Showing posts with label Kisah. Show all posts
Showing posts with label Kisah. Show all posts

Sunday, July 18, 2021

Pada Suatu Malam Yang Lengang


--Rin Surtantini

 


In memoriam: Mas Daryanto

Sudah hampir tiga minggu saya terkunci di sebuah kota untuk sebuah kepentingan personal yang sangat berarti bagi saya, selain secara kebetulan pula, terjadi pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh pemerintah di seluruh wilayah pulau Jawa dan Bali. Karena dekat dengan Jakarta dan merupakan kota besar yang menjadi pintu gerbang ke wilayah lain, kota tempat saya terkunci ini pun tak luput dari kebijakan PPKM. New normal yang setahun lalu masih menjadi bayangan, kini dengan segera telah menjadi sebuah pilihan yang harus kita terima dan alami dengan melakukan berbagai adaptasi untuk tetap survive.

 Seorang teman tetangga saya di Yogya mengirim pesan singkat kepada saya, apakah kota tempat saya sekarang terkunci itu aman? Saya tertawa, dan menjawab, tidak ada tempat di manapun saat ini yang aman. Virus yang ganas itu ada di mana-mana, tidak peduli siapa saja, karena siapa pun memiliki potensi untuk dihampirinya. Yang harus kita jaga sekarang adalah ‘mobilitas’ dan ‘imunitas’. Teman tetangga ini adalah salah satu dari 37 orang yang sampai hari ini terpapar covid di kompleks rumah saya, satu di antaranya berpulang ke hadirat-Nya. Saya sampaikan rasa prihatin dan simpati saya, mengingat semakin ke sini, virus itu terasa semakin dekat dengan kita… Dalam pikiran saya, hampir setiap hari, di grup-grup Whatsapp yang saya ikuti, ada berita mengenai kepergian orang-orang yang dekat dengan kita, yang kita kenal, yang kita tahu, yang kita kasihi, dan sebagian besar kepergian mereka adalah karena virus yang mematikan ini. Sungguh mengiris hati!

Apa yang melintas dalam pikiran saya ini tiba-tiba muncul di grup Whatsapp widyaiswara pada hari Kamis dinihari, 8 Juli 2021 yang lalu. Jantung saya berdesir, dan doa saya panjatkan dalam kesunyian pagi itu, bagi kesembuhan mas Daryanto, yang sempat mengirimkan pesan singkat dan sebuah gambar yang kabur, yang menandai bahwa ia dan istrinya saat itu terpapar virus yang saya takuti itu. Empat hari kemudian, Senin selepas magrib, 12 Juli 2021, kembali berita mengenai mas Daryanto dikirimkan di grup Whatsapp widyaiswara. Kondisi mas Daryanto yang tidak lebih baik, muncul dari berita itu, diiringi doa teman-teman yang mengalir … dan mendapat respon dari akun mas Daryanto, “Trimakasih doanya.” Ada teman yang mengomentari dengan senang, “Syukur mbah Argo isa WA-nan…”  Seandainya memang itu respon dari mas Daryanto, saya pun ikut bersukahati, berharap mas Daryanto dapat segera pulih dan keluar dari rumah sakit.

Malam itu selepas membaca berita terakhir mengenai kondisi mas Daryanto, saya pun mengenangnya. Ia saya kenal ketika pertama kali saya masuk di kantor yang sama, tahun 1992. Mas Daryanto sudah lebih dulu masuk, mungkin satu atau dua tahun sebelum saya. Hampir tiga puluh tahun bersama di kantor ini, jatuh bangun, in our good and bad times, up and down, semua tentu terekam dalam catatan milik Tuhan yang tak terbatas. Tetapi malam itu, yang saya ingat, yang selalu ada dan terekam dalam keterbatasan pikiran saya adalah mas Daryanto pada tahun-tahun 1990an, ketika ia sering menjadi pembaca Pembukaan UUD 1945 pada kesempatan upacara bendera setiap tanggal 17 pada setiap bulan. Pada masa-masa itu, saya sangat suka jika pembacanya adalah mas Daryanto. Saya suka dengan caranya membaca, dengan kualitas suaranya yang menggelegar, menghayati, jelas, dengan artikulasi dan intonasi yang menggugah, dan dengan penuh gelora semangat dalam melantunkan setiap kata dan kalimat pada teks Pembukaan UUD 1945. Menurut saya, ia membacanya dengan hati! Ia mampu mengalirkan semangat dari makna dan isi teks itu kepada yang hadir pada upacara bendera tersebut.

Saya pun terlelap dalam ingatan terbayang itu. Dan seketika, denting Whatsapp yang muncul dari grup widyaiswara kurang lebih lima jam kemudian, pukul 23.26 WIB, membangunkan saya, dan menggedor-gedor hati saya. Seorang teman dari Studio Tari mengabarkan sebuah kepastian ini: mas Daryanto telah pergi meninggalkan kita semua sebagai teman-temannya di korps widyaiswara….. Ia pergi pada pukul 20.42 WIB, dua jam setelah ada respon dari akunnya di grup terhadap aliran doa dari teman-teman. Pada malam kepergian almarhum itu, kembali saya mengingatkan diri saya sendiri, bahwa betapa virus itu semakin dekat dengan kita, karena ia sekarang menghampiri orang-orang yang kita kenal, kita tahu, dan kita kasihi….

Satu lagi malam yang lengang terlewati dengan kedukaan: Senin malam, 12 Juli 2021.

Mas Daryanto telah menyelesaikan perjalananannya dengan segala irama dan gelombang kehidupan dunia yang tiada kekal. Untuk itu, saya bisikkan pada sukmanya, beristirahatlah dalam tenang dan keabadian yang membahagiakan, mas Daryanto!

 

Bandar Lampung, 18 Juli 2021.

 

 

Friday, March 12, 2021

Bernostalgia Sejenak

 

---Digna Sjamsiar




Tiga hari belakangan ini anakku yang pertama sibuk mencari tahu keberadaan kakak perempuan ayahku yang tinggal di Belanda, dimulai dari dia menanyai opanya tentang nama berikut nama familinya (marga), tahun berapa terakhir kali berkunjung ke Situbondo, Jawa Timur dan nama anaknya yang ikut berkunjung.

Disela-sela kegiatanku mengikuti Pelatihan Google Master Trainer, aku berusaha menjawab pertanyaan anakku yang lumayan membutuhkan ingatan luar biasa karena waktu itu umurku 9 tahun, dan pada tahun 2015 aku pernah meminta tolong pada rekan kerjaku yang sedang melanjutkan studi S2 di Belanda untuk melacak alamat yang dimiliki oleh orangtuaku, tetapi sayang, suratku kembali karena tanteku sudah tidak tinggal di alamat tersebut.

Sejujurnya yang mendasari anakku untuk mencari tahu keberadaan tanteku adalah dia sangat penasaran dengan perjalanan hidup opa dan omaku. Sedikit aku bercerita disini, papi dari papaku harus kembali ke Belanda disaat usia papaku 2 tahun, mami dari papaku menolak untuk ikut karena ibunya juga tidak bersedia, bisa dimaklumi mereka semua lahir dan berumah tangga di Indonesia sehingga mereka kuatir sulit untuk beradaptasi. Anakku berusaha terus melacaknya dengan masuk ke website komunitas Quora dan Twitter, salah satu anggota komunitas tersebut memberikan saran untuk mengecek suatu website yang berisi data kepulangan warga Belanda dari Asia Tenggara dan Australia dari tahun 1945 – 1966 (disebut repatriasi). Tetapi sayang, usahanya tidak berhasil karena papaku tidak tahu kapan papinya terakhir bekerja di perusahaan/pabrik gula di Indonesia, ditambah lagi papi dari papaku juga tidak mempunyai keturunan selain papaku.

Kemudian anakku kembali fokus berusaha mencari nama lengkap sepupuku yang kuceritakan sebelumnya melalui Facebook dan Instagram. Anakku menelepon papaku dan mencatat jawaban-jawabannya, kemudian anakku via internet memasukkan alamat dan nama tersebut, akhirnya usahanya berhasil, dia menemukan akun IG dan Facebooknya. Kemudian baik anakku maupun aku menambah pertemanan. Alhamdulillah..permintaan berteman kami diterima. Yang paling menggembirakan setelah dua hari pertemanan kami,  sepupuku membalas chat anakku via FB. Mengingat budaya kita yang berbeda, anakku mengirim foto tanteku sewaktu masih gadis, sepupuku membenarkan jika foto tersebut adalah foto mominya, dia senang sekali, dan dia bercerita bahwa mominya masih menyimpan foto-foto ketika mereka berkunjung ke Situbondo tahun 1977. Dia mampu mengingat kenangan-kenangan manis saat di Situbondo sekalipun saat itu dia masih berumur 6 tahun. Chatku di FB juga dia balas, senang sekali rasanya. Akhirnya anakku dan sepupuku mengatur jadwal untuk melakukan video call secara bersama Sabtu sore besok yaitu papaku, kedua kakakku dan keluarganya dan aku sendiri. Satu keberuntungan lagi, sepupuku fasih berbahasa Inggris karena dia bekerja sebagai manajer hotel, sehingga komunikasi via chat di Facebook berjalan lancar, begitu juga jika besok diadakan pertemuan secara virtual, karena kami tidak bisa berbahasa Belanda, papaku juga sudah banyak lupa dengan kosa kata bahasa Belanda.

Hal ini tak luput dari kecanggihan teknologi saat ini dimana teknologi dapat membantu kita dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dibutuhkan. Saat ini di WA grup kami yang terdiri dari papaku berikut anak, menantu dan cucu ramai membicarakan temuan anakku ini. Papaku gembira sekaligus terharu karena akan mengobrol lagi dengan kakak perempuannya walau hanya secara virtual, dan saat ini kami bernostalgia di grup WA, mengingat saat sepupuku yang ngotot pingin main di sungai, kebetulan rumah nenekku dan rumah orang tuaku dekat dengan sungai, dan cerita lucu lainnya….jadi tak sabar menunggu besok jam 16.00 waktu Indonesia bagian barat….hehehehe


Yogyakarta, 12 Maret 2020

Catatan sore setelah menyelesaikan tugas Pelatihan Google Master Trainer

Digna Sjamsiar

 

Wednesday, January 27, 2021

Zonk Lagi!

 

--Rohmat Sulistya



Kembali menelan pil pahit. 

Setelah pengajuan Februari lalu berbuah zonk, pengajuan ulang November ini pun zonk. Pada bulan Februari, pengajuan dinilai nol karena -katanya- kurang bukti fisik. Saya memang tidak mengumpulkan bukti fisik secara penuh, tetapi saya hanya mengumpulkan bukti fisik terkait dengan artikel saya: salinan sampul jurnal, daftar isi, dan artikel saya. Artikel lain dalam jurnal tersebut memang tidak saya sertakan. Toh, kalau penilai mau menelusur,dapat dilakukan dengan  sangat mudah karena dalam pengajuan itu saya sertakan link e-journalnya.

Iya, ini tentang pengajuan angka kredit berkaitan dengan jurnal nasional terakreditasi.

Pengajuan ulang di Bulan November pun berakhir zonk dengan diberikan catatan bahwa artikel jurnal tersebut kadaluarsa. Jurnal terbit bulan Desember 2019, saya ajukan ulang bulan November 2020. Kalau mepet, iya sih. Tetapi dalam benak saya, ini masih koridor kriteria 1 tahun. Tetapi, bisa jadi pemahaman saya salah.

Sebenarnya, saya sangat senang apabila ini lolos penilaian, karena nilai kredit dari artikel jurnal lebih ‘worth it’ dibanding dengan nilai dari aspek-aspek lain. Mengirimkan artikel pada jurnal (terlebih lagi jurnal terakreditasi) memerlukan perjuangan lebih untuk dapat lolos. Dimulai dengan penilaian awal saat artikel kita submit. Akan ada penilaian dari 3 (tiga) reviewer  (mungkin berbeda jurnal satu dengan yang lain) yang akan memutuskan artikel kita lanjut atau tidak. Saya tidak tahu persis bagaimana seluk beluk penilaian awal, yang jelas 1 reviewer ‘menolak’ dengan catatan yang menyedihkan dan 2 lagi menyatakan ‘menerima’  dengan catatan revisi mayor. Dan memang saya menyadari sekali, inilah pertama sekali saya menulis artikel kajian tentang sesuatu yang saya juga masih belajar. Sebelumnya saya hanya menulis artikel berdasarkan hasil data-data kuantitatif laboratorium. Ya, penilitian sains.

Dan dengan artikel non sains ini, saya men-chalange diri saya sendiri pascapelatihan menulis artikel jurnal di Hotel Sahid dan hasilnya memang masih belum layak. Tetapi, Alhamdulillah para reviewer memberikan kesempatan untuk merevisi secara mayor. Setelah berbulan-bulan merevisi dengan 3 atau 4 proses revisi akkhirnya artikel diterima untuk diterbitkan. Bagi saya, ini adalah proses yang melelahkan dan mirip dengan berkonsultasi skripsi ke dosen pembimbing.

Tetapi, apa mau dikata, proses melelahkan tersebut berbuah zonk. Sedih sih sedih, tetapi saya ingat pada sebuah peristiwa di sebuah siang.

***

Sebuah siang.

Anak saya ikut ke kantor setelah saya menjemputnya pulang sekolah. Seperti biasa, dia cukup senang ikut ke kantor. Selain di rumah tidak ada orang, di kantor juga tersedia wifi untuk nonton YouTube dan main game.  

Tiba-tiba dia tertunduk lesu. Tanpa ngomong. Terlihat sedih. Setelah ditanya sana-sini, ternyata kota yang dia bangun hilang seketika saat Minecraftnya diupdate ke versi yang lebih tinggi. Dia adalah penggemar game Minecraft, sebuah game yang masih sangat polular sampai saat ini. Siang itu seharusnya dia senang karena bisa  mengupadate Minecraftnya. Tetapi menjadi kesedihan ketika kota yang ia bangun menjadi hilang seiring meningkatnya versi game. Ini bisa terjadi ketika perangkat yang digunakan tidak secanggih versi yang baru diunduh. Alhasil, kerja berminggu-minggu menjadi sia-sia.

Tetapi apakah memang sia-sia?

Cukup lama saya menenangkannya dari rasa kecewa.

“Dik, yang penting Aqila punya kemampuan membangun lagi, bukan kotanya. Tetapi kemampuan membangun kota itu lho yang lebih penting”.

“Kalau kotanya mungkin bisa rusak, bisa hilang; tetapi ilmunya itu yang lebih mahal. Dan ilmunya, Aqila sudah ngerti. Gak papa, nanti bisa bangun lagi”.

***

Dengan teringat peristiwa sebuah siang itu, maka saya bolehlah sedikit kecewa. Tapi gak harus kecewa banget. Yang penting bukan hasil artikel jurnal yang dinilai nol, tapi punya pengalaman menulis jurnal dan dapat terbit adalah jauh lebih penting. Jadi kemampuan dan proses menghasilkan, jauh lebih penting dari hasil itu sendiri.

Allah SWT mewajibkan kita untuk bergerak, berikhtiar, berusaha  tetapi hasil itu bener-bener hak prerogatif Allah. Dan Tuhan hanya melihat prosesnya kok, bukan hasilnya.

Ya, begitulah.. Wallahu a’lam.

 

Friday, May 22, 2020

WfH Spesial: FSC 2020 [FESTIVAL SENI COVID-19, tahun 2020 di Vidyasana]



---Irene Nusanti


Covid-19 membuat kita semua mencari seni menyikapi hidup ini agar tetap semangat dan tangguh. Covid 19 boleh belum tuntas, tetapi hal itu tidak boleh menyurutkan semangat hidup. Semangat untuk mempelajari suatu nilai kehidupan baru - sebagai dampak hadirnya ‘Sang Covid’ di muka bumi - harus terus dikobarkan dengan bergandeng tangan melalui berbagai cara. Salah satu cara tersebut diberi nama: ‘Festival Seni Covid-19’, berlangsung di suatu tempat yang ada di hati kita semua, yaitu Vidyasana. Festival ini merupakan kegiatan dari beberapa teman yang belajar nilai-nilai kehidupan baru melalui berbagai seni menyiasati hidup, diantaranya adalah seni membawakan acara, seni membaca puisi, seni membaca berita dalam bahasa Inggris, seni berlatih bahasa Inggris melalui lagu, seni belajar memainkan alat musik, dan masih banyak ‘seni-seni baru’ lainnya yang nantinya dapat bermunculan jika kita mau mencoba.

Covid-19 telah mengajarkan kepada kita untuk tidak membuat diri kita menjadi terbatas hanya karena dibatasi oleh ruang gerak dan gerak langkah yang sempit. Jika paket kuota internet bisa dibuat ‘unlimited’, maka kreativitas menciptakan ‘seni-seni baru’ juga dapat didesain menjadi ‘unlimited’. Melalui Covid-19, kita juga dilatih untuk tidak takut mencoba hal baru, yang belum pernah dilakukan sebelumnya agar kita bisa menjadi ‘unlimited’. Maxwell (2017) mengatakan bahwa yang dapat membatasi gerak langkah adalah ‘pikiran kita sendiri. Kondisi ‘kumyur’ yang dialami dalam diklat Google Classroompun tidak dapat membatasi kita: the show must go on – so does the show of life’. Jadi, jangan ijinkan Covid-19 membatasi pikiran kita untuk melakukan sesuatu, sebagai ekspresi dari nilai-nilai yang dapat dipetik dari kejadian di balik pandemi tercinta. Kita juga diajak untuk tidak terlalu khawatir, karena tidak ada satu kejadianpun di muka bumi ini yang 100% negatif murni, pasti ada sekian persen tercampur unsur positif (Meyer). Possibility thinking (cara berpikir alternatif) mengajak kita untuk mengarahkan pikiran pada digalinya alternatif positif di balik ‘raungan sirene pandemi’ yang hanya dapat dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga. Possibility thinking juga berperan dalam mempengaruhi kita untuk meninggalkan euphoria popular thinking yang hanya memiliki banyak pengikut, tetapi seringkali kurang memiliki bobot. Akhirnya, possibility thinking juga mengajak kita untuk tidak kembali kepada kehidupan lama sebelum pandemi, tetapi mendesain berbagai alternatif pola kehidupan baru yang lebih membuat kita semua merasa sebagai manusia, bukan robot yang terus menerus diputar tanpa henti. Semoga pemikiran-pemikiran yang digali selama pandemi, termasuk yang digali melalui FSC-19, dapat ikut berperan dalam memberikan alternatif-alternatif dimaksud. Selamat menyimak FSC 2020.......bila diperlukan pakai headset...


Salam unlimited,

Participants of FSC 2020


Link urutan kegiatan FSC 2020 di Vidyasana
Opening FSC 2020:


Pembacaan Puisi:



MC mengantar belajar bermain keyboard dan menyanyi



Belajar bermain keyboard dan belajar menyanyi lagu berbahasa Inggris



MC dan Belajar membaca berita berbahasa Inggris



Closing FSC 2020


###

Tuesday, March 31, 2020

WfH Series: Ragu


--Digna Sjamsiar

Papa ta’ tako’ ye ka virus corona?” papaku menjawab “enje’, arapa ma’ tako’a? mon la pajet depa’ omorra ye la mole, se penting daddi manossa ruwa la ikhtiar, ta’ osa akaju, pa biasa. Percakapan antara aku dan papaku itu terjadi 5 hari yang lalu ketika beliau bersikeras tetap ingin pulang ke Situbondo, padahal berita tentang virus corona membuat nyaliku ciut.….sengaja kutulis dalam bahasa Madura karena pertanyaan itu sebagai pengingat agar aku harus selalu tawakkal, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “papa gak takut ya sama virus corona?” jawaban papaku “enggak, kenapa harus takut? Kalau memang sudah sampai umurnya ya pulang, yang penting kita sebagai manusia itu sudah iktiar/berusaha, tidak perlu jumawa, biasa saja.”

Berita-berita yang bersiliweran di media massa membuatku galau, hampir setiap hari orang membicarakan/menulis jumlah korban yang sakit dan meninggal karena terinfeksi virus corona. Ada perasaan bersalah mengiyakan kedua orang tuaku pulang, ada perasaan khawatir bagaimana kalau di sana virus itu merebak? Berbagai pikiran buruk menggelayuti pikiranku. Tetapi…aku kemudian sedikit merasa tenang dan bersyukur karena aku masih memiliki ayah yang pembawaannya tenang, tidak kemerungsung dan ikhlas. Mendapatkan jawaban yang bijak itu, aku kemudian merasa memperoleh tambahan amunisi. Amunisi  sebelumnya aku peroleh ketika salah satu temanku di grup whatsapp dengan tegas mengatakan bahwa dia membatasi membaca atau mendengarkan berita-berita tentang korban virus corona, karena hal itu justru membuatnya resah dan tidak bisa fokus pada pekerjaannya.

Aku harus berusaha dan berjanji pada diriku sendiri, mulai sekarang aku tidak akan lagi membaca atau mendengarkan berita-berita yang pesannya negatif tentang virus yang mematikan itu, jika ada yang mengunggahnya di grup whatsapp, aku tidak tidak akan membacanya atau bahkan langsung kuhapus. Hal itu sudah kulakukan setelah obrolan santaiku dengan ayahku. It works! Damai kurasakan saat ini..keraguan perlahan mulai menghilang..semoga musibah ini banyak memberikan makna bagi kehidupanku, sebagai refleksi diri, karena memang banyak hal yang kurasakan dan kualami dengan aku harus stay at home and work from home.
Salam damai untuk semuanya….


Catatan rinduku pada papa dan ibu….
Digna Sjamsiar

Monday, March 30, 2020

WfH Series: NALIKA SING WFH NYAMBI NDAMPINGI LFH


--Sito Mardowo

===== Mohon maaf teman-teman WI terkasih, saya menulis menggunakan bahasa Jawa Ngoko Alus Populer dan saya campur aduk dengan sedikit bahasa Indonesia.
=======

Nalika virus Corona wis handerba jroning tanah Nuswantara,  donyane kaya-kaya mandheg. Pemerintah kanthi waskitha aweh paugeran tumrap kabeh warga ing saindenging bangsa Indonesia. Tlatah kulon ing Sabang nganti tumekeng tlatah wetan Merauke kaajab bisaa anut lan nyengkuyung mungguhing paugeran kuwi mau. Salah sawijining kawicaksanan pemerintah sing paling ‘populer’ yaiku WFH utawa Work From Home kang andharane nyambut gawe saka ngomah lan LFH Learning From Home kang andharane sinau sakan ngomah. WFH katujokake marang para pegawai utawa karyawan, menawa LFH katujokake marang para siswa sing sinau jroning pawiyatan.

Magepokan karo irah-irahan kasebut, aku mung pengin ngudarasa pengalamanku babagan WFH lan LFH kuwi mau nalika nglakoni ing ngomah. Nalika kawicaksanan WFH lan LFH lumadi, sak banjure aku lan anakku murwani pakaryane dewe-dewe. Sajroning nandangi gaweyanku tak sambi uga mbiyantu anakku anggone sinau online menawa ana babagan kang durung ngerti. Sajroning mbiyantu anakku kuwi, banjur tuwuh pamikirku menawa ana saperanganing bab sing dadi pepapalang nalika siswa sinau, saengga sing sinau ora bisa jangkep utawa optimal. Nalika ora bisa jangkep mesthine dadi ora kompeten. Mbok menawa iki dadi bahan penggalihan kita kabeh. Babagan pepalang siswa sinau dewe (online) ana ing ngomah yaiku:

1.   Tugas-tugas sing diwenehake kanthi online ora bisa nggambarake tuntasing kompetensi sing kudu dikuwasani siswa. Contone, nalika pelajaran bahasa Inggris babagan tenses. Siswa diparingi tugas nggawe kalimat utawa ukara sing migunakake paugeran tenses. Kamangka kanggo gawe kalimat kuwi, sakdurunge kudu diterangake kanthi gamblang luwih dhisik carane nggawe kalimat nganggo paugeran tenses. Nanging sanyatane, siswa didawuhi maca babagan tenses banjur didawuhi gawe kalimat. Mesthi wae tugas sing digawe ora bisa dirampungake kanthi sampurna, amarga beblesing pemahaman durung kacakup, namung sak gadhuke anggone sinau wae.

2.   Pendamping durung mesthi bisa ngrampungake masalah sing diaepi para siswa. Mbok menawa anakku luwih mujur karana bapakke uga prei saengga bisa diajak rembugan menawa ana tugas kang angel. Sawetara embuh para siswa sing bapak-ibune tetep kudu kerja kantoran, tuladhane bapak ibune sing ngasta ana ing rumah sakit. Nanging pranyata nalika ana pendamping wae durung mesthi bisa ngrampungake tugase putrane. Contone aku. Nalika anakku takon soal-soal pelajaran Matematika babagan ‘persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel’ wae aku ora bisa nuduhke (wong karawitan ditakoni matematika…. Duuuhh). Sawetara anakku tak cek cendhek-dhuwure sing dimangerteni isa nerangke kanthi gamblang. Nanging nalika di cak’ake ana ing soal, diwolak-walik dadi bingung. Sawetara aku ora bisa nuduhke cara nggarap soal sing bener. Pungkasane rembug anakku takon karo kangmase sing ana semarang kanthi online uga, nanging babagan iki tetep wae ora ndadekake anakku mudheng kanthi jangkep.

3.   Wektu nggarap tugas ora ana wektu kang gumathok. Nalika bapak-ibu guru gawe RPP, saben materi wis dirancang wektu kang kudu digunaake kanggo ngrampungke salah sawijining kompetensi. Ukuran iku kanggo nodi pikiran siswa utawa ‘pembiasaan’ siswa anggone nguwasani kompetensi kanthi bebles. Sawetara iki, tugas-tugas sing diparingake kanggo siswa mbok menawa bapak-ibu guru ana sing lali babagan iki. Tugas ana sing nganggo pathokan jam pelajaran, tuladhane ‘kerjakan tugas ini sesuai JP ke 4-5, setelah selesai dikirim melalui emal: bla..bla…bla. Email Ibu tunggu sampai pukul 10.15.’ Nanging ana uga sing maringi tugas nganggo pathokan dina “ kerjakan tugas berikut, nanti diemail paling lambat pukul 24.00’. Ana maneh ana sing nganggo pathokan mlebu sekolah.” Kerjakan tugas berikut ini. Tugas ditulis pada kertas HVS dan dikumpulkan pada saat masuk sekolah’. Ngematke pratelan-pratelan kuwi mau, mbok menawa perlu kawigaten-kawigaten sing underane ngenani babagan beblesing kompetensi sing dironce karo babagan suwene anggone nguwasani kompetensi.

Saksuwene awake dewe dadi WI lan saksuwene awake dewe ndampingi guru, durung nate kepikiran babagan formulasi guru nalika ndampingi siswane nalika sinau sacara online kaya kahanan saiki. Formulasi  kaya apa sing bisa ditrepake, nanging kompetensi siswa sing wis karancang tetep bisa dilakoni kanthi bebles.

Babagan WFH lan LFH  iki amung mampir ana ing pikiranku, trus tak iling ana tulisan iki. Babar blas aku ora nggunakake referensi apa-apa,…. Kaya sing tak aturke ing ngarep. Aku mung ngudarasa. Matur nuwun kersa maos. 

Salam, Sito Mardowo

Monday, October 21, 2019

Zeno, Sinisme, Stoa, dan Kebahagiaan


--oleh: Eko Santosa

Zeno dari Citium (334-262 SM) mengalami kemalangan luar biasa karena kapalnya tenggelam bersama barang dagangan berharga yang ia bawa. Lebih parah lagi, Zeno terdampar di Athena yang mana bukan merupakan kota tujuannya. Ketika mengobservasi kota, Zeno menemukan kedai yang menjual buku-buku filsafat. Karena begitu tertarik dengan isinya, ia bertanya pada pemilik kedai apakah bisa dipertemukan atau mengunjungi rumah para penulis buku tersebut. Kebetulan pada saat itu melintaslah Crates salah satu filsuf aliran Sinis (Cynic) yang dikenal oleh pemilik kedai dan segera saja ia memberitahu Zeno. Tanpa berpikir panjang, Zeno mengikuti Crates dan menyatakan diri ingin belajar darinya.

Filsafat Sinis (yang diajarkan Cartes kepada Zeno) dilahirkan oleh Antisthenes yang hidup pada 445-365 SM dan merupakan salah seorang pengikut setia Socrates. Meski tidak dimasukkan ke dalam Mazhab Filsafat Formal, namun gagasan dari Filsafat Sinis ini menarik untuk dibicarakan. Tokoh Sinis yang sangat terkenal adalah Diogenes yang diperkirakan hidup pada 403-324 SM. Diogenes dikenal karena perilaku hidupnya yang unik. Ia tinggal di dalam tong anggur kosong, makan dan minum dengan sangat sederhana, dan menggunakan peralatan seadanya. Satu hari ketika sedang berjemur, Alexander the Great yang termasyhur itu menemuinya dan bertanya apakah ada nasihat yang mesti ia lakukan. Diogenes dengan enteng justru menyuruh Alexander menyingkir (bergeser) karena menghalanginya dari sinar matahari. Laku hidup unik dan sederhana ini selaras dengan doktrin mereka bahwa kebahagaiaan sejati tidak terletak atau bergantung pada sesuatu yang acak dan mengambang. Kekayaan, pamor, kekuasaan, dan kesehatan adalah sesuatu yang acak dan mengambang.

Ajaran semacam ini tepat bagi Zeno yang baru saja mengalami kemalangan kehilangan harta benda. Ia suntuk belajar mengenai filsafat Sinis (juga belajar dari filsuf lain selain Cartes) ini hingga akhirnya mengembangkan dan mengajarkan sendiri filsafatnya. Ia melakukan pengajaran di teras-teras gedung di antara pilar-pilar bangunan (colonnade) di sekitaran Athena sehingga filsafatnya dikatakan sebagai Filsafat Stoa (kata “stoa” secara harfiah berarti “teras”). Di dalam ajarannya Zeno mengembangkan pemahaman Sinisme mengenai pencarian atau pencapaian kebahagiaan. Tujuan utama Kaum Stoa adalah hidup terbebas dari emosi negatif, hidup dengan mengasah kebajikan, keberanian, serta kemampuan menahan diri. Laku penting dari aliran Stoa adalah apa yang disebut dengan dikotomi kendali. Setiap orang memiliki kendali atas dirinya sendiri dan “sesuatu yang acak dan mengambang” merupakan hal yang berada di luar kendali diri seseorang. Oleh karena itu, kebahagiaan bersemayam atau bersumber dari sesutau yang berada di bawah kendali diri. Orang yang menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu yang berada di luar kendalinya pasti akan mengalami ketakbahagiaan seperti kecemasan, kecemburuan, kemarahan, kekecewaan, bahkan depresi.

Hal-hal yang berada di bawah kendali diri seseorang adalah pertimbangan (judgement), keinginan, tujuan, pikiran, dan tindakan diri sendiri. Hal-hal yang berada di luar kendali seseorang adalah tindakan orang lain, opini orang lain, popularitas, kesehatan, kekayaan, kondisi saat lahir, serta segala sesuatu di luar pikiran dan tindakan diri sendiri (cuaca, bencana, saham, nilai tukar uang, dan lain-lain). Hal-hal yang berada di bawah kendali diri itu sesuatu yang bebas, tanpa hambatan, kuat, dan merdeka sementara yang di luar kendali adalah sebaliknya. Oleh karena itulah orang yang marah-marah karena tiba-tiba hujan turun akan mengalami kesia-siaan karena ia tidak memegang remote control alam yang mana bisa ia gunakan untuk memulai dan menghentikan hujan sekehendak hatinya.

Dalam masa sekarang ini, pencarian kebahagiaan model Stoa kembali menjadi salah satu pilihan. Hal ini beralasan karena ia bukan merupakan konsep yang ndakik-ndakik atau gagasan yang abstrak melainkan semacam panduan perilaku hidup. Meski kedengaran klise karena mirip dengan ajaran agama-agama, namun Filsafat Stoa dapat dipraktikkan oleh seseorang dari agama manapun karena pandangannya bersifat universal. Pencarian atau penggalian kebahagian melalui hal yang berada di bawah kendali diri sangatlah logis. Di era  di mana informasi berseliweran tanpa kendali di dunia maya yang mana sebagian besar umat manusia berselancar di dalamnya, mencari kebahagiaan pada sesuatu yang berada di luar kendali diri dapat berubah menjadi penyakit psikologis mematikan. Penyakit gila like sebagai bentuk kepuasan semu atas foto diri yang kita unggah semakin merebak sebagaimana halnya komentar menghujat atas unggahan orang lain. Sementara itu di dalam dunia  nyata, kekayaan bisa saja lenyap dalam sekejap seperti yang dialami Zeno. Kesehatan juga bisa serta-merta terenggut dari diri karena kecelakaan atau sebab lain di luar kendali diri kita. Popularitas juga bisa memudar seketika hanya karena kesalahpahaman kecil atau karena komentar yang terlalu ketus di media sosial. Kekuasaan bisa saja jatuh karena perilaku lawan politik. Intinya, hal-hal yang berada di luar kendali diri seorang manusia bukan merupakan tempat kebahagiaan bersemayam.
Jadi untuk apa mengejar kebahagiaan yang sumbernya berada di luar kendali diri? Atau, untuk apa bersedih, marah, benci, frustrasi karena sesuatu yang terjadi dan berada (eksis) di luar kendali diri? Fokuslah pada apa yang ada di bawah kendali diri kita dan di sanalah kebahagiaan itu bersemayam. Segala hal yang berada di bawah kendali diri kita adalah segala hal yang membuat hidup kita bernalar atau selaras dengan alam. Selamat berbahagia. (**)

Starbucks Amplaz, 191019

Tulisan ini dipantik oleh buku; Henry Manampiring (2019), Filosofi Teras – Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini, terbitan PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Thursday, February 28, 2019

Dam


---Eko Santosa

Kes dan Sus bertemu di sebuah cafe pojok jalan kota. Mereka adalah kawan sejak sekolah menengah yang sekarang bekerja bersama di sebuah kantor.

“Katanya kau baru bertemu Dam, bagaimana kabarnya sekarang?”, Kes membuka percakapan.

“Dam yang dulu terkenal kurang pintar itu sekarang sukses, jauh melebihi kita.”, jawab Sus pelan.

“Wah hebat, jadi ada dia emangnya?”

“Petani.”

“Wah wah wah, kalau petani bisa lebih sukses dari pekerja kantoran seperti kita pasti ada bisnis di dalamnya. Kau tahu di mana rumahnya?”, serbu Kes tak sabar.

Sus tidak memberikan jawaban namun hanya memberikan secarik kertas berisi alamat rumah Dam. Kes langsung menyambar kertas itu.

“Minggu depan aku akan menemuinya.” gumam Kes.

Benar saja, Kes berkunjung ke rumah Dam di akhir minggu. Namun ia tak meluangkan waktu lama, hanya ngobrol sebentar dengan Dam, melihat rumah dan pekarangan sekitarnya, lalu pamitan. Begitu sampai di kota Kes menelepon Sus dan ingin segera bertemu.

Kes dan Sus bertemu lagi di cafe pojok jalan kota. Ketika Kes masuk, Sus sudah duduk di salah satu kursi dengan tatapan menerawang. Tanpa basa-basi Kes langsung mengambil kursi yang berhadapan dengan Sus.

“Kau bohong rupanya! Dam ternyata masih saja seperti dulu, bodoh dan tidak tahu apa yang mesti diperbuat dalam hidup ini. Ia hanya petani biasa, tak lebih tak kurang.”, gerutu Kes dengan keras.

“Justru di situlah letak kesuksesannya. Ia telah mencukupi yang menjadi kebutuhannya.”, timpal Sus pelan.

“Sukses apanya? Rumah hanya gubuk, pergi kemana-mana cuma naik sepeda, perabot rumah seadanya dan ia tak pernah pergi berlibur ke manapun.”, sergah Kes tak mau kalah.

“Tetapi dengan itu semua ia merasa telah cukup. Bahkan ketika panennya berhasil ia membagikannya kepada tetangga. Ia juga membagi pengetahuan mengapa panennya dapat berhasil dan hal-hal lain yang dapat meningkatkan hasil kebun dan sawah. Ia merasa bahagia dengan itu semua.”, Sus memberikan penjelasan.

“Aku tidak mau hidup seperti itu dan menurutku, itu tidak dapat dikatakan sukses.”

“Hidup itu memang pilihan.”

“Tapi aku tak mau memilih hidup seperti Dam yang kau bilang sukses itu!”

“Ya, dia memang sukses. Ia menjalani hidup dan mampu memenuhi kebutuhannya bahkan jika berlebih ia membaginya. Ia tidak seperti kita yang hidup demi mengejar kebutuhan satu untuk kemudian menciptakan kebutuhan lain yang belum tentu kita perlukan dalam hidup tetapi kita jadikan sebagai sebuah kebutuhan. Dam tidak pernah risau dengan capaian atau target berupa angka-angka yang setiap waktu jumlahnya selalu harus naik. Dam tidak pernah terganggu dengan posisi, kedudukan atau pandangan orang lain atas posisi dan kedudukan yang kita miliki. Dam tidak pernah merasa kurang dengan apa yang ia dapatkan sehari-hari. Ia telah selesai dengan dirinya sendiri dan bisa memberikan apa yang ada pada dirinya kepada orang lain, dan ia berbahagia dengan itu semua.”, Sus menjelaskan panjang lebar dengan sabar.

Kes mendengarkan dengan kepala penuh pikiran. Ia memperbaiki posisi duduknya, menatap Sus dengan serius.

“Bagaimanapun, aku tidak mau seperti itu. Kau mau Sus?”, tanya Kes.

“Aku tak tahu.”, jawab Sus dengan tatapan menerawang.


Ekoompong, 270219

Tuesday, February 19, 2019

Pokunoji


---Eko Santosa

Pokunoji begitu melegenda. Semua orang mengenalnya. Semenjak kecil ia hidup dalam ketertekanan. Keluarganya suka membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki capaian lebih. Baik itu urusan sekolah ataupun aktivitas lain di kampungnya. Orang yang memiliki capaian dengan ukuran tertentu akan dipandang hebat oleh masyarakat, demikian doktrinnya. Pokunoji merasa ia harus bisa mencapai hal itu. Berawal dari ketertenanan, Pokunoji berusaha keras dengan segala cara untuk mencapi ukuran yang dikatakan membanggakan itu. Ya, segala cara ia tempuh. Ketika ujian sekolah, ia berusaha bagaimana mendapatkan bocoran soal atau jawaban, dan ketika ujian berlangsung ia berstrategi cantik untuk mencontek.

Benar saja, pada saat pengumuman kenaikan kelas dan ia berhasil mendapatkan rangking tinggi, orang tuanya bangga. Kabar itu segera menyebar di tengah warga. Pokunoji pun akhirnya merasa bangga diri juga. Ia mulai merasa nikmatnya dipuja, mulai merasa enaknya berada di atas melebihi kawan-kawannya. Ia lupa dan menganggap bahwa cara curang untuk mendapatkan ranking sebagai sesuatu yang wajar karena toh semua orang memuji hasil akhirnya, bukan menelisik bagaimana cara mencapai hasil itu.

Keberhasilan pertama ini menjadi awal legenda Pokunoji. Hampir dalam setiap perkembangan hidupnya ia berlaku persis semacam itu. Baginya tak ada kawan sejati. Kawan yang memliki capaian lebih adalah musuh dan yang lebih rendah adalah patut untuk diremehkan. Ia akan mendekati siapa saja yang berkemampuan di atasnya, berbaik diri sambil mencari celah untuk menelikung pada saat tertentu. Ia akan berusaha akrab dengan siapa saja untuk mencari segala kemungkinan dalam rangka mengungguli yang lainnya. Pokunoji sangat lihai dalam soal ini. Ia tidak perduli risiko moral dari segala yang dilakukannya. Capaian tertinggi yang berdampak pada anggapan hebat inilah yang ia cari. Capaian puncak yang membuatnya dikagumi itulah yang diingini. Pokunoji tidak pernah mau mengakui kelemahannya bahkan ketika kelemahan itu tampak nyata. Ia akan mencari cara agar orang lain dipersalahkan atas kelemahannya sekaligus bersiasat agar orang yang menganggapnya lemah itu akan takluk padanya dalam ukuran-ukuran tertentu.

Pokunoji sangat piawai membawa dirinya. Ia pura-pura melebur secara sosial untuk kemudian berdiri di atas semuanya. Ia menganggap semua orang tidak akan pernah tahu kelicikannya. Kalaupun ada yang curiga atas kelicikan tersebut ia tak kurang akal untuk membuat alasan dan menelikung orang itu dikemudian hari. Pokunoji tidak pernah berbagi untuk hal apapun yang dapat membuatnya kalah di kemudian hari. Pokunoji akan selalu curiga kepada setiap orang dan menganggapnya saingan. Pokunoji hanya tahu kemenangan, tidak yang lain. Padahal banyak orang mengerti – meski hanya berdiam diri - bahwa kemenangannya adalah semu karena kenyataan berkata lain. Mengenai hal ini, Pokunoji tidaklah perduli karena capaian angka-angka dan segala kemungkinan yang membuatnya berada di atas orang lain itulah tujuan utamanya. Pokunoji harus melebihi yang lain, bagaimanapun caranya, apapun keadaannya.

Pokunoji begitu melegenda. Pokunoji sejatinya bukanlah manusia. Pokunoji adalah sindrom psikologi yang dapat menimpa siapa saja. Termasuk kita.

ekoompong

Adisucipto, 190219

Wednesday, February 6, 2019

Pak Marsono dan Pak Lazim


---Rohmat Sulistya 

Sesungguhnya saya sedang galau. Sejak saat itu saya memang sering galau dan sedih, entah apa penyebabnya. Yang jelas bukan pre menstruation syndrome. “Cobaanmu memang berat, tapi harus kuat”. Begitulah hati saya kira-kira mencoba membesarkan.

Untuk menepis rasa galau, saya menulis saja.

Sejak saat itu, rutinitas hidup jadi berubah total. Bangun setengah empat pagi, mengerjakan banyak hal dirumah sampai mengantarkan anak ke sekolah dilanjut berangkat ke kantor. Sering sekali, sebelum jam tujuh saya sudah sampai di kantor. Ini mungkin sisi baik dari perubahan rutinitas saya. Pekerjaan di rumah selesai, sampai di kantor tidak terlambat.

Pagi ini.

Karena waktu masih pagi, saya berkesempatan melakukan beberapa hal sebelum masuk ruang kerja. Pagi ini saya mampir di masjid kantor, masjid warna hijau yang cukup megah dan nyaman untuk transit di pagi hari. Tahun-tahun lalu saya sering bersua dengan beberapa senior yang sama-sama transit sambal menunggu jam delapan. Pak Marsono dan Pak Lazim (alm) adalah beberapa teman yang saat itu sering berjumpa.
Dan, posisi saat ini saya berada tepat pada posisi Pak Marsono sering sholat di pagi hari. Di barisan depan ujung kanan. Mungkin banyak yang tidak tahu, kalau beliaunya rajin transit di masjid pada tahun-tahun akhir mengabdi.

“Sebaik-baik saya, lebih baik orang lain. Seburuk-buruk orang lain, lebih buruk saya”. Demikian nasihat dari Derry Sulaiman, mantan gitaris band trashmetal yang sekarang berada di jalan dakwah. Dan dengan ungakapan inilah pasti Pak Marsono jauh lebih baik dari saya. Saya beberapa kali berkesempatan tugas dengan beliaunya di Aceh. Mungkin sekitar 3 kali, saya tugas bersama beliau. Satu kamar hotel pula. Dan tiada yang terlintas, kecuali kebaikan-kebaikan dan kesederhanaan. Dan, saat itu saya merasa beliau egaliter juga. Setiap manusia pasti punya kelebihan dan kekurangan; dan itulah uniknya. Dan kadang kita baru merasakan sesuatu kebaikan dari seseorang ketika kita dekat sekali, atau bahkan terpisah sekali.

Di Aceh, biasanya kita pengin mencoba sesuatu yang khas. Sore-sore habis Maghrib atau Isya, --saya agak lupa—kita mencari makan malam di sekitar hotel di Banda Aceh, tidak begitu jauh dari Masjid Raya. Kita jalan menyusuri jalanan yang cukup banyak menyajikan menu-menu khas Aceh. Tapi, pada akhirnya kita makan di pecel lele Lamongan, memesan ayam goreng. It’s ok. Itulah mungkin kesederhanaan, dan saya enjoy saja karena saya suka dengan ayam penyet lamongan. Di Banda Aceh kita juga lebih sering naik becak motor langganan Pak Mar. Walaupun sebentar, beliau sudah punya becak langganan dengan pengemudi berjaket lusuh berbau keringat. Dan saking setianya Pak Mar tidak berganti-ganti. Dengan tukang becak…ha..ha.. Ya mungkin itu juga wujud kesederhanaan, dan berpikir simple.

Pak Lazim, juga tidak kalah baiknya. Beliau orang yang paling ramah dan egaliter di kantor ini. Dia orang yang lebih dulu menyapa sebelum saya menyapa. Padahal beliau senior di kantor. Walaupun saya belum pernah tugas bersama dan mungkin jarang ketemu pada saat itu, tetapi keramahan dan senyuman adalah icon beliau. Insya Allah, Allah memberi tempat mulia pada beliau, sebuah tempat bagi orang-orang sholeh.

Semoga saya dan kita-kita bisa meneladani kebaikan-kebaikan teman-teman kita.  


Wednesday, January 30, 2019

SENANG KARENA PENGARUH LINGKUNGAN

---Wiwin Suhastari

Saya dilahirkan dari keluarga biasa – biasa saja. Saya anak pertama dari 7 bersaudara yang terdiri dari 6 perempuan dan satu laki-laki.

Di usia pendidikan yaitu sejak SD sampe SLTA saya tinggal dengan kedua ortu beserta ke-6 adik-adik saya. Saya tinggal di sebuah desa namanya Kweni, Panggung Harjo, Sewon Bantul.

Sebetulnya orang tua tidak punya latar belakang seni sama sekali. Ayah bekerja dibidang pendidikan sebagai PNS di Dinas Pendidikan Propinsi DIY, sedangkan ibuku bekerja di bidang medis yang bekerja sebagai perawat di RS Sarjito.

Untuk pendidikan karena alasan biaya, orang tua selalu mengarahkan agar saya dan adik-adik bisa bersekolah di sekolah negeri yang notabennya biaya pendidikannya masih relatif murah.

Meski begitu harapan orang tua tidak bisa terpenuhi sepenuhnya karena dua dari keenam adikku harus sekolah diluar negeri alias di sekolah swasta.

Meski orang tuaku tidak berlatar belakang seni, tapi ayah ibu tidak pernah melarangku mengikuti kegiatan-kegiatan yang dinilai positif yang ada di sekitarku.

Saat itu aku masih duduk di kelas 3 Sekolah dasar, dan kebetulan di lokasi yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku ada gedung pertemuan yang oleh pemiliknya gedung tersebut sering disewakan untuk Pernikahan, Pentas Seni ( ludruk, kethoprak, wayang orang, wayang kulit dll) sehingga saya sering diajak oleh Om atau nenek untuk menonton pentas Seni tersebut.

Meski saya tidak punya darah seni, tapi karena sering melihat pentas-pentas seni di gedung itu, tanpa kusadari saya mulai tertarik dengan gerakan-gerakan penari saat pentas.

Bahkan saya sering menari sendiri mencoba menirukan gerakan tarian yang saya lihat di depan kaca. Lucu memang kalau ingat masa itu........he he he. Dan setelah Om ku mengetahui bahwa aku ternyata seneng menari, akhirnya di kelas 4 SD saya diikutkan les di Pendopo TejoKusuman. Mulai kelas 4 SD saya belajar menari gaya Jogja di pendopo Tejakusuman. Selama mengikuti kursus yang saya ingat dan paling berkesan, temen2 yang menari itu ternyata anak-anak dan remaja-remaja yang semuanya rata-rata cuantiik-cuantiik, badannya bagus, kulitnya mulus-mulus. Dan yang lakipun juga cakep-cakep. Setelah saya tahu, ternyata memang mereka sebagian besar adalah putra putri bendoro – bendoro yang masih kerabat keraton Ngayogyokarto atau ptra-putri para abdi dalem......

Tidak lama hanya kurang lebih 1 tahun saya belajar menari di pendopo Tejokusuman karena Om yang biasa mengantar saya melangsungkan pernikahan, jadi masih satu tarian yang saya bisa (hanya sebatas bisa) yaitu baru bisa menari Tari Sari Tunggal.

Beberapa minggu setelah saya berhenti latihan di pendopo Tejokusuman, gedung pertemuan yang biasa dipakai pentas seni setiap hari rabu dan minggu sore digunakan sebagai sanggar tari. Akhirnya saya ikut bergabung di sanggar tari tersebut. Setelah beberapa waktu saya bergabung di sanggar tari tersebut akhirnya saya bisa menari beberapa jenis tarian gaya SOLO antara lain : tari Golek, tari gambyong, tari Gamberanom, tari Klono Topeng, tari Bondan, tari Menak Jinggo dayun dan beberapa jenis tari kreasi baru. Bahkan saya sempat dijadikan asisten oleh guru tari dan diajak pentas kemana-mana bahkan sampe luar kota.

Dengan berdasarkan pengalaman yang saya ceritakan, saya bisa ambil kesimpulan bahwa meski saya tidak punya bakat seni ( seni tari) karena sering menyaksikan pentas-pentas di lingkungan saya, akhirnya secara tidak sadar muncul rasa SENANG dan TERTARIK untuk menjadi BISA (meskipun hanya sekedar bisa).

Sekarang kegiatan berseni tari itu tidak berkembang bahkan mati karena memang lingkungan saya (keluarga/suami) tidak mendukung, akhirnya kegiatan menaripun berhenti sampe sekarang.

Dari pengalaman saya diatas, saya juga berusaha untuk masuk dan bergabung di lingkungan temen-temen yang piawai dalam menulis. Sehingga harapan saya dengan masuk dalam lingkungan pakar dalam hal menulis, muncul rasa SENANG dan TERTARIK untuk berupaya belajar untuk bisa MENULIS dan terus MENULIS. Apapun bentuk dan materi tulisannya.

Hubungan Warung Makanan dan STEM+A

---Eko Santosa

Sito, Heru, dan saya berencana pergi makan siang selepas seminar tentang “STEM” dengan pemateri Agung Handoko hari ini. Dari beberapa usul yang ada, kami sepakat untuk makan di Spesial Sambal (SS) jalan Kaliurang. Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai dan beruntung karena siang itu pelanggan belum banyak berdatangan. Dari sodoran menu yang ada kami memilih lauk dan sambal kesukaan masing-masing. Di tengah makan, Sito bercerita bahwa di daerahnya terdapat juga SS tapi rasanya kurang enak – tentu saja ini penilaian subjektif. Ia bingung mengapa bisa seperti itu. Saya mencoba menjawab kebingungannya berdasar cerita teman yang juga punya usaha warung makan franchise.

Menurut penuturan teman saya itu, setiap cabang yang dibuka selalu mendapatkan pelatihan dari pemilik franchise. Pelatihan mulai dari pengelolaan sampai tata cara memasak dan menyajikan. Setelah itu, dalam masa ujicoba selalu mendapat pendampingan. Intinya, kualitas rasa makanan tetap terjaga dan sama rasanya dari semua warung yang ada. Setelah dirasa semuanya sesuai standar yang ditentukan, barulah warung cabang itu dapat mengelola usahanya secara mandiri. Pendampingan bisa diberikan ketika memang diperlukan. Nah, mungkin pada saat pengelolaan mandiri, kualitas rasanya kurang bisa dijaga.

Kualitas kurang terjaga mungkin karena model pelatihan yang dilakukan tidak menerapkan STEM. Artinya pelatih tidak memberikan materi secara rinci yang dapat menggamit science, technology, engineering, dan mathematics. Pemilik franchise hanya memberikan panduan dan praktika kepada peserta dengan fokus utama pada produksi makanan saja. Jika saja seandainya pemilik franchise menggununakan model STEM bahkan plus A (arts) mungkin kualitasnya akan tetap sesuai standar.

Misalnya saja untuk jenis masakan “Sambal Bawang” seperti yang dipesan Heru pada saat itu dibuat lesson plan semacam ini:

Science: menjelaskan bahan, bumbu, alat dan tahapan membuat sambal bawang

Technology: menggunanakan peralatan membuat sambal sesuai teknik

Engineering: merancang sambal bawang dengan tingkat kepedasan berdasar skala konsumsi

Mathematic: mengukur kepedasan sambal berdasar jenis, karakter, dan jumlah cabai yang digunakan serta tingkat kemungkinan konsumsinya

+ Arts: menyajikan sambal bawang secara artistik sehingga memikat selera

Dengan rencana pembelajaran seperti itu pelatih tidak hanya sekedar memberikan contoh cara membuat sambal bawang yang benar secara intuitif atau berdasar kebiasaan. Akan tetapi ia juga akan mengukur tingkat kelezatan dan kepedasan tertentu berdasarkan jenis, karakter, dan jumlah cabai sampai tingkat yang paling mungkin untuk dikonsumsi manusia. Perancangan tingkat kepedasan tidak hanya berdasar kebiasaan tetapi benar-benar memperhatikan kualitas bahan dan kualitas itu terukur. Misalnya saja, 5 cabai rawit warna merah kekuningan yang dipanen pada pagi hari dan didiamkan selama 2 jam sebelum diproses itu akan menghasilkan tingkat kepedasan yang sama dengan 8 cabai rawit warna kuning kehijauan yang dipanen siang hari dan didiamkan selama 3 jam sebelum diproses. Cabai rawit yang diulek secara manual dengan cobek dari tembikar tingkat kepedasannya 2 kali lipat dibandingkan cabai rawit yang digiling. Dalam satu sajian, porsi satu orang, bawang yang digunakan antara 1-1,5 siung jika ukuran sedang, 1 siung jika ukuran besar, dan 2,5 siung jika ukurannya kecil. Penyajian sambal bawang dengan menggunakan cawan tembikar, sambal ditata pas di tengah cawan secara merata, serta diberi garnis 3 helai daun kemangi akan membangkitkan selera makan.

STEM+A yang diterapkan akan memberikan catatan lengkap dari berbagai sisi sehingga kualitas sambal bawang itu akan sama meski jumlah dan warna cabainya berbeda. Sekilas hal ini terbaca lucu tetapi itulah yang dilakukan oleh KFC, McD, Burger King, dan Pizza Hut. Di setiap gerai jualan yang mereka buka kualitas rasanya sama, berat makanan sama, dan kemasan penyajian sama. Itulah mengapa hampir semua pembeli meyakini kualitas rasa dari produk mereka. Jadi, apa yang perlu dilakukan oleh pemilik franchise hanyalah mencatat tata cara atau proses pembuatan secara rinci dipandang dari berbagai unsur/bidang disertai ukuran dan kemungkinan hasilnya. Bukan sekedar panduan yang hanya berisi langkah semata sehingga prosesnya benar namun rasanya kurang memuaskan. Di sinilah letak pentingnya STEM+A. Jadi, marilah kita membuat sambel bawang. He he... (**)

Tuesday, January 29, 2019

MENABRAK KETERBATASAN (RENUNGAN TENGAH MALAM)

---Cahya Yuana

Sebuah pesan masuk melalui aplikasi WhatsApp. Saya lihat pesan tersebut dari my Bidadari.

"Mas saya punya daging Menthog, nanti mau dimasakan apa".

Bagi saya pesan ini sangat surprise, bukan masalah pertanyaan mau dimasakan apa. Kalau untuk hal itu sudah biasa istri bertanya pada saya kira-kira mau makan apa. Rasa heran saya terletak pada kalimat saya punya daging menthog. Saya tahu istri saya kalau beli daging pasti daging ayam atau sapi. Kalau inisiatif bukan dari saya tidak pernah dia beli daging yang tidak biasa dimasak.

"Lha kamu dapat dari mana daging menthog nya " tanya saya. 

" Ya nanti saya ceritakan kalau sampai rumah. Yang penting mau dimasakan apa"

"Ya terserah Dinda (sambil nyengir tentunya) karena baru kali ini saya menyapa istri saya dengan kata Dinda.

Sore hari tibalah saya sampai rumah. Opor menthog dan sambal daging terlihat sudah diatas meja, siap menemani buka saya pada sore itu.

Setelah mandi dan sambil menunggu tibanya waktu buka, istri saya cerita enthog itu ia dapatkan dari temannya bernama Bu Warjiyem. Bu Warjiyem memberikan daging menthog secara cuma-cuma. Istri saya bilang Bu Warjiyem tidak mau dibayar untuk satu ekor enthog yang ia berikan. Tertegun saya mendengar cerita itu.

Ok Sobat, saya ceritakan dulu siapa Bu Warjiyem ini. Bu Warjiyem adalah teman istri saya. Kebetulan suaminya juga teman saya. Sehari hari dia bekerja menjaga satu toko, dan menerima jahitan. Suaminya kerja serabutan, kalau ada orang yang meminta bantuan bekerja baru dia mendapat penghasilan. Sore harinya suaminya mengajar baca Al Quran anak-anak di Masjid.

Setiap bulan rata-rata penghasilan nya tidak lebih dari 1.500.000. Bu Warjiyem mempunyai anak empat. Satu kuliah di UGM karena mendapat beasiswa Bidik Misi. Anak kedua masuk di pondok pesantren. Sedangkan anak ketiga dan keempat masih sekolah di SDIT IBNU ABBAS.

Hari itu Bu Warjiyem menjual menthog yang dipelihara suaminya untuk biaya rumah tangganya. Akan tetapi dia menyisakan satu Menthog untuk istri saya. Gratis katanya. Istri saya sudah memaksa untuk membayar tapi tetap tidak mau.

Apa yang bisa kita dapatkan dari kisah Bu Warjiyem. Sebuah keterbatasan yang kita miliki jangan sampai membatasi kita untuk melakukan sebuah pekerjaan besar. Sebuah pekerjaan besar itu tidak berarti sebuah pekerjaan yang berbiaya tinggi dan dilaksanakan di satu tempat mewah. Pekerjaan besar adalah ketika kita bisa memberi manfaat kepada lingkungan kita. Setiap orang pasti punya keterbatasan, akan tetapi ditengah keterbatasan itu pasti ada sesuatu yang bisa kita lakukan.

Sebagai pendidik kita tentu mempunyai keterbatasan. Akan tetapi ditengah keterbatasan yang kita miliki semangat memberi harus selalu kita pupuk. Memberi tidak harus dalam bentuk materi. Berbagi pengetahuan adalah juga bentuk saling memberi.

Relasi sosial untuk saling berbagi harus dipupuk dalam organisasi pendidikan seperti kita. Dalam berbagi ini harus ada kesadaran untuk saling menghargai. Meski bisa jadi yang kita terima sudah pernah kita dapatkan.

Suatu hari seorang wartawan mendatangi kediaman Muhammad Natsir, Perdana Menteri pada saat orde lama dan juga ketua Masyumi. Saat sang wartawan tiba dikediaman Natsir ternyata di Rumah Natsir sedang diadakan Diskusi dengan pemateri murid Natsir sendiri. Tampak Natsir mengikuti diskusi tersebut dengan serius. Setelah acara diskusi selesai sang Wartawan mendatangi Natsir dan menanyakan sesuatu yang tadinya belum ia rencanakan ia tanyakan. Pertanyaannya adalah mengapa Natsir sangat antusias mendengarkan materi yang disampaikan pemateri yang adalah murid Natsir Sendiri. Natsir kemudian menjawab, memang dia murid saya, memang yang ia sampaikan pernah saya sampaikan, tapi saya tetap berkepentingan mendengar apa yang disampaikan oleh murid saya tersebut, siapa tahu ada yang pernah saya tahu belum saya pahami, ada yang saya pahami lupa belum saya lakukan.

Ok Sobat mari kita jaga tradisi terhormat untuk saling berdiskusi dan memberi. Setiap kita bisa jadi mempunyai pengalaman berbeda, punya sesuatu yang berbeda. Kerag bhaman adalah anugerah. Keragaman ini akan memberikan manfaat saat kita mau saling memberi dan menerima.

Friday, January 25, 2019

Mari Bahagia

---Eko Ompong

Satu hari di masa lalu, teman saya bercerita tentang temannya, seorang pemilik bengkel sepeda motor yang merasa tak lagi bisa sungguh-sungguh berbahagia. Bukan soal bengkelnya sepi sementara kebutuhan hidup semakin kompleks, atau soal hutang yang terus menggunung sementara anak-anaknya mulai banyak membutuhkan biaya. Ia tak lagi merasa bahagia justru ketika usaha bengkelnya sukses. Ia sudah mampu membeli rumah dan memenuhi kebutuhan tersiernya. Semua yang ia dan anggota keluarganya inginkan dapat terpenuhi. Justru karena itu ia merasa sepi sendiri.

Setiap pulang kerja, ia sering tak mendapati istrinya di rumah karena sedang berada di mall atau ada urusan lain dengan teman-temannya. Pun demikian dengan anak-anaknya. Makan malam sering terselenggara dalam kesendirian dengan menu dingin yang mesti dipanaskan sendiri dulu. Bahkan ketika hari Minggu atau hari libur, tidak jarang kebersamaan itu hilang begitu saja karena masing-masing asyik dengan kesibukannya. Saat benar-benar bisa duduk bersama pun kehangatan ruang bicara keluarga menjadi dingin karena istri dan anak-anaknya lebih suka membicarakan kegiatannya bersama teman-temannya. Sementara, temannya teman saya berusaha keras tidak membawa soal pekerjaan ke dalam ruang bicara keluarga.

Sampai satu waktu, temannya teman saya itu pernah melontarkan perkataan bahwa kalau boleh ia ingin Tuhan mengembalikan hidupnya seperti ketika masih merangkak membuka usaha bengkel sepeda motor. Kehidupan di mana semesta kebahagiaan menaungi di sela segala kekurangan. Ia merindukan kegembiraan yang membuncah di tengah ruang sempit di kontrakan tempat mereka tinggal ketika istri dan anak-anak mengetahui ayahnya mendapat rejeki, meskipun tak seberapa. Ia merindukan keceriaan anak-anak ketika ayahnya dapat membelikan sepatu atau baju baru meski harganya murah. Ia merindukan senyum dan sambutan bahagia istri dan anak-anaknya ketika sore sepulang kerja ia membawakan bungkusan nasi dan lauk sederhana untuk dimakan bersama. Ia merindukan wajah cerah istrinya ketika membagi-bagi nasi dan lauk itu dengan bersahaja. Ia merindukan hening doa bersama yang terucap sepenuh sungguh sesaat sebelum mereka makan bersama. Temannya teman saya merasa bahwa kebahagiaan nan sederhana di antara segala kekurangan itu justru sekarang sirna.

Teman saya menceritakan kisah temannya dengan menitikkan air mata sambil bersyukur dan sekaligus tersadarkan untuk senantiasa berbahagia. Dirinya merasa terharu atas cerita temannya meski saya tahu bukan hanya itu sebabnya. Sebelum air matanya mengalir kemana-mana , saya merogoh saku celana dan mengeluarkan 2 lembar uang seribuan hasil pinjam tetangga, “kalau begitu, mari kita bahagia!!”, kata saya kepadanya. Teman saya tersenyum segera, “ya, mari bahagia!”, katanya. Segera saja kami berdua berboncengan sepeda menuju angkringan karena sesungguhnya hari itu saya dan teman saya sama sekali belum makan dan “nasi kucing” pasti akan membuat kami bahagia. Ya, mari bahagia !!



Eko Ompong