--Rin
Surtantini
Seorang teman memosting
flyer webinar gratis di grup Whatsapp dengan topik
Menghindari "Perampokan" Akademik: Etika Publikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi. Webinar ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Agama Pluralisme dan Demokrasi bekerjasama dengan Pusat Kajian Kelembagaan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Jadwal pelaksanaannya adalah hari Rabu, 3 Juni 2020, pukul 11.00 – 13.00 WIB, kira-kira dua minggu yang lalu, berkapasitas 100 orang peserta, dan tidak memberikan sertifikat bagi pesertanya.
Dalam tulisan terdahulu tentang
“perhelatan webinar”, dimunculkan saran agar nilai-nilai pembelajaran dalam
perhelatan webinar perlu diciptakan. Artinya jika memang tren webinar saat ini adalah
perayaan, maka peserta atau penggemar webinar perlu memilih secara selektif
konten webinar apa yang dibutuhkan untuk peningkatan, pertumbuhan, atau
pengembangan dirinya secara personal. Hal ini termasuk menetapkan pada diri
sendiri apakah konten webinar sesuai atau relevan dengan yang dibutuhkannya
secara personal, atau secara kelembagaan, sehingga menjadi peserta webinar
benar-benar memberi manfaat, bukan sekedar hanya untuk mengisi waktu saja, atau
untuk tujuan primer memperoleh sertifikat semata.
Maka ketika flyer webinar berjudul Menghindari "Perampokan" Akademik: Etika Publikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi beredar, dorongan ketertarikan untuk mengikutinya pun tentu berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya. Mungkin juga tak banyak yang tertarik. Terlepas dari apa dorongan atau motivasi untuk mengikuti webinar tersebut, berbagi sedikit konten dari webinar itu menjadi tujuan dari tulisan ini. Salah satu penanda terjadinyasebuah prinsip pembelajaran pada
webinar adalah adanya peristiwa give and
gain something antara penyaji dan peserta. Setidaknya ada sesuatu yang
bermanfaat karena disampaikan oleh narasumbernya secara efektif dan profesional.
Selain itu, ada efek positif jika sesuatu yang bermanfaat itu dapat diperluas
jangkauannya melalui forum berbagi.
***
Judul webinar
Menghindari "Perampokan" Akademik: Etika Publikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi, menjadi menarik karena ada kata “perampokan” di dalamnya, yang mengandung metafora kriminalitas di dalam dunia akademik. Topik ini mengundang keingintahuan bagi yang bekerja atau bergelut dengan hal-hal yang bersifat akademis. Ada tiga narasumber, yaitu Jonathan Lassa, Ph.D., seorang dosen senior warga negara Indonesia yang mengajar di Charles Darwin University, Australia, lalu Nelly Martin-Anatias, Ph.D., orang Indonesia juga yang mengajar di Auckland University of Technology, Selandia Baru, dan Neil Semuel Rupidara, Ph.D., Rektor Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia. Masing-masing membawakan topiknya sendiri-sendiri yang saling berkaitan, dan ini berlangsung selama dua jam termasuk waktu untuk berdiskusi dengan beberapa peserta.
Tulisan ini hanya akan memberikan highlight pada sebagian kecil dari
keseluruhan konten webinar, yaitu masalah hak cipta dan sitasi (pengutipan
karya orang lain) dalam sebuah karya ilmiah, yang disoroti oleh Nelly
Martin-Anatias. Sitasi merupakan masalah etika publikasi dalam karya-karya kita
yang kita “akui” sebagai “ilmiah”. Dikatakan, banyak dari kita yang berada di
dunia akademis tidak tahu bagaimana cara melakukan sitasi secara benar, seperti
mengutip karya ilmiah orang lain. Kita tidak memperlakukan “properti
intelektual” sebagai hak milik orang lain, sehingga dengan mudahnya kita
mengambil tulisan dan proses berpikir orang lain untuk kita akui sebagai milik
kita. Tidak menuliskan sitasi merupakan salah satu hal yang paling mudah untuk
melihat apakah kita itu sebenarnya menjalankan etika publikasi ilmiah atau
tidak.
Penulis yang karyanya dikutip
seseorang tanpa melakukan sitasi akan sangat dirugikan, karena proses
menghasilkan sebuah karya ilmiah yang baik itu tentunya melewati sebuah perjalanan
yang panjang. Proses berpikir dan tulisan orang lain itu wajib diakui sebagai
properti intelektual, hak miliknya, dan saat kita menggunakan hak milik orang
lain itu, kita harus memberikan “credit” kepadanya. “Credit” ini dilakukan
dengan cara melakukan sitasi, sehingga kita tidak bisa seenaknya saja mengambil
ide orang lain, pikiran orang lain, dan mengakuinya sebagai karya kita.
Dalam hal tidak melakukan sitasi atas
karya ilmiah orang lain karena ketidaktahuan, maka sejak kita mengetahui bahwa
itu melanggar etika publikasi ilmiah, sebaiknya hal tersebut tidak kita lakukan
lagi. Mempelajari academic writing menjadi
sangat penting dalam konteks ini, sehingga siapa pun yang menghasilkan karya
ilmiah harus dan dapat saling menghargai properti intelektual masing-masing
dengan cara memberikan kredit kepada pemilik aslinya berupa sitasi.
Kesimpulannya, sitasi merupakan bagian dari etika publikasi ilmiah, yang
mengakui adanya pikiran dan karya orang lain di dalam karya ilmiah kita.
***
Demikianlah, sebagian kecil dari
materi webinar di atas tentang sitasi yang merupakan bagian dari etika publikasi ilmiah. Ini mengingatkan kita akan tidak etisnya praktik-praktik plagiat.Bagi siapapun yang mengklaim
dirinya menghasilkan karya-karya ilmiah, maka melakukan sitasi merupakan kultur
atau tradisi akademik beretika yang harus dibangun olehnya. Menghormati,
mengakui, dan memberikan kredit atas karya ilmiah dan proses berpikir orang
lain menjadi suatu prinsip yang harus dibangun dalam memproduksi karya ilmiah.
Ilmu pengetahuan dibangun dan dikembangkan dari ilmu pengetahuan yang telah ada
sebelumnya, sehingga sitasi menunjukkan kepatuhan kita terhadap penghargaan,
pengakuan, dan penghormatan karya orang lain sebelumnya. Dengan melakukan
sitasi, kita secara jujur dapat menunjukkan kepada publik, mana bagian dari
karya ilmiah kita yang merupakan pikiran atau gagasan orang lain, dan mana yang
merupakan gagasan atau pikiran kita sendiri.
Berkaitan dengan sitasi, kapan kita ternyata
tidak beretika dalam melakukan publikasi ilmiah? Kita dapat mengeceknya dengan
bertanya kepada diri kita sendiri, sebelum orang lain menemukannya:
- Apakah saya mengutip kata-kata atau kalimat
orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya?
- Apakah saya menggunakan pendapat, gagasan,
pemikiran, pandangan, konsep orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya?
- Apakah saya menggunakan data atau informasi
milik orang lain tanpa juga menyebutkan identitas sumbernya?
- Apakah saya dengan sadar mengakui karya orang
lain sebagai karya saya sendiri?
- Apakah saya, meskipun telah melakukan
parafrase atau mengubah kalimat orang lain ke dalam kalimat saya sendiri, tetap
tidak menyebutkan identitas sumber aslinya?
- Apakah saya mempublikasikan karya ilmiah yang
dihasilkan orang lain sebagai karya saya sendiri?
- Apakah
saya mengambil karya saya sendiri sebelumnya tanpa melakukan perubahan yang
berarti untuk saya akui sebagai karya baru saya?
Banyak pemicu yang mendorong
terjadinya praktik plagiat yang merupakan tindak kejahatan properti
intelektual. Perhatikan apakah kita memiliki keterbatasan waktu dalam
menghasilkan karya ilmiah sehingga mengopi atau meniru persis karya orang lain
menjadi hal yang kita lakukan? Atau apakah kita enggan mencari dan menganalisis
referensi yang ada? Ataukah kita tidak paham dan tidak tahu bagaimana, di mana,
dan saatnya melakukan sitasi? Atau apakah lingkungan akademis kita tidak peduli
dan tidak menganggap sitasi adalah bagian dari etika publikasi ilmiah?
Akhirnya, pilihan dalam menerapkan
etika publikasi ilmiah, ada pada hati nurani kita masing-masing.
Selamat menghasilkan karya-karya
(ilmiah) yang “beretika” selama masa panjang work and learn from home!
Yogyakarta, 18 Juni 2020.