Showing posts with label Fakta. Show all posts
Showing posts with label Fakta. Show all posts

Monday, April 4, 2022

Berbasis Data: Antara Fakta dan Data?

--Rin Surtantini

 


Sebuah kesadaran

Mengikuti sebuah ToT mengenai isu profil pendidikan selama tiga hari baru-baru ini, membuat saya sedikit terpancing untuk “berpikir”. Sudah sering saya dengan kesadaran penuh tidak tertarik atau meminta ijin mundur dari kegiatan-kegiatan yang secara keyakinan atau prinsip bagi saya adalah kegiatan yang akan membuat saya tertekan, gelisah, merasa menjadi sangat bodoh, menjadi tidak logis, tidak punya dasar atau pegangan, bingung, kuatir, tidak mampu, malu, dan jenis-jenis perasaan negatif lain yang tidak produktif semacam ini. Dengan memutuskan tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan semacam itu, saya justru sering merasakan bahwa perasaan negatif tidak menyerang hati kecil saya, dan saya jadi bisa fokus kepada hal-hal yang menggembirakan diri karena itu berdampak baik bagi mereka yang membutuhkan.

 Kali ini atas dasar surat tugas, dan atas rasa ingin tahu yang muncul karena tidak paham, saya dengan senang hati mengikuti ToT tentang profil pendidikan tersebut. Saya sadar bahwa saya tidak bisa fokus ketika mengikutinya, karena pada saat yang sama saya juga sedang bekerja tentang hal lain secara online, independen, harus fokus, dan mendekati deadline. Saya sadar ini tidak baik: melakukan kegiatan online yang berkaitan dengan nasib orang lain seraya “menyambi” dengan kegiatan yang menyangkut kualitas diri saya sendiri. Tapi hal tidak baik ini tetap saya lakukan juga, dan akibatnya, saya tidak paham sepenuhnya dengan materi ToT yang saya terima….

***

Memahami apa itu data vs. fakta

Rasa ketidakpahaman saya itu memicu saya untuk “berpikir”. Mungkin ini baik bagi saya untuk memahamkan diri sendiri mengenai apapun hal yang dikatakan berbasis data. Kata berbasis “data” itu sendiri justru mengingatkan saya mengenai pemahaman saya tentang apa itu “data” ketika saya sekolah dulu. Data ada yang berjenis kualitatif, ada yang berjenis kuantitatif. Itulah sebabnya ada penelitian kualitatif, dan ada penelitian kuantitatif, sehingga metode atau cara pengumpulan datanya akan berbeda. Demikian pula analisis data dari kedua jenis data ini juga berbeda, sebelum akhirnya dimunculkan kesimpulan dari kedua penelitian tersebut.

Kita sering sulit untuk dapat membedakan antara apa itu “data” dengan apa itu fakta”. Fakta adalah pernyataan tentang sebuah realita, atau tentang sebuah kenyataan. Orang yang menceriterakan suatu kejadian adalah orang yang sedang mengemukakan fakta-fakta, yaitu pernyataan-pernyataan dari dirinya tentang suatu kenyataan atau realita. Misalkan, ada sebuah institusi meraih sertifikat wilayah bebas korupsi, itu adalah sebuah kenyataan. Prestasi ini kemudian dibicarakan oleh banyak orang. Coba perhatikan: pernyataan tentang kenyataan yang sama ini, yaitu peraihan sertifikat wilayah bebas korupsi, dikemukakan atau dihasilkan oleh setiap orang lewat sudut pandangnya masing-masing. Kenyataannya sama, tetapi komentar, pernyataan, ulasan, atau berita yang dihasilkan mengenai fakta yang sama ini sifatnya subyektif“, karena sebuah kenyataan atau realita yang sama dapat saja dikemukakan dengan cara-cara yang berbeda. Dalam konteks ini, wacana yang dihasilkan oleh setiap orang yang memberitakan peraihan sertifikat wilayah bebas korupsi ini tidak akan pernah bisa persis sama. A mengemukakan begitu, B menyatakan begini, dan C mengemukakan begitu dan begini.

Di sisi lain, benarkah “fakta” itu hanya bersifat subyektif? Tentu tidak. Fakta juga dapat disebut “obyektif” ketika pernyataan tentang fakta ini didasarkan pada kenyataan atau realita tertentu. Jika ada pernyataan yang tidak didasarkan pada suatu realita atau kenyataan, maka pernyataan tersebut lemah dan tidak dapat dikatakan sebagai fakta. Pernyataan lemah dan bukan fakta semacam inilah yang kita sebut sebagai sebuah kebohongan, karangan, isapan jempol, hasil imajinasi, khayalan, atau dapat juga sebuah fitnah. Semua pernyataan manusia, baik itu verbal yang bersifat lisan maupun tulis, merupakan tindak tutur. Tindak tutur adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam berkomunikasi menggunakan bahasa verbal. Tindak tutur ini terdiri dari tiga aspek, yaitu perangkat kebahasaan yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, tindakan atau makna yang terdapat di balik perangkat kebahasaan tersebut, dan hasil atau efek dari pernyataan tersebut. Menarik untuk diselidiki ketika seseorang bertindak tutur. Akan diketahui bagaimana ia menyatakan suatu isu secara verbal, apa makna di balik pernyataan tersebut, dan apa efek, hasil, atau pengaruh dari pernyataannya tersebut. Namun, tulisan saya ini tidak akan membahas hal ini.

Kembali ke “data” dan “fakta”. “Fakta” dari uraian di atas dapat dikatakan bersifat subyektif dan sekaligus juga obyektif. Sehubungan dengan ini, pertanyaannya adalah, apakah “fakta” itu adalah “data”? Fakta dapat menjadi data, akan tetapi ingat bahwa “tidak semua fakta dapat menjadi data”. Mengapa? Karena data adalah fakta-fakta yang relevan, yang secara logis berkaitan dengan masalah yang dipersoalkan untuk dijawab. Jadi data harus merupakan fakta-fakta yang telah dipilih atau diseleksi berdasarkan azas relevansi terhadap persoalan atau masalah yang ingin dijawab atau ditemukan solusinya.

 #Tribute saya untuk Prof. Heddy Shri-Ahimsa Putra, guru saya di Fakultas Ilmu Budaya UGM untuk pemberian pemahaman yang kuat mengenai isu “fakta” dan “data” dalam melakukan penelitian.

 

***

 Isu mengenai kegiatan berbasis data

Maka, ketika minggu lalu saya mengikuti ToT penjaminan mutu melalui perencanaan berbasis data, yang berkaitan dengan rapor sekolah dan profil pendidikan, saya merasa bahwa sebagai peserta ToT, saya tidak dapat menjelaskan esensi dari apa yang dimaksud dengan “berbasis data”. Apa yang dimaksud dengan “data” dalam hal ini? Data yang bagaimanakah yang diperoleh dari instrumen pengumpulan data (yang tentunya ada)? Bagaimanakah bentuk instrumennya sehingga kita tahu komponen atau aspek-aspek apa sajakah yang dipakai sebagai alat ukur dalam pemetaan mutu sekolah? Jika dikatakan bahwa data diperoleh dari sekian sumber data yang sangat luas, bagaimanakah pengelolaan data ini pada saat analisisnya, sehingga satuan pendidikan harus menerima saja hasilnya berupa rapor satuan pendidikan?

Dikatakan, bahwa rapor sekolah dan profil pendidikan tersebut valid digunakan sebagai bahan untuk perencanaan karena telah melalui proses simulasi, uji coba, disusun oleh berbagai pakar pendidikan, dan dihasilkan dari pelaksanaan Asesmen Nasional yang sangat masif dan melibatkan seluruh elemen pendidikan yang ada, seperti sekian ratus ribu sekolah, sekian juta guru, dan sekian juta siswa. Asesmen Nasional adalah evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk pemetaan mutu sistem pendidikan pada satuan tingkatan pendidikan dasar dan menengah. Evaluasi tersebut menggunakan instrumen AKM (asesmen kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar).

Sekolah, dalam hal ini, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima “data-data” pada rapor sekolahnya, dan tak punya ruang untuk menyanggah, apapun itu, meskipun ingin sekali menyanggah. Di sini saya berpikir, jangan-jangan ketika sekolah sebetulnya menolak “data-data” yang ditampilkan pada rapor sekolahnya, inilah makna dari bedanya “data” dengan “fakta” yang saya tulis di atas. Misalkan, faktanya benar, bahwa guru menjawab “tidak terlibat” ketika ada indikator pada instrumen yang menanyakan apakah ia terlibat dalam kegiatan tertentu, maka itu akan berpengaruh terhadap nilai pada item tersebut. Sementara, fakta lain yang terjadi di sekolah tersebut adalah bahwa sesungguhnya banyak guru yang terlibat pada kegiatan yang ditanyakan di instrumen, tetapi guru-guru tersebut kebetulan tidak mengisi instrumen. Dan sekian contoh lain mengenai makna “data” dan “fakta” ini, yang secara tidak langsung diungkapkan oleh penerima rapor sekolah tersebut.

Dari sisi peserta ToT seperti saya, yah… kita sebagai peserta ToT pun hanya menelaah rapor sekolah yang “given” tersebut. Peserta ToT ini (katanya) nanti diproyeksikan akan membantu dan mendampingi sekolah dalam merencanakan perbaikan mutu sekolah berdasarkan data rapor sekolah tersebut. Selanjutnya, pendamping membantu sekolah mengidentifikasi akar masalah, memberikan alternatif solusi, memilih alternatif solusi, dan menyusun perencanaan kegiatan peningkatan mutu sekolah. Sementara berdasarkan simulasi yang dilakukan pada ToT untuk kegiatan pendampingan ini, saya (pribadi) merasa sangat sulit dalam membaca “data-data” pada rapor sekolah… dan saya juga menemukan bahwa data tertentu pada rapor tersebut tidak sinkron dengan data lainnya yang berkaitan.

Oh, my God. Apa yang terjadi sesungguhnya pada perencanaan berbasis data ini? Saya berusaha memahamkan diri, bersama beberapa teman sesama peserta. Untuk tidak menyalahkan siapa-siapa, saya hanya dapat mengatakan pada diri saya sendiri, bahwa saya sadar saya telah melakukan kesalahan, yaitu tidak fokus mengikuti ToT karena saya “menyambi” dengan pekerjaan online, yaitu menilai essay yang menuntut saya untuk berkonsentrasi penuh. Akibatnya, saya menjadi tidak paham sama sekali esensi dari ToT ini, karena saya telah mendua dan bercabang!

 

Yogyakarta, 3 April 2022.

(Renungan personal pada awal Ramadhan)

Tuesday, July 7, 2020

Catatan Pengalaman dari Balik Ruang Kelas Zoom: Mengikuti “Online Training”


--Rin Surtantini

 



Pembelajaran secara online dipahami sebagai sebuah proses belajar yang dijalani oleh seseorang sesuai dengan waktu yang dimilikinya dan dari lokasi tempatnya berada. Kelas yang diikuti bukan kelas yang secara fisik ada, karena pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka langsung atau secara fisik. Pada moda pembelajaran online terdapat fleksibilitas, sehingga seseorang dapat belajar tentang sesuatu sesuai dengan kebutuhannya, kapanpun dan dari manapun ia berada dengan menggunakan jaringan internet.

***

Seminggu setelah mendaftar pada sebuah program tim seleksi yang ditawarkan oleh Kemendikud, saya menerima undangan untuk mengikuti pelatihan. Pelatihan ini merupakan bagian dari program tim seleksi nasional, yang mensyaratkan bahwa seorang asesor dalam tim seleksi harus dinyatakan “certified” atau disertifikasi. “Certified” ini diberikan apabila calon tim seleksi mengikuti pelatihan secara penuh, sehingga selama proses pelatihan, peserta diharapkan dapat mencapai penguasaan kompetensi-kompetensi sebagai tim seleksi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh lembaga penyedia pelatihan dan Kemendikbud. Kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai tersebut dilatihkan kepada peserta pelatihan melalui konsep-konsep seleksi dan skills practice untuk setiap kompetensi.

Tulisan ini merupakan refleksi yang berupa catatan pengalaman belajar saya melalui pelatihan online yang saya ikuti selama lima hari pada minggu lalu melalui aplikasi Zoom.

 ***

Asumsi personal terhadap pembelajaran “online”

Tiga hari sebelum pelaksanaan pelatihan “Targeted Selection Interview” –demikian judul pelatihan yang saya ikuti ini— semua peserta mengikuti briefing yang diadakan oleh Kemendikbud bekerjasama dengan sebuah lembaga profesional pada bidang pengembangan sumber daya manusia yang akan menjadi pelaksana pelatihan. Lembaga pelaksana pelatihan ini merupakan perwakilan resmi dari pusatnya yang berada di Amerika Serikat. Artinya, materi pelatihan dan standar-standar yang ditetapkan pada pelatihan ini memiliki copyright sebagai properti intelektual.

 Dalam briefing diberikan gambaran awal bahwa pelatihan ini akan dilakukan secara online sinkronous (full video conference) menggunakan aplikasi Zoom (yang tentu versi berbayar), non-stop selama lima hari dari pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 14, atau pukul 15, 16, dan pukul 18 pada hari terakhir. Apa yang harus disiapkan oleh peserta? Tentu saja jaringan internet yang stabil dan kuota internet yang cukup setiap hari selama mengikuti pelatihan, perangkat laptop yang memadai, tidak adanya gangguan atau hambatan yang dapat membuyarkan konsentrasi, mental dan fisik yang tangguh, ketahanan dalam menggunakan headset sepanjang mengikuti pelatihan dengan video yang harus on terus,  tidak melakukan multi-tasks atau banyak pekerjaan lain di luar pelatihan, serta amunisi berupa makanan, makan siang, dan minuman yang cukup dan siap tersedia di dekat peserta agar tetap fit dan ada ketika dibutuhkan.

 Semua yang harus disiapkan ini menimbulkan kecemasan tersendiri yang muncul karena asumsi-asumsi berdasarkan pengalaman, seperti misalnya: jaringan internet melalui wifi sewaktu-waktu tidak stabil, dan akan sangat merepotkan jika listrik juga tiba-tiba mati; atau ada kejadian-kejadian yang tiba-tiba mengganggu konsentrasi; atau kondisi mental dan tubuh yang kadang tidak fit; atau telinga yang akan sakit jika menggunakan headset terus menerus; atau gerakan dan sikap tubuh yang harus selalu ditata karena master trainer (pelatih) dan peserta lain akan bisa mengawasi atau melihat semua gerak-gerik melalui video yang harus dihidupkan terus; adanya pekerjaan lain di luar pelatihan yang harus diselesaikan dan tidak bisa dihindari; pelatihan ini akan sangat melelahkan dengan tugas-tugas (LK yang banyak) sesuai dengan kebutuhan pengajar (bukan kebutuhan peserta), sehingga ilmu, pengetahuan, atau keterampilan yang diperoleh tidak jelas; dan sebagainya.

 Stereotip yang gugur

Semua asumsi berdasarkan stereotip di atas karena beberapa pengalaman masa lalu memenuhi pikiran dan perasaan saya, sebelum akhirnya gugur ketika hari pelatihan itu datang, dan berjalan selama lima hari. Apa yang saya rasakan dan alami? Model pembelajaran yang dilakukan mengingatkan saya akan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti di luar negeri, di negara-negara maju, atau ketika di dalam negeri dengan pengajar atau pelatih yang berasal dari negara-negara maju tersebut. Catatan hasil refleksi berikut ini menggugurkan asumsi-asumsi personal berdasarkan stereotip yang terbangun dalam pikiran dan perasaan saya sebelumnya.

 

1.    Pelatihan berbasis kompetensi

Target kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta jelas dan terukur, sehingga kompetensi-kompetensi itulah yang dikenalkan dan dilatihkan melalui konsep-konsep pada sesi pemberian materi, dan dipraktikkan melalui skills practice selama pelatihan berlangsung. Pelatihan fokus pada apa yang peserta harus dapat tunjukkan dan lakukan melalui skills practice pada situasi tertentu (what an individual can really do in a given situation) untuk kompetensi-kompetensi yang harus dicapai. Ketercapaian kompetensi-kompetensi ini dilihat melalui evidence atau bukti-bukti, sehingga seseorang dinyatakan “certified” apabila ia memenuhi pencapaian penguasaan kompetensi-kompetensi tersebut. Seseorang juga dapat diberikan status “deferred” atau sertifikasinya ditunda karena harus mengulang, menambah jam pelatihannya, atau mengikuti lagi pelatihan untuk mencapai status “certified”. Seseorang juga dapat berstatus “not certified” apabila tidak memenuhi pencapaian kompetensi yang distandarkan. Semua evidence ini diperoleh dari unjuk kerja peserta pada skills practice yang dicatat secara cermat melalui observasi, dan diberikan sebagai laporan kepada peserta setelah pelatihan berakhir.

 

2.    Penilaian berdasarkan kriteria (criterion-referenced assessment)

Penilaian dilakukan selama proses berlangsung, terutama pada saat peserta melakukan skills practice secara kelompok. Karena tujuan dari praktik keterampilan ini adalah untuk menerapkan konsep dan pengetahuan yang telah diberikan, peserta tidak menyadari bahwa pada saat itu penilaian per-individu sesungguhnya dilakukan oleh co-trainer. Berbeda dengan penilaian berdasarkan norma (“norm-referenced assessment”), pelatihan ini menerapkan penilaian berdasarkan kriteria (“criterion-referenced assessment”), yang tidak membandingkan pencapaian atau skor satu peserta dengan peserta lain, tapi melihat bagaimana pencapaian individu terhadap semua kompetensi yang harus dikuasainya.  Jadi setiap individu tidak bersaing terhadap individu lainnya, melainkan berupaya bagaimana dirinya sendiri dapat mencapai target kompetensi yang ditetapkan sebagai tim seleksi. Maka, hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip dari pelatihan berbasis kompetensi yang pernah saya pelajari dan alami ketika berkesempatan belajar mengenai technical and vocational education selama setahun di negeri kanguru beberapa puluh tahun silam.

 

3.    Belajar dalam kelas kecil

Kelebihan yang dialami dengan kelas yang kecil adalah terpeliharanya perhatian yang intense dari master trainer (pelatih utama) terhadap pesertanya. Master trainer pada satu jam pertama pada hari pertama sudah hapal dengan nama-nama peserta (meskipun ini juga terbantu oleh nama yang tertulis pada setiap layar video peserta). Jadi nama pada layar video peserta itu sebenarnya name tag pada kelas virtual.

 

Kelas kecil juga memberi kemudahan pada pelatih dalam mengelola kelas. Fokus tercipta. Hanya ada 12 (duabelas) peserta pada setiap kelas pada ruang Zoom itu, yang diampu oleh seorang master trainer dan dibantu oleh empat co-trainers, dan seorang staf yang menangani administrasi virtual serta masalah teknis pada bidang IT. Masing-masing bertanggung jawab sesuai dengan tugasnya dan melakukannya secara profesional, penuh perhatian, dan dengan keramahan, senang hati, sehingga semua kebutuhan dan permasalahan peserta terpenuhi dan dapat dikelola dengan cermat dan cepat.

 

Belajar dalam kelas kecil ini juga membuat terciptanya suasana hangat, akrab, dan nyaman antarpeserta dan pelatih serta staf yang terlibat, meskipun pertemuan secara fisik tidak terjadi. Ini artinya, suasana kelas fisik dapat diciptakan pada kelas virtual. Dengan suasana seperti ini, belajar dan berbagi di kelas virtual seperti pada kelas fisik pun menjadi menyenangkan. Peserta dalam satu kelas terdiri dari enam orang widyaiswara dari tiga PPPPTK yang berbeda, dan enam orang guru yang berasal dan mengajar di sekolah-sekolah internasional di beberapa kota, yang merupakan sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan JIS (Jakarta Intercultural School). Kombinasi peserta dalam kelas kecil seperti ini memungkinkan terjadinya saling belajar atas dasar perbedaan pengalaman dan tugas masing-masing.

 

 

4.    Adopsi kelas fisik ke dalam kelas virtual yang well-prepared

Aplikasi Zoom yang digunakan sepanjang hari dari pagi sampai sore selama lima hari melalui video conference adalah ibarat sebuah upaya mengadopsi kelas fisik tatap muka langsung ke dalam kelas virtual. Itulah sebabnya, saya menduga, mengapa pelatihan ini tidak menggunakan atau memanfaatkan LMS (Learning Management System), seperti misalnya Google Classroom, Moodle, ATutor, Schoology, Edmodo, dan sebagainya. Meskipun ada keterbatasan di mana kelas virtual tidak dapat menyerupai persis seperti kelas fisik, pelatihan yang saya ikuti ini mencoba untuk menciptakan beberapa kegiatan seperti terjadi dalam kelas fisik.

 

Ketika master trainer memberikan materi berupa konsep dan contoh-contoh penerapannya, keduabelas peserta berada bersama di main room dari Zoom. Ketika peserta berlatih mempraktikkan kompetensi-kompetensinya, mereka akan dipecah menjadi grup-grup yang lebih kecil, terdiri dari tiga orang per-grup, dengan seorang co-trainer untuk setiap grup kecil ini, yang akan menjadi pembimbing dan sekaligus pengamat bagi setiap individu. Empat grup kecil ini dikirim dan bergabung ke breakout room masing-masing yang berbeda. Praktik, diskusi, argumentasi yang lebih intensif terjadi di sini pada waktu yang ditentukan secara ketat, sebelum akhirnya semua kembali lagi ke main room untuk melaporkan dan membahas hasil praktik dan diskusi kelompok. Grouping semacam ini akan selalu berubah anggotanya, sehingga peserta berkesempatan untuk saling bertemu, mengenal, dan bekerja dengan peserta lain yang berbeda.

 

Agar apa yang dilakukan dalam kelas fisik juga teradopsi di kelas virtual ini, setiap peserta harus paham dan menggunakan fitur-fitur, atau fasilitas dan fungsi dari Zoom, misalnya ketika ia ingin bertanya atau mengemukakan pendapat, ketika ia harus pindah ke breakout room, ketika menggunakan papan tulis sewaktu mencatat hasil diskusi, ketika memberikan respon, ketika ijin keluar dalam beberapa menit, dan sebagainya, yang sebetulnya mudah untuk dilakukan, hanya perlu pembiasaan saja.

 

Sebagaimana halnya dengan kelas fisik, master trainer menggunakan bahan tayang atau resource book yang dibagi di layar pada saat menjelaskan. Dua hari sebelum pelatihan, peserta juga sudah mendapatkan resource book dan practice book dalam bentuk elektronik. Semua peserta atas inisiatif sendiri mencetak kedua buku tersebut untuk memudahkan dalam membaca dibandingkan membuka dalam bentuk e-book. Semua materi, baik konsep maupun praktik disampaikan oleh master trainer dengan sangat efektif, detil, dan jelas, meskipun padat. Efektivitas penyampaian materi yang padat sangat terbantu dengan pemutaran video yang memang dirancang untuk tatap muka virtual, bukan untuk ditonton secara mandiri oleh peserta. Video itu menayangkan bagaimana keterampilan dan kompetensi tertentu dinilai secara detil melalui pemeranan aktual dari tim seleksi dan pelamar dalam sebuah seleksi. Pada setiap bagian video sudah dirancang kapan master trainer menghentikan video, dan menggunakan waktu untuk mendiskusikannya dengan peserta.

 

Pada setiap pagi di awal sesi, master trainer selalu membawa peserta untuk memecah kebekuan atau mengawali hari dengan semangat yang terpelihara, sebagaimana terjadi di kelas-kelas fisik. Contoh yang dilakukan adalah, setiap peserta secara bergiliran mengatakan pengalaman apa yang pernah dilakukannya yang mirip dengan tugas sebagai tim seleksi, setiap peserta diminta untuk menyebutkan perasaannya pada pagi itu, setiap peserta menceritakan secara singkat apa yang membuatnya merasa berhasil pada pagi hari itu, atau setiap peserta diminta untuk mengatakan apa kekuatan atau kelebihan yang dimilikinya yang membuatnya layak menjadi tim seleksi.

 

Demikian juga pada akhir kelas, master trainer meminta setiap peserta misalnya menyebutkan kesannya dalam satu kata tentang pelatihan pada hari itu, atau seperti layaknya orang beli makan di restoran, maka apa take-away pengalaman yang bisa dibawa oleh peserta pada sore itu, atau peserta menyebutkan tiga kata yang mewakili gambaran mengenai pelatihan pada hari itu. Peserta serius mengikuti, tetapi tetap bisa relaks dan tidak tegang.  Terlihat juga bahwa pengajar atau pelatih memiliki tanggung jawab besar dan berkomitmen untuk dapat membuat setiap pesertanya paham dan dapat menguasai kompetensi yang ditetapkan.

 

 

5.    Properti intelektual dan profesionalisme

Copyright sebagai properti intelektual pada resource book dan practice book menjadi hal yang harus dihormati. Sejak briefing sampai selama pelatihan, peserta diingatkan untuk hal ini, artinya semua itu hanya digunakan untuk personal use peserta yang mengikuti pelatihan.  Poin atau nilai-nilai penting yang diajarkan secara tidak langsung kepada peserta adalah bahwa siapapun dalam bidang akademis harus melakukan kegiatan akademisnya secara jujur, dan dapat dipertanggung jawabkan secara pribadi. Seseorang yang ingin berada pada level sukses harus mencapainya dengan cara-cara yang benar, bukan cara-cara short cut yang palsu, misalnya praktik-praktik mendapatkan bocoran soal untuk tujuan lulus suatu tes, atau untuk tujuan menjadi the best, mengalahkan yang lain dengan cara-cara yang tidak jujur.

 

Yang seyogyanya menjadi kepedulian peserta ketika mengikuti pelatihan adalah ilmu, pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai (values) apa yang diperolehnya dari pelatihan tersebut, yang dapat diterapkannya pada tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga ketika ia dinyatakan “certified”, ia memang memenuhi kompetensi yang menjadi target dari pelatihan tersebut. Ketika target kompetensi pelatihan dirumuskan dengan jelas, disiapkan dengan baik secara konten maupun teknis, dan dilatihkan secara profesional oleh pengajar atau pelatihnya, serta dijalani oleh pesertanya dengan penuh komitmen, maka sudah selayaknya jika dikatakan pelatihan itu memiliki nilai-nilai positif yang berarti.

 

6.    Komunikasi dan pola pembelajaran yang membangun hubungan dan iklim kelas

Tanpa disadari dan tanpa terasa, lima hari berlalu, dilewati. Konsentrasi dan fokus peserta terbangun, semua permasalahan teknis yang dialami peserta selalu dengan sigap dapat dibantu diatasi oleh staf administrasi yang merangkap IT, semangat peserta terjaga, esensi pelatihan tersampaikan … yes, I’ve got the points!  Tidak ada beban LK-LK yang berjubel, monoton, membosankan, dikerjakan secara lembur, ditagih-tagih sebagai syarat penilaian dan kelulusan, dikerjakan secara copy-paste, dikerjakan dengan berat hati tanpa tahu esensi dan kontennya, dilakukan peserta untuk mengurangi beban pengajar dan bukan untuk memenuhi kebutuhan peserta. Tidak pula ada pre-post test yang item tesnya tidak semuanya dibuat untuk mengukur ketercapaian kompetensi peserta.

 

Lima hari pun menjadi waktu yang singkat tetapi full of essence and values. Kemampuan pengajar dalam strategi berkomunikasi dengan peserta menjadi salah satu aspek penting yang mendukung iklim kelas yang positif. Dalam pelatihan kelas virtual full video conference ini, kondisi iklim kelas positif ini terjadi dan terjaga.  Seorang pengajar yang terpanggil, seyogyanya selalu bertanya kepada dirinya melalui refleksi, “Apakah saya telah memberikan sesuatu yang meaningful kepada peserta pelatihan?”  “Apakah mereka memeroleh sesuatu dari saya?”  “Apakah mereka memeroleh yang mereka butuhkan?” dan berbagai pertanyaan serupa yang akan terus membelajarkannya.

 

***

Ketika pelatihan ini berakhir, satu persatu peserta dipanggil oleh master trainer ke breakout room, untuk memeroleh feedback dari master trainer dan co-trainer berupa area kekuatan yang dimiliki individu serta area pengembangan yang masih perlu diperbaiki atau ditingkatkan. Feedback lisan ini dikrimkan juga ke setiap email individu dalam bentuk laporan tertulis. Bagi saya, ini sebuah pengalaman mengikuti pelatihan secara online dengan full video conference, yang mengungkap sisi lain bahwa pelatihan online semacam ini meski tidak terdapat fleksibilitas dalam jadwal atau waktu pelaksanaannya, dapat tetap memberikan rasa senang, termotivasi, nyaman, dan fulfilled bagi pesertanya. Ini dapat tercapai jika terdapat atau dipenuhinya semua aspek yang menggugurkan asumsi-asumsi awal yang diuraikan di atas.

 

 

Yogyakarta, 7 Juli 2020.

 


WfH Series: Sayang Jogyaku


---Dwi Yunanto


Yogyakarta memang istimewa, semoga tetep istimewa dan aman nyaman terutama saat pandemi begini.

Jogya saat pandemi covid 19 ini saya lihat termasuk tertib penduduknya, di jalanan baik pejalan kaki maupun berkendara semua memakai masker. Apalagi di tempat publik seperti mall dan pasar. Jika ada yang tidak memakai sedikit sekali dibandingkan yang memakai berarti protokol kesehatan tetap diindahkan. Cuci tangan, kenakan masker, dan jaga jarak diberlakukan.

Pasar-pasar dan mall pun walau tetap buka tetapi pengunjungnya masih relatif sangat sedikit. Mereka hanya akan keluar jika perlu saja seperti untuk bekerja, belanja, ibadah, dan olahraga.

Karantina kampung menurut saya juga merupakan salah satu faktor keberhasilan DIY menurunkan jumlah positif karena dengan dikarantina, penduduk akan mengurangi mobilitasnya sehingga hanya akan keluar jika penting saja dan orang luarpun akan sedikit kesulitan untuk mengunjungi kampung yang dikarantina.

Beberapa hari ini Jogya meningkat lagi kasus positif covidnya, hampir semua merupakan imported case, orang luar DIY masuk ke Jogja atau orang DIY berhubungan dengan positif di luar DIY.

Sedih rasanya beberapa teman saudara dari luar kota yang menyepelekan hal ini. Terutama tentang protokol kesehatan pencegahan korona. Masih ada juga teman dari luar kota yang berkunjung ke rumah tanpa menggunakan masker. Malahan kemudian bercerita tentang teori konspirasi tentang covid yang sebenarnya bukan ahlinya.

Padahal kami di Jogja ini mungkin juga daerah lain berpendapat ini wabah yang harus dihindari oleh siapapun dengan disiplin tinggi.

Jadi agak gimana gitu dengan penjelasan mereka yang bla bla...dan terkesan tidak menghargai kami sebagai tuan rumah yang menerima tamu dengan jaga jarak dan bermasker.

Hidup memang pilihan, masing-masing orang bisa hidup dengan cara masing-masing sesuai keyakinannya, tetapi tolong hargai kami yang berusaha menjaga diri dan menjaga sesama.

Suasana jalanan di kota Yogya dan di Pasar Beringharjo. Di Pasar Beringharjo terlihat tertib, semua pedagang dan pembeli bermasker termasuk mbok-mbok yang menawarkan jasa pembawa barang. Hebat ya.. Jalan lorong lorong di Beringharjo sekarang tidak boleh untuk berjualan jika ada yang ngeyel kata teman pedagang disana., barang barangnya akan digaruk atau ambil paksa oleh petugas pasar. Selain lorong yang sudah bersih dan lengang, sekarang diatur juga arah jalannya...ada petunjuk panah arah jalannya dan petunjuk protokol kesehatannya. Mantap pokoknya....Insya Alloh siap untuk new normal dengan disiplin yang tinggi.




Kita berkeinginan untuk dapat menciptakan kondisi jogya yang aman, nyaman dan bersahabat tetap menerapkan protokol kesehatan.


Catatan di pasar Beringharjo, 5 Juli 2020

Tuesday, January 29, 2019

Publikasi ilmiah milik publik?

---Rohmat Sulistya

Ketika saya kuliah S1 dan berkewajiban menghasilkan karya tulis berupa skripsi, pihak jurusan mewajibkan data awal yang akan dijadikan bahan tulisan harus berasal dari jurnal ilmiah, bukan dari buku. Dan saya baru mengerti bahwa jurnal ilmiah sebenarnya adalah hasil pelaporan riset yang merupakan pengembangan atau penerapan sebuah ilmu/teori dari buku. Jurnal ilmiah adalah rangkaian panjang dari laporan-laporan penelitian tentang sesuatu obyek yang diteliti. Sehingga semestinya, jurnal ilmiah pada tahun yang baru akan melaporkan temuan terbaru dari sebuah masalah atau obyek yang diteliti. Dan hal-hal yang dilaporkan ini tentunya tidak berulang-ulang, tetapi menampilkan sebuah progres penelitian dari banyak peneliti terhadap sebuah obyek penelitian.

Pada saat itu, akses jurnal ilmiah masih mahal dan terasa prestise. Sehingga dengan bersusah payah berburu jurnal cetak di perpustakaan, saya mendapatkan data sesuai karya tulis yang akan saya buat. Dan saya mendapatkan data dari jurnal tahun 1940-an. Apakah ini data ini up to date untuk skripsi saya? Saya kurang paham. Tapi memang untuk disiplin ilmu saya, jurnal-jurnal lama malah sering dijadikan referensi data. Karena di tahun-tahun tersebut kemungkinan fundamen ilmu untuk bidang tersebut sedang dibangun.

Delapan tahun kemudian, ketika saya kuliah S2; kewajiban untuk merujuk tulisan/tesis ke jurnal-jurnal ilmiah semakin ketat. Bahkan beberapa perguruan tinggi, mewajibkan jumlah jurnal minimal yang harus dirujuk. Pada tahun itu -sekira 2004/2005- akses jurnal terasa lebih mudah, bundle-bundle jurnal tersedia cukup banyak di perpustakaan. Sebagai seorang mahasiswa yang butuh referensi jurnal, maka kondisi ini sangat-sangat membahagiakan.

Tetapi untuk mengakses jurnal online, masih menjadi sesuatu yang istimewa dan mahal. Untuk mendapatkan full text sebuah jurnal kita harus membayar sekitar 300 ribu. Cara membayarnya pun saya tidak paham, karena menggunakan kartu kredit atau paypal. Untungnya ada dosen yang punya hak akses terhadap sebuah website, sehingga mahasiswa dapat memanfaatkan kemudahan ini. Dan katanya beberapa universitas melanggan secara legal jurnal-jurnal berbayar ini.

Ada dua website cukup prestisius sebagai penyedia jurnal yang saya butuhkan yaitu: Elsevier dan Sciencedirect. Oleh karena saya merasa untuk mengakses jurnal dari pihak lain tidak praktis, maka saya memilih berburu jurnal gratisan yang biasanya memublikasikan penelitian dari negara-negara seperti Brazil, India, dan pecahan Uni Soviet. Bagi saya hal ini cukup memuaskan, karena mereka sering memublikasikan penelitian tentang ilmu keramik berbasis silikat, obyek penelitian saya kala itu.

***

Jaman telah berubah. Yang dulu sangat sulit, sekarang untuk mengakses jurnal bermutu sangat mudah bahkan gratis, meskipun secara resmi jurnal-jurnal bermutu tersebut sebenarnya berbayar. Mengapa bisa demikian?. Hal ini tak lepas dari paradigma berbagi/sharing yang berkembang di dunia digital pada saat ini.

Software komputer, game, aplikasi gadget, email, cloud storage/tempat penyimpanan awan sebagian besar menyediakan skema gratis/free. Saya tidak sedang membahas skema ini, karena saya kurang paham bagaimana provider menyediakan skema gratis sebagai strategi bisnis. Tetapi paradigma berbagi ini terkadang tidak hanya muncul sebagai sebuah strategi bisnis. Ada muatan politis didalamnya.

Adalah Sci-hub sebuah website yang dibangun untuk meruntuhkan dinding berbayar (paywall) sebuah jurnal ilmiah. Dengan memasukkan DOI (Digital Object Identifier) sebuah artikel ke laman Sci-hub, kita dapat salinan full text sebuah artikel jurnal. Kehadiran Sci-hub tentu sangat membahagiakan pegiat penelitian yang menginginkan rujukan dari jurnal bereputasi. Tapi disaat yang sama, ini menjadi mimpi buruk bagi perusahaan penyedia jurnal dan pegiat perlindungan terhadap hak cipta. Hal ini memang sebuah fakta yang dilematis mengingat ada dua isu yang melekat dalam kasus ini: hak asasi dan hak cipta.

Alexandra Elbaykan sebagai pendiri Sci-hub, dengan semangat kebebasan dan jiwa mudanya memprotes betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk sebuah artike jurnal bereputasi terbitan Elsivier yang berkisar 30-40 US$. Sebuah harga yang tidak masuk akal. Padahal dia berpendapat deklarasi PBB tentang hak asasi manusia tahun 1948 jelas menyatakan setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan (geotimes.co.id). Dan capaian-capaian ilmu pengetahuan yang diwartakan dalam jurnal adalah bagian dari kemajuan ilmu pengetahuan yang berhak diketahuan setiap orang.

Kehadiran Sci-hub sebagai ‘dewa penolong’ mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat akademik dunia. Tidak hanya peneliti dan mahasiswa dari negara-negara berkembang -negara yang tak mampu membayar sebuah jurnal- tetapi ternyata juga disambut dengan baik oleh pengakses dari negara-negara maju seperti Amerika dan China. Yang lebih mengherankan lagi kota pengakses Sci-hub ternyata dari Silicon Valey, sebuah kawasan/kota dimana perusahaan-perusahan IT ternama berada.

Fakta ini membuktikan bahwa sebenarnya masyarakat akademik secara diam-diam atau terbuka menyetujui tentang hak akses yang luas akan jurnal-jurnal bereputasi ini. Walaupun fakta ini juga belum dapat dijadikan klaim bahwa jurnal seharusnya murah atau gratis.

Berdasarkan peringkat negara-negara pengkases Sci-hub, Indonesia masuk dalam 10 besar (geotimes.co.id). Jika kualitas kesadaran akses kemajuan IPTEK diukur dari kuantitas pengakses Sci-hub ini, maka posisi Indonesia cukup menggembirakan sebagai negara pengakses peringkat 9. Tetapi jika dihubungkan dengan masyarakat Indonesia -yang katanya- suka sesuatu yang gratis, maka itu masalah yang lain. Tetapi, fakta ini cukup menunjukkan bahwa sebenarnya peneliti dan mahasiswa di Indonesia membutuhkan akses terhadap jurnal-jurnal bereputasi. Semakin banyak publikasi ditulis, semakin banyak pula rujukan dibutuhkan untuk menguatkan tulisan ilmiah tersebut. Tapi memang harus diverifikasi lagi, bagaimana jurnal-jurnal itu disitasi/dikutip. Apakah dikutip dengan relevansi yang tinggi atau dikutip sekedarnya untuk mengayakan daftar pustaka.

Kembali ke pertanyaan, apakah publikasi ilmiah milik publik? Ya mungkin…

Friday, January 25, 2019

Blackpink, Sudut Pandang 1

---Rohmat Sulistya

Saya duduk dibelakang stir mobil. Mesin saya hidupkan, dan bersamaan dengan bunyi halus mesin, terdengarlah lagu girlband Korea mengalun. Yes, Blackpink…Dduu…dduuu…Dduuu. Judulnya aneh, tapi inilah lagu yang sangat hits, lebih hits dari lagu-lagu boyband Korea pendahulunya. Sebenarnya tidak hanya Blackpink yang ada dalam piringan disk saya. Disitu juga ada BTS, Ikon, EXO, Wanna One dan lain-lain.

Sesungguhnya saya nggak ngerti mereka-mereka itu siapa dan tentu saja tidak peduli. Tapi anak-anak saya beranjak remaja dan “memaksa” saya mengenalnya. Dan dengan dengan terpaksa saya mengenalnya dan diam-diam menyukainya.

Saya nggak terlalu enjoy juga mendengarkan lagu mereka; kok bukan Via Valen, Ebiet G Ade, Rhoma Irama, Iwan Fals, atau Love Songs di tahun 80-an. Bukan itu, bahkan saya kurang tertarik dengan lagu mereka (paling tidak untuk saat ini). Sebenarnya kaset ceramah-ceramah saya sudah nggores, dan belum diganti. Astaghfirullah….K-Pop menggantikannya…

K-Pop adalah wajah Korea (Selatan) saat ini. K-Pop adalah simbol kreativitas dan industri. Cuma sayangnya, penyanyi-penyanyinya adalah pekerja, bukan orang yang bebas berkreativitas. Mereka terikat kontrak dan kalau sudah selesai kontrak, bubar. Tapi terlepas dari itu semua, Korea mampu menampilkan diri sebagai negara yang maju dibidang industri manufaktur maupun industri kreativitas.

Bloomberg Innovation Index, pada tahun 2017 menobatkan Korea Selatan sebagai negara paling inovatif di dunia (Kompas.com). Index ini berisi 50 negara inovatif di dunia. Capaian ini mengalahkan seluruh negara-negara maju di dunia seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Finlandia, dan lain-lain. Dua negara tetangga yang masuk dalam index ini adalah Malaysia dan Thailand; sedangkan Indonesia tidak masuk.

Indonesia dan Korea adalah dua negara yang memulai start pembangunan yang sama. Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, sedangkan Korea Selatan dua hari sebelumnya yakni 15 Agustus 1945. Ya, hanya selisih 2 hari saja! Tetapi berdasarkan beberapa laporan, tingkat literasi Indonesia adalah 36 tahun dibelakang Korsel. Lho kok bisa? Ya, itulah faktanya.

Literasi menjadi kunci.

Korsel dan Finlandia adalah 2 negara dengan tingkat literasi 100%. Artinya seluruh penduduk literate. Semuanya bisa mengakses informasi dan memanfaatkannya dengan benar. Bahkan saat ini, siswa di Korsel adalah terpintar di dunia menggantikan siswa Finlandia (hipwee.com). Maka tidak heran kalau Samsung dengan percaya diri bersaing dengan iPhone; industri music dan drama mereka mendunia. Konon ini sudah dipersiapkan sejak lama. Kalau ini benar, berarti desain mereka berpuluh-puluh tahun sebelumnya berhasil. Kurikulum Pendidikan mereka juga berhasil memajukan penduduknya.

Bagaimana dengan kita dan Indonesia. Indonesia adalah negara hebat dalam benak saya. Dan memang hebat. Dengan keberagaman dan perbedaan disegala hal, kita tetap bersatu dan tidak bubar adalah prestasi yang luar biasa. Modal kebersatuan, kebersamaan, kesatuhatian sesama anak bangsa adalah sesuatu yang mahal. Bersatu secara hati…bukan pura-pura.

Kalau literasi adalah kunci, maka kita tinggal belajar sebagai tugas utama untuk mengejar ketertinggalan. Rakyat belajar, pejabat belajar. Siswa belajar, guru belajar. Guru belajar, widyaiswara lebih belajar lagi. Belajar segala hal.

Kalau Indonesia lebih cerdas,maju, dan bermoral, maka Blackpink tak penting lagi. Boleh dicampakkan.