa tadi hanya
sepuluh ribu yang aku berikan kepadanya? Mengapa aku begitu kikir padahal aku
dapat melakukan lebih dari itu untuknya?
Bayangan bajunya yang lusuh dan mata
kanak-kanaknya yang lugu mengganggu hatiku. Aku tak mengenalnya. Entah sampai
kapan ia harus selalu menatap penuh harap kepada setiap orang yang berhenti di
perempatan jalan selagi lampu lalulintas berwarna merah. Entah berapa jumlah
koran yang dapat dijualnya setiap hari. Entah berapa banyak orang yang tak
peduli seperti aku ini…
Studio
Teater
14
Februari 2019.
Mata yang Berkilat
---Rin
Surtantini
[seri Workshop Menulis Bebas]
Jarak antara desanya dengan desa tempat mbah dukun yang biasa membantu
persalinan cukup jauh. Darsam merasa tak sanggup untuk membantu istrinya
melahirkan anaknya yang ketiga. Ini di luar kebiasaan ketika anak pertama dan
kedua lahir. Semua terjadi pada siang hari sehingga mbah dukun sudah ada ketika saat melahirkan itu tiba. Tetapi kali
ini, sang istri mengeluhkan rasa sakitnya sejak matahari tenggelam. Darsam
berharap dan berdoa malam ini istrinya masih bisa bertahan sampai besok pagi
sebelum mbah dukun tiba. Akan tetapi,
erangan sang istri memaksa Darsam harus segera ke desa seberang, memanggil
segera mbah dukun, saat ini juga,
ketika semua orang sudah terlelap dalam malam yang senyap.
Darsam berjalan sempoyongan di tengah
malam. Ia menembus hutan demi mencapai desa sebelum pagi menjelang. Ia harus
tiba pada waktunya atau nyawa istrinya melayang demi sebuah pertaruhan. Ketika
nafasnya mulai tersengal, Darsam menghentikan langkah kakinya. Tepat di tengah
antara dua pohon bayan, sepasang mata mengamatinya. Darsam terperangah.
Sepasang mata yang berkilat itu tiba-tiba
mendekatinya. Darahnya berdesir. Semakin jelas bentuk tubuhnya. Seekor serigala
hutan menghalangi langkahnya di antara batang-batang pohon yang tinggi dan
hitam. Tak mungkin lagi ia berbalik, apalagi berlari menghindar dengan nafasnya
yang tersengal dan kakinya yang tiba-tiba terasa lemas. Digosoknya matanya
untuk memastikan sepasang mata berkilat itu milik siapa. Sebelum matanya
terbuka kembali, tiba-tiba serigala itu telah menyerangnya dengan sekali
lompatan. Dan Darsam pun terkulai, terjatuh di atas lantai. Selimut dari tempat
tidur pun menutupi tubuhnya.
Studio
Teater
14
Februari 2019.
Lelaki dan Kesendirian
---Rin
Surtantini
[seri Workshop Menulis Bebas]
Selalu terbangun menjelang adzan subuh
berkumandang dari masjid di ujung gang, ia selalu mengucapkan terimakasih
kepada Dia yang telah memberinya selembar hari lagi pada setiap pagi yang membangunkannya.
Ia lalu berjalan ke tepi sumur, mengambil air wudlu, mengenakan sarung dan
kopiah, untuk kemudian berjalan kaki menuju masjid dalam gelap dan sunyi yang
masih menggantung. Angin pagi menyentuh kuduknya, mengalirkan sejuk pada
sekujur tubuh.
Sepulang dari masjid, dimasaknya air di
tungku dan dibuatnya secangkir kopi kegemarannya untuk dihirup menemani sekerat
roti bakar atau dua butir telur mata sapi. Diberinya makan seekor ayam jago sebagai
satu-satunya peliharaan di halaman belakang rumah. Dihidupkannya televisi di
ruang tengah sambil dibersihkannya rumah. Disapunya juga halaman depan rumah
yang dipenuhi guguran kamboja Bali, sambil menunggu pak Koran yang setia sejak
jaman dahulu mengantarkan Kompas ke rumahnya bersamaan dengan saat naiknya
matahari.
Sendiri dan sepi? Semua orang mengatakan
begitu, tetapi tidak baginya. Pada usianya yang menjelang empat puluh lima
tahun ini, ia merasa hidupnya semakin ramai dengan banyak hal yang membuatnya
sibuk sepanjang hari, bahkan kadang-kadang ia merasa semua hal itu tidak bisa
diselesaikannya hanya dalam waktu duapuluh empat jam saja. Ia perlu banyak
waktu untuk membaca apa-apa yang menjadi minatnya, menuliskan banyak hal yang
dipikirkan dan dirasakannya, berbagi ilmu dan apa yang diketahuinya sebagai
tenaga pengajar, menyanyikan lagu yang disukainya dan mendengarkan musik,
menggambar, berkebun, memasak … ah, alangkah menyenangkan melakukan semuanya
itu sepanjang dan setiap hari!
Di penghujung hari, lelaki itu duduk di
kursi goyang di teras rumah memandangi langit. Ia melepaskan penat dan
menikmati kesendiriannya. Secangkir kopi dan alunan lagu-lagu nostalgia
menemani. Ketika langit mulai gelap, ia terlelap. Daun-daun gugur ditiup angin,
dingin dan kering.
Studio
Teater
14
Februari 2019.
Thursday, February 14, 2019
Berjumpa
---Suratmi Ekakapti
[seri Wokshop Menulis Bebas]
Pesawat mendarat dengan mulus dan tepat jadwal. Aku turun dengan tanpa tergesa karena waktu masih longgar. Pagi itu gerimis turun seolah olah menyambut kedatanganku di kota yang telah lama aku tinggalkan. “hei, rupanya kau ya?”,sentak seseorang sambil menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh dengan agak kaget, ternyata dibelakangku sudah berdiri cewek cantik berkulit kuning langsat tersenyum senyum manis sekali. Rambutnya yang dikuncir jadi satu bergerak kekiri dan kekanan.
Pelan pelan kenangan terakhir aku bersamanya muncul lagi. Kenangan saat aku dan dia melihat pertunjukan di sebuah pura termegah milik salah satu orang terpandang di desanya. Aku masih ingat banyak pohon Cempaka yang berbunga lebat di pura itu sehingga pura itu menjadi sangat wangi. Kami berdua duduk berdampingan melihat pertunjukan tari kolosal di pura yang indah dan wangi. Sambil sesekali diselingi dengan komentar pada para penari bagaikan seorang kritikus kenamaan. Kami mengomentari gerakannya, riasnya, kostumnya semua yang kami lihat seakan ada saja yang bisa kami kritik. Setelah kami saling menyadari kami tertawa bersama...
Sore itu kami lalui berdua di pura indah nan wangi sampai senja.
Hei.. kok melamun ?? untuk kedua kalinya sahabatku menyentakkanku, menyadarkan aku dari lamunan dan mengajak berjalan bersama meninggalkan bandara internasional ngurah rai yang sibuk.
[seri Wokshop Menulis Bebas]
Pesawat mendarat dengan mulus dan tepat jadwal. Aku turun dengan tanpa tergesa karena waktu masih longgar. Pagi itu gerimis turun seolah olah menyambut kedatanganku di kota yang telah lama aku tinggalkan. “hei, rupanya kau ya?”,sentak seseorang sambil menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh dengan agak kaget, ternyata dibelakangku sudah berdiri cewek cantik berkulit kuning langsat tersenyum senyum manis sekali. Rambutnya yang dikuncir jadi satu bergerak kekiri dan kekanan.
Pelan pelan kenangan terakhir aku bersamanya muncul lagi. Kenangan saat aku dan dia melihat pertunjukan di sebuah pura termegah milik salah satu orang terpandang di desanya. Aku masih ingat banyak pohon Cempaka yang berbunga lebat di pura itu sehingga pura itu menjadi sangat wangi. Kami berdua duduk berdampingan melihat pertunjukan tari kolosal di pura yang indah dan wangi. Sambil sesekali diselingi dengan komentar pada para penari bagaikan seorang kritikus kenamaan. Kami mengomentari gerakannya, riasnya, kostumnya semua yang kami lihat seakan ada saja yang bisa kami kritik. Setelah kami saling menyadari kami tertawa bersama...
Sore itu kami lalui berdua di pura indah nan wangi sampai senja.
Hei.. kok melamun ?? untuk kedua kalinya sahabatku menyentakkanku, menyadarkan aku dari lamunan dan mengajak berjalan bersama meninggalkan bandara internasional ngurah rai yang sibuk.
PERTEMUAN TERAKHIR
[seri Workshop Menulis Bebas]
Pesawat mendarat dengan mulus dan tepat jadwal. Aku turun dengan tanpa tergesa karena waktuku masih longgar. Pagi itu gerimis turun seolah menyambut kedatanganku di kota yang telah lama aku tnggalkan.
“Hei....rupanya kau ya ?”, sentak seseorang sambil menepuk pundakku dari belakang. Aku terkejut dan menoleh kebelakang. Menatap wajahnya kuat-kuat sebelum mengasungkan tangan menjabatnya erat. “ Ya ampun...Woddy ? “ sapaku penuh telisik karena antara benar dan tidak atas tebakanku.
“ Ya...aku Woddy. Kau masih ingat aku John ?” jawabnya dengan tetap menggenggam erat tanganku.
Woddy adalah temanku semasa Sekolah Dasar dahulu, aku tidak tahu mengapa kami bisa bertemu di bandara ini.
“kok kamu ada disini, Woddy. Menjemput siapa ?” tanyaku sambil berjalan menuju pintu keluar.
”Aku bekerja sebagai sopir taksi bandara”jawabnya sambil menunjukkan kartu nama yang tergantung di saku baju sebelah kirinya.
“Kamu dari mana ? kemana saja kamu selama ini ? belasan tahun aku disini, tapi baru kali ini kita ketemu ?” cecarnya dengan penuh rasa ingin tahu. Memang, lebih dua puluh tahun aku meninggalkan kota ini mengikuti orang tua yang kerja sebagai pekerja tambang batubara di Kalimantan. Entah mengapa akhir-akhir ini aku ingin sekali menengok kampung halamanku, walaupun sudah tidak punya keluarga lagi di kota ini.
“Sejak lulus SD aku meninggalkan kota ini ke Kalimantan dan bahkan sampai kerja dan berkeluarga di sana” Jawabku memenuhi rasa ingin tahunya.
“Ow....pantesan.” celetuknya setelah mendengar penjelasanku.
“Sekarang sudah jadi orang hebat ya....? terus lupa dengan kampung halaman” ledeknya
“Tidak juga....buktinya, aku sampai disini sekarang ?” sanggahku dengan cepat. Muncul keinginan untuk berkumpul kembali dengan teman-teman semasa kecil dulu. Mungkin kali ini menjadi waktu yang tepat untuk reunian. Aku bisa minta Woddy untuk mengundang kembali teman-teman yang masih tinggal satu kota atau setidaknya yang berdekatan dengan kotaku ini.
“Woddy, bisa nggak kita kumpulkan teman-teman kembali yah...semacam reunian gitu?”
“Sangat bisa, wow...ide yang bagus...walau tidak semuanya. Karena beberapa tinggal di Jakarta dan ada beberapa juga yang sudah meninggal” Jawab Woddy penuh semangat.
“Sudah meninggal ? siapa ?” tanyaku ketika mendengar beberapa temanku sudah meninggal.
“ Kristianto, Sri Rahayu dan Andi. Mereka sudah menghadap Tuhan beberapa tahun yang lalu.” Jelas Woddy dengan wajah terlihat sedih.
“Oh...semoga mendapat tempat yang layak disisi Tuhan. Tuhan tidak memberinya umur panjang ya ? tapi mungkin Tuhan punya rencana lain” sambungku.
“BTW...kapan kita bisa kumpul ?” tanyaku
“Secepatnya...atau sekarang aku hantar kau kemudian sekalian aku minta nomer kontakmu. Besuk aku kasih kabar secepatnya” Jawab Woddy.
“Dengan senang hati, Woddy.” Aku melangkah bersama Woddy menuju mobil yang akan menghantarku ke rumah Om Hardi kerabatku satu-satunya yang masih tinggal di kota ini.
Seminggu berlalu tetapi aku belum mendapat khabar dari Woddy. Aku penasaran mencoba menghubungi nomor Woddy. Siapa tahu karena kesibukan, Woddy belum sempat memberikan kabar ke aku.
“Halo...Woddy ?“ sapaku setelah terdengar tanda teleponku diangkat dari seberang.
“Halo...benar ini nomornya bapak Woddy” jawab orang dari seberang. Aku bingung karena bukan suara Woddy yang aku dengar tetapi seorang anak kira-kira belasan tahun.
“Oh...maaf dik, bisa bicara dengan pak Woddy ?” tanyaku cepat. Tetapi senyap...tak kudengar jawaban dari seberang. Aku coba amati hp-ku jangan-jangan koneksi terputus. Tetapi ternyata masih terhubung.
“Halo....”
“Ya Halo....”
Kudengar jawaban dari seberang tetapi kali ini dengan lambat sekali seperti ada nada kesedihan.
“ Maaf Om...bapak sudah meninggal”
“Hah.....Woddy Prasetyo meninggal ? minggu lalu dia baru saja menghantar aku pulang kerumah.” Tanyaku tidak percaya.
“Benar Om....Bapak meninggal kecelakaan sepulang dari bandara menghantar penumpang seminggu yang lalu”
Jleb.....kakiku lemas...tulang-tulangku terasa dilolosi. Mataku kabur, maka secepatnya aku mencari tempat duduk sebelum semuanya terjadi. Woddy yang minggu kemarin baru saja bertemu aku setelah sekian puluh tahun berpisah dan dengan senang hati menghantarku pulang dari bandara. Yang sepanjang perjalanan itu penuh gelak canda dan rencana reuni bersama, ternyata hanya sebatas rencana. Sepulang dari mengantar aku saat itu, Woddy mengalami kecelakaan akibat strokenya kambuh dan menabrak pembatas jalan langsung koma dan meninggal.
Selamat jalan Woddy...kita harus menangguhkan rencana reunian dengan teman-teman. Mungkin sekarang justru kamu bisa reunian dengan Kris, Sri dan Andi di sana.
Klidon, 14 Februari 2019
“Hei....rupanya kau ya ?”, sentak seseorang sambil menepuk pundakku dari belakang. Aku terkejut dan menoleh kebelakang. Menatap wajahnya kuat-kuat sebelum mengasungkan tangan menjabatnya erat. “ Ya ampun...Woddy ? “ sapaku penuh telisik karena antara benar dan tidak atas tebakanku.
“ Ya...aku Woddy. Kau masih ingat aku John ?” jawabnya dengan tetap menggenggam erat tanganku.
Woddy adalah temanku semasa Sekolah Dasar dahulu, aku tidak tahu mengapa kami bisa bertemu di bandara ini.
“kok kamu ada disini, Woddy. Menjemput siapa ?” tanyaku sambil berjalan menuju pintu keluar.
”Aku bekerja sebagai sopir taksi bandara”jawabnya sambil menunjukkan kartu nama yang tergantung di saku baju sebelah kirinya.
“Kamu dari mana ? kemana saja kamu selama ini ? belasan tahun aku disini, tapi baru kali ini kita ketemu ?” cecarnya dengan penuh rasa ingin tahu. Memang, lebih dua puluh tahun aku meninggalkan kota ini mengikuti orang tua yang kerja sebagai pekerja tambang batubara di Kalimantan. Entah mengapa akhir-akhir ini aku ingin sekali menengok kampung halamanku, walaupun sudah tidak punya keluarga lagi di kota ini.
“Sejak lulus SD aku meninggalkan kota ini ke Kalimantan dan bahkan sampai kerja dan berkeluarga di sana” Jawabku memenuhi rasa ingin tahunya.
“Ow....pantesan.” celetuknya setelah mendengar penjelasanku.
“Sekarang sudah jadi orang hebat ya....? terus lupa dengan kampung halaman” ledeknya
“Tidak juga....buktinya, aku sampai disini sekarang ?” sanggahku dengan cepat. Muncul keinginan untuk berkumpul kembali dengan teman-teman semasa kecil dulu. Mungkin kali ini menjadi waktu yang tepat untuk reunian. Aku bisa minta Woddy untuk mengundang kembali teman-teman yang masih tinggal satu kota atau setidaknya yang berdekatan dengan kotaku ini.
“Woddy, bisa nggak kita kumpulkan teman-teman kembali yah...semacam reunian gitu?”
“Sangat bisa, wow...ide yang bagus...walau tidak semuanya. Karena beberapa tinggal di Jakarta dan ada beberapa juga yang sudah meninggal” Jawab Woddy penuh semangat.
“Sudah meninggal ? siapa ?” tanyaku ketika mendengar beberapa temanku sudah meninggal.
“ Kristianto, Sri Rahayu dan Andi. Mereka sudah menghadap Tuhan beberapa tahun yang lalu.” Jelas Woddy dengan wajah terlihat sedih.
“Oh...semoga mendapat tempat yang layak disisi Tuhan. Tuhan tidak memberinya umur panjang ya ? tapi mungkin Tuhan punya rencana lain” sambungku.
“BTW...kapan kita bisa kumpul ?” tanyaku
“Secepatnya...atau sekarang aku hantar kau kemudian sekalian aku minta nomer kontakmu. Besuk aku kasih kabar secepatnya” Jawab Woddy.
“Dengan senang hati, Woddy.” Aku melangkah bersama Woddy menuju mobil yang akan menghantarku ke rumah Om Hardi kerabatku satu-satunya yang masih tinggal di kota ini.
Seminggu berlalu tetapi aku belum mendapat khabar dari Woddy. Aku penasaran mencoba menghubungi nomor Woddy. Siapa tahu karena kesibukan, Woddy belum sempat memberikan kabar ke aku.
“Halo...Woddy ?“ sapaku setelah terdengar tanda teleponku diangkat dari seberang.
“Halo...benar ini nomornya bapak Woddy” jawab orang dari seberang. Aku bingung karena bukan suara Woddy yang aku dengar tetapi seorang anak kira-kira belasan tahun.
“Oh...maaf dik, bisa bicara dengan pak Woddy ?” tanyaku cepat. Tetapi senyap...tak kudengar jawaban dari seberang. Aku coba amati hp-ku jangan-jangan koneksi terputus. Tetapi ternyata masih terhubung.
“Halo....”
“Ya Halo....”
Kudengar jawaban dari seberang tetapi kali ini dengan lambat sekali seperti ada nada kesedihan.
“ Maaf Om...bapak sudah meninggal”
“Hah.....Woddy Prasetyo meninggal ? minggu lalu dia baru saja menghantar aku pulang kerumah.” Tanyaku tidak percaya.
“Benar Om....Bapak meninggal kecelakaan sepulang dari bandara menghantar penumpang seminggu yang lalu”
Jleb.....kakiku lemas...tulang-tulangku terasa dilolosi. Mataku kabur, maka secepatnya aku mencari tempat duduk sebelum semuanya terjadi. Woddy yang minggu kemarin baru saja bertemu aku setelah sekian puluh tahun berpisah dan dengan senang hati menghantarku pulang dari bandara. Yang sepanjang perjalanan itu penuh gelak canda dan rencana reuni bersama, ternyata hanya sebatas rencana. Sepulang dari mengantar aku saat itu, Woddy mengalami kecelakaan akibat strokenya kambuh dan menabrak pembatas jalan langsung koma dan meninggal.
Selamat jalan Woddy...kita harus menangguhkan rencana reunian dengan teman-teman. Mungkin sekarang justru kamu bisa reunian dengan Kris, Sri dan Andi di sana.
Klidon, 14 Februari 2019
Sahabatku
---Tri Suerni
[seri Workshop Menulis Bebas]
Pesawat mendarat dengan mulus dan tepat jadwal. Aku turun dengan tanpa tergesa karena waktuku masih longgar. Pagi itu gerimis turun seolah-olah menyambut kedatanganku di kota yang telah lama aku tinggalkan. “Hei, rupanya kau ya?’, sentak seseorang sambil menepuk pundakku dari belakang.
Aku sangat kaget melihat teman lamaku sudah berada di situ. “Kok kamu sudah ada di sini?’, kataku dengan gembira. Dia adalah sahabatku sejak kecil selama aku masih tinggal di desa kelahiranku. Kini aku sudah bekerja di Jakarta, di kantor Telkom. Rupanya ketika aku memberi kabar orang tuaku, bahwa aku akan pulang kampung dalam libur cutiku ini, ibuku telah memberi tahu pada sahabatku yang masih tinggal di desa, akan kedatanganku dari Jakarta. Aku sangat terharu , karena persahabatanku dengannya sampai saat ini masih terjalin kuat.
Tak lama kami kemudian kamipun pulang menuju rumahku. Dalam perjalanan tak henti-hentinya kami saling bercerita dan saling berbagi pengalaman, seakan-akan waktu hanya sekejap saja sudah sampai rumah. Aku lega sudah sampai rumah dengan selamat dan bertemu dengan keluarga dan sahabatku.
Hal yang sangat menarik dari cerita sahabatku adalah sahabatku juga sudah berhasil menjadi seorang insinyur pertanian, namun dia tidak tertarik untuk keluar dari kampung halamannya, karena ingin mengabdikan ilmu yang telah diperolehnya di desa kelahirannya, yaitu ingin membangun dan memajukan desanya menjadi yang terbaik di kotanya.
Pesawat mendarat dengan mulus dan tepat jadwal. Aku turun dengan tanpa tergesa karena waktuku masih longgar. Pagi itu gerimis turun seolah-olah menyambut kedatanganku di kota yang telah lama aku tinggalkan. “Hei, rupanya kau ya?’, sentak seseorang sambil menepuk pundakku dari belakang.
Aku sangat kaget melihat teman lamaku sudah berada di situ. “Kok kamu sudah ada di sini?’, kataku dengan gembira. Dia adalah sahabatku sejak kecil selama aku masih tinggal di desa kelahiranku. Kini aku sudah bekerja di Jakarta, di kantor Telkom. Rupanya ketika aku memberi kabar orang tuaku, bahwa aku akan pulang kampung dalam libur cutiku ini, ibuku telah memberi tahu pada sahabatku yang masih tinggal di desa, akan kedatanganku dari Jakarta. Aku sangat terharu , karena persahabatanku dengannya sampai saat ini masih terjalin kuat.
Tak lama kami kemudian kamipun pulang menuju rumahku. Dalam perjalanan tak henti-hentinya kami saling bercerita dan saling berbagi pengalaman, seakan-akan waktu hanya sekejap saja sudah sampai rumah. Aku lega sudah sampai rumah dengan selamat dan bertemu dengan keluarga dan sahabatku.
Hal yang sangat menarik dari cerita sahabatku adalah sahabatku juga sudah berhasil menjadi seorang insinyur pertanian, namun dia tidak tertarik untuk keluar dari kampung halamannya, karena ingin mengabdikan ilmu yang telah diperolehnya di desa kelahirannya, yaitu ingin membangun dan memajukan desanya menjadi yang terbaik di kotanya.
TAK KUDUGA
---Wiwin Suhastari
[seri Workshop Menulis Bebas]
Pesawat mendarat dengan mulus dan tepat jadwal. Aku turun dengan tanpa tergesa karena waktuku masih longgar. Pagi itu gerimis turun seolah-olah menyambut kedatanganku di kota yang telah lama aku tinggalkan. ‘Hei, rupanya kau ya?”, sentak seseorang sambil menepuk pundakku dari belakang.
Hei juga jawabku. Meski dalam hati saya bertanya-tanya dan mencoba mengingat-ingat siapakah pria tua yang sudah berani menepuk pundakku tadi. Seperti sudah kenal lama dia tahu namaku dan bahkan nama lengkapku, dia dengan akrab menanyakan khabar tentang diriku, tentang keluargaku dan keluarga besarku.
Beberapa saat selama kami mengobrol, saya masih belum ingat juga siapa pria tua itu. Ingin bertanya langsung saya malu karena dia kenal dengan diriku dan keluargaku, akhirnya dengan susah payah saya berusaha mengingat. Akhirnya dari materi obrolan ingatlah aku bahwa dia adalah temen SMP ku yang tinggal sedesa yang dulu memang sempat naksir aku.
Waaaah jadi teringat masa indah saat duduk di sekolah. Akhirnya kami ngobroh asyik bernostalgia berdua.
Wiwin Suhastari
Pulang
[penulis tamu dari Universiti Sains Malaysia (USM), seri Workshop Menulis Bebas]
Pesawat mendarat dengan mulus dan tepat jadwal. Aku turun dengan tanpa tergesa kerana
waktuku masih longgar. Pagi itu gerimis turun seolah-olah menyambut kedatanganku di kota yang telah lama aku tinggalkan. “Hei, rupanya kau ya?”, sentak seseorang sambil menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh kebelakang dengan kebingungan kerana tiada siapa yang bakal menjemputku di sini. Dia langsung memeluk tubuhku seolah sudah mengenalku rapat sambil dia berkata “akhirnya kau pulang juga”. Aku hanya mampu tersenyum namum raut wajahku tidak mampu untuk menipu bahawa aku tidak mengenali dirinya. Lalu tanpa segan aku bertanya “maaf, anda ini siapa?”. Lalu dia menjawab “iya aku tahu kamu pasti tidak mengingatimu tapi tidak apa-apa asalkan aku ingat pada tanah airmu. Aku ini pemandu grab yang telah menghantar kamu ke sini dulu.” Setelah itu aku langsung mengingat kembali kisah silamku yang telah menyebabkan aku meninggalkan kota ini dan juga meninggalkan orang tuaku. Dia berkata lagi, “dahulunya kamu sewaktu di mobil mukanya seperti mau memakan orang. Kamu sangat marah pada ketika itu.
Tapi aku senang melihat kamu sekarang. Kamu punya wajah yang tenang seperti orang-orangnya di sini.” Canda lelaki tersebut. Lalu aku berkata, “iya, bapak sudah ku ceritakan semuanya sewaktu dalam perjalanan ke sini. Aku memang sangat galau ketika itu. Siapa yang tidak kecewa jika orang tua sendiri menghalau anaknya sendiri tanpa usul periksa terlebih dahulu. 1 tahun selepas aku meninggalkan kota ini, ternyata aku terbukti tidak bersalah. Bukan aku yang mencuri uang orang tuaku tetapi abangku sendiri kerana memerlukan wang untuk bermain judi. Abangku ditangkap sewaktu cuba untuk memecah masuk rumah orang. Setelah itu, dia mengaku kepada orang tuaku bahawa bukan aku yang melakukan kecurian tetapi dirinya sendiri. Adikku yang menelefon dan menceritakan segalnya ke aku. Terima kasih bapak yang sudah memberi nasehat dahulunya supaya sentiasa berpikir setiap tindakan atau keputusan yang dilakukan.
Pelukan bapak dulu adalah pelukan aku yang terakhir. Haha.” Ketawaku. Ternyata dia masih lagi membawa grab. Aku menaiki mobilnya lalu menuju ke kuburan ibuku yang tidak sempat aku lihatnya buat kali terakhir.
Tua yang Bermakna
---Winda Unika
[penulis tamu, seri Workshop Menulis Bebas]
Pak Marta tak pernah mengeluh dengan hidup yang dijalaninya. Usianya memang tak muda
lagi, dia pun kini hidup sendiri di sebuah rumah yang sudah tua dan usang. Istri pak Marta sudah meninggal dua tahun yang lalu karena sakit parah. Tetapi semua itu tidak membuat dia menyerah dan putus asa. Dia terus bersyukur dan tak pernah mau bergantung kepada anak-anak nya yang sudah mempunyai keluarga masing-masing. Dia lebih memilih hidup sendiri dan membuat mainan untuk anak-anak yang terbuat dari bambu untuk dijual.
Terik matahari yang membakar tubuh tak menghalangi pak Marta untuk mencari sesuap nasi demi melanjutkan hidupnya. Dia terus berjalan menyusuri gang-gang kecil dan menawarkan dagangannya kepada anak-anak. Dia berjualan mainan bambu yang dibuat sendiri dengan tangannya dengan senang dan ceria. Tak jarang dia bertingkah lucu layaknya anak kecil saat mempraktekkan mainan tersebut kepada anak-anak sehingga mereka tertawa dengan gembira. Sesekali pak marta berhenti untuk melepaskan dahaga dan meminum sebotol air yang sudah di persiapkannya dari rumah lalu melanjutkan perjalanannya menuju tempat-tempat lain yang masih sanggup ditempuhnya.
Di penghujung hari, pak Marta duduk di kursi goyang di teras rumah memandangi langit. Ia
melepaskan penat dan menikmati kesendiriannya. Secangkir kopi dan alunan lagu-lagu nostalgia menemani. Ketika langit mulai gelap, ia terlelap. Daun-daun gugur ditiup angin, dingin dan kencang.
[penulis tamu, seri Workshop Menulis Bebas]
Pak Marta tak pernah mengeluh dengan hidup yang dijalaninya. Usianya memang tak muda
lagi, dia pun kini hidup sendiri di sebuah rumah yang sudah tua dan usang. Istri pak Marta sudah meninggal dua tahun yang lalu karena sakit parah. Tetapi semua itu tidak membuat dia menyerah dan putus asa. Dia terus bersyukur dan tak pernah mau bergantung kepada anak-anak nya yang sudah mempunyai keluarga masing-masing. Dia lebih memilih hidup sendiri dan membuat mainan untuk anak-anak yang terbuat dari bambu untuk dijual.
Terik matahari yang membakar tubuh tak menghalangi pak Marta untuk mencari sesuap nasi demi melanjutkan hidupnya. Dia terus berjalan menyusuri gang-gang kecil dan menawarkan dagangannya kepada anak-anak. Dia berjualan mainan bambu yang dibuat sendiri dengan tangannya dengan senang dan ceria. Tak jarang dia bertingkah lucu layaknya anak kecil saat mempraktekkan mainan tersebut kepada anak-anak sehingga mereka tertawa dengan gembira. Sesekali pak marta berhenti untuk melepaskan dahaga dan meminum sebotol air yang sudah di persiapkannya dari rumah lalu melanjutkan perjalanannya menuju tempat-tempat lain yang masih sanggup ditempuhnya.
Di penghujung hari, pak Marta duduk di kursi goyang di teras rumah memandangi langit. Ia
melepaskan penat dan menikmati kesendiriannya. Secangkir kopi dan alunan lagu-lagu nostalgia menemani. Ketika langit mulai gelap, ia terlelap. Daun-daun gugur ditiup angin, dingin dan kencang.
ALUNAN MUSIK
[seri Workshop Menulis Bebas]
Kenanganku di waktu kecil antara kesedihan dan kekagumanku padamu ,bapak dan ibuku ....
Hampir disetiap ditengah malam, bapakku diruang kerjanya sambil mendengarkan musik dengan piringan hitam nya yang ditemani oleh ibuku setelah menidurkan ku dengan saudara2ku . Mereka berdua diruang kerja bapak menyelesaikan pekerjaan gambar2 konstruksi dan ibu tiduran di sofa sambil sesekali mengajak bicara bapak , kadang kulihat tengah malam aku terbangun dan melihat bapakku masih bekerja dan sampai aku bangun tidur pagi akan kesekolah beliau masih tetap diruang kerja .
Aku berfikir seperti itukah demi untuk membiayai hidup kami beliau harus berkerja tanpa mengenal waktu , dan sepulang sekolah sering kami dikejutkan dengan berita2 yang menyenamgkan ,bapak menang tender nanti malam makan di restoran faforit , anak anak harus tidur siang dan belajar sore hari hingga magrib.
Itulah kenangan kenangan yang indah saat kudengar musik dan lagu itu, kini tinggal kenangan engakau berdua telah tiada , kau tinggalkan harta dan ilmu yang sangat bermanfaat, dan kami anak anak hanya dapat mengirimkan Doa dan merawt masjid yg kau tinggalkan sebagai amalanmu , semoga bapak ibuku tenang disisi Allah , Aamiiin.
Widarwati
Kenanganku di waktu kecil antara kesedihan dan kekagumanku padamu ,bapak dan ibuku ....
Hampir disetiap ditengah malam, bapakku diruang kerjanya sambil mendengarkan musik dengan piringan hitam nya yang ditemani oleh ibuku setelah menidurkan ku dengan saudara2ku . Mereka berdua diruang kerja bapak menyelesaikan pekerjaan gambar2 konstruksi dan ibu tiduran di sofa sambil sesekali mengajak bicara bapak , kadang kulihat tengah malam aku terbangun dan melihat bapakku masih bekerja dan sampai aku bangun tidur pagi akan kesekolah beliau masih tetap diruang kerja .
Aku berfikir seperti itukah demi untuk membiayai hidup kami beliau harus berkerja tanpa mengenal waktu , dan sepulang sekolah sering kami dikejutkan dengan berita2 yang menyenamgkan ,bapak menang tender nanti malam makan di restoran faforit , anak anak harus tidur siang dan belajar sore hari hingga magrib.
Itulah kenangan kenangan yang indah saat kudengar musik dan lagu itu, kini tinggal kenangan engakau berdua telah tiada , kau tinggalkan harta dan ilmu yang sangat bermanfaat, dan kami anak anak hanya dapat mengirimkan Doa dan merawt masjid yg kau tinggalkan sebagai amalanmu , semoga bapak ibuku tenang disisi Allah , Aamiiin.
Widarwati
Tio Ciu
--Heru Subagyo
[seri Workshop Menulis Bebas]
Tio hidup hanya dengan neneknya di pondok yang sangat sederhana. Pondok tersebut jauh dari rumah-rumah yang lain. Tanah yang ditempati pondok tersebut juga tanah adat yang digunakan untuk warga masyarakat serta pondoknya hanya bantuan dari warga masyarakat dengan cara kerja bakti. Dengan bertempat jauh dari rumah-rumah warga masyarakat yang lain, nenek tersebut menemukan keheningan lingkungan. Jauh dari polusi, baik polusi suara maupun polusi udara. Nenek tersebut juga dengan bebas menanam bermacam-macam tanaman di sekitar pondoknya.
Seperti biasa, setiap pagi nenek tersebut jalan pagi di sekitar pondoknya dengan embun pagi masih menempel di rerumputan. Ada juga bunyi air pada sungai kecil yang menampar bebatuan yang menimbulkan bunyi gemicik. Terkadang juga masih terdengar bunyi serangga yang tidak diketahui, apakah itu bunyi kakinya, atau bunyi sayapnya yang bergesekan. Hidup damai dan tenang tersebut sedikit terusik dengan ditemukan bayi yang terbungkus kain Panjang di bawah pohon mangga di pojok halaman rumah nenek tersebut.
Tanpa pikir panjang, nenek tersebut mengambil bungkusan bayi yang sudah mulai memucat tersebut dan dibawah masuk ke dalam pondok. Bungkusan bayi hanya ditaruh di atas amben terus ditinggal ke rumah kepala dukuh. Nenek berjalan sempoyongan karena takut dengan yang ditemukan. Menembus dinginnya hawa sawah serta angin yang berhembus sedikit kencang. Pikiran berkecamuk bagaimana dia melaporkan bungkusan bayi tersebut, dia takut dituduh yang tidak-tidak oleh warga masyarakat dan pak dukuh. Dia takut juga kalau nanti ditanya oleh polisi karena kasus bungkusan bayi tersebut. Dalam kegelisahan dan kecamuk pikirannya, nenek tersebut sampai di rumah pak dukuh. Dengan terbata-bata dia menceritakan kejadian yang dialamai pada pagi itu.
Pak dukuh langsung mengumpulkan warga masyarakat dan bercerita masalah yang dihadapi oleh nenek. Warga masyarakat saling bertanya-tanya, anak siapa kira-kira yang ditaruh di bawah pohon mangga di halaman pondok nenek. Suara bergemuruh karena karena suara-suara yang tidak jelas dari memulut-mulut warga. Gemuruh suara tersebut semakin kencang sampai pak dukuh menghentikan dengan berdehem. Pak dukuh bertanya, “siapa yang merasa kehilangan anggota keluarga”, kemudian tidak ada yang merespon dengan pertanyaan tersebut. Pak dukuh kemudian bertanya lagi, “bagaimana baiknya anak tersebut?”. Semua warga hanya saling melihat satu dengan yang lain, bingung, tidak juga muncul kata-kata dan terdiam bengong. Pak dukuh bertanya sekali lagi, “bagaimana baiknya anak tersebut? Dan pertanyaan itu diulang lagi dan lagi. Sampai nenek tersebut angkat bicara, “kalau boleh dan diijinkan oleh warga semua, boleh kah anak tersebut saya rawat sampai ada yang mencari anggota keluarganya?. Semua warga setuju dan bubar.
Tio, itulah nama yang diberikan oleh nenek pada bayi tersebut. Tio hidup dipinggir hutan hanya dengan neneknya. Warga masyaraat sekitar pondok sudah mengetahui bahwa Tio bukanlah cucu dari nenek tersebut, tapi bagi orang yang tidak mengetahui atau warga baru di lingkungan tersebut pasti bertanya-tanya siapakah Tio itu sebenarnya. Kalau dilihat sekilas pasti orang bertanya-tanya, siapakah sebenarnya Tio tersebut. Struktur wajah Tio dan nenek sangat berbeda, garis mata Tio dan neneknya juga sangat berbeda, dan Tio lebih banyak diam seolah tidak mengerti dengan bahasa di lingkungan tersebut. Ini adalah aneh, karena Tio sejak bayi ada di lingkungan tersebut. Kalau dipiir secara logika pastilah Tio menguasai bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar tersebut.
Tio tidak senang bersosialisasi dengan teman-temannya di sekitar pondok nenek tersebut, hal ini mungkin karena pondok nenek itu jauh dari rumah-rumah yang lain. Kebiasaan Tio sehari-hari adalah hidup menyendiri serta pergi ke hutan belakang rumah. Ada satu kebiasaan Tio ketika sedang menyendiri di hutan belakang pondok nenek, yaitu memanjat pohon mangga di hutan yang berbuah asam. Dia memanjat dan tiduran pada salah satu dahan yang cukup besar. Sekali waktu dia memetik buah mangga yang asam tersebut untuk dimakan. Tapi yang palling sering adalah untuk melempar burung-burung yang menemaninya.
Ketika ditanya atau disama oleh orang -orang yang lewat pohon mangga tersebut, dia hanya bilang “Biarkan”....”Biarkan”...”bebas Saja”..atau bahkan “Silahkan”. Terkadang pertanyaan dan jawaban yang diberikan tidak nyambung. Dia hanya patuh pada neneknya.
Masyarakat semakin lama semakin bertanya-tanya, karena perbedaan warna kulit antara nenek dan Tio. Perbedaan garis wajah antara Tio dan neneknya. Perbedaan garis mata antara Tio dan neneknya. Pertanyaan-pertanyaan itu dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembbunyi oleh warga masyarakat, sementara nenek bungkam tanpa ada informasi yang jelas.
Tio hidup hanya dengan neneknya di pondok yang sangat sederhana. Pondok tersebut jauh dari rumah-rumah yang lain. Tanah yang ditempati pondok tersebut juga tanah adat yang digunakan untuk warga masyarakat serta pondoknya hanya bantuan dari warga masyarakat dengan cara kerja bakti. Dengan bertempat jauh dari rumah-rumah warga masyarakat yang lain, nenek tersebut menemukan keheningan lingkungan. Jauh dari polusi, baik polusi suara maupun polusi udara. Nenek tersebut juga dengan bebas menanam bermacam-macam tanaman di sekitar pondoknya.
Seperti biasa, setiap pagi nenek tersebut jalan pagi di sekitar pondoknya dengan embun pagi masih menempel di rerumputan. Ada juga bunyi air pada sungai kecil yang menampar bebatuan yang menimbulkan bunyi gemicik. Terkadang juga masih terdengar bunyi serangga yang tidak diketahui, apakah itu bunyi kakinya, atau bunyi sayapnya yang bergesekan. Hidup damai dan tenang tersebut sedikit terusik dengan ditemukan bayi yang terbungkus kain Panjang di bawah pohon mangga di pojok halaman rumah nenek tersebut.
Tanpa pikir panjang, nenek tersebut mengambil bungkusan bayi yang sudah mulai memucat tersebut dan dibawah masuk ke dalam pondok. Bungkusan bayi hanya ditaruh di atas amben terus ditinggal ke rumah kepala dukuh. Nenek berjalan sempoyongan karena takut dengan yang ditemukan. Menembus dinginnya hawa sawah serta angin yang berhembus sedikit kencang. Pikiran berkecamuk bagaimana dia melaporkan bungkusan bayi tersebut, dia takut dituduh yang tidak-tidak oleh warga masyarakat dan pak dukuh. Dia takut juga kalau nanti ditanya oleh polisi karena kasus bungkusan bayi tersebut. Dalam kegelisahan dan kecamuk pikirannya, nenek tersebut sampai di rumah pak dukuh. Dengan terbata-bata dia menceritakan kejadian yang dialamai pada pagi itu.
Pak dukuh langsung mengumpulkan warga masyarakat dan bercerita masalah yang dihadapi oleh nenek. Warga masyarakat saling bertanya-tanya, anak siapa kira-kira yang ditaruh di bawah pohon mangga di halaman pondok nenek. Suara bergemuruh karena karena suara-suara yang tidak jelas dari memulut-mulut warga. Gemuruh suara tersebut semakin kencang sampai pak dukuh menghentikan dengan berdehem. Pak dukuh bertanya, “siapa yang merasa kehilangan anggota keluarga”, kemudian tidak ada yang merespon dengan pertanyaan tersebut. Pak dukuh kemudian bertanya lagi, “bagaimana baiknya anak tersebut?”. Semua warga hanya saling melihat satu dengan yang lain, bingung, tidak juga muncul kata-kata dan terdiam bengong. Pak dukuh bertanya sekali lagi, “bagaimana baiknya anak tersebut? Dan pertanyaan itu diulang lagi dan lagi. Sampai nenek tersebut angkat bicara, “kalau boleh dan diijinkan oleh warga semua, boleh kah anak tersebut saya rawat sampai ada yang mencari anggota keluarganya?. Semua warga setuju dan bubar.
Tio, itulah nama yang diberikan oleh nenek pada bayi tersebut. Tio hidup dipinggir hutan hanya dengan neneknya. Warga masyaraat sekitar pondok sudah mengetahui bahwa Tio bukanlah cucu dari nenek tersebut, tapi bagi orang yang tidak mengetahui atau warga baru di lingkungan tersebut pasti bertanya-tanya siapakah Tio itu sebenarnya. Kalau dilihat sekilas pasti orang bertanya-tanya, siapakah sebenarnya Tio tersebut. Struktur wajah Tio dan nenek sangat berbeda, garis mata Tio dan neneknya juga sangat berbeda, dan Tio lebih banyak diam seolah tidak mengerti dengan bahasa di lingkungan tersebut. Ini adalah aneh, karena Tio sejak bayi ada di lingkungan tersebut. Kalau dipiir secara logika pastilah Tio menguasai bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar tersebut.
Tio tidak senang bersosialisasi dengan teman-temannya di sekitar pondok nenek tersebut, hal ini mungkin karena pondok nenek itu jauh dari rumah-rumah yang lain. Kebiasaan Tio sehari-hari adalah hidup menyendiri serta pergi ke hutan belakang rumah. Ada satu kebiasaan Tio ketika sedang menyendiri di hutan belakang pondok nenek, yaitu memanjat pohon mangga di hutan yang berbuah asam. Dia memanjat dan tiduran pada salah satu dahan yang cukup besar. Sekali waktu dia memetik buah mangga yang asam tersebut untuk dimakan. Tapi yang palling sering adalah untuk melempar burung-burung yang menemaninya.
Ketika ditanya atau disama oleh orang -orang yang lewat pohon mangga tersebut, dia hanya bilang “Biarkan”....”Biarkan”...”bebas Saja”..atau bahkan “Silahkan”. Terkadang pertanyaan dan jawaban yang diberikan tidak nyambung. Dia hanya patuh pada neneknya.
Masyarakat semakin lama semakin bertanya-tanya, karena perbedaan warna kulit antara nenek dan Tio. Perbedaan garis wajah antara Tio dan neneknya. Perbedaan garis mata antara Tio dan neneknya. Pertanyaan-pertanyaan itu dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembbunyi oleh warga masyarakat, sementara nenek bungkam tanpa ada informasi yang jelas.
Menulis Cerpen - Sri Herlina
---Sri Herlina
[seri Workshop Menulis Bebas]
Awal:
Pesawat mendarat dengan mulus dan tepat jadwal. Aku turun dengan tanpa tergesa, karena waktuku masih longgar. Pagi itu gerimis turun seolah-olah menyambut kedatangankudi kota yang telah lama aku tinggalkan. “Hai, rupanya kau ya?, sentak seseorang sambil menepuk pundakku dari belakang.
Lanjutannya:
Eh kau namanya siapa ? tanyaku, aku lupa tetapi raut wajahnya saya tidak lupa, dia bilang kau “Lina kan? ” dia menyebut namaku, dan “saya Tri K yang dulu teman sebangu waktu SMA”, oh ya saya pangling karena badanmu tetap ramping seperti dahulu dan tambah cantik tinggi. Dia mengajakku duduk dibangku sekitar bandara yang dikanan kirinya banyak keindahan bunga Anggrek.
Ngomong ngomong kamu kerja dimana? tanyaku, di bilang saya dimaskapai penerbangan sebagai pramugari yang sebentar lagi akan pensiun. Alhamdulillah kita ketemu di sini, dia bertanya lagi : kamu mau kemana? Saya mau tugas ke Kota lain yang harus ganti pesawat berikutnya, tapi kita masih nunggu 1 jam. Ayo kita beli minuman teh hangat terlebih dulu untuk persahabatan yang telah 30 tahun tidak ketemu. Akhirnya saya mau karena waktuku masih panjang untuk melanjutkan penerbangan berikutnya. Dia bercerita sekarang kita punya Group dengan teman-teman SMA, woow bagus itu. Untuk acara pertama kita membuat kaos dengan tulisan reuni SMA dan dibagikan ke teman-teman kita yang tinggal di kota yang berbeda. Karena belum ada kesempatan untuk bertemu bersama, kita biasanya bertemu waktu mudik hari Raya Idul Fitri. Karena kotaku dengan teman SMA tidak sama saya belum pernah ketemu. Akhirnya membuat kesepakatan “Baiklah semua berkirim ukuran kaos dan kaos dibuat dengan tanpa iuran karena ada teman kita yang jadi donatur”. Kita berpisah dan tetap berkomunikasi melalui wa. Setelah kaos jadi masing-masing foto dengan bergaya danhasil foto dikirim ke admin dalam Group. Setelah foto terkumpul ada yang mengeditnya, sehingga kita seolah-olah telah melakukan reuni dengan menggunakan kaos yang sama dan foto bersama, dan banyak yang berkomentar masing- masing ini namanya siapa dan kerja dimana? Karena sudah 30 tahun lamanya belum pernah ketemu. Sekian....
Wa’alaikum salam Wr. Wb. Sampai jumpa kapan waktunya Insya Allah kalau kita diberi umur panjang dan kesehatan kita akan bertemu kembali, Aamiin.
Herlina.
[seri Workshop Menulis Bebas]
Awal:
Pesawat mendarat dengan mulus dan tepat jadwal. Aku turun dengan tanpa tergesa, karena waktuku masih longgar. Pagi itu gerimis turun seolah-olah menyambut kedatangankudi kota yang telah lama aku tinggalkan. “Hai, rupanya kau ya?, sentak seseorang sambil menepuk pundakku dari belakang.
Lanjutannya:
Eh kau namanya siapa ? tanyaku, aku lupa tetapi raut wajahnya saya tidak lupa, dia bilang kau “Lina kan? ” dia menyebut namaku, dan “saya Tri K yang dulu teman sebangu waktu SMA”, oh ya saya pangling karena badanmu tetap ramping seperti dahulu dan tambah cantik tinggi. Dia mengajakku duduk dibangku sekitar bandara yang dikanan kirinya banyak keindahan bunga Anggrek.
Ngomong ngomong kamu kerja dimana? tanyaku, di bilang saya dimaskapai penerbangan sebagai pramugari yang sebentar lagi akan pensiun. Alhamdulillah kita ketemu di sini, dia bertanya lagi : kamu mau kemana? Saya mau tugas ke Kota lain yang harus ganti pesawat berikutnya, tapi kita masih nunggu 1 jam. Ayo kita beli minuman teh hangat terlebih dulu untuk persahabatan yang telah 30 tahun tidak ketemu. Akhirnya saya mau karena waktuku masih panjang untuk melanjutkan penerbangan berikutnya. Dia bercerita sekarang kita punya Group dengan teman-teman SMA, woow bagus itu. Untuk acara pertama kita membuat kaos dengan tulisan reuni SMA dan dibagikan ke teman-teman kita yang tinggal di kota yang berbeda. Karena belum ada kesempatan untuk bertemu bersama, kita biasanya bertemu waktu mudik hari Raya Idul Fitri. Karena kotaku dengan teman SMA tidak sama saya belum pernah ketemu. Akhirnya membuat kesepakatan “Baiklah semua berkirim ukuran kaos dan kaos dibuat dengan tanpa iuran karena ada teman kita yang jadi donatur”. Kita berpisah dan tetap berkomunikasi melalui wa. Setelah kaos jadi masing-masing foto dengan bergaya danhasil foto dikirim ke admin dalam Group. Setelah foto terkumpul ada yang mengeditnya, sehingga kita seolah-olah telah melakukan reuni dengan menggunakan kaos yang sama dan foto bersama, dan banyak yang berkomentar masing- masing ini namanya siapa dan kerja dimana? Karena sudah 30 tahun lamanya belum pernah ketemu. Sekian....
Wa’alaikum salam Wr. Wb. Sampai jumpa kapan waktunya Insya Allah kalau kita diberi umur panjang dan kesehatan kita akan bertemu kembali, Aamiin.
Herlina.
Keluarga Darsam
---Marsudi
[seri Workshop Menulis Bebas]
Darsam dan keluarga tinggal di pedesaan desa yang terpencil jauh dari perkotaan, Darsam memiliki 3 anggota keluarga yang terdiri dari 2 anak dan istri, sementara anak-anak Darsan masih kecil-kecil.
Sebenarnya Darsam adalah seorang pekerja keras tidak suka bermalas-malasan namun demikian hasil jerih payah pekerjaanya belum bisa mencukupi untuk kebetuhan keluarga sehari-hari.
Istri Darsan yang seharusnya merawat suami dan anak-anak malah kondisinya sakit yang segera harus mendapat pertolongan untuk kesembuhanya.
Darsan berupaya keras untuk mencari obat untuk istrinya dan harus meninggalkan rumah pergi kekota yang jauh dari tempat tingganya.
Darsam berjalan sempoyongan di tengah malam, ia menembus hutan demi mencapai desa sebelum pagi menjelang. Ia harus tiba pada waktunya atau nyawa istrinya melayang demi sebuah pertarunhan. Ketika nafasnya mulai tersengal, Darsam menghentikan langkah kakinya. Tepat ditengah antara dua pohon bayan, sepasang mata mengamatinya.
Darsan bertemu seorang dermawan dengan usaha Darsan yang tak kenal lelah dan atas bantuan seseorang dermawan tersebut yang dijumppai waktu perjalan mencari obat sehingga Darsan dapat sampai dirumah kembali dengan tepat waktu usaha tersebut membuahkan hasil sesuai dengan harapan Darsan yaitu kesembuhan istrinya. Harapan darsan terkabul istrinya sembuh dan sehat kembali hidup bahagia sejah tera Bersama istri anak dan keluarga tercinta.
Yogyakarta, 14 Februari 2019, ttd. Marsudi
Darsam dan keluarga tinggal di pedesaan desa yang terpencil jauh dari perkotaan, Darsam memiliki 3 anggota keluarga yang terdiri dari 2 anak dan istri, sementara anak-anak Darsan masih kecil-kecil.
Sebenarnya Darsam adalah seorang pekerja keras tidak suka bermalas-malasan namun demikian hasil jerih payah pekerjaanya belum bisa mencukupi untuk kebetuhan keluarga sehari-hari.
Istri Darsan yang seharusnya merawat suami dan anak-anak malah kondisinya sakit yang segera harus mendapat pertolongan untuk kesembuhanya.
Darsan berupaya keras untuk mencari obat untuk istrinya dan harus meninggalkan rumah pergi kekota yang jauh dari tempat tingganya.
Darsam berjalan sempoyongan di tengah malam, ia menembus hutan demi mencapai desa sebelum pagi menjelang. Ia harus tiba pada waktunya atau nyawa istrinya melayang demi sebuah pertarunhan. Ketika nafasnya mulai tersengal, Darsam menghentikan langkah kakinya. Tepat ditengah antara dua pohon bayan, sepasang mata mengamatinya.
Darsan bertemu seorang dermawan dengan usaha Darsan yang tak kenal lelah dan atas bantuan seseorang dermawan tersebut yang dijumppai waktu perjalan mencari obat sehingga Darsan dapat sampai dirumah kembali dengan tepat waktu usaha tersebut membuahkan hasil sesuai dengan harapan Darsan yaitu kesembuhan istrinya. Harapan darsan terkabul istrinya sembuh dan sehat kembali hidup bahagia sejah tera Bersama istri anak dan keluarga tercinta.
Yogyakarta, 14 Februari 2019, ttd. Marsudi
Hutang
---Digna Sjamsiar
[seri Workshop Menulis Bebas]
“Darsam, cepat kau pulang! Istrimu dalam bahaya!” Teriak Kusdi pada Darsam. Darsam tak menghiraukannya, dia terlampau asyik berjudi dan minum arak dengan teman-temannya. Dengan penuh marah Kusdi menghampiri Darsam dan menarik bajunya seraya berkata, “Dasar kamu laki-laki tak bertanggung jawab! Kau biarkan istrimu bertaruh nyawa karena ulahmu! Pulang kau! Selamatkan nyawa istrimu sebelum kau menyesalinya!” Melihat Kusdi yang marah dan geram seperti itu Darsam akhirnya beranjak dari arena perjudian itu.
Darsam berjalan sempoyongan ditengah malam. Ia menembus hutan demi hutan mencapai desa sebelum pagi menjelang. Ia harus tiba pada waktunya atau nyawa istrinya melayang demi sebuah pertaruhan. Ketika nafasnya mulai tersengal, Darsam menghentikan langkah kakinya. Tepat di tengan antara dua pohon bayan, sepasang mata mengamatinya.
Darsam hanya mampu berdiri, dia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal bahaya yang mengintainya, pengaruh arak yang memenuhi tubuhnya telah merusak pikirannya. Dilanjutkannya langkah kakinya menuju rumahnya dengan tubuh menggigil ketakutan. Nasib berkata lain, ketika Darsam akan keluar dari hutan menakutkan itu, sepasang panah beracun menghunus dadanya. Nyawa Darsam melayang. Dia tak sempat melihat untuk terakhir kalinya wajah istrinya yang terbujur kaku di dipan reyot milik mereka berdua. Hutang yang tak pernah terbayarkan telah merenggut nyawa pasangan suami istri tersebut.
“Darsam, cepat kau pulang! Istrimu dalam bahaya!” Teriak Kusdi pada Darsam. Darsam tak menghiraukannya, dia terlampau asyik berjudi dan minum arak dengan teman-temannya. Dengan penuh marah Kusdi menghampiri Darsam dan menarik bajunya seraya berkata, “Dasar kamu laki-laki tak bertanggung jawab! Kau biarkan istrimu bertaruh nyawa karena ulahmu! Pulang kau! Selamatkan nyawa istrimu sebelum kau menyesalinya!” Melihat Kusdi yang marah dan geram seperti itu Darsam akhirnya beranjak dari arena perjudian itu.
Darsam berjalan sempoyongan ditengah malam. Ia menembus hutan demi hutan mencapai desa sebelum pagi menjelang. Ia harus tiba pada waktunya atau nyawa istrinya melayang demi sebuah pertaruhan. Ketika nafasnya mulai tersengal, Darsam menghentikan langkah kakinya. Tepat di tengan antara dua pohon bayan, sepasang mata mengamatinya.
Darsam hanya mampu berdiri, dia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal bahaya yang mengintainya, pengaruh arak yang memenuhi tubuhnya telah merusak pikirannya. Dilanjutkannya langkah kakinya menuju rumahnya dengan tubuh menggigil ketakutan. Nasib berkata lain, ketika Darsam akan keluar dari hutan menakutkan itu, sepasang panah beracun menghunus dadanya. Nyawa Darsam melayang. Dia tak sempat melihat untuk terakhir kalinya wajah istrinya yang terbujur kaku di dipan reyot milik mereka berdua. Hutang yang tak pernah terbayarkan telah merenggut nyawa pasangan suami istri tersebut.
Subscribe to:
Posts (Atom)